30 · Sidang Rani

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hampir seminggu berlalu sejak Bina kembali dari penelitian lapangannya di Desa Pandalungan. Sepulangnya dari desa bersuhu dingin tersebut, rutinitas Bina kembali seperti pasca Sempro tempo lalu; kopi, mie instan, laptop, dan mata yang tidak lagi melihat matahari pagi.

Bina terpaksa mengobrak-abrik ulang draf skripsi di laptopnya. Empat bab dengan revisi total bukanlah hal yang mudah. Hal ini membuat jam tidur Bina layaknya kukang; menggantung dan terbalik. Jika burung berkicau, gadis itu akan menghempaskan badan ke atas kasur, untuk kemudian bangun pada sore hari, mandi-makan-skripsian-lagi.

Gaya hidup tidak sehat ini terus berlanjut selama dua minggu, sebelum akhirnya Bina harus terpaksa dibangunkan oleh Pak Santo sebab kedatangan tamu. Ketika Bina akhirnya membuka mata, Rani dan Dipa sudah menunggu di ambang pintu kamarnya.

"Loh, kalian? Ngapain ke sini?" Bina bertanya sambil mengusap matanya yang masih berat.

"Kita nih khawatir sama kamu, Bin. Kamu nggak muncul-muncul ke kampus, dihubungi juga susah, chat balesnya slowresp banget. Kita takut kamu kenapa-napa, depresi atau bundir karena mentok—"

"Hah?!" Bina memotong ucapan Rani saat itu juga. "Aku nggak apa-apa, Ran. Aku habis penelitian lapangan dan jadi dapet banyak banget sumber data, makanya aku ngetem terus di kamar buat revisi skripsi. Sori ya, nggak ngabarin kalian ...."

Duo kawan Di Ujung Tanduk—Rani dan Dipa—saling bertukar pandang. Mereka agaknya terkejut mendengar ucapan Bina yang sangat ... nggak Bina banget. Penelitian lapangan? Rajin revisian? Bina kerasukan apa, ya?

"Oke. Baguslah kalau gitu, akhirnya lo bisa rajin juga." Dipa memecah keheningan diiringi dengan anggukan kepala Rani.

"Mumpung kita udah di sini, aku sekalian mau ngabarin juga, Bin ...."

Rani berucap sesaat sebelum Bina mempersilakan dua teman itu untuk masuk ke ruang tamu. Setelah duduk dengan hati-hati di atas sofa kulit lembu, teman seperjuangan Bina yang sudah tua kandungannya itu kembali membuka suara.

"Minggu depan aku mau sidang. Kamu datang, ya?" ucap Rani dengan senyum yang mulai merekah. Mulut Bina membentuk huruf O, sebelum akhirnya memekik girang dan berjingkrak-jingkrak sambil menggenggam tangan Rani.

"Wahhh! Ih sumpah seriusan kamu udah mau sidang, Ran? Anjay lah, ngebut juga ya si calon bunda ini. Semangat yaa, aku pasti dateng kok!"

Rani ikut terkekeh melaksanakan selebrasi heboh itu. Perhatian Bina lantas berganti tertuju pada Dipa, yang sedari tadi hanya tampak menonton kehebohan dua teman perempuannya.

"Kalau kamu, Dip? Nggak sidang deket-deket ini juga?" tanya Bina.

"Gue nungguin lo," balas Dipa dengan ringan, membuat Bina memadamkan senyum di wajahnya sedetik—singkat saja, sebelum akhirnya kembali menata muka agar tidak mengundang tanya.

"Eh iya, Bina, mumpung kita udah di sini, ada yang bisa dibantu nggak, sama skripsi kamu? Masih proses revisi, kan? Udah sampe bab berapa?"

Rani mengalihkan perhatian Bina dengan sempurna, membuat gadis itu gelagapan sedetik sebelum menjawab. Maharani, calon mamah muda itu seperti peka, bisa membaca keadaan. Diam-diam Bina bersyukur telah dialihkan.

**

Rabu itu Bina berangkat ke kampus. Sebenarnya, ini adalah kali kedua gadis itu menapaki gedung Fakultas Ilmu Budaya dengan tujuan yang hampir sama tapi sedikit beda; sama-sama bimbingan revisi skripsi.

Bedanya, kali ini selain Bina hendak bimbingan plus revisi, ia juga datang memberi dukungan moral pada Rani yang sedang sidang skripsi.

Sembari memeluk map plastik berwarna kuning nyala, Bina celingukan mencari batang hidung kedua temannya. Grup Di Ujung Tanduk menginfokan bahwa Dipa dan Rani sudah siaga di gazebo depan jurusan. Sekali sapuan pandang, Bina menemukan mereka.

"Hai gengs. Gimana, Rani, udah siap?"

Bina berbasa-basi sambil mendudukkan diri di kursi kayu, sementara Dipa tampak sibuk mengipasi Rani yang tampak berpeluh. Wajah calon ibu muda itu sepucat kertas revisian.

"Ran, muka kamu pucet gitu. Kamu sakit? Eh, seriusan nih?" Bina mulai menampakkan gelagat panik, yang buru-buru ditangkal dengan gelengan kepala Rani. Teman seperjuangannya itu memaksakan senyum, memulutkan 'nggak apa-apa' tanpa bersuara.

Bina buru-buru mengeluarkan air mineral dari dalam tasnya.

"Minum dulu, Ran. Ini kamu baru mau sidang, loh. Aduh ...."

Rani menerima uluran Bina dengan tangan sedikit gemetar. Perempuan itu menggumamkan dengan lirih kalimat terima kasih.

Bina mengacak rambut di kepalanya. Jadwal sidang Rani hari ini adalah jam 11 siang, sementara sekarang baru jam 10:43. Menit-menit menuju sakaratul maut memang paling menyesakkan. Bina tidak bisa membayangkan posisi Rani sekarang ini—pasti tegangnya berlipat kali dari sekadar Seminar Proposal saja.

Pasalnya, Sidang Skripsi merupakan titik didih di mana perjuangan setiap mahasiswa menemui puncaknya.

Bagi Bina sendiri, proses ini adalah sebuah ritual mengerikan yang sepenuh hati ingin ia hindari, namun tidak bisa. Demi mendapat gelar sarjana, setiap orang harus melalui proses Sidang dan lulus, tentu saja.

Bina tidak suka fenomena ini—perasaan menegangkan seperti ini, meskipun bukan dia yang akan sidang, mengingatkan Bina pada kejadian menakutkan semasa dia kecil dulu; mencabut gigi di dokter gigi, misalnya. Atau hal menyeramkan lainnya; melahirkan. Argh!

Membayangkannya saja Bina langsung bergidik. Kenapa juga kita harus bersakit-sakit dahulu sebelum lega kemudian? Tidak bisakah kita tidak usah sakit saja?

"Aduh!" Pekik tertahan yang keluar dari mulut Rani membuyarkan lamunan Bina seketika.

Perhatiannya tersedot penuh pada tubuh Rani yang mulai ambruk ke samping—hampir saja terjatuh dari kursinya, jika saja Dipa tidak dengan sigap memapahnya.

"Ran? Rani, lo kenapa?" Dipa bertanya dengan panik, sementara Bina buru-buru menggenggam jemari Rani. Tangan perempuan itu terasa dingin dan pias, sedikit berkeringat dan bergetar tak karuan.

"Aaagh, ini ... k—kontraksi! S-sebenernya dari subuh udah kerasa dikit-dikit, tapi ... uhhh, kirain masih bisa ... ditahan. Dip, Bin ... kayaknya ... aku mau lahir—AAAHHH!"

"HAH?!" pekik Bina sebelum detik berikutnya meringis tatkala genggaman tangan Rani tiba-tiba mengerat, meremas tangannya yang pasrah digaru kuku sang calon ibu.

"Telepon suaminya, Bin!" seru Dipa sambil membenahi posisi duduk Rani, sementara sang calon ibu mulai mengatur napasnya sendiri.

"Su-suami? Eh, aku nggak tau suaminya Rani siapa! Ran, mana sini henpon kamu. Aduduh, mana-mana, nomernya yang mana?"

"Elah, lama. Udah, udah, gue aja!"

Dipa memasrahkan Rani yang sudah mulai tenang bersandar ke tubuh Bina, sementara pemuda itu menempelkan gawai ke samping pipinya. "Halo? Mas Rey ...."

Bina tak lagi memperhatikan Dipa, sebab saat ini fokusnya tertuju penuh pada Rani. Perempuan itu menarik napas pendek-pendek-panjang, lalu perlahan-lahan berusaha berdiri dari duduknya.

"Lah, Ran? Mau ke mana?" tahan Bina melihat gelagat temannya.

"Berdiri ... biar ... mendingan." Rani menjawab dengan kata patah-patah, disela napasnya yang sedikit terangah.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Bina lantas membantu temannya itu. Baru beberapa detik memapah Rani untuk berdiri, terdengar suara memanggil dari arah ruang jurusan.

"Maharani Assyifa Putri? Apakah ada?" Bu Astari, salah satu penguji dari sidang Rani, mengucap lantang dari ambang pintu. Bina dan Dipa menoleh secara bersamaan.

"Ada, Bu, tapi ...."

Belum sempat Bina menjelaskan, Bu Astari sudah buru-buru berlari kecil ke arah mereka. Tampaknya sang dosen penguji bisa menilai situasi dari gelagat Rani.

"Ya Allah, kenapa ini? Rani, wajah kamu pucat sekali."

"Dia mau lahiran, Bu," pungkas Dipa seketika. Tangannya masih menggenggam ponsel, namun nampaknya panggilan telepon dengan suami Rani sudah selesai.

"Yassalam! Sungguhan ini? Eh, ayo, ayo, bawa ke ruang jurusan dulu. Suaminya sudah dikabari ini?" Bu Astari dengan sigap membantu Bina memapah Rani.

"I—iya, Bu. Anu ... Bu, ini sidangnya Rani jadi gimana? Bisa diundur—"

"ALLAHUMA, SABINA! Jangan pusingkan masalah sidang! Ini teman kamu biar lahiran dulu!"

**

[1167 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro