32 · Prasasti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ditundanya sidang Rani membuat grup Di Ujung Tanduk harus menunda selebrasinya sementara waktu dan menggantinya dengan merayakan hal lain, yakni kelahiran putri pertama sobat seperjuangan mereka itu.

Otomatis, ini memberi Bina dan Dipa suntikan semangat positif yang susah dijabarkan, sebab salah satu dari teman mereka, Rani, telah melangkah menuju tingkat selanjutnya dalam arena hidup. Rasanya kalau tidak cepat-cepat, mereka akan tertinggal.

Bina jadi ingat, kata almarhumah Bunda, hidup itu ada 'arena'-nya. Arena saat kamu masih sekolah, dengan hak dan kewajiban sebagai siswa. Nanti kalau sudah kuliah, katanya kurang lebih sama, tapi lebih susah sedikit. Setelah itu, arena berikutnya ada macam-macam.

Ada yang masuk dunia kerja, ada yang menikah, ada juga yang nganggur parah. Bagi Bina, dua dari tiga hal di atas sedang dijalaninya. Bukan menikah, yang jelas. Bekerja dan menganggur dalam waktu bersamaan. Freelance rasa pengangguran.

Lucunya, multitasking ini Bina lakukan bersamaan dengan karir kuliah yang belum kelar. Alhasil, molorlah semuanya. Bina telah melalaikan arena perkuliahannya dengan sukses, membuatnya harus menyelesaikan dengan terseok-seok kewajiban akhirnya.

Setidaknya, itulah yang berlaku dalam kehidupan Bina beberapa bulan lalu.

Kini, sepertinya kurang-lebih sama, namun yang membedakan adalah Bina lebih punya tujuan mulia. Sebuah kewajiban yang membuat gadis itu kini rela menunggui ayahnya—Pak Santo, yang sedang sibuk berkutat dengan rekan-rekannya di situs Candi Angen—sementara Bina ikutan (sok) sibuk berkutat dengan laptop usangnya di posko-gubuk beratap terpal. Alisnya terpaut, tanda konsentrasi.

Sebenarnya Bina merasa agak kesal, karena secara tersirat dia sudah di-PHP oleh Banu. Pasalnya, Banu sudah memujinya seakan-akan draf Bina sudah layak cetak bendel.

Namun kenyataannya, sudah tiga kali sesi revisi bersama dosen muda tersebut dan naskah skripsi Bina tidak kunjung di-ACC juga.

Selalu saja ada kesalahan kecil yang harus diperbaiki, atau penemuan data baru yang relevan sehingga sayang kalau tidak dimasukkan. Sial.

"Serius sekali, Cantik? Kita makan dulu, yuk. Pak Usman beliin kita nasi padang loh." Suara Pak Santo menyapa Bina yang sedang fokus.

Gadis itu hanya menjawab dengan gumaman serupa 'mmm' sementara jarinya tak berhenti menari salsa.

"Bina," panggil sang ayah sekali lagi.

Kali ini akhirnya Bina mengalah. Gadis itu mengangkat wajah dari depan layar laptop, menyambut tatapan Pak Santo.

"Iya, iya." Bina bangkit dari duduknya.

"Ayah senang sih lihat kamu rajin, cuma jangan terlalu diforsir gitu ya, Nak? Ayah takut kamu sakit."

"Iya," ucap Bina sebelum melangkah menuju meja kayu, tempat beberapa anggota tim ekskavasi beserta Pak Usman sudah berkumpul. Bungkusan nasi padang sudah mulai diedarkan.

"Eh, ada Neng Sabina. Gimana revisinya, aman?" Pak Usman menyambut kedatangan Bina dengan sebuah pertanyaan mujarab. Untungnya Grafolog ahli itu mengimbangi ke-menyebalkan-an pertanyaannya dengan suguhan nasi padang, sehingga Bina tidak jadi kesal.

"Aman kok, Pak," jawab Bina sambil duduk dan mulai makan.

"Nggak ada masalah besar, kan?" Kali ini Pak Santo yang bertanya, sembari membantu Bina membuka bungkusan nasinya.

"Nggak ada, Ayah. Palingan se-level ikan teri semua."

"Kecil-kecil, ya?" lanjut ayah Bina.

"Iya, kecil tapi tak terhitung." Jawaban itu membuat mereka tertawa.

Itulah pembahasan terakhir yang menyinggung tentang skripsi Bina. Obrolan selanjutnya mengalir dengan fokus bahasan temuan prasasti yang berhasil mereka gali pada proyek ekskavasi kali ini. Bina pun sudah memboyong laptopnya ke meja makan, menggantikan bungkusan nasi padang yang sudah ludes.

Pak Usman yang merupakan Grafolog ahli itu juga berperan sebagai 'penerjemah' bagi timnya. Tentu saja, lelaki paruh baya dengan logat Sunda itu menjelaskan penelitiannya dengan menggebu-gebu.

Prasasti yang diterjemahkan oleh Pak Usman disebut berasal dari pertengahan abad ke-18, menceritakan tentang putri keturunan keluarga kerajaan Majapahit yang sudah tidak lagi menduduki takhta—namanya belum diketahui, sebut saja Putri Angen—yang dikirim untuk bersekolah ke Cina pada pertengahan abad ke-18.

Uniknya, meskipun merupakan keturunan keluarga kerajaan yang eksis pada masa kejayaan Hindu-Buddha, namun pada saat prasasti itu ditulis, Nusantara sudah memeluk agama Islam. Dan lucunya juga, pemerintahan yang berlaku saat itu adalah Kolonial Belanda.

"Lah kok bisa campur-campur gitu ya, Pak?" tanya Bina di tengah-tengah diskusi mereka dengan Pak Usman.

"Neng Bina teh orang sejarah, kan? Pasti tau lah garis waktu sejarah Indonesia, lengkap dari abad per abad. Nah dari situ teh Neng Bina bisa tarik kesimpulan pasti kan, kalau semua unsur budaya luar itu saling mempengaruhi, saling berkesinambungan, sampai akhirnya jadi Indonesia yang sekarang ini—the ultimate wadah untuk segala budaya campur-campur. Hahaha."

Pas Usman tampak puas atas penjelasannya, sementara Bina tampak semakin berpikir. Konsentrasinya pada jendela Word yang sedang terbuka di layar laptopnya buyar sudah.

"Aku jadi penasaran sama si Putri ini. Dari yang tadi Pak Usman jelasin tuh, prasasti ini jadi kayak semacam buku harian pribadi Putri ini nggak sih? Dan itu kira-kira dibikin abad 18? Kayaknya ada yang salah deh ... harusnya abad belasan itu nggak lagi nulis pake batu, kan udah ada dokumentasi kertas. Prasasti itu jamannya kerajaan Hindu-Buddha, maksimal sampe abad 15-an."

Pak Usman yang ditanyai sontak tampak berpikir keras, sementara Pak Santo, ayah Bina, malah terkekeh pelan sebelum buka suara.

"Ini si Putri Angen kayaknya sengaja pakai cara yang unik, deh, Bina ... ketinggalan tiga abad dari masanya. Ibaratkan kayak kamu sekarang skripsian, Bin, tapi nulis buku harian pakai mesin tik."

Bina mengerucutkan bibir, mencerna pernyataan ayahnya yang seketika itu membandingkan dirinya dengan si Putri aneh pemahat prasasti.

"Ah, berarti mah si Putri-nya aja yang edgy kayaknya, ya Yah? Suka nyeleneh nyobain hal-hal yang nggak sezaman," komentar Bina akhirnya.

Pak Santo mengiyakan dengan patuh terlepas sebenarnya tidak terlalu paham apa itu arti 'edgy'. Baginya, yang terpenting sang putri mendapatkan jawaban yang memuaskan—persis seperti anak kecil, sebab di mata Pak Santo, Bina selalu menjadi gadis kecilnya.

Percakapan mereka berlanjut selama beberapa saat, sampai sebuah mobil Jeep berderu mendekat dan berhenti di lapangan parkir dekat situs ekskavasi itu. Banu turun dari pintu kemudi.

"Nah, ini dia mantan calon mantu nomor satu sudah datang!" sambut Pak Santo ketika Banu bersalaman dengan mereka, membuat Dosen Muda itu tertawa renyah sementara Bina sontak langsung mencibir dalam hati. Dasar Ayah! Ge-er sendiri, ngerasa di-PHP sendiri, ngide pula ngasih panggilan aneh sendiri.

"Sudah makan kamu, Ban?" tanya Pak Santo setelah mempersilakan Banu duduk.

"Pun (sudah), Om," jawab Banu sopan. Matanya langsung tertuju pada Bina—pada laptop gadis itu. Senyumnya terkembang tatkala mengetahui Bina sedang menjalankan kewajibannya.

"Halah, sudah berapa kali dibilang, jangan panggil 'Om' lagi. Biasakan panggil 'Ayah', ya?" koreksi Pak Santo.

"Eh, iya, iya, Yah. Ini Bina sudah dari tadi di sini, ya?" Banu langsung mengutarakan tujuannya secara tersirat, membuat Pak Santo tersenyum paham. Sang ayah memang tidak terlalu suka pada lelaki yang bertele-tele.

"Iya ini, rajin sekali. Katanya suntuk kalau dikerjakan di rumah terus. Butuh suasana baru. Iya kan, Bin?" Pak Santo menyenggol lengan putrinya, yang langsung mendongak dari atas layar kaca.

"Hem. Iya. Mohon maaf ya Bapak-Bapak sekalian, ini sebentar lagi saya kelar kok revisinya, nggak perlu disamperin juga kali. Bikin makin panik aja tau."

Mereka pun kembali terbahak akan celetukan Bina.

"Maaf ya, Bin, terpaksa harus nyamperin untuk lihat progres kamu. Soalnya minggu depan itu ada libur panjang—long weekend karena tanggal merah. Takutnya nggak kekejar kalau belum di-ACC juga sampai minggu ini. Kita koreksi langsung aja sebelum kamu cetak dan setor ke Pak Pranoto, ya?" papar Banu membuat Bina menghentikan sejenak ketikannya.

"Ini serius, kan? Kamu nggak nge-prank, kan?" Bina memandangi draf skripsinya yang sudah jutaan kali direvisi, bergantian dengan wajah tampan Banu yang mengangguk. Rasanya Bina ingin memeluk lelaki itu seketika—tapi tentu saja dia menahan diri.

"YES! Finally di-ACC karena kepepet!! Makasih ya, Ban, ini aku kelarin sekarang juga deh. Kamu duduk dulu ngobrol sama Ayah sama Pak Usman—sampai mana tadi? Prasasti Putri Angen? Ya, ya, lanjut!"

Bina nyerocos sembari mulai melepas jemarinya menari di atas tuts keyboard. Banu terbahak sejenak sebelum akhirnya mencairkan obrolan dengan Pak Santo dan timnya.

Sepuluh menit berlalu. Tampaknya Banu malah semakin terlena dengan topik pembahasan mereka. Ekskavasi situs itu melahirkan dua peninggalan utama yang dirasa merupakan penemuan cukup besar pada tahun itu; candi dan prasasti.

"Lalu itu nanti prasastinya akan dikemanakan setelah diteliti, Pak?" tanya Banu pada Pak Usman.

"Setelah beberapa bulan diteliti, nanti kita setor ke museum nasional. Kemungkinan tahun depan baru bisa terbuka untuk umum, Mas. Ini juga candinya sama, kita beruntung sekali bisa jadi pihak pertama yang meneliti sebelum dibuka untuk publik," papar Pak Usman. Banu mengangguk tanda mengerti.

"Denger itu, Bina? Peninggalan kita yang ini masih aman, nggak diangkut sama kolonial ke Leiden."

Celetukan Banu barusan membuat Bina terpaku sedetik.

"Leiden?" gumam gadis itu. "Eh, itu kan ... Banu, kamu masih inget?" ucap Bina tak percaya.

"Nggak pernah lupa," jawab Banu seraya tersenyum.

Bina terenyuh seketika, mengindahkan percakapan orang-orang di sekitar mereka yang terus berlanjut.

Siang itu Bina menyadari sesuatu, bahwasanya kata-katanya satu dekade lalu ternyata telah membekas lebih dari yang terlihat di permukaan bagi Banu.

**

Pak Pranoto tampak sekali sedang dalam mood kebelet liburan. Terbukti saat Bina memberi salam ketika masuk ruang jurusan, sang dosen senior menjawab tanpa banyak ba-bi-bu mempermasalahkan keterlambatan Bina sekian lama.

Bahkan, Pak Pranoto menyambut draf skripsi Bina dengan uluran tangan tak sabar. Gadis itu tiba 45 menit setelah jam dua siang—seperempat jam sebelum jam PNS pulang.

"Ini langsung saya ACC saja. Kamu persiapkan surat-surat sidang ke akademik, cari tanggal dan konfirmasi ke dosen penguji," titah Pak Pranoto seraya menandatangani skripsi Bina tanpa sama sekali membacanya.

Bina sontak menganga, tak tau harus merasa senang atau miris. Pasalnya, Bina sudah berjuang mati-matian demi merevisi skripsi ini menjadi sesempurna mungkin—yang menurut hemat Banu, 'sepantas mungkin untuk bisa ditandatangani Pak Pranoto'.

Namun nyatanya, dibaca sekilas pun tidak! Bina jadi sangsi sendiri, diam-diam mencurigai taktik Banu yang sengaja meloloskan skripsinya dekat-dekat dengan waktu libur dadakan, sehingga bisa di-ACC tanpa banyak pertimbangan. Ah, lagi-lagi the power of kepepet. Sedih tapi patut disyukuri—semuanya jadi mudah walau sedikit underwhelming.

[Kamu sengaja ya?]

Bina mengirim pesan itu tepat setelah keluar dari ruang jurusan. Bel berbunyi, tanda jam kerja sekaligus perkuliahan sore hari itu berakhir sudah. Banu tidak ada di kampus, sehingga Bina memutuskan untuk mengirimkan pesan saja sebagai bentuk protes.

"Kok belom balik?" Suara Dipa membuat Bina menoleh seketika. Tak disangkanya cowok itu masih ada di kampus.

"Ermm, iya ini mo balik kok," jawab Bina sekenanya.

Wajar jika saja keadaan menjadi kaku di antara mereka. Selepas Rani melahirkan, Bina tanpa sengaja membatasi kontak dengan Dipa. Entah alasan jelasnya apa. Intuisi, mungkin?

Bagi Bina, hati itu seperti magnet—jika dekat dengan satu kutub, maka akan menjauh dari kutub lain. Jika ada Banu yang gencar mengisi hari-harinya, maka Dipa ....

"Balik sendiri?" Sial, maki Bina ketika mendengar pertanyaan itu.

"Iya, aku bawa motor," ucap Bina jujur. Untung si Beat sudah sembuh dari bengkel.

"Oh," ucap Dipa datar. Cowok itu baru saja hendak berlalu, namun Bina buru-buru mencegahnya. Gadis itu merasa harus menyelesaikan sesuatu.

"Dipa, tunggu ...," ucap Bina seraya maju selangkah. "Bisa kita bicara sebentar?"

Mendengar panggilan namanya, Dipa lantas melipat tangan. "Tentang apa dulu, nih? Tentang lo yang mulai ngejaga jarak sama gue, atau apa?"

Jleb. Rasanya dada Bina tertusuk belati. "I-iya ... itu." Tuntaskan saja, tak ada guna mengelak.

"Sebelumnya, mohon maaf ya, Dip, tapi em ... gimana ya ...."

"Gak usah maaf-maafan. Emangnya kenapa, coba? Kan gue udah bilang waktu itu, kalau gue nggak suka sama lo."

"I-itu—"

"Atau jangan-jangan lo yang naksir gue?" pungkas Dipa sebelum Bina sempat menyelesaikan kalimatnya.

Gadis itu sontak membeku. Apa-apaan cowok ini?!

"Eh, enak aja, jangan ngasal ya! Oke, bagus. Gini kan jelas. Kita tau sama tau kalau kita sama-sama nggak suka satu sama lain."

Bina berbalik badan setelah memuntahkan kata-kata itu. Tanpa diketahuinya, Dipa memandangi punggung gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Sendu di mata Pranadipa yang hampir tak pernah terlihat oleh siapapun.

Seolah merasa ada beban yang menahan langkahnya, Bina tiba-tiba berbalik kembali menghadap Dipa.

"Nggak, nggak," gumam gadis itu. "Kita nggak boleh udahannya kayak gini. Ini harus jadi kayak closure yang bener."

Dipa merespons kalimat itu—yang belum jelas tertuju padanya atau hanya sekadar Bina berbicara sendiri—dengan mulut menganga dan detak jantung yang menanti. Diam-diam cowok itu sebenarnya sudah mempersiapkan diri.

"Dipa, kamu itu teman yang baik ...." Bina memulai.

Dipa menggeram dalam batin. Kata 'teman' memanglah merupakan sebuah mantra ajaib yang membuat lelaki mana saja menjadi tak berselera hidup.

"... dan aku ingin sekali kita tetap berteman baik. Bisa?" lanjut Bina.

Dipa memetakan senyum di wajahnya, sesuatu yang jarang sekali dilakukan. Lalu detik berikutnya, cowok itu mengangguk.

"Oke."

**

[1996 Words]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro