[Belenggu] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam istirahat pertama. Kelas A 23 masih lengang. Murid-murid perempuan berseragam olahraga bergerombol di barisan depan kelas. Maklumlah, hari itu kelas 2 IPS 2 baru saja selesai pelajaran Olahraga.

Sementara itu, Saras berbincang dengan Adnan yang duduk di barisan belakang.

"Bay, kebetulan banget lo dateng."

Abay baru saja dari kantin membeli minum. Saat itu Abay tidak bergabung dengan murid laki-laki lain yang bermain sepak bola atau basket seusai pelajaran Olahraga.

"Kenapa gitu, Ras? Mo bahas soal reuni SD lagi? Gue udah bilang berapa kali kalo males," balas Abay selagi duduk di bangku kosong. Kini bangku itu sudah identik dengan dirinya setelah insiden bangku kosong kelas A 23 terpecahkan.

"Ini bukan soal reuni, Bay. Ini soal Eli."

Saras lalu bercerita padanya.

Elissa Rahmawati, berusia 17 tahun. Teman satu SD Abay yang terkenal ceria, ramah, dan murah senyum. Elissa juga dekat dengan Saras mengingat mereka pernah satu SMP. Saras lalu bercerita musibah yang menimpa keluarganya. Berawal dari kakaknya yang mengalami kecelakaan motor hebat lalu kini uanya juga tiba-tiba masuk rumah sakit.

"Kayaknya reuni gak bakalan jadi deh. Eli lagi kena musibah gitu," harap Abay yang enggan bertemu dengan mereka. Perlakuan buruk yang Abay dapat setelah lulus SD membuatnya tidak mau berhubungan lagi dengan teman-teman SD-nya—selain kedua sahabatnya dan Elissa.

"Bay, lo bisa bantu temenin gue ke sana pas weekend gak?"

"Kayaknya bisa deh."

"Oke. Gue jemput ke rumah ya."

Sabtu pagi, sekitar pukul 8. Abay baru saja mandi.

"Cie yang sekarang udah punya pacar. Pantesan jam segini udah mandi," goda Ressa selagi menyapu rumah.

"Apaan sih, Kak? Kak, motornya dipake gak?"

"Mau malam mingguan ya?"

Abay mencibir, "Kak Ressa mah. Orang mau ke rumah Elissa kok."

"Pulangnya jangan kemalaman. Lagi banyak razia."

Abay berjalan menuju kamarnya. Mulanya dia hendak mengabari Lenny untuk izin latihan hari ini. Namun, sebuah notifikasi pesan dari Lain mengalihkan perhatiannya.

Saras

hari ini

08.30
Bay, gue udah ada di depan.

Abay lalu mengambil helm dan kunci motor milik Ressa. Saras sudah menunggu Abay di depan pagar rumahnya.

"Ras, kenapa gak masuk?" tanya Abay sambil membuka pagar garasi.

"Sekalian moyan di depan, Bay. Tumben pake motor Kak Ressa."

"Mumpung motornya lagi nganggur," ucap Abay sambil memanaskan mesin motor.

Tanpa butuh waktu lama, keduanya bertolak meninggalkan Marga Asih.

Rumah Elissa berada di kawasan pusat kota, tepatnya di dekat Rumah Sakit Santo Benedictus. Keadaannya padat merayap terlebih di akhir pekan. Maklumlah. Jalur menuju rumah Elissa dekat dengan daerah wisata yang kerap ramai di akhir pekan. Untung saja, rumah Elissa berada di salah satu jalan tikus. Mereka bisa sampai lebih cepat ke rumahnya.

Deretan rumah besar banyak mendiami kawasan Imam Bonjol. Pohon-pohon tua tinggi menjulang menepis teriknya matahari dari lingkungan sekitar. Abay tertegun dengan keadaan rumah besar di hadapannya. Rumah berdua lantai itu memiliki pagar tinggi layaknya rumah-rumah modern. Bagian depannya masih memperlihatkan halaman luas nan asri dan fasad khas rumah era kolonial meskipun direnovasi.

Pemuda udik itu menelisik setiap senti rumah di depannya.

"Ras, beneran ini rumahnya Eli? Bukannya dia tinggal di belakang SD Rancabolang?"

"Itu rumah Kakeknya, Bay. Ini rumahnya."

"Terus ngapain lu ngajakin gue ke sini?"

"Feeling gue selalu gak enak pas nginep di rumah Eli. Dia pernah kayak ketindihan. Anehnya gue gak bisa liat apapun."

"Karma kali, Ras. Makanya. Jangan suka nge-prank orang sampe bilang 'ada setan di belakang gue' mulu!" ledek Abay.

Puas menertawai nasib Saras, pemuda keling itu bergidik. Gonggongan anjing di rumah sebelah Elissa membuatnya gemetar dan berkeringat dingin. Seekor anjing siberian husky yang baru saja bangun terus menggonggong di depan rumah.

Mitos soal rumah besar itu isinya hanya pembantu dan anjing memang benar adanya!

"Eli!" seru Saras dari depan pagar. Sementara itu, pemuda payah itu terus menarik-narik tangan Saras.

"Bay! Ngapain sih narik-narik tangan gue segala?"

Tangan Abay gemetar ketika menunjuk ke arah pagar rumah sebelah. "Anjing, Ras. Anjing!"

"Emang tetangganya Eli pelihara anjing kok. Ngapain takut?"

Selama ini Abay selalu mengalami pengalaman buruk berkaitan dengan anjing. Wajar saja bila dia ketakutan setengah mati.

Pagar rumah Elissa tidak terkunci. Saras membuka pagar rumah Elissa dan masuk.

"Ras! Tungguin!"

Sial. Anjing tetangga itu berlari mengincar Abay!

Saras melongo di dalam garasi. "Bay, lo gak—"

Kaki Abay terlalu gemetar untuk kabur. Anjing itu bersiap untuk menggigitnya. Tiba-tiba saja Abay mengerang. Anjing itu lalu kembali ke rumahnya. Abay kini terduduk lemas di tengah jalanan yang lengang.

Saras berbalik ke arahnya, "Gue gak nyangka lo setakut itu sama anjing. Gue pikir takut digigit doang."

Mereka pun memarkirkan motor di garasi rumah Elissa. Mereka berjalan mendekati pintu rumah. Sebuah halaman besar berada di samping garasi rumah. Bayang-bayang seseorang yang tengah membuka pintu. Itu Elissa, si empunya rumah. Gadis ayu itu terkikik di depan pintu.

"Kenapa sih, El?" tanya Saras.

"Jadian juga nih."

Untung saja Abay jauh lebih tertarik dengan besarnya rumah Elissa daripada masalah itu.

"Ini téh beneran rumah Eli? Gede banget!"

Saras menepuk jidat. "Bay, gak usah malu-maluin deh."

"Wajar kok kalo dia gitu mah. Abay belum pernah ke rumah, Ras," Elissa membelanya. "Masuk gih."

Sejak tadi Abay celingukan persis orang udik. Bagian dalam rumah tak kalah sejuk dengan keadaan di luar sana. Lantai hitam khas rumah era kolonial menyambut para tamu dengan hawa dingin menggigiti telapak kaki. Langit-langit tinggi masih tersisa meskipun bagian dalamnya sudah direnovasi. Matanya lalu berpindah dari deretan pigura foto keluarga ke semua hiasan di dalam rumah Elissa.

Cermin besar di atas wastafel menangkap bayangan hitam yang bergerak sekelebat. Abay mengucek kedua matanya. Bisa saja itu halusinasi yang kerap mengganggunya belakangan ini. Ternyata tidak. Bayangan hitam itu kini bergerak menuju dapur.

"Berhenti!"

Abay mengejar sosok itu yang mengarah menuju dapur.

"Bay! Ngapain sih tereak-tereak kek gitu sih?" Saras lalu mengejar Abay bersama dengan Elissa.

Sosok itu kemudian mengarah menuju pintu di samping dapur. Pintu yang tidak terkunci itu menyambung dengan halaman belakang rumah Elissa.

"Ngapain lu ada di sini, hah?" bentak Abay.

"Bay, éling, Bay!" pinta Saras.

"Si Abay kesurupan?" tanya Elissa.

"Kalo kesurupan, pasti ada hantu keliatan di sekitar badannya," jawab Saras.

Abay rentangkan kedua tangan menuju tembok yang mengitari halaman belakang rumah Elissa. Dia berjalan menuju sudut halaman belakang.

Seorang pembantu bertubuh gempal  tinggalkan kamarnya yang berada di samping dapur.

"Neng Eli. Siapa yang teriak-teriak?"

"Temen Eli. Gak tau dia kenapa, Ceu."

Elissa berdiri di samping Ceu Edoh. Saras lalu menghampiri Abay.

"Bay, éling! Lo gak usah bikin gue apalagi Eli malu!"

"Diam! Mau apa ke sini?"

Abay arahkan tangannya pada Saras. Tidak. Tangannya tertahan di depan Saras. Dia seperti menggenggam sesuatu.

"Bay! Gue tau lo belakangan ini kayak orang stres. Éling, Bay!"

"Diem, Ras! Kalo lu ngalangin, dia bakalan kabur!"

"Kabur?"

Sementara itu, di dekat pintu halaman belakang. Ceu Edoh mengajak Elissa untuk masuk ke rumah.

Selagi pembantu dan majikannya masuk, Abay terus menekan cengkeraman tangannya. Bunga es merambat di sekitar telapak tangannya lalu memadat.

"Siapa kau? Ngapain ganggu Elissa?"

Cengkeraman tangan Abay tiba-tiba memperlihatkan sesosok pemuda dengan leher yang membeku. Pemuda berjaket biru itu merintih memohon ampun.

"Lepaskan aku! Aku tak pernah bermaksud menyakiti keluarga ini!"

"Terus ngapain ada di sini, hah?"

Angin dingin bergulung-gulung menggoyangkan tiang jemuran di halaman belakang. Rumput halaman belakang nyaris tercerabut dari akarnya. Berulang kali Saras berusaha menghentikan Abay. Suaranya samar dengan angin ribut yang menghempaskan salju di sekitar.

Keadaan di depan matanya berubah menjadi bayangan serba hitam putih dan sedikit rusak. Sosok misterius itu tiba-tiba berubah menjadi Ayah di masa mudanya dengan rompi kevlar berlumur darah. Abay merintih kesakitan hingga sosok misterius itu jatuh dari genggamannya. Abay lalu tergeletak di atas hamparan salju yang lenyap seiring dengan berakhirnya efek jurus Distorsi Batas.

Ceu Edoh dan Elissa terperanjat dengan keberadaan dua orang yang terkapar di halaman belakang. Mereka membantu Saras membopong keduanya ke ruang tamu.

"Makasih," ucap Abay. Kepalanya pening setelah kejadian tadi.

Saras kemudian memeriksa kondisi pemuda berjaket biru yang teramat pucat. Ia masih menggigil meskipun es di lehernya mulai mencair.

"Bay, lo apain dia sih?"

"Ras, dia," darah memercik dari bibir Abay. Elissa lalu mengambilkan tisu dari meja ruang tamu.

"Gak apa-apa, Bay?"

"Makasih, El."

Saras masih duduk di samping pemuda berjaket biru itu.

"Sori kalo Abay bikin lo kayak gini. Belakangan ini dia emang agak stres. Makanya kadang gak bisa ngontrol dirinya."

Pemuda berjaket biru itu berusaha duduk. Ia terus menoleh pada orang-orang di sekitar ruang tamu.

"Ceu Edoh, tolong bikinin teh manis!" pinta Elissa.

"Iya, Neng."

Pemuda berjaket biru itu bertanya-tanya, "Kenapa kalian bisa melihatku?"

"Dia itu golongan lelembut, Ras," timpal Abay sambil terbatuk-batuk. Lagi, darah masih memercik dari mulutnya.

"Laki-laki berjaket merah itu benar-benar mengerikan. Badanku sampai nyaris mati rasa seperti ini."

Ceu Edoh lalu datang dengan empat gelas teh manis hangat.

"Minumlah," ucap Elissa. Pemuda itu tersipu selagi meminum teh di depannya.

"Siapa kau? Apa lu mau ganggu Eli?" tanya Abay.

"Aku Yanuar. Makhluk halus yang tinggal di sekitar sini. Aku ke sini justru ingin memperingatkan pemilik rumah ini."

"Memperingatkanku? Kenapa?"

"Ada orang jahat yang ingin menghancurkan keluarga ini dengan guna-guna."

Orang-orang di ruang tamu tersentak dengan perkataan Yanuar.

"A-Aku gak ngerti. Guna-guna? Apa salah keluarga kami? Keluarga kami gak pernah nyinggung orang lain," ucap Elissa.

"Guna-guna itu juga menempel di tubuhmu. Aku hanya bisa memperingatkan itu."

Teh di gelasnya habis. Yanuar berusaha untuk bangkit. "Terima kasih atas kebaikannya. Aku permisi."

Yanuar pergi meninggalkan rumah lalu lenyap begitu saja. Sementara itu, Saras berpindah menuju sofa tempat Abay berada.

"Bay, lo masih kuat?"

"Gue gak apa-apa," tapi pemuda itu jatuh sesaat setelah berdiri.

"El, nitip motor ya. Besok diambil kok."

"Saras mau pulang sekarang?"

"Iya. Sekalian nganter si Dekil. Soalnya dia bawa motor, tapi badannya tepar kayak gini. Takutnya ntar pingsan di jalan."

"Minum dulu, Ras. Ceu Edoh udah buatin."

Setelah menghabiskan teh manis, Saras menuntun Abay ke garasi. Mereka langsung pulang dengan menunggangi Mio hitam Ressa. Sejak tadi Abay terus mendekap tubuh Saras persis sepasang kekasih.

"Bay, bukannya lo gak bisa manifestasi? Terus gimana caranya lo bisa munculin Yanuar?"

"Gue juga bingung, Ras. Badan gue langsung lemes banget kayak gini."

Rangkulan tangan Abay benar-benar tidak bertenaga. Dia bersandar pada Saras sepanjang perjalanan menuju Marga Asih.

"Niatnya kita mau nengok Eli malah gue yang tepar."

"Soal guna-guna itu, gue rasa perkataan Yanuar emang ada benernya. Pantes indra keenam gue mendadak gak bekerja."

"Kita harus nolongin Eli. Kasian dia."

"Bay."

"Eli juga temen kita. Gue gak bisa biarin guna-guna mengganggu keluarganya."

NB:

Moyan itu kependekan dari "haneut moyan". Kata itu berasal dari bahasa Sunda yang berarti waktu antara pukul 7–8 pagi.

Biasanya orang tua jemur anaknya yang masih kecil jam segitu. Soalnya sinar matahari pada saat itu baik buat pertumbuhan tulang. Buat orang dewasa juga bagus soalnya bisa mencegah osteoporosis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro