[Nilai Rapor]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup Abay tak ubahnya remaja biasa dalam urusan sekolah, tapi tidak dengan masalah nilai. Dia selalu menempati ranking tiga besar dari bawah. Alasan itulah yang membuat Abay kucing-kucingan dengan Ayah untuk sekadar mengambil rapor.

Sabtu pagi. Sesekali denting mangkuk penjual bubur ayam dan bubur kacang menjeda dominasi deru mesin di persimpangan jalan Mustari Barat XIV, Marga Asih. Seperti biasa, Ayah akan pergi ke Kawali. Hampir sebulan ini Ayah bolak-balik ke sana untuk urusan pembangunan proyek. Abay pun berpura-pura lari pagi agar tidak ketahuan mengambil rapor. Ayah tidak akan curiga. Abay memang selalu lari pagi di akhir pekan.

Tidak sampai lima menit berlari, dirinya sudah menjejakkan kaki di depan halaman SMA Negeri 29 Kopo. Keadaan halaman parkir di depan bangunan sekolah dua lantai itu masih lengang. Belum banyak orang tua murid memarkirkan kendaraan di sana. Meskipun orang tua tidak wajib mengambil rapor di sekolah, tetap saja Abay berusaha mencari aman. Sesekali pemuda itu celingukan. Dia tarik napas lega. Tidak ada Ayah di sekitar jalan bahkan halaman sekolah.

Pembagian rapor dimulai pukul 8 pagi. Namun, keadaan kelas A 23 teramat lengang. Kelas yang dulunya angker itu masih membuat bulu kuduk Abay berdiri. Bukan karena hantu penunggu kelas yang sudah lama tenang di alam sana, melainkan kutukan dari nomor urut kehadirannya.

"Bayu Samudera."

Salahkan Ayah yang membuatnya berada pada nomor urut 3 di kelas! Siapa juga yang mau punya nama diawali dengan huruf-huruf pertama dalam daftar aksara jika berotak dengkul macam Abay?

Keringat tak hentinya membasahi pakaian training yang memeluk badan kurus Abay. Keberadaan meja Bu Naina di depan kelas seakan menjauh. Langkah kakinya gemetar menuju meja di samping papan tulis kelas.

"Bayu. Kau sakit?"

"Ng-Ng-Nggak, Bu. A-Aku cuma kebelet pipis."

Pertanyaan sang wali kelas membuat Abay gemetar. Belum lagi pantulan dari jendela di samping meja Bu Naina memperlihatkan Ayah yang baru. Saja. Datang! Tanpa basa-basi tangannya mengambil rapor dari tangan Bu Naina. Pemuda itu pamit sebelum Ayah semakin mendekat. Dengan sedikit tenaga dalam, Abay beringsut meninggalkan kelas A 23.

Dehaman Ayah menghentikan langkah Abay di tengah tangga menuju lantai dua gedung A. Ayah lalu mendekati Abay di tengah tangga. Abay berusaha sembunyikan rapor di jaketnya.

"A-A-A-A-yah," pemuda keling itu benar-benar gemetar! "Ka-Katanya mau ke Kawali?"

Pria berwajah tegas dengan berewok tipis itu membalas, "Ayah akan pergi setelah mengambil rapormu."

"Da-Dari mana Ayah tahu?"

"Kemarin Ayah konseling rutin ke tempat Pak Suharso. Beliau bilang hari ini ada pembagian rapor di sekolahmu. Di mana kelasnya?"

Keringat dingin mulai menitik di wajah kusam tanpa jerawatnya.

"Apa jangan-jangan kau sudah mengambil rapornya sebelum Ayah datang?"

Sial. Kini Abay sudah tertohok di depan Ayah. Sorot mata tajamnya menyapu keberadaan rapor yang tengah disembunyikannya.

Jangan sampai Ayah mendapatkan barang terkutuk itu! Cukup sudah dirinya menderita setiap enam bulan sekali. Semua masalah selalu bermula dari basa-basi Ayah di depan wali kelas. Barang terkutuk dari tangan Bu Naina selalu saja memicu badai dahsyat di rumah. Semua berujung hukuman yang selalu merusak liburan sekolahnya.

Dengan kata lain: tidak ada bermain apalagi maraton nonton film sepuasnya.

Sebelum tangan Ayah berhasil meraih rapor yang tersimpan di balik jaket, Abay melesat meninggalkan area gedung A.

"Anak itu benar-benar. Apa jangan-jangan dia kabur dengan tenaga dalam?" batin Ayah selagi menuruni anak tangga.

Benar saja. Abay memang menggunakan sedikit tenaga dalam untuk melarikan diri dari Ayah. Dia berusaha sampai lebih cepat daripada Ayah lalu menyembunyikan rapor miliknya di tempat yang aman. Tindakan Abay pagi itu benar-benar membuat Ressa yang tengah menyapu teras pun melongo.

"Bay, tumben larinya bentar banget."

"Kebelet pipis, Kak!" balasnya sambil menggoyang-goyangkan perut, kaki, dan pantatnya. Abay selalu saja pandai dalam berakting kebelet pipis seperti ini. Untungnya Ressa mudah percaya dengan akting Abay yang sangat natural.

Abay berlari menuju kamarnya di lantai dua. Ia menutup rapat pintu kamar. Jantungnya berdebar selagi membuka buku rapor bersampul nila yang tersembunyi di balik jaketnya. Apa nilainya lagi-lagi dikatrol sampai sebatas KKM ataukah jauh lebih baik? Suara lantang Ayah dari lantai bawah membuat rapor di tangan Abay jatuh ke lantai.

"Ressa. Di mana Abay?"

"Katanya tadi kebelet pipis. Lho, bukannya Ayah tadi bilang mau berangkat ke Kawali?"

"Ayah ambil rapor ke sekolah Abay dulu. Mumpung masih sempat. Oh ya. Tolong ambilkan HP Ayah di kamar! Ayah mau berangkat sekarang."

"Ya sudah. Hati-hati di jalan."

Setelah itu, tidak ada lagi suara Ayah dari lantai bawah. Semua tersamarkan dengan suara mesin mobil yang baru saja meninggalkan garasi.

Rasa penasaran akan nilai-nilainya selama hampir satu semester ini muncul di benak Abay. Abay merunduk ke arah rapor yang terbuka di dekat kakinya. Ternyata nilai rapornya jauh lebih baik dibandingkan dengan semester lalu.

Apa karena hasil menyontek jawaban Adnan selama ujian akhir semester? Tidak juga. Abay mendadak jauh lebih rajin belajar semenjak menjadi seorang cenayang.

Apa mungkin karena kondisi fisik anehnya? Entahlah. Kini Abay bisa menikmati deretan film akhir tahun dengan tenang tanpa harus terganggu omelan Ayah seperti tahun-tahun sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro