31 · Isn't She Lovely

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bina selalu benci rumah sakit. Terakhir kali dia menetap selama ini di lobi dengan bau antiseptik adalah saat-saat terakhir sebelum Bunda meninggalkannya.

Momen itu adalah memori paling gelap yang tertanam di kepala Bina. Gadis itu masih ingat rasanya tamparan angin yang menembus celah kaca helmnya, masih ingat bagaimana motor Beat-nya dipaksa menggeram dan tarikan gas maksimal hampir membuat Bina yang ceroboh menyerempet becak.

Tapi untungnya tidak, sebab saat itu dia tidak punya waktu untuk mencelakai diri sendiri.

Waktu tempuh dari desa perbatasan tempat Bina KKN yang biasanya memakan hampir dua jam itu dia libas dalam 45 menit saja. Itu semua karena satu percakapan pendek dari telepon ayah beberapa saat sebelumnya.

Keadaan Bunda ngedrop lagi, Anak Cantik ... setelah upacara kamu bisa langsung datang ke RS kan? Ayah takut ini waktunya ... ah. Nggak. Astaghfirullah. It's okay, Nak. Bunda bakal baik lagi. Insya Allah.

Setelah ayah menutup sambungan telepon, Bina nekat bolos dari upacara penutupan KKN sekaligus penarikan mahasiswa UNJ dari desa. Di pikirannya hanya ada Bunda.

Terakhir kali dia bertemu wanita nomor satu yang paling dicintainya itu, Bina ingat dia berpamitan pada sang Bunda sebelum berangkat KKN. Gadis itu menyalimi tangannya yang kurus, mencium pipinya yang tirus.

Bunda memang sudah keluar masuk RS sejak beberapa minggu belakangan. Keadaannya yang berangsur lemah dari bulan ke bulan itu dimulai ketika Bina lulus SMA. Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang diderita Bunda selama bertahun-tahun Kembali timbul, dan kali ini jauh lebih parah.

Selebihnya, kejadian di rumah sakit itu bermain di benak Bina Bagai putaran film klasik tanpa suara, tanpa warna. Semuanya bisu dan tampak hitam-putih. Mata ayah yang sembab, keluarga besar yang berdatangan, pintu ruang rawat yang terbuka dan tubuh Bunda yang ditutupi kain hingga pucuk kepala.

Setitik air mata menetes di pipi halus Sabina.

"Bin?"

Sebuah suara membuat gadis itu buru-buru mengusap wajah dengan punggung tangan. "Ya?" ucapnya.

"Nih." Sebuah gelas kertas tersodor di hadapan wajah Bina.

"Dipa," sapa Bina seraya mengambil suguhan itu—ternyata isinya kopi susu. "Keluarga Rani udah dateng belum?"

Sudah 45 menit mereka menunggui Rani, yang sedang sibuk kontraksi di biliknya. Sesekali, terdengar suara Rani yang biasanya tenang dan kalem, berubah menjadi pekikan istigfar, seruan takbir, dan jeritan tertahan.

"Lagi otewe katanya. Lo nggak papa? Muka lo kayak orang tertekan gitu."

Sebagai jawaban, Bina hanya menggeleng.

"Aku cuma mau Rani cepet baik-baik aja," ucap Bina sambil menghidup kopinya. Serangan kafein ringan dan aroma hangat itu membuat Bina menjadi lebih tenang. Bau antiseptik tergantikan dengan bau kopi.

Dipa tampak membuka mulut untuk mengucapkan sesuatu—mungkin kalimat menenangkan—namun buru-buru mengatup lagi ketika melihat seseorang yang berdiri di belakang Bina. Suara langkah yang terpantul di langit-langit lobi itu menunjukkan sang empunya kaki mengenakan sepatu pantofel.

Bina ikut menoleh ke belakang.

Di sana, sudah berdiri Banu yang menggenggam segelas kopi di tangannya. Tatapan Bina dan Banu bersirobok seketika. Seseorang menyusul sedetik kemudian, tampak berjalan terburu-buru dan diiringi segerombolan pria-wanita paruh baya.

"Pranadipa!" panggil lelaki asing itu. Perhatiannya tertuju lurus pada Dipa. Bina memperhatikan lelaki itu sejenak.

Tubuhnya tinggi semampai dengan kemeja yang dikancing sempurna, celana kain, dan juga rambut yang ditutupi dengan kopiah. Tampak sekali dari penampilannya bahwa lelaki ini adalah seorang yang religius.

"Rani di mana?" Lelaki itu lanjut melontarkan pertanyaan pada Dipa.

"Oh, ada di dalam, Mas Rayhan. Mari saya antar," ucap Dipa dengan nada yang cukup sopan untuk ukurannya, sembari menuju ke ruangan tempat Rani menunggu.

"Oke," balas lelaki asing itu, kemudian ia menoleh pada Banu, "Bahari, saya masuk duluan ya. Terima kasih sudah membantu. Kamu juga, Pranadipa. Dan ...." Pandangan lelaki itu berhenti sejenak ke arah Bina. Dia seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Terima kasih juga, ya," gumamnya pada Bina. Gadis itu hanya mengangguk tanpa tau harus membalas apa. Boro-boro bicara, kenal sama lelaki itu saja tidak.

Dan sesaat setelah lelaki asing dan Dipa berlalu, Bina memberanikan diri menatap Banu.

"Itu tadi suaminya Rani, ya?" tanya Bina dengan hati-hati. Dia bisa melihat dengan samar bahwa mood Banu sedang tidak begitu bagus.

Banu menjawab dengan anggukan. Matanya tertuju pada gelas kopi yang sudah bertengger di tangan Bina. Tersirat kekecewaan di matanya.

"Kamu kenal sama suaminya itu? Kayaknya Dipa juga kenal sama dia. Aku doang nih keliatannya yang nggak kenal ... baru pertama liat malahan," komentar Bina.

"Bukan yang pertama," sanggah Banu. "Kita pernah ketemu dia di lomba debat Bahasa Inggris waktu kelas satu. Kamu nggak ingat?"

Bina mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat. Beberapa detik sebelum akhirnya gadis itu menggeleng. "Nggak inget."

Banu hanya tersenyum tipis sambil mulai berjalan pelan ke arah ruang tunggu. Bina otomatis membuntuti. Pembicaraan mereka belum selesai.

"Ban, seriusan ih, masa iya kita pernah ketemu sama Mas yang tadi?" cecar Bina dibumbui penekanan. Kepo akut membuat gadis itu sedikit lupa akan flashback ingatan menyakitkan yang sempat timbul ke permukaan tadi.

"Masa iya sih kamu lupa? Dulu dia sempat nggak terima karena kamu motong argumennya yang bawa-bawa kitab suci. Katamu nggak valid buat debat, waktu itu. Nyalahin aturan, malah."

"Hmmm ...." Bina mencoba menggali memorinya. Rasa ingin tahu kadang bisa membuat frustasi jika tidak dituntaskan.

"Dulu dia ngira kita pacaran," lanjut Banu, membuat lawan bicaranya seketika terbatuk-batuk.

"Uhuk-uhuk!" Kopi yang disruput Bina turun dengan salah di tenggorokannya.

**

Hari itu dihabiskan Bina menjalani konsultasi informal menyangkut progres skripsinya bersama Banu, di ruang tunggu rumah sakit. Proses persalinan Rani sudah memakan waktu empat jam, namun belum ada tanda-tanda teman seperjuangan Bina itu akan sah menjadi seorang ibu. Belum terdengar suara tangisan bayinya.

Bina sesekali mengetikkan sesuatu di ponsel, sementara Banu memberi catatan tangan pada draf skripsi yang dipangkunya—hasil revisian Bina.

"Asyik banget kayaknya. Chat sama siapa? Si Dipa-Dipa itu bukannya ada di sini, ya?" Suara Banu mengusik konsentrasi Bina.

"Ha? Kok Dipa? Ini aku chat-an sama Leda," papar Bina sambil menunjukkan sekilas layar ponselnya. "Dasar posesif," gumam gadis itu kemudian. Banu sepertinya dengar, namun memilih untuk tersenyum saja.

"Keponakannya Pak Adi itu, ya? Udah aku kira kamu bakal gampang akrab sama dia."

"Hm? Kenapa?" Perkataan Banu barusan sukses menyita perhatian Bina.

"Kalian mirip," jawab Banu pendek.

"Mirip dari mananya? Dia mah modelan cewek cottage tapi otaknya NASA, sementara aku, tinggal di kota tapi otaknya—"

"Sama-sama cerdas," potong Banu. "Lihat, ini buktinya. Kamu bisa loh."

Sang Dosbing menyerahkan lembaran draf skripsi itu pada Bina, menunjuk pada satu halaman dengan beberapa sub-bab yang dilingkari, dan kalimat-kalimat yang digarisbawahi.

"Improvement kamu lumayan di tulisan ini. Bener kan, data nggak pernah bohong."

Komentar Banu barusan sukses membuat senyum Bina merekah, semringah. Tak pernah terpikirkan sama sekali bahwa teman lamanya itu—yang kini telah menjelma jadi dosen muda berhati dingin itu—rela melontarkan pujian.

"Tapi," Banu melanjutkan. "Draf kamu ini masih harus direvisi lagi. Semangat, ya. Memang begini prosesnya. Revisi berkali-kali."

"Yah ...." Senyum Bina langsung sirna.

Baru saja Bina hendak melayangkan protes, perhatian mereka sudah teralihkan oleh kehadiran Dipa.

"Udah keluar!" ucap Dipa lantang.

"Hah? Maksudnya udah lahir bayinya?" balas Bina.

"Iya!!"

Dan begitu saja, ketiga manusia itu—Bina, Banu, dan Dipa—beranjak meninggalkan ruang tunggu.

**

Bayi itu mungil, merah, dan keriput seperti ubi jalar. Bina tidak mengerti kenapa orangtua bisa langsung cinta pada anaknya yang baru lahir. Instan saja, begitu. Namun ketika Bina menatap Rani dan Rayhan, rasanya dia bisa mengerti. Ekspresi wajah mereka tidak bohong. Senyum yang tulus terpancar, tak henti-hentinya menyebut hamdalah dan menimang-nimang si bayi.

"Perempuan, ya?" Suara Banu membuat Bina menoleh. Lelaki itu berdiri tepat di belakangnya, ikut mengintip dari jendela kaca kotak ke dalam ruang bersalin.

"Iya, cewek," balas Bina.

Setelah hening beberapa detik, tiba-tiba Banu berujar, "Kamu masih ingat lagunya Stevie Wonder yang dulu kita review pas pelajaran Bahasa Inggris kelas satu, nggak?"

Bina menoleh kembali, kali ini menyambut Banu tepat di hadapannya.

"Isn't she lovely?" ucap Bina, mengucapkan judul lagu sekaligus kalimat pertama pada liriknya. Banu tersenyum, mengangguk, lalu melanjutkan lirik lagu tersebut dengan nada.

"Isn't she wonderful..."

Bina tersenyum ragu, namun tak ayal menyahut juga.

"Isn't she precious?"

"Less than one minute old." Bina tertawa tipis mendengarkan Banu menyelesaikan potongan lirik itu, tak sadar lelaki itu menatap bergantian, antara keluarga bahagia Rani-Rayhan, untuk kemudian berlabuh pada Bina. Dengan tarikan napas, Banu berusaha menyembunyikan degup jantung yang kumat lagi.

"Kamu ... masih takut punya anak, Bin?"

Bina tercekat mendengar pertanyaan itu. Pasalnya, Bina tidak pernah menceritakan pada siapapun bahwa dia agak ... anti merasakan sakit, melahirkan, dan meregang nyawa di rumah sakit. Heck, Bina sendiri saja baru sadar kalau rasa ogah itu bisa disebut ketakutan. Selama ini secara insting saja dia menghindari, tanpa pernah menilai diri.

"Apa yang membuat kamu berpikir kalau aku takut punya anak?" pungkas Bina.

"Hari ini muka kamu mendung banget, dari tadi aku lihat kamu banyak melamun juga. Terus aku ingat, Rani pernah cerita kalau waktu itu kalian ngobrol masalah kehamilan. Dia bilang ekspresi wajah kamu itu kayak ... takut, gitu. Ngeri, katanya."

Penuturan Banu membuat Bina menggeleng seketika. Tawa tipis keluar dari mulutnya. "Bisa aja si Mahmud. Terlalu peka."

"Mahmud apa, sih?" tanya Banu.

"Mamah Muda. Anyway, nggak. Aku nggak ...." Bina tidak menuntaskan kalimatnya. Sejujurnya, dia sendiri tak yakin ingin menyangkal. Tapi mengiyakan juga dirasa tidak tepat. Bina tidak suka terlihat lemah.

"Aku nggak tau, masalah punya anak itu ... jauh. Belum kepikiran," ucap Bina akhirnya. "Lagipula, bukan masalah itu, kok. Aku cuma ... keinget Bunda. Karena ini, rumah sakit."

"Ah, I see ..." Banu mengerjapkan mata. Otaknya berputar untuk merespons suasana yang mulai biru ini. Dengan perlahan, dia mengelus pundak Bina. "Are you okay?"

Bina menatap lelaki itu. Hatinya terasa hangat. "I am, now."

Banu mengangguk puas. "Oke kalua begitu. Anyway, balik ke topik takut punya anak, tadinya aku ngira itu alasannya kamu nggak punya-punya pacar lho, Bin," ujar Banu dengan nada menggoda. Tampaknya dia sengaja ingin menglihkan duka Bina.

Dan benar saja, gadis itu tersenyum geli akhirnya. "Apaan sih, kok nyambungin ke situ? Kamu sendiri gimana? Suka gonta-ganti pacar, ya?"

"Aku nggak pernah pacaran," balas Banu dengan yakin.

"Hm, right. Terus si Oliv-Oliv itu gimana?" ucap Bina dengan nada menyindir. Mendengar celetukan itu, Banu lantas tertawa lepas. Tanpa sadar lelaki itu melingkarkan lengannya di bahu Bina.

"Dasar posesif kamu, Bin," bisik Banu ke belakang telinga gadis itu.

Pipi Bina bersemu seketika, tampak jelas dia kalah telak karena kata-katanya 'dipinjam' Banu untuk dijadikan senjata makan tuan.

"Berisik!" Bina memukul dada Banu dengan punggung tangannya, membuat lelaki itu semakin terbahak.

Di tengah-tengah tawa mereka, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Rayhan berdiri di sana.

"Eh, Mas Ray. Gimana? Aman semua?" tanya Banu tanpa melepas rangkulan tangannya dari bahu Bina. Rayhan tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban.

"Alhamdulillah, ibu dan bayi sehat. Ayo, Mas Bahari dan istri, saya doakan segera nyusul ya," ujar Rayhan.

Mendengar itu, Bina sontak ternganga, sementara Banu tersenyum sopan dan balas mengangguk, seraya mengucapkan kata 'iya'.

What the heck, sialan kamu Banu!

**

[1766 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro