[Belenggu] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saraswati Andriana, itulah nama gadis bongsor berusia 17 tahun yang baru saja turun dari motor trail-nya. Rambut panjangnya jatuh lemas setelah dia lepas helm full face-nya. Persis adegan iklan sampo dalam gerak lambat.

Saras terbilang anomali. Ketika sebagian besar orang tua membebaskan anak-anak gadis mereka, Saras tidak boleh sampai ke rumah lebih dari jam 7 malam. Pengecualian jika Saras kerja kelompok di rumah temannya atau terjebak macet.

Mami memang tidak kenal ampun dalam masalah peraturan terutama bagi Saras. Itu karena dia anak bungsu dari empat bersaudara—dan semua kakaknya laki-laki. Saras sering menginap di rumah teman atau Aki jika kondisinya tidak memungkinkan untuk pulang. Seperti halnya sekarang.

Rumah gedongan di wilayah Imam Bonjol sudah menjadi basecamp bagi dirinya. Rumah klasik bertipe 120 itu berdiri di antara deretan rumah dengan arsitektur populer di masanya. Daerah itu memang seperti mesin waktu yang menampilkan bentuk rumah berbeda dari masa ke masa. Mulai dari rumah era kolonial seperti rumah Elissa sampai modern minimalis pun berdiri saling berdampingan.

Hampir semuanya memiliki kesamaan: penghuninya tidak lain antara anjing dan pembantu rumah tangga.

"Itu anjingnya kenapa sih?" gerutu Saras.

"Mungkin lagi birahi," pungkas Elissa.

Hari itu dia menginap di rumah Elissa, teman satu SD-nya seperti Abay dan Adnan. Hujan deras sewaktu pulang dari markas Asosiasi memaksa Saras menginap di sana. Itu selain permintaan Elissa yang hanya berdua saja dengan Ceu Edoh, pembantu setia keluarganya. Kedua orang tua Elissa sedang menginap di rumah sakit. Kakak Elissa menjadi korban kecelakaan motor hebat di depan Lapas Kebon Waringin, Arcamanik. Kondisinya masih kritis setelah operasi tadi siang.

"Ras, emang gak bakal dimarahin di sekolah?"

"Abisnya gue capek jelasin soal nenek dari Mama yang keturunan bule sama guru BK. Ya udah mending gue warnain sekalian."

Hari itu Saras juga meminta Elissa untuk mewarnai rambutnya dengan henna. Saras sudah masa bodoh dengan hukuman guru BK karena warna rambut aslinya yang aneh. Antara merah dan cokelat. Tak ubahnya rambut jagung. Sejak kecil dirinya menjadi bahan ledekan karena masalah rambut di samping tubuh bongsornya.

"Bukannya dia marah pas tahu rambutmu kayak gini?"

"Dia malah angkat rambut kayak guru BK lagi ngerazia."

Hanya ada beberapa orang yang tidak pernah meledeknya karena masalah rambut. Salah satunya pemuda dekil yang juga teman masa SD-nya. Dia memang narsis, tidak tahu malu, keras kepala, suka merokok, maniak film, dan payah. Namun, pemuda itu ....

"Kepikiran soal Abay lagi?"

Saras menghela napas sesaat. "Aku kasian sama si Dekil. Belakangan ini Adnan bilang dia kayak kesetanan. Dia juga susah diajak cerita. Apa mungkin dia diganggu makhluk halus? Mana mungkin. Dia terlalu cemen buat ngomong sompral di tempat umum."

Tiba-tiba saja Elissa berhenti menyapukan kuas dengan pasta henna di rambut Saras.

"Eli?"

"Besok pagi langsung bilas ya, Ras," pungkas Elissa selagi membersihkan perlengkapan cat rambut di kamarnya.

Malam itu Saras tidur di kasur bawah kamar Elissa. Dengan penutup kepala transparan memperlihatkan rambut yang menghijau, gadis itu terpaku sebelum tidur. Belakangan ini Elissa sama anehnya dengan Abay. Gadis yang sudah tertidur pulas itu belakangan ini kehilangan cahaya di wajahnya. Tak ada lagi senyuman ramah yang melekat dari pribadi gadis itu.

"Eli kenapa? Apa mungkin gara-gara kakaknya batal tunangan terus jadi korban kecelakaan?" gumam Saras.

Gadis itu berusaha pejamkan mata, tapi terjaga dengan suara gaduh dari luar kamar Elissa. Bisa saja itu tikus yang lalu lalang di balik eternit.

Saras kembali memejamkan mata. Gonggongan anjing dari rumah tetangga Elissa membuatnya tak bisa tidur. Bulu kuduknya kini menegang. Keadaan di utara Kopo memang dingin di malam hari, tapi ini ....

Suhu di sekitar yang mendadak turun kadang menjadi pertanda akan keberadaan makhluk halus. Tiba-tiba saja Elissa sesak napas di atas ranjang.

"Eli!"

Gadis itu terus meronta-ronta dalam tidurnya. Saras berusaha untuk memeriksa keadaan sekitar. Aneh. Kenapa indra keenamnya tidak bekerja sama sekali? Tarikan napas Elissa semakin memberat. Saras lalu berlari ke kamar Ceu Edoh yang berada lantai pertama, tepat di samping dapur. Sayup-sayup alunan musik dangdut menyelinap dari balik pintu. Saras menggedor cepat pintu kamar Ceu Edoh.

Pembantu berkulit gelap dengan tubuh gempal terperanjat. "Neng Saras. Kunaon gedar-gedor kamar Ceu Edoh segala?"

"Ceu Edoh. Eli sesak nafas di kamar."

"Apa? Neng Eli gak bisa napas?"

Ceu Edoh mengambil tabung oksigen kecil dari kotak obat di dekat dapur. Keduanya langsung berlari menuju kamar Elissa. Elissa terus mengerang. Napasnya semakin menipis. Ceu Edoh lalu menempelkan tabung oksigen mini di wajah Elissa.

Sementara itu, Saras menoleh sekeliling. Semoga saja ini bukan perbuatan makhluk halus.

"Neng Eli, bertahanlah," ucap Ceu Edoh.

Mereka bernapas lega. Tarikan napas Elissa berangsur normal. Dia sudah melewati masa kritisnya.

"Makasih ya, Neng. Untung Neng Saras ingetin Ceu Edoh tadi."

"Justru Saras minta maaf. Adanya Saras malah ngeganggu Ceu Edoh yang lagi istirahat."

Sejak kejadian Jumat malam di rumah Elissa, pikiran Saras tidak karuan. Saras kembali ke rumah keesokan paginya. Seorang pemuda mencegatnya di garasi rumah sesaat setelah membuka helm.

"Abis nyalon, Ras?" goda seorang pria berambut cokelat yang memasuki garasi. Rambut merah bata Saras yang baru kering berkilau persis baru ke luar dari salon.

Pria itu Wildan, kakak ketiga Saras. Berbeda dengan kedua kakaknya, Wildan masih tinggal di rumah. Wildan mengajar sebagai guru Olahraga di SD sekitar Arcamanik. Alasan pengiritan membuat Wildan masih tinggal di sana.

"Siapa yang nyalon? Saras nginep di rumah Eli kok."

"Gimana kakaknya?"

"Masih kritis, Bang."

"Moga aja kakaknya Eli cepet sembuh," pungkas Wildan selagi menaruh uang di tangan Saras.

"Apa ini, Bang?"

"Bayar utang ganti kampas rem kemaren."

Begitulah Saras. Dia sering menjadi mekanik bagi ketiga kakaknya yang bermodal dengkul. Di antara mereka, Wildan lebih bisa diandalkan dalam melunasi utang. Wildan sering berutang pada Saras lalu membayarnya setelah gajian. Ketiga kakaknya sering memberi uang tambahan sebagai imbal jasa "memanfaatkan" adik perempuan mekaniknya.

Saras kembali ke kamarnya di lantai dua. Sesosok pemuda berkepala plontos muncul tiba-tiba dari balik pintu. Sebut saja si Botak. Saras lupa—dan sedikit tak peduli—namanya. Hantu budak cinta itu sudah tinggal di sana jauh sebelum keluarga Saras pindah ke Kopo.

Jika Saras tidak bisa mendeteksi keberadaan makhluk halus di rumah Elissa ....

"Woi. Ngapain ngelamun? Putus cinta?"

"Cinta-cintaan mulu. Emang gak ada topik lain, Bang?" cibir Saras selagi menaruh tasnya di kamar.

Lalu kenapa Saras masih bisa mengobrol dengan si Botak seperti biasa?

Indra keenam. Kemampuan yang melintasi batas kedua alam itu bisa menjadi berkat atau kutukan bergantung pada orangnya.  Para pemiliknya tak bisa menolak takdir itu. Mereka sebatas mengendalikannya agar tidak terjerumus dalam jurang kesesatan.

Indra keenam Saras belakangan ini sulit terkontrol seperti biasa. Kadang hal itu menyulitkan Saras menindak makhluk halus yang berbuat onar sebagai seorang cenayang.

"Bay, gue gak liat apapun."

"Beneran, Ras?"

Aba-aba dari Malika lewat alat komunikasi di telinga anggota unit Reserse mengabarkan keberadaan tuyul yang berkeliaran di kawasan Binong. Para cenayang unit Reserse tidak hanya menangkap satu, tapi selusin tuyul sekaligus.

Jika saja Malika tidak membawa detektor makhluk halus, kasus pencurian di Binong akan sulit teratasi. Untungnya selusin tuyul berhasil tertangkap berkat ide Andri untuk mengepung mereka di tengah gang senggol Binong—yang tak ubahnya labirin mini di pusat kota.

Tuyul-tuyul itu sudah tertangkap. Mereka terjebak dalam alat persis termos berwarna jingga yang berada di dalam tas, tepat di samping Abay.

Sejak tadi Saras terus menoleh pada pemuda keling, tidak. Pria berparas rupawan dengan rambut putih di jok belakang mobil dinas. Dia tertidur pulas setelah berlari membantu Jaka dan Andri menjebak selusin tuyul sekaligus. Sekuat-kuatnya lulur, serum vitamin C, bahkan air raksa, rasanya sulit membuat kulit Abay menjadi putih bersih. Bisa saja dia mendadak putih dengan guyuran cat tembok.

"Saras suka sama kedelai hitam ya?" goda Malika yang duduk di sampingnya.

"Saras cuman kepikiran soal Abay. Apa badannya udah agak mendingan?"

"Bener juga. Dia kenapa ya? Biasanya dia juga sebelas dua belas sama Kang Jaka."

Abay tidak pernah lagi menjadi pemuda berkulit gelap yang sama setelah insiden Cidurian. Keadaan Abay di depan mata Saras selalu menjadi orang asing, tapi tidak dengan foto. Abay masih pemuda hitam manis narsis dengan rambut hitam jabriknya.

Sore harinya, Saras lagi-lagi menginap di rumah Elissa. Dia masih duduk di ranjang kamar Elissa setelah mengganti baju.

"Gak makan, Ras?" tanya Elissa di dekat pintu kamarnya.

"Aku tadi udah ditraktir makan sama ketua tim Reserse," jawab Saras.

"Terus kenapa diem aja? Masih kepikiran soal Abay? Apa mungkin dimarahin Mami?"

Perkataan demi perkataan Elissa memudar di telinga Saras. Semua berganti dengan keberadaan bayangan hitam di belakang Elissa. Bayangan hitam itu lalu menyelimuti Elissa tepat di lehernya. Sontak Saras mendorong Elissa hingga tersungkur membentur dinding.

"Ras! Sakit tahu!"

Bayangan hitam itu lalu lenyap begitu saja dari sekitar Elissa. Langkah kaki gempal Ceu Edoh bergema hingga lorong menuju kamar Elissa.

"Neng Eli. Tadi téh suara gedebug apa di atas?"

Elissa membalas, "Aku tadi kepeleset dari kamar mandi, Ceu."

"Neng harus hati-hati. Jangan sampai Neng Eli juga sakit. Kasihan Bapak sama Ibu Neng Eli."

Elissa lalu bangkit menuju kamarnya.

"Ras. Kamu kenapa sih?"

"El, tadi ada yang ganggu lo dari belakang."

"Ras, ini beneran gak lucu! Badanku sakit banget. Gimana kalo sampai kenapa-napa?"

Kini bayangan hitam itu kembali muncul di dekat Elissa. Bayangan itu lalu membentuk sosok dengan senyuman mengejek di depan Saras sebelum akhirnya lenyap begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro