[Awal Baru] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahun ajaran baru sudah dimulai. Sudah menjadi kebiasaan bagi murid-murid SMA Negeri 29 Kopo untuk menengok papan pengumuman. Jadwal pelajaran biasanya sudah terpampang di sana. Kelas masih saja berpindah. Renovasi gedung C masih belum rampung.

Upacara bendera sudah selesai. Pelajaran pertama Senin itu Matematika. Seperti biasa, Abay menguap di kelas. Padahal hari itu guru Matematika belum memberinya tugas. Pertemuan hari itu masih sebatas perkenalan guru dan materi.

Jam istirahat pertama pun tiba. Abay berjalan menuju kantin di seberang lapangan upacara. Sepasang anak kecil berlari dari arah belakang. Mereka lalu menembus tubuh Abay sekaligus para murid yang lalu-lalang. Pemuda itu mengucek matanya. Apa itu barusan?

Abay lalu memesan gorengan di kantin. Kaca gerobak kios nomor 3 berembun sesaat setelah setumpuk tempe goreng panas berada di dalam lemari kaca. Penjual gorengan mencapit semua gorengan secepat pesanan para murid yang nyaris tanpa jeda.

Kini giliran Abay untuk memesan. Sebungkus gorengan seharga lima ribu dengan aneka isi. Gehu, tempe goreng yang mengepul, gorengan ubi, cireng, bala-bala, dan tangan kisut yang mencuat dari dalam gerobak. Teriakan Abay membuat penjual gorengan mengerutkan dahi.

"Kunaon, Jang? Sakit?" tanya ibu bertubuh gempal yang menjajakan gorengan.

Apa yang barusan Abay lihat? Pemuda itu beringsut kembali ke kelas setelah mendapat pesanannya.

Sudah cukup matanya tidak normal karena bisa melihat masa lalu. Kenapa pula indra keenam harus muncul bersamaan? Abay terus berlari menuju kelas B 29, tempatnya berada sekarang. Saat itu Saras tengah berbincang dengan Adnan di dalam kelas.

"Eh, Bay. Eli bilang katanya bakalan ada reuni SD. Lo mau ikut?"

Abay menoleh sekeliling. Napasnya tak karuan. Sebungkus gorengan di tangannya nyaris jatuh sebelum duduk. Kedua sahabatnya lalu menghampiri Abay.

"Bay, ke UKS gih," bujuk Adnan. Kini sesosok makhluk halus tiba-tiba muncul di belakang Adnan. Tangannya hendak meraih tubuh Adnan yang berada di depannya.

"Nan! Awas!" serunya sambil mendorong Adnan. Pemuda itu jatuh tersungkur mengenai kursi.

Saat itu Abay gemetar. Bagaimana jika sampai Adnan terluka? Saras lalu membantu Adnan berdiri. Dia langsung menghardik Abay yang gemetar.

"Bay. Ngapain kudu dorong Adnan segala? Emangnya Adnan punya salah apa sih?"

"R-Ras. Lu gak liat di belakang si Bengek tadi?"

Saras menoleh ke samping kelas. "Liat apa, Bay? Jurig? Gue gak liat apa-apa dari tadi."

Jika Saras saja yang memiliki indra keenam tidak melihatnya, lantas tadi itu apa? Pikiran Abay benar-benar kacau hingga tidak bisa fokus pada pelajaran setelah jam istirahat pertama.

"Bayu. Kenapa denganmu? Bapak lihat kamu dari tadi diem aja," tanya seorang guru pria yang mengajar di depan kelas.

"Gak apa-apa kok, Pak. Cuma agak sedikit ngantuk."

Jam istirahat kedua. Abay pergi ke teras atap gedung B untuk menyendiri. Berteman sebatang rokok yang masih menyala, pemuda itu belum bisa melupakan bayang-bayang sepanjang istirahat pertama. Pintu menuju teras atap pun terbuka. Abay cepat-cepat mematikan rokoknya.

Terlambat. Rokok dan seragamnya kini basah kuyup.

Abay mendongak ke arah bayangan yang menutupi badannya. Sesosok gadis bertubuh bongsor dengan sorot mata tajam membidiknya persis seekor elang. Tidak salah lagi. Hanya Saras yang berani mematikan rokok di tangan Abay seperti ini.

"Bay, ngapain sih kudu ngudud segala?" ucap Saras selagi duduk di sampingnya.

"Gue. Gue takut, Ras. Kenapa dengan mata gue?"

"Apa lo ngeliat sesuatu lagi?"

"Sering. Ini bukan kejadian masa lalu kayak biasanya."

"Jurig? Harusnya gue juga liat tadi."

Saras sodorkan botol air minum yang setengah kosong pada Abay. Setengah lagi sudah habis untuk mengguyur badan kelingnya.

"Minum gih. Kayaknya lo lagi banyak pikiran deh. Apa lo semalem begadang ato berantem lagi sama Om Wira?"

Abay menghabiskan air putih dalam sekejap. Tetap saja. Hal itu tidak mengusir perasaan kacau yang bersemayam di dada.

"Gak, Ras. Gu-Gue juga bingung. Punten pisan nya. Kenapa sih kudu ganggu hidup gue segala? Emang salah gue apa sih? Gue emang narsis, tapi gak pernah berusaha ganggu penunggu di sini!"

Sejak tadi Saras bahkan tidak berkedip. Abay menepuk-nepuk bahunya.

"Ras?"

"Bay, sejak kapan lo putihan?"

Abay mengangkat tangan kurus berototnya. "Lu nyindir apa gimana sih? Jelas-jelas gue item kayak kerak panci."

"Gue serius, Bay. Kalo lo jadi model, mungkin kepake. Asal otak konsletnya disetrika dulu."

Abay melipat tangannya di dada. "Ras, mo ngeledek ya bilang aja. Gak usah main kode-kodean kek gini!"

"Ini beneran, Bay," ucap Saras selagi mengucek kedua matanya. "Gue ngeliat lo, asli, lo emang ganteng banget kalo putihan. Terus ... lo gak takut kena razia? Itu emang rambut lo putih dari sananya apa gimana?"

"Ras, punten pisan nya. Bercandaan lu gak lucu," ucap Abay selagi bangkit dari posisinya. Seragam yang dikenakannya masih basah, tapi cukup terlihat seperti guyuran keringat sehabis berolahraga di luar kelas. Dia pun meninggalkan Saras di teras atap sekolah.

Rambut putih memang bisa muncul di usia muda karena stres. Bisa juga karena efek samping jurus aliran Kembang Putih seperti halnya Lenny dan Adrian. Abay bahkan masih belum menguasai betul jurus dasar aliran Kembang Putih. Buktinya rambut jabriknya masih hitam legam, seperti pada pantulan dirinya di jendela kelas.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro