[Awal Baru] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

re.in.kar.na.si /réinkarnasi/

n penjelmaan (penitisan) kembali ke dalam tubuh lain setelah mati; kelahiran kembali

[KBBI versi V]

Hidup Abay tidak sesederhana lema dalam kamus. Tidak pula seindah plot novel dengan tokoh utama yang lahir kembali menjadi pahlawan super atau penguasa di dunia lain. Abay benar-benar ... tidak tahu. Ingatannya terputus sampai kecelakaan bus hebat di Puring.

Kecelakaan.

Aryasena.

Ibu.

Wira.

Semua itu menjadi kepingan ingatan terakhir dari masa lalunya.

Masih banyak pertanyaan yang tersirat dari diri Abay selama hampir satu semester ini.

Kemampuan psiko—yang jelas Abay sering salah menyebutkan namanya. Kadang psikometer, psikologi, psikoapalah, tapi jelas-jelas bukan psikopat.

Keberadaan makhluk halus yang kadang muncul tanpa bantuan indra keenam.

Suara seorang pria yang kerap berbisik mengejek dirinya.

Ah, memikirkan semua itu hanya bisa merusak kesenangan menonton film di malam tahun baru saja.

Abay terdiam sesaat di ruang keluarga. Tahun baru memang menjadi momen yang tepat untuk menonton film tanpa gangguan. Deretan film baru menghiasi layar kaca selama penghujung tahun. Baik lewat saluran televisi lokal maupun televisi berlangganan. Baru saja dirinya hendak mengangkat remote televisi, Ressa menghampirinya.

"Bay. Nggak ikut Ayah ke lapang?"

"Ngapain? Bukannya Ayah ke sana sama bapak-bapak yang lain?"

"Masa sih kamu lupa. Sekarang 'kan ada layar tancep di lapangan sana. Memangnya kamu nggak bantu-bantu anak-anak Tarka yang lain?"

Semenjak bergabung dengan Asosiasi, Abay lebih jarang berkumpul dengan sesama anggota Karang Taruna Pucuk Mekar. Kesibukan pekerjaan sudah menyita hampir sebagian besar waktunya selama beberapa bulan ini. Kehadiran sempurna sebagai seorang anggota seksi logistik abadi Karang Taruna kini sudah terputus setelah bekerja. Meskipun begitu, dia masih mengikuti kabar Karang Taruna lewat grup pengurus dari ponselnya.

"Ke sana gih. Biasanya kamu cepet ah kalau soal Karang Taruna," bujuk Ressa.

"Kak Ressa sendiri. Kenapa gak ikut?"

"Kakak pengen ikut sih. Masalahnya masih banyak tugas, Bay. Belakangan ini dosen di kampus ngasih tugasnya nggak kira-kira."

Masalahnya Abay tidak membantu teman-temannya yang lain mempersiapkan acara layar tancap. Apa etis jika dia muncul begitu saja di sana? Perkataan Ressa perlahan memantapkan hatinya.

"Kamu ke sana aja ya! Daripada di sini sendirian. Ayah juga di sana kok."

Abay akhirnya meninggalkan rumah. Jalanan Marga Asih malam itu lengang. Tidak ada kendaraan apalagi maling yang lalu-lalang. Berulang kali suara pemuda yang tengah mengecek suara dari atas panggung sampai di telinga. Sebagian penduduk di sekitar rumahnya mulai berkumpul di lapangan kosong depan gedung serbaguna RW 09. Lapangan yang kerap digunakan untuk lomba sepak bola dan voli sekaligus setiap Agustusan itu kini beralaskan tikar.

Muda-mudi anggota Karang Taruna bersliweran di sekitar panggung. Sebuah layar putih sudah terbentang di atasnya. Abay terdiam di ujung jalan. Hatinya tidak enak ketika berdiri di ujung lapangan. Teman-temannya bekerja keras di sana untuk membantu mempersiapkan acara di malam tahun baru. Sementara dirinya baru saja datang malam itu.

Seorang pemuda meninggalkan rumah sekaligus tempat praktik psikolog yang berada di seberang gedung serbaguna RW 09. Pemuda berkemeja polo itu pun menghampiri Abay yang masih mematung ke arah panggung.

"Bay, ngapain diem di situ?" tanya Adnan.

Abay menoleh ke arah Adnan. "Gue gak enak ke sana."

"Santai aja. Anak-anak juga tahu belakangan ini lu sibuk," Adnan menepuk bahu bidang Abay, "Mending duduk aja gih. Bentar lagi filmnya mau mulai.

Gerobak para pedagang sudah mengitari sekitar lapangan gedung serbaguna jauh sebelum Abay datang. Para pengunjung mulai meramaikan para pedagang sebelum mencari posisi ternyaman untuk menonton. Orang-orang langsung duduk manis dengan jajanan di depan layar putih yang membentang menutupi gedung serbaguna. Perhatian Abay langsung tertuju pada seorang pria yang duduk bersama tetangga lain di dekat panggung. Tidak salah lagi. Itu memang Ayah.

Abay lalu duduk di samping Ayah yang tengah menyalakan rokok.

"Ayah."

Ayah menoleh pada Abay. "Kenapa tidak membantu teman-temanmu di sana?"

"Aku sudah izin gak ikut. Soalnya kemaren masih ada kasus yang belum tuntas. Asosiasi juga baru ngasih jatah libur sampe tiga hari ke depan."

Ayah mengisap rokoknya dalam. Kepulan asap beraroma cengkeh kuat menyelinap di antara perpaduan aroma aneka makanan yang dimakan para tetangga dan penonton di sekitar.

"Bagaimana dengan nilai rapormu? Apa ada yang remedial lagi?"

Abay menundukkan kepala. Pertanyaan itu muncul di tempat yang salah. Belum lagi Ayah bertanya itu di dekat para tetangga yang juga teman dekat Ayah. Selama ini Abay selalu diam dan menahan diri. Ayah sering mengomeli soal akademiknya di rumah hingga masalah itu sampai pula di telinga para tetangga.

"Kenapa takut? Ayah sudah bilang tidak akan memarahimu, Nak."

Abay menjawab lirih, "Nilainya lumayan. Biar gak masuk ranking juga."

Ayah mengambil sekotak rokok dari saku celana lalu menyodorkannya pada Abay. "Ambillah."

"A-Ayah gak marah?"

"Asal jangan merokok sembarangan dan mengambil rokok seenaknya dari dasbor mobil. Ayah tahu kebiasaanmu setiap kali pinjam mobil, Nak. Pasti ada sebatang dua batang yang hilang."

Abay menyalakan rokoknya. Kini ayah dan anak itu duduk bersama menikmati tayangan layar tancap bersama para tetangga. Keduanya terlarut dalam keseruan film yang tengah tayang. Namun, hal itu tidak memicu pembicaraan di antara mereka. Semua begitu hening sampai rokok di tangannya habis.

Tidak biasanya Abay diam saja saat menonton film. Biasanya dia terlalu bersemangat mengikuti jalan cerita—tak peduli genrenya selama bukan film horor. Mungkin karena ada Ayah yang tertawa terbahak-bahak di sampingnya. Mungkin saja karena banyak pikiran. Abay pun beranikan diri untuk bertanya.

"Ayah?"

Ayah menoleh sambil mengembuskan asap rokok dari bibirnya. "Kenapa, Nak?"

"Seperti apa aku dulu? Aku tidak bisa mengingat apapun selain kenanganku bersama keluarga ini."

"Kau itu pria yang baik sekaligus tangguh. Kau masih berhutang duel denganku."

Abay mengerutkan kening. "Du-Duel? Duel apa?"

"Dulu aku pernah meminta bantuanmu untuk menghadapi Lidya. Kau membantuku dengan syarat harus berduel setiap kali senggang. Kita sering berduel tanpa ada yang mengalah. Lalu, tiba-tiba saja kau menghilang. Kau bahkan tidak pergi menolong penduduk desa di dekat perbatasan seperti biasa."

Pembicaraan pun terjeda sesaat dengan letusan kembang api di langit Marga Asih.

"Menolong penduduk desa?"

"Kau itu tidak seperti siluman lain yang sering mengacau di sekitar gerbang perbatasan. Kau justru menggunakan kemampuanmu untuk menolong orang lain. Kau juga petarung yang hebat, tapi tidak pernah bisa menghabisi lawanmu."

Kilasan kejadian masa lalu muncul di depan mata layaknya tayangan film di layar tancap. Semua berubah hitam putih dengan gambar rusak dan teracak. Saat itu Abay meringkuk kesakitan. Keadaan itu membuat para penonton di sekitarnya terheran-heran.

"Pak Wira. Abay kenapa?" tanya seorang tetangga di dekatnya.

"Kayaknya dia kurang istirahat. Pak RW, Pak Suharso, saya pamit bawa Abay pulang dulu."

Ayah lalu memapah Abay pulang.

"Ayah," rintih Abay.

"Kenapa, Nak? Jangan takut. Ayah ada di sini. Kau istirahat saja ya."

Hari pertama di tahun 2018. Tidak ada yang spesial meskipun tanggal merah. Liburan sekolah selama dua minggu serasa sebentar. Abay harus kembali bekerja. Asosiasi hanya mengenal waktu libur sesuai hari libur di kalender.

Untungnya tidak ada kasus baru di awal tahun. Toh jurig juga ingin istirahat apalagi pacaran di tahun baru. Mumpung belum ada manusia yang mengusik mereka dengan permintaan aneh.

Abay bisa bernapas lega di ruangan unit yang kini tak ubahnya tempat karaoke. Semua ini karena Jaka. Selagi Lenny tidak ada, pria berkepala plontos itu menyulap ruang rapat bak akuarium di dalam unit Reserse menjadi bilik karaoke dadakan. Cukup dengan modal laptop miliknya dan proyektor yang sudah ada di dalam sana. Bahkan si-anak-baik Andri pun tidak kalah beradu suara di dalam ruang rapat.

"Oh Astuti! Kubahagia! Yeah," pungkas Andri dengan spidol sebagai mikrofon dadakan. Kini Andri benar-benar menjiwai perannya sebagai Agung Hercules lengkap dengan wig berambut sebahu di kepala!

https://youtu.be/mi-fbcXLkXI

Tepuk tangan meriah mengiringi suara melengking Andri ala bintang rock dalam posisi kayang. Benar-benar di luar dugaan. Cenayang serius dan rajin seperti Andri bisa-bisanya bertingkah seperti itu di dalam sana. Lupakan soal Andri. Ketiga cenayang pria itu benar-benar menikmati momen karaoke di dalam sana.

Lain di dalam, lain pula di luar. Para gadis tidak ikut-ikutan tingkah absurd dari para kaum Adam yang kembali melanjutkan karaoke dengan lagu lain.

"Ada apa dengan mereka? Mereka sedeng?" cibir Malika selagi mengurusi tanaman dalam pot sebesar telapak tangannya.

"Emang Teh Malika gak pernah karaokean?" tanya Saras.

"Pernah sih. Tapi gak gini-gini juga. Bahkan dua senior itu kelakuannya sama aja kayak Bayu. Dikirain agak warasan dikit."

Sesi karaoke dadakan itu buyar dengan kedatangan Lenny. Wanita berambut putih setengkuk itu baru saja menjemput anaknya di sekolah. Ketiga cenayang pria itu, terutama Abay dan Jaka, terus senyum mesem-mesem di hadapan Lenny. Namanya juga duo biang kerok Reserse. Jika tidak bermasalah di TKP, pastilah mereka membuat ulah di markas.

"Apa yang kalian lakukan? Apa kalian tidak malu ditertawakan para gadis di sana karena menggunakan ruang rapat untuk karaoke? Belum lagi Jaka dan Andri. Kalian harusnya memberi contoh yang baik pada anak baru di sana. Paham?"

Lagi, hukuman menjadi nama tengah Abay jika tidak ada kasus. Kesalahan Abay tidak luput dari mata Lenny seperti halnya Jaka dan Andri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro