[Awal Baru] - 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang sebenarnya belakangan ini muncul setiap saat?

Misteri keberadaan dirinya cukup membuat otak pas-pasannya—sebenarnya Abay hanya malas berpikir—mengebul. Ingatan dirinya belakangan ini tumpang tindih dengan sesuatu dari masa lalu yang belum jelas kebenarannya. Salah satu kunci dari ingatannya sangat dekat. Tidak. Faktanya tidak sedekat itu.

Malam itu Abay tidak kabur ke kamarnya seperti biasa. Dia duduk santai sambil mengunyah camilan dalam toples di sofa hijau limau depan TV. Ayah menonton berita di sampingnya. Tanpa ada ribut atau kabur seperti biasa.

"Apa ingatanmu sudah kembali?"

"Entahlah. Belakangan ini pikiranku terlalu kacau," jawab Abay sambil terus mengunyah.

"Ayah sering mendengar omelan Ressa soal kebiasaanmu begadang. Sebaiknya jangan lakukan itu."

"Ini bukan soal begadang. Aku cuman begadang nonton film pas libur sekolah doang!" sanggahnya ketus.

"Apa kau sakit? Besok Ayah akan panggilkan Dokter Seno ke rumah."

"Aku gak sakit kok. Aku penasaran dengan diriku di masa lalu. Apa aku ini ganteng luar biasa atau beda tipis kayak areng gini?"

"Seingatku, kau terbilang putih. Kau sering muncul di depanku dengan bertelanjang dada. Rambutmu juga putih. Aku lebih sering melihat rambutmu tergerai daripada diikat seadanya."

Rambut putih. Ciri-ciri itu persis dengan perkataan Saras.

Abay lalu kembali ke kamarnya. Dia mematung di depan cermin dengan bertelanjang dada. Otot-otot padat membungkus tubuh kurusnya. Badannya bidang dengan kulit hitam manis karena kebiasaannya berolahraga di luar dan latihan renang rutin.

Sebenarnya Abay memang tampan meski berkulit gelap. Tubuh manusianya mewarisi bakat ketampanan Wira. Tidak lama berselang, pemuda itu bersin.

"Kok gue bisa tahan gak pake baju seharian kek gini?" batinnya selagi mengenakan piyama. Pemuda itu lantas pejamkan mata untuk beristirahat.

Malam semakin larut. Pemuda itu kini terbuai dalam mimpi. Abay berada di sebuah tempat yang asing. Teriknya sinar matahari di atas kepala nyaris membutakan mata. Tidak ada pohon yang berdiri di dekat tempatnya berpijak. Angin dari arah hutan berusaha mendinginkan teriknya matahari yang membuat bajunya basah dengan keringat. Angin lembap itu persis angin di daerah gunung seperti kawasan Lembang.

Apa dia ada di gunung atau bukit? Sepertinya.

Hamparan padang rumput liar bersanding dengan ladang sayur mayur dan hutan di tanah yang terus menanjak. Sebuah rumah sederhana dari kayu dan anyaman bambu berdiri tegap di puncaknya. Dari sanalah pemandangan ladang dan hutan teramat jelas.

Rumah tagog anjing berdiri tegap di belakangnya. Abay sebatas tahu dari tugas Prakarya di sekolah. Nyaris tak ada lagi rumah di kampung dengan bentuk seperti itu lagi.

Seorang pria duduk sendiri di teras rumah panggung itu. Lumpur mengotori ujung celana dan kakinya. Angin sepoi-sepoi mengayunkan rambut hitamnya yang diikat rendah. Pria itu tersenyum ke arah Abay.

"Cari siapa?"

Abay menunjuk dirinya. "Paman bertanya padaku?"

"Siapa lagi yang kutanya selain kau?" pria murah senyum itu menggeser posisi duduknya. "Kemarilah. Pasti kau capek setelah jauh-jauh datang ke sini."

Pria itu sedikit aneh. Sejak tadi diam menikmati embusan angin.

"Di mana ini?"

"Rumah temanku. Aku menjaga tempat ini selagi dia dan anaknya selagi pergi ke sungai di bawah sana."

"Apa Paman tahu jalan pulang?"

Pria itu menunjuk ke arah hutan. "Jalanlah melewati hutan itu. Kau bisa menemukan jalan raya di dekat hutan."

Pria itu melambaikan tangan pada Abay. Pemuda keling itu berjalan melintasi hutan di dekat ladang. Belum sampai dirinya ke jalan raya, pagi sudah membangunkannya.

Denting mangkuk menandakan keberadaan pedagang keliling yang baru saja lewat. Keberadaannya saja menjadi pertanda Abay bangun kesiangan.

Sudah hampir sepuluh menit Adnan menunggu di depan rumah. Sesekali pemuda berponi klimis itu melirik jam tangannya.

"Gimana nih?" Adnan sesekali mengintip dari balik pintu pagar selebar motor di depannya. Tak lama kemudian, Abay muncul sambil menginjak sepatu begitu saja.

"Bay, sarapan dulu!" seru Ressa dari dalam rumah.

"Udah telat, Kak!" balasnya selagi membuka gembok. Pemuda itu lalu pergi setelah mengembalikan gemboknya.

"Jangan begadang mulu atuh, Bay! Gimana kalo kita ketahan di gerbang depan?"

"Sori, Nan. Semalem gue mimpi aneh. Tahu-tahu gue kesiangan."

"Pasang alarm atuh."

Abay membalas dengan tawa kecil. Keduanya langsung bertolak menuju SMA 29. Nyaris saja mereka tertahan di luar. Mereka sampai di sekolah lima menit sebelum masuk. Saras yang biasanya datang agak telat pun bertanya-tanya.

"Tumben dateng agak siangan."

"Pas gue samper, Abay belum siap," balas Adnan sambil menaruh tasnya.

Pikiran soal mimpi semalam mengalihkan Abay dari pelajaran di dalam kelas.

"Bayu, lagi putus cinta?" goda guru Sejarah di depan kelas.

"Gak, Pak."

"Coba jelaskan lagi yang Bapak ajarkan di depan kelas!"

Abay mengerutkan kening. "Apa?"

Kehidupan Abay berjalan normal seperti sebelum culinary night. Kadang tertidur di kelas. Kadang menjawab pertanyaan guru sambil senyam-senyum sendiri. Pergi dengan kedua sahabatnya ke kantin. Lalu ditambah pergi ke markas Asosiasi sepulang sekolah.

Tidak terasa sudah satu semester lebih dirinya terjebak dalam kekacauan berkat kedua matanya. Belum sedikitpun petunjuk mengenai Ibu yang datang padanya. Bahkan lewat sistem informasi Asosiasi sekalipun, petunjuknya hampir nihil. Itu hal yang bisa Abay lakukan seharian ini di markas Asosiasi Sektor Kopo.

Minggu ini minggu tenang bagi para cenayang. Setelah sebelumnya menangani kasus pembunuhan berantai dengan tersangka ibu dan anak, mereka bisa bernapas lega.

Jaka kembali duduk santai dengan headphone di kepala sambil menonton idol di depan komputer. Sesekali tangannya naik turun dengan lampu LED warna-warni seukuran ranting di tangannya sambil menyerukan yel-yel khas penggemar.

Andri si rajin berkutat dengan laporan di komputernya. Memangnya setelah kasus tuntas lantas selesai begitu saja? Tidak. Mereka harus membuat laporan untuk arsip kasus Asosiasi.

Malika berdiskusi dengan Saras soal katalog kosmetik di depannya.

"Teh, pake ini aja. Kosmetiknya bagus ke kulit," bujuk Saras.

"Lho, Saras seneng dandan juga?"

"Ya ... gak gitu sih. Cuman bisa dandan dikit-dikit," jawab Saras selagi tersenyum simpul.

"Aku aja cuman berani bedakan. Kata Bunda, cewek tuh gak boleh sembarangan pake make up. Nanti kulitnya jelek pas udah tua."

"Beneran, Teh?"

Malika mengangguk. Ekspresinya saat itu tak jauh beda dari anak SD yang baru masuk SMP. Keduanya pun bicara soal kosmetik sambil sesekali terkekeh.

"Kenapa kau terus membuka berkas lama Asosiasi?"

Aroma kopi yang baru digiling membuat Abay terperanjat. Pasalnya, Lenny tiba-tiba datang di belakangnya. Untung saja kopi di tangan Lenny tidak mengguyur wajah Abay!

"Iseng, Nyonya."

"Jika kau hanya ingin membuang waktu dengan mencari bahan gosip seperti Jaka, lebih baik kau ke ruanganku sekarang!"

Abay teguk liur. Langkah kakinya gemetar tatkala ikuti Lenny memasuki ruang kepala unit. Dia duduk di sofa putih yang kontras dengan tampilan klasik ruangan itu. Abay kadung gemetar saat bersitatap langsung dengan Lenny.

Apa atasannya akan kembali menjatuhkan hukuman karena tidak bekerja dengan serius? Tidak. Lenny sengaja membawa Abay ke dalam untuk meminta bantuannya. Dia langsung duduk di depan meja sambil menikmati segelas kopi hitam yang masih hangat.

"Belakangan ini aku selalu bermimpi buruk. Aku tidak pernah bisa mengingatnya jelas. Seakan-akan ada sesuatu yang hilang di kepalaku. Bisakah kau mencari tahu penyebabnya untukku?"

"Nyonya sakit?"

Lenny sesap kopi hitamnya. "Tidak. Bisa saja ini efek samping stres karena belakangan ini kurang istirahat."

Kemampuan Abay hanya bekerja jika kontak dengan pemicu kejadian selagi memikirkan hal tersebut. Namun, tak ada yang tampak sama sekali di depan mata.

"Kenapa?" tanya Lenny.

"Kok aku gak ngeliat apa-apa?"

"Coba kau ulangi lagi. Bisa saja kau tidak lihat."

Abay mencoba lagi untuk menyelidikinya. Lagi-lagi tidak ada yang muncul.

"Kenapa aku gak bisa ngeliat?"

"Kadang kemampuan seseorang akan tidak bekerja selagi ada masalah. Seperti halnya kau takkan bisa berpikir jernih bila putus cinta."

Abay termenung. Ini hari "normal". Tak ada lagi ingatan muncul tiba-tiba di depan mata sekuat apapun Abay mencoba. Kemampuan itu lenyap tanpa jejak setelah mulai terbiasa dan mampu mengendalikannya.

Hampir seminggu kemampuan Abay tidak muncul sesering dulu. Tidak ada lagi sakit kepala, gangguan makhluk halus, apalagi hal aneh. Untungnya minggu ini tidak ada kasus. Abay bisa latihan renang sepulang dari markas. Toh hanya butuh waktu 15 menit dari markas Sektor Kopo menuju kolam renang Centrum.

"Bayu, ke mana saja kau? Hampir dua bulan ini kau jarang kelihatan," tanya pelatih di tepi kolam.

"Aku kerja, Pak. Maaf kalo jarang latihan."

"Kupikir kau sudah keluar dari klub. Ya sudah. Bisakah nanti membantu klub sebagai official saat lomba? Itu pun jika kau tidak sibuk."

"Tidak masalah," pungkas Abay sebelum berlatih bersama anggota klub lain.

Jam kerja cenayang yang lolos dari jalur khusus mengikuti jadwal sekolah atau kuliah. Mereka hanya bekerja paruh waktu sampai lulus. Jam pulang mereka sama seperti cenayang lain yang pulang sekitar pukul 4 sore. Abay masih ada waktu untuk pergi berlatih meskipun satu jam.

Abay tak perlu lagi tertekan karena gangguan makhluk halus selama beberapa hari ini. Namun, tidak selamanya seperti itu.

Hari itu pelajaran Sosiologi. Bu Naina, guru berhidung bangir sekaligus wali kelasnya, memberitahu ulangan yang akan muncul minggu depan. Pikiran Abay tidak melayang ke luar kelas atau tidur seperti biasa.

"Tumben banget Abay rajin. Kesambet apa sih, Ras?" bisik Adnan.

"Gak tahu," balas Saras yang duduk di depan bangku Adnan.

Jam pelajaran berlalu. Abay tinggalkan kelas untuk bermain sepak bola dengan teman sekelasnya. Setelah kelas Sosiologi berakhir, para guru mengadakan rapat mendadak berkaitan dengan persiapan ujian murid kelas 3. Otomatis jam kosong sehabis istirahat pun membuat para murid SMA 29 sujud syukur.

Kaki Abay mantap berjaga di depan gawang. Matanya bersiaga selagi ikuti arah bola yang bergulir. Sebuah tendangan pisang gagal menembus gawang. Tangannya meninju bola di bibir gawang tepat waktu. Bola pun kembali bergulir ke tengah lapangan.

Tendangan yang gagal merobek gawang tidak membuat para murid kelas 3 IPA 1, kelas penantang, patah arang. Seorang murid kembali lancarkan tendangan andalannya. Bola bergulir dengan tendangan yang menipu mata para pemain bek kelas 2 IPS 2. Pemuda kurus dengan gocekan bola lihai itu mendekati gawang. Tubuh Abay bergerak seiring arah bola yang bergulir. Kanan. Kiri.

Tidak! Itu tendangan tipuan yang juga operan pada pemain sayap kanan lawan! Alhasil bola melesat di atas tubuh Abay yang sentuh mistar gawang sebelah kiri. Satu angka untuk kelas 3 IPA 1 saat itu.

Abay raih bola di belakangnya. Ketika dia berancang-ancang menendang bola di tangannya, pemuda itu berteriak kencang. Abay terduduk di dalam gawang. Para pemain dari kelas 2 IPS 2 pun mengerubunginya.

"Bay! Ngapain sih teriak-teriak?" tanya murid lelaki dengan kemeja seragam yang sengaja dikecilkan.

Wajahnya memucat. Bola di dekatnya kini berubah menjadi kepala wanita berkulit putih dengan mata membelalak. Dia merangkak mundur ke bagian jala gawang. Kini lapangan tempat mereka bertanding berubah menjadi lautan darah.

"Bay, kalo sakit ya bilang. Jangan maksain buat main!" bujuk pemuda bertubuh sedang di dekat mistar gawang.

Mata Abay membelalak. Wajah pemuda itu tiba-tiba saja hancur dan mengeluarkan belatung.

"Ki, muka lu."

"Ngapain nanya muka segala? Emangnya nambah ganteng kayak Aliando?" balas pemuda bernama Rifki itu.

Abay tahan napas. Ada yang salah dengan kedua matanya, lagi. Tidak. Aroma mayat membusuk bercampur amis darah dan bau matahari pun bersatu di hidungnya. Pipinya menggembung setelah tak tahan dengan aroma yang berasal dari teman satu timnya.

Abay pun menyingkir dengan langkah terhuyung-huyung. Matanya terpaku pada bola di sudut kanan gawang. Bola itu kembali menjadi kepala wanita dengan mata melotot. Lalu, tangannya pun berselimut luberan cairan merah pekat hingga jatuh terduduk. Kesadarannya sudah kacau. Sebuah teriakan menjadi akhir dari nasib sial si penjaga gawang.

"Bay. Bay!" seru teman-teman sekelasnya di sekitar gawang.

Kini hidupnya sudah kembali tidak waras.

NB:

Tagog anjing itu salah satu rumah tradisional orang Sunda. Bentuknya sama kayak di foto.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro