[Delusi] - 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pergi ke psikiater bukan berarti gila. Jika halusinasi terus berlanjut bahkan sampai mengacaukan panca indranya, Abay harus segera mendapatkan perawatan.

Sesosok siluman kera menculik para perawan di selatan Kopo. Asosiasi mendapatkan laporan dari salah seorang orang tua korban yang mengaku anaknya hilang sewaktu bekerja sif malam.

Setelah penelusuran Jaka dan Andri selama seminggu ini, akhirnya anggota Reserse berhasil menemukan sarang siluman kera. Seorang pria yang terindikasi melakukan pesugihan dengan memakan daging perawan turut berada di sana. Namun, Abay menjadi beban bagi rekan satu timnya yang meringkus siluman kera. Tidak hanya karena tidak bisa bela diri apalagi manifestasi.

"Bay!"

Saras menepikan Abay yang terjerembap di area bekas pabrik, selatan Kopo. Para anggota Reserse mundur sejenak dari TKP.

"Kenapa kau memaksakan diri seperti ini?" bentak Lenny.

Abay berusaha bangkit. "Aku gak apa-apa, Nyo—" dan kembali jatuh.

"Bay, mending Abang yang kejar aja tersangkanya. Lu di sini bareng Saras aja," bujuk Jaka.

"Terus siapa yang bantu lepasin korbannya?"

"Kalem, Bay. Ada aku sama Bu Lenny," timpal Andri. "Kamu istirahat aja."

Jaka dan Andri lalu menyusul Lenny menuju TKP. Saras duduk di samping Abay yang tak berdaya.

"Sori, Ras. Gue cuman bisa jadi beban," ucapnya lirih.

"Gak ada yang anggap lo beban, Bay."

"Tapi gue gak bisa bertarung kayak lu apalagi Bang Jaka."

"Abay yang gue kenal itu selalu ke-PD-an. Masa tiba-tiba minder kayak gini? Justru lo selalu berhasil nemuin petunjuk buat pecahin kasus."

Belakangan ini Abay sering merepotkan tim di lapangan. Ketika meringkus dukun santet di Cidurian, dia justru berakhir di Poliklinik Asosiasi. Ketika menangani kasus ini, dia mengacaukan rencana tim yang menyergap diam-diam. Abay terus berteriak histeris hingga tersangka berhasil meloloskan diri.

Darah. Sosok makhluk halus yang bersiap melahapnya. Mayat bergelimpangan di sekitar. Semua itu membuat Abay kehilangan akal sehat selama beberapa hari ini.

"Apa kau melupakan mereka?"

Kini suara berat misterius berbisik di telinga.

"Siapa di sana?" teriak Abay selagi menoleh sana-sini.

"Bay, mana mungkin ada makhluk halus yang ganggu lo," ucap Saras.

Keringat dingin tak hentinya membasahi jaket merahnya. Sesosok makhluk halus tiba-tiba muncul di belakang Saras. Jemarinya lentik dan sepanjang kepala manusia. Sosok bertangan sekurus batang bambu itu hendak mencekik Saras.

"Ras! Belakang lu!"

Gadis berambut merah bata itu berbalik. Abay terus meringkuk di lobi pabrik tempat mereka berada.

"Nyonya Lenny udah pasang pagar gaib di sekitar sini. Kalo emang beneran ada, pasti gue liat juga."

Keesokan harinya, Asosiasi berhasil menangkap pelaku dari kasus di selatan Kopo. Sementara anggota tim lainnya sedang dalam perjalanan dari TKP menuju markas Sektor Kopo, Lenny sengaja meminta Abay untuk menemaninya menemui salah seorang keluarga korban. Hal itu membuat Abay pulang lebih cepat.

Sesampainya di rumah, dia mendapati Trueno merah sudah terparkir di garasi. Namun, Ayah tidak ada di dalam. Bisa saja sedang pergi ke luar atau mungkin sedang di kamar. Toh pintu kamarnya tertutup rapat.

Abay beristirahat sejenak di sofa depan TV. Sejak tadi Abay terus mengemil tanpa henti. Tak terasa isi lima toples makanan di atas meja ruang keluarga ludes tak bersisa. Ayah membuka pintu kamarnya sambil membalas panggilan telepon.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak," pungkas Ayah selagi mematikan sambungan telepon.

Ayah duduk di samping Abay. "Nak, biar itu punya sendiri, kau harus berbagi pada orang lain."

Abay menaruh toples di atas meja. "Ayah mau?"

"Tidak. Ayah sudah makan tadi di kantor. Omong-omong. Tadi dokter menelepon Ayah. Hasil pemeriksaanmu sudah ada, tapi Ayah harus ke Kawali besok. Kau berangkat sendiri ke rumahnya ya. Nanti Ayah kirim alamatnya di WasApp."

Ayah memberikan lokasi tempat tinggal sang psikiater. Abay pergi sendiri dengan Go-Jack.

Kawasan Hegarmanah berada di utara Kopo. Keberadaan rumah-rumah dari era kolonial berjajar di sepanjang jalanan menanjak menuju rumah sang psikiater. Plang dokter berlatar putih berdiri tegap di halaman rumah nan asri. Layaknya plang di depan rumah Adnan, plang itu berisi jadwal praktik sang psikiater. Beliau hanya membuka praktik di rumahnya setiap hari Sabtu.

Hawa sejuk perbukitan mencubit Abay sesampainya di sana. Sentuhan modern mendampinginya dengan keberadaan kanopi dan pagar minimalis. Rimbunnya pohon kersen menyambut para tamu yang sampai. Rumah tua satu lantai di depannya lebih besar daripada rumah Lenny.

Seorang wanita paruh baya membukakan pintu dari dalam. Dua lapis pintu merintangi Abay untuk masuk. Salah satunya terbuat dari jalinan kawat yang bisa menghalau nyamuk. Wanita itu berdiri di balik pintu.

"Permisi, Pak Rachmatnya ada?" tanya Abay.

"Dek ada perlu apa sama Bapak?"

"Saya pasiennya. Ayah saya sudah janji dengan beliau kemarin."

"Mau berobat ya? Masuk, Dek. Ibu panggilin Bapak dulu."

Wanita itu pergi ke bagian terdalam rumah lalu mengantar Abay memasuki ruangan yang terkunci rapat. Sepertinya ruangan itu teehubung dengan pintu yang terkunci rapat di dekat garasi.

"Tunggu sebentar ya. Bapak lagi mandi."

Ruangan praktik sang psikiater berhias banyak perabot dari kayu jati. Klasik dan benar-benar senyaman di  rumah. Sebuah kursi dengan punggung yang melandai mengingatkan Abay pada kursi dalam film. Kursi seperti itu sering muncul dalam adegan pemeriksaan psikiater di film.

Sebuah pigura di atas meja mengalihkan atensinya. Pigura itu berada di samping papan pengenal dari kayu. Pasti itu foto keluarga sang psikiater dengan anak-anaknya. Namun, sosok anak-anak di dalam foto itu benar-benar familiar.

Ketukan tongkat kayu membuat Abay segera duduk di depan meja dokter. Sang dokter tersenyum dengan kedatangan Abay di dalam sana.

"Rajin sekali kau sudah datang," ucap sang dokter selagi mengambil jas putihnya yang tergantung pada gantungan di sudut ruangan.

"Takutnya macet, Dok. Apalagi sekarang weekend."

Sang dokter duduk di hadapannya. "Memangnya Nak Bayu tinggal di mana?"

"Marga Asih, Pak."

"Sulaeman atau by pass?"

"By pass, Pak."

"Jauh juga rupanya."

Sang psikiater lalu memberitahu hasil pemeriksaan Abay. Pemuda itu menunduk lemas.

"Harus minum obat ya, Dok?"

"Untuk sementara aku akan memberikanmu terapi. Aku harus memeriksa kondisi otakmu lebih lanjut. Aku juga tidak bisa sembarang meresepkan obat mengingat ada pasienku yang mengalami efek samping terbalik."

Psikiater itu lalu memulai sesi terapinya. Satu jam pun berlalu. Deru mobil bergema di dalam ruang praktik. Ketukan pintu seakan menghentikan sesi terapi yang baru saja usai. Psikiater itu membuka pintu ruang praktiknya.

"Paman. Tumben udah praktek."

"Paman juga kasihan sama anak ini. Dia datang pagi-pagi dari Marga Asih ke sini. Padahal janjinya jam 10 pagi, tapi datang sekitar jam 8."

Wanita itu memasuki ruang praktik. Suara itu sangat familiar. Begitu pula dengan aroma parfum vanila yang melekat di bajunya. Dia menoleh ke arah Abay.

"Lho. Abay? Sedang apa kau di rumah Profesor Rachmat?"

Abay tergagap-gagap di depan Lenny, seperti biasa.

"Dia itu pasien Paman. Kamu mengenalnya?"

"Dia itu bawahanku di Asosiasi. Belakangan ini dia memang bermasalah di markas," jawab Lenny.

"Paman, apa boleh aku bicara dengannya?"

"Silakan. Sesi terapinya sudah selesai."

Lenny lalu membawa Abay ke halaman rumah Profesor Rachmat.

"Nyonya kenal beliau?"

"Beliau itu orang tua angkatku. Kenapa kau tidak mengabariku kalau ke sini? Adrian bisa saja mencarimu di rumah."

"Maaf, Nyonya. Rencananya aku akan langsung ke rumah Nyonya setelah ini. Nyonya sendiri sedang apa di sini?"

"Aku hanya menengok Paman dan Bibi."

Namun, raut wajah Lenny berkata sebaliknya. Seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Apa mungkin berhubungan dengan permintaan di ruangan kerjanya beberapa waktu lalu? Entahlah. Abay tidak berhak ikut campur urusan orang lain.

Abay lalu pamit pulang. Lenny pun membalas.

"Sebaiknya kau istirahat. Aku akan mengabari Adrian kalau kau ke sini. Cepat sembuh. Orang-orang di Reserse sangat mencemaskanmu."

Ojek daring pun datang membawa Abay kembali ke rumah. Sebuah kejadian masa lalu muncul di depannya. Abay merintih di atas sepeda motor. Berbeda dengan sebelumnya, semua berubah menghitam setelah tangan kecil bergerak meraih badannya.

"Masih kuat, A?" tanya supir Go-Jack.

"Gak apa-apa, Pak. Ini cuman pusing karena kurang tidur aja," pungkas Abay dengan senyuman palsu.

Yo! Pika di sini. Aku mo cerita soal di balik layar bab ini.

Kok bisa ada efek samping terbalik? Penulisnya mengadi-ngadi nih! Idenya waktu aku perawatan untuk depresi di tahun 2016 silam.

Dulu aku sempet ke psikiater buat berobat. Lucunya aku berobat gak tuntas. Gak cuman karena orang tua menganggap masalah kejiwaan itu mitos (saat itu aku baru resign dari kampus karena sakit), tapi juga aku punya efek samping kebalik sama obat. Bukannya kondisiku membaik. Adanya aku malah tambah hiperaktif setelah dikasih obat penenang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro