[Delusi] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selapis panas tersisa di dahi Abay. Anehnya, panas itu tidak merambati bagian tubuh lain. Sepasang pelupuk mata berkedut sesaat sebelum tampakkan keadaan sekeliling. Paras seorang wanita muda, usianya sekitar 20 tahunan, dan rambutnya bergelombang tergerai semakin jelas seiring pupilnya memfokus.

"Bay?"

Perlu waktu beberapa saat untuk mencocokkan suara wanita itu dengan ingatannya. Ressa Rosalinda, usianya lebih tua empat tahun daripada Abay, dan sedikit cerewet.

"Kak Ressa?"

Mata Abay kembali kumpulkan informasi. Meja belajar di samping kanan dan poster Laura Basuki di dinding samping kiri. Ada sebuah pigura berisi foto tua di atas meja belajar dengan seorang wanita mendekap bocah lelaki bertopi gajah dan gadis perempuan kecil di sampingnya. Otaknya menyusun kembali rangkaian informasi lagi dan mengatakan dirinya berada di rumah.

"Ayah bilang kamu pingsan di sekolah."

Abay memfokuskan pandangannya. "A-yah pulang?"

"Iya. Ayah langsung pergi ke rumah Pak Suharso setelah membawamu pulang."

Pak Suharso. Nama tetangga yang tinggal di seberang gedung serbaguna RW 09, sekitar 10 meter dari rumah Abay. Anak tertuanya itu Adnan, sahabat Abay sejak TK. Seingat Abay, Pak Suharso itu seorang psikolog. Adnan pernah bercerita ingin mengikuti jejak ayahnya.

"Kak, berapa lama aku pingsan?"

"Kakak juga baru pulang. Kakak buatin makan ya."

Abay mengumpulkan tenaga menuju dapur. Ketukan antara pisau yang mengiris bahan-bahan dan talenan menjadi musik latar pengisi senja. Panci di atas kompor menguarkan aroma tumisan bawang dan kaldu yang membuat liur Abay menetes. Dengan bahan makanan seadanya di kulkas, Ressa menyiapkan makan malam. Ayah pun datang setelah hidangannya matang.

"Masak apa hari ini?" tanya Ayah selagi mengambil nasi.

"Cuman sayur sop sama sosis bumbu teriyaki," balas Ressa.

Lama sudah meja makan itu kosong. Hubungan ayah dan anak itu kini berangsur membaik. Jika saja Abay tidak mengenal Wira di masa lalu, mungkin perang dingin itu masih ada.

"Lain kali jangan memaksakan diri, Nak," ucap Ayah. "Banyak teman kantor Ayah yang pingsan setelah main futsal."

"Aku gak sakit kok!" balasnya bernada meninggi.

Bila Abay sudah seperti itu, biasanya itu pertanda ayah dan anak itu akan bertengkar lagi. Semoga saja mereka tak akan bertengkar.

"Terus kenapa sampe pingsan? Belum sarapan?"

Abay menunduk. Nada bicara Ayah datar. Namun, pikiran dan traumanya membuat pertanyaan Ayah menohok di telinga. Lidahnya terkunci rapat. Sejak tadi mata Abay tertuju pada piring kotor di atas meja.

"Ayah. Abay itu baru bangun. Badannya masih lemes gitu," bujuk Ressa.

Ayah tepuk bahu Abay. Sudah lama tangan kisut Ayah tidak sentuh putra bungsunya setelah pertengkaran hebat terjadi selama bertahun-tahun.

"Ayah tidak akan marah. Cerita saja."

Sejak tadi Abay menundukkan kepala. Tangan dan kakinya gemetar. Bayang-bayang itu begitu nyata.

"Darah. Kepala wanita. Belatung," Abay menoleh ke arah piring di atas meja. Kini kepala wanita dengan mata membelalak berada di atasnya.

"Tidak!"

Abay berlari menuju kamarnya. Ayah dan Ressa lalu menghampiri Abay yang gemetar di kamar.

"Nak?"

Abay dekap erat Ayah di kamar. "Ayah."

Keesokan harinya. Bayang-bayang akan kejadian itu membuat Abay menautkan diri di ranjangnya. Dia terus menarik selimut sambil sesekali mengintip dari baliknya.

"Bay, Adnan udah nyamper tuh!" seru Ressa dari arah dapur.

Adnan langsung memasuki kamar Abay.

"Bay, cepetan! Bentar lagi masuk," bujuk Adnan.

Abay membuka selimut yang menyelubunginya. Matanya membelalak. Sepasang makhluk halus muncul dari belakang Adnan. Jemarinya selentik pisau yang baru diasah. Sosok itu mengusap wajah Adnan lalu hendak menusuknya.

"Pergi!"

"Bay, kenapa?"

Angin dingin bergulung-gulung di sekitar Abay lalu memadat menjadi bongkahan es tajam yang mengarah pada Adnan. Dia lari tunggang-langgang menghindari tembakan kristal es bertubi-tubi ke arah dinding kamar.

"Kak Ressa! Tolong!" teriak Adnan selagi menuruni tangga.

Tembakan kristal es menancap di setiap anak tangga. Nyaris saja pemuda berseragam putih abu itu tergelincir dari tangga. Ressa tidak bisa menolong Adnan yang terus berlari menjauhi dapur. Ayah yang baru saja meninggalkan kamarnya berpapasan dengan Adnan di dekat piano.

"Adnan, kenapa? Di mana Abay?"

"Paman Wira. A-Abay."

Ayah berlari menuju kamar Abay. Bongkahan es tajam terus menghadangnya dari jauh.

"Nak, sadarlah!" seru Ayah selagi menggoyang-goyangkan bahunya. Bongkahan-bongkahan es di sekitar Abay terus mendekap ayahnya dalam gemetar.

"Ayah. Adnan ... aku takut."

"Ayah panggilkan Dokter Seno ya, Nak."

Sementara itu, Ayah menemui Adnan di lantai bawah rumah. Pemuda itu berdiri dengan harap-harap cemas.

"Paman. Abay kenapa?"

"Adnan duluan aja. Abay lagi sakit."

"Paman, aku pamit dulu."

Adnan lalu menyalami Ayah. Ayah lalu mengambil ponsel di tasnya.

"Halo, Pak GM? Ini Pak Wira. Maaf kalau saya tidak bisa datang untuk meeting hari ini. Saya izin dulu ke rumah sakit. Anak saya sakit. Nanti Bapak minta tolong sama anak buah saya buat kasih semua berkas-berkas pentingnya."

Setelah mendapat balasan dari atasannya, Ayah lalu menelepon orang lain. "Seno. Kemarilah! Abay sakit."

Sejak tadi Ayah duduk di sofa ruang keluarga sambil sesekali mengecek ponselnya. Tidak sampai satu jam Dokter Seno datang dengan wajah kusut. Ayah langsung mengajak Dokter Seno ke kamar Abay.

"Kenapa kau tiba-tiba menelepon sepagi ini?" Dokter Seno mengangkat stetoskopnya. "Abay bahkan baik-baik saja."

"Sepertinya kau benar soal hipersensitivitas itu. Sejak kemarin Abay bertingkah aneh. Dia persis orang yang sakit jiwa."

Abay terus menggulung dirinya dalam selimut. Badannya terus berkeringat dingin dan gemetar. Seno lalu memeriksa kondisi Abay dengan tenaga dalamnya.

"Wira." Tangan sang dokter turut gemetar.

"Kenapa denganmu? Belum sarapan? Ressa baru saja masak sambel goreng kentang di bawah."

"Bukan, Wira. Kadar energi negatif di dalam tubuhnya benar-benar tinggi. Jika manusia mengalami kondisi seperti ini, mulanya mereka akan mengalami delusi atau masalah kejiwaan lain. Lambat laun hal ini bisa menghancurkan setiap organ tubuhnya dari dalam."

"Apa tidak ada cara untuk menyelamatkannya?"

Jarum-jarum tembus pandang berwarna kemerahan melayang di atas tubuh Abay. Itu adalah manifestasi milik Dokter Seno. Dia sering menggunakan tenaga dalamnya menjadi jarum akupuntur untuk mengobati pasien-pasien dengan kondisi tertentu seperti Abay. Pemuda itu gemetar dengan deretan jarum yang mulai menancap di tubuhnya. Meskipun itu berasal dari tenaga dalam, cara kerjanya seperti jarum akupuntur biasa.

"D-Dok-ter!"

Abay meremas selimutnya. Pemuda itu mengerang sambil bergerak-gerak di atas ranjang.

"Bertahanlah. Aku hanya menekan energi negatif di tubuhmu."

"Seno. Hentikan!" bujuk Ayah.

Abay benar-benar pucat setelah jarum-jarum itu terlepas dari badannya. Jarum-jarum itu akhirnya pecah menjadi percikan cahaya.

"Maafkan aku, Wira. Aku bahkan tidak bisa menekannya. Kadar energi negatif itu semakin kuat sewaktu aku menekannya."

"Apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan Abay?"

Dokter Seno lalu menulis sesuatu di atas meja belajar Abay. Dia menyodorkan secarik kertas pada Ayah.

"Bawa surat pengantar ini pada beliau. Beliau itu dosen pembimbingku sewaktu kuliah."

Ayah gemetar dengan surat rujukan dokter di tangannya. "Dasar bodoh! Kau ingin membawa Abay ke rumah sakit jiwa?"

"Aku tidak yakin cara ini akan berhasil. Cara itu bisa menekan kadar energi negatif yang meluap drastis. Selain itu, aku ingin menyelesaikan masalah yang terjadi di antara kalian. Kondisi mental Abay mempercepat efek samping dari persebaran energi negatif di tubuhnya."

Rumah sakit jiwa? Tidak. Abay masih waras. Pemuda itu berulang kali menolak permintaan Ayah untuk masuk ke mobil.

"Ayah. Gak mau. Gimana kalo ntar badannya diiket terus disetrum sama disuntik kayak di film-film?"

Ayah hanya bisa mengurut dada dibuatnya. "Dasar bodoh! Film itu kadang melebih-lebihkan!"

Abay berusaha kabur dari garasi. Namun, tembok penghalang tembus pandang merintangi pintu yang terhubung dengan ruang keluarga. Ayah lalu menyeret Abay masuk ke mobil.

Cisarua. Daerah di samping Lembang itu tidak hanya terkenal dengan sayur mayur segar. Sebuah rumah sakit jiwa yang berada di sana menjadi tujuan mereka. Bukannya Abay sembuh dengan berobat ke sana. Adanya jantung pemuda keling itu nyaris copot karena ulah Ayah. Sejak tadi angka di spidometer berada di atas 120 dalam waktu singkat. Mobil tua macam apa yang bisa mengebut seenaknya di jalanan Padaleunyi?

"Mentang-mentang di jalan tol. Bawa mobil seenaknya," cibir Abay.

"Baru pakai NOS dimarahi," jawab Ayah yang begitu tenang mengemudi.

Pemuda itu terperanjat. "Ayah sih!"

Ayah menyetel lagu lawas untuk menyamarkan omelan Abay.

Mobil sedan tua berbodi mulus itu sebenarnya hasil modifikasi Ayah. Bodi boleh mobil tua, tapi mesin rasa mobil balap. Pantas Ayah sering memarahi Abay karena masalah mobil. Begitu pula dengan kebiasaan Ayah yang bolak-balik pergi ke Kawali mengurusi proyek apartemen kantornya dalam waktu singkat.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di Cisarua. Semua berakhir dengan kepala pening sesampainya di area parkir Rumah Sakit Jiwa Cisarua. Pelajaran hari ini: jangan pergi ke rumah sakit bersama ayah yang ugal-ugalan.

Lobi rumah sakit jiwa jauh lebih lengang daripada rumah sakit biasa. Tidak banyak orang yang duduk di lobi menunggu nomor antrean mereka. Ayah lalu pergi ke resepsionis.

"Permisi. Apakah hari ini Dokter Rachmat sedang praktek?"

"Dokter Rachmat?" resepsionis wanita itu memeriksa layar monitor di depannya. "Beliau sedang tidak praktek hari ini. Mungkin beliau sedang praktek di Rancabadak atau mengajar di kampus. Jika Bapak punya kontaknya, Bapak bisa janji langsung dengan beliau."

Abay benar-benar pingsan jika harus pergi ke rumah sakit, lagi. Untung saja jalanan dari Cisarua menuju Rancabadak menurun. Ayah tidak perlu tancap gas apalagi menggunakan NOS.

Rumah Sakit Rancabadak merupakan tujuan mereka selanjutnya. Resepsionis itu benar. Hari itu dokter rujukan Seno sedang praktik di sana. Ayah lalu membawa Abay ke poliklinik spesialis. Setelah mendapat nomor antrean, mereka lalu memasuki ruangan dengan papan nama menempel di pintu.

Prof. Dr. dr. Rachmat Soerapradja, Sp.KJ, Ph.D

Seorang pria paruh baya bermata teduh menyambut mereka di dalam sana. Pria itu membaca surat pengantar di tangannya.

"Rujukan dari Seno ya? Aku ingat dia itu salah satu mahasiswa bimbinganku yang rajin. Aku lupa dia angkatan berapa. Seingatku sekarang dia sudah jadi dokter yang sukses."

Abay belum pernah pergi ke poliklinik khusus Rancabadak, tapi nalurinya berkata tempat ini sangat familiar. Begitupun dengan psikiater di hadapannya. Sorot mata nanar terus tertuju pada psikiater yang berbincang dengan Ayah. Kemampuannya yang belakangan ini menghilang kembali membuat kepalanya berdenyut.

"Nak!" seru Ayah.

Keadaan ruang praktek psikiater lalu berubah menjadi lorong rumah sakit. Semuanya serba hitam putih, tapi tidak rusak seperti biasanya. Tangan mungil seorang bocah terus menarik-narik dirinya. Bocah itu berambut gondrong dengan poni menutupi mata. Dia juga mengenakan kaus oblong kedodoran yang lusuh.

Tepukan bahu mengembalikan Abay pada dunia nyata. Psikiater itu memicingkan sedikit matanya.

"Kasihan dia. Apa yang terjadi pada anak semuda ini?"

"Kurasa ini semua salahku. Aku benar-benar tertekan setelah kehilangan istriku. Aku sering melampiaskan amarahku pada Abay yang saat itu masih kecil," jawab Ayah.

"Masalah anak Bapak cukup menarik. Bisa saja semua halusinasinya bermula dari tekanan dan trauma di masa lalu. Saya tidak bisa sembarang meresepkan obat-obatan karena ini."

Dokter itu lalu menyodorkan formulir pada Abay. "Sebaiknya Nak Bayu mengisi formulir ini. Isilah dengan jujur untuk mempermudah diagnosis masalah yang Nak Bayu hadapi."

Abay menundukkan kepalanya. "Dokter. Apa boleh aku minta surat dokternya?"

"Surat dokter untuk ke sekolah ya. Nanti akan kuberikan," pungkas sang psikiater dengan senyuman lebar. Senyuman itu. Lagi, Abay meringkuk kesakitan. Pemuda itu pun jatuh dari kursinya.

Siapa sebenarnya psikiater itu? Apakah ada sesuatu di antara mereka di masa lalu?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro