[Kekuatan] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cermin di kamar Ayah setinggi badan pria dewasa. Dirinya yang terus berada dalam kursi roda terpaku di depan cermin. Tangannya bersandar pada gagang pintu di samping. Abay berusaha untuk berdiri sambil menapakkan kaki berpenyangga bidainya. Baru sesaat dirinya berdiri, tubuhnya jatuh tersungkur di lantai.

"Nak!"

Ayah pun mendudukkan Abay ke atas ranjang. Tak ada luka. Namun, air mata yang mengendap di mata cokelatnya pun menitik.

"Ayah. Sampai kapan aku terus gak berguna seperti ini?"

Ayah duduk di samping Abay. "Mengalami patah tulang bukan berarti tidak berguna, Nak. Kenapa kau terus berpikiran buruk seperti itu?"

"Dulu Ayah sering mengataiku ini anak gak berguna. Punya otak di dengkul, gak sepinter Kak Ressa, dan hanya bisa membuat malu orang tua dengan bolak-balik masuk ruang BK."

Ayah lalu mendekap Abay. "Maafkan Ayah, Nak. Ibumu dan Pak Suharso benar. Kau itu anak yang baik dan lembut. Tidak sepatutnya Ayah terus mengataimu seperti itu. Kau bukan anak yang tidak berguna. Kau itu unik. Aku masih tidak percaya anak itu yang selama ini selalu sendiri kini duduk di sampingku sebagai anakku."

Masa lalu di antara Abay dan Ayah tidak cukup memperbaiki hubungan mereka yang rusak. Mereka mungkin rival yang sedekat sahabat di masa lalu. Namun, kini mereka ayah dan anak. Batin Abay masih belum pulih dari luka masa kecilnya. Abay masih belum bisa kembali akrab dengan Ayah seperti dulu.

"Sapu air matamu, Nak. Bukankah kita sudah janji dengan dokter di rumah sakit?"

Pagi itu Ayah menemani Abay ke Rumah Sakit Rancabadak. Abay kembali bertemu dengan Dokter Jehan yang memeriksa kondisinya.

"Kakimu sudah membaik. Begitupun dengan kondisi tulang rusukmu. Kau harus belajar untuk berdiri."

Dokter Jehan kembalikan film hasil rontgen kaki Abay pada Ayah.

"Apa anakku sudah bisa berjalan lagi?" tanya Ayah.

"Tentu saja. Asalkan anak Bapak istirahat teratur dan tidak melakukan kegiatan yang memberatkan tulangnya."

Surat rujukan dari Dokter Jehan kini ada di tangan Ayah. Ayah mendorong kursi roda ke bagian fisioterapi. Hari itu ada tiga pasien lain yang berada di bawah bimbingan terapis ahli.

"Kau pasti pasiennya Dokter Jehan. Aku Rifat. Senang bertemu denganmu. Apa kau ingin mengukur tongkat?"

Ada sebuah ranjang periksa di dalam ruangan kecil dekat pintu masuk. Terapis membantu Ayah menidurkan Abay. Ia pun keluarkan meteran dari dalam laci.

Abay kembali menjalani terapi. Kakinya gemetar. Perutnya masih sakit setiap kali Abay berusaha menapaki area landai untuk latihan berjalan. Rasa sakit menusuk dari bekas operasi di perut dan kaki kiri membuat keseimbangannya goyah. Untung saja ada terapis dan sepasang palang yang menopang badannya agar kembali tegap.

"Hati-hati," ucap Ayah.

Terapi hari ini hanya untuk menapak. Sepasang palang melintang menjadi penopang tubuh Abay yang gontai. Layaknya balita belajar berjalan. Ia bisa saja pulih cepat selama menuruti saran dokter dan terapisnya.

Abay sudah kembali ke sekolah kurang dari seminggu. Ia tidak perlu mengirimkan tugas lagi setiap kali kelasnya ada di lantai dua. Tetap saja, ia berjalan dengan bantuan Adnan dan Saras yang memapahnya di tangga.

"Bay, saran gue sih mending jangan maksain naik tangga. Gimana kalo sampe jatuh terus luka bekas operasinya kebuka lagi?"

"Kalem aja, Nan. Gue ini kuat!" balas Abay yang membusungkan dadanya.

"Kuat sih. Asal gak ada jurig yang ngintilin dari belakang."

"Ras!"

Saras benar-benar puas mengerjai si pecundang itu. Kehidupan Abay di sekolah sudah kembali normal. Namun, dirinya masih belum bisa kembali ke markas. Abay langsung pulang ke rumah setelah jam sekolah usai. Tentu saja dengan Adnan yang mengawasinya di jalan.

"Makasih ya, Nan!"

"Awas. Kalo jalan liat-liat!" balas Adnan yang kini berjalan menuju rumahnya.

Selama ini Abay tidak sadar. Kekuatan sebenarnya bukan dari kemampuan fisik apalagi tenaga dalam yang kuat. Berada di antara teman-teman sebaik Adnan dan Saras membuatnya jauh lebih kuat. Meskipun begitu, Abay tetap berusaha menjadi lebih kuat agar tidak terus bergantung pada orang lain.

Abay berusaha mendudukkan diri di ranjang kamar Ayah. Ia mencoba ulang teknik yang pernah Lenny contohkan setelah mengerjakan tugas sekolah. Aliran darah di sekitar kaki kirinya menghangat. Rasa sakit dari bengkak di kaki semakin berkurang. Namun, rasa sakit menusuk perut di sekitar luka bekas operasi. Bagaimana ini? Untung saja percikan darah tidak menodai seprai dan selimut kesayangan Ayah. Ayah yang baru saja pulang dari kantor lalu mendudukkan Abay.

"Nak. Apa perutmu baik-baik saja? Apa kau tadi salah makan?"

"Aku gak apa-apa kok."

"Ingat kata dokter. Kau harus banyak istirahat."

Ayah mengambil baju dari lemari di dekat pintu kamar mandi.

"Ayah. Apa besok Ayah sibuk?"

"Sibuk apanya? Besok juga tanggal merah kok."

Abay menundukkan kepalanya. "Apa Ayah bisa mengantarku ke Rajamantri? Aku ada urusan dengan atasanku."

Jumat itu jalanan Kopo padat merayap. Libur akhir pekan bertambah panjang dengan tanggal merah di hari Jumat. Jika saja Abay bukan orang Kopo, mana tahu dirinya jalan tikus menuju daerah sekitar Rajamantri yang sering macet?

Sampailah mereka di sebuah rumah kolonial satu lantai berhalaman luas, kawasan Rajamantri. Dua mobil terparkir rapi di garasi samping rumah. Seorang pria berambut putih tengah mencuci "mobil penjahat" yang berada di depannya.

Wajar bila Abay menyebutnya demikian. Toh mobil itu identik dengan penjahat di film.

Adrian lalu menoleh ke arah Abay yang baru saja turun dari mobil dengan Ayah. Berulang kali dirinya mengerjapkan mata ke arah Abay. Apa mungkin itu isyarat agar Abay lekas mendekat? Pemuda itu mempercepat langkahnya dengan tongkat.

"Nak! Hati-hati!"

Seruan Ayah sebatas angin lalu. Abay sudah sampai di depan pagar rumah Lenny yang terbuka.

"Tuan memanggilku?"

"Bu-Bukannya mobil itu?"

Abay menoleh ke arah mobil Ayah yang terparkir di luar. "Lho. Tuan dari tadi ngeliatin mobil Ayah?"

Ayah kemudian menghampiri mereka. "Nak, apa ini atasanmu?"

Selang air terjatuh dari tangan Adrian. Dengan tangan berlumur busa, dia menyambut kedatangan mereka. "Bapak cari istri saya? Tu-Tu-Tunggu sebentar."

Adrian lalu mempersilakan mereka masuk. Sejak tadi Ayah terus mengamati bagian dalam rumah tua itu.

"Pria berambut putih itu sedikit aneh. Apa kau yakin ini rumah atasanmu?"

"Itu suami Nyonya Lenny."

Lenny lalu muncul dari dalam kamarnya. "Maaf sudah menunggu lama. Lho. Abay? Mau latihan sekarang?"

Ayah menoleh ke arah Abay. "Latihan apa?"

Keadaan berubah hening sesaat. Ketika dua orang dengan aura yang membuat Abay bergidik berada di tempat yang sama, pemuda itu mematung begitu saja. Sorot mata tajam Ayah berhasil mengunci lidah Abay. Selama ini Abay mengikuti latihan tanpa seizin Ayah. Percuma saja cerita padanya saat itu. Apapun yang Abay lakukan selalu salah di mata Ayah.

"Lho. Kupikir Abay sudah dapat izin orang tua. Apa itu ayahmu?"

Ayah membalas, "Aku lupa memperkenalkan diri. Aku Wirawan Wiguna. Anakku tiba-tiba saja memintaku mengantar ke sini. Memangnya selama ini Abay latihan apa?"

Lenny lalu menjelaskan soal latihan pada Ayah.

"Dasar bodoh! Apa kau ingin cari mati?"

Abay benar-benar gemetar. Hawa dingin kini mencubit kulit siapapun di ruang tamu.

"Sebaiknya Pak Wira tenanglah lebih dahulu. Abay bisa saja mengeluarkan jurus Hembusan Badai Kutub Selatan tak terkendali."

"Kau juga tahu soal amarah Abay?"

"Itu sebabnya aku sengaja melatihnya dengan bantuan suamiku. Aku tidak ingin Abay mendapat masalah di TKP karena tidak bisa mengontrolnya."

Ayah menoleh pada Abay. "Apa itu benar?"

Abay mengangguk.

"Masalahnya Abay tidak bisa menggunakan tenaga dalam secara terus menerus. Hampir semua simpul tenaga dalamnya putus. Dokter sekalipun tak bisa menolongnya. Dia bisa terluka parah bahkan meninggal bila memaksakan diri."

Lenny menoleh ke arah Abay. "Kau serius ingin berlatih?"

"I-Iya."

"Anda ingin membuat kondisi Abay semakin buruk dengan latihan?" bentak Ayah.

"Pak Wira. Tenang dulu. Aku hanya mengajarinya teknik medis dasar."

Lenny mengajak Abay pergi ke saung di halaman belakang. Ryan kecil langsung bersorak dengan kedatangan Abay.

"Kakak! Kakak udah sembuh?"

"Belum," Abay berusaha duduk di saung. "Nanti kalo Kakak udah sembuh, kita main lagi ya."

Sementara itu, Ayah dan Adrian terus bicara soal mobil. Gerak-gerik Adrian sangat aneh di depan mobil Ayah. Tepatnya persis orang udik yang baru melihat mobil baru di jalanan kampung.

"Pantas kau selalu gemetar setiap memasuki ruanganku. Apa ayahmu selalu memarahimu di rumah?"

"I-Iya."

"Trauma masa kecil memang kadang muncul bila ada pemicunya."

"Nyonya bicara seperti Profesor Rachmat saja."

"Aku memang pernah kuliah Psikologi di kampus, tapi lebih fokus untuk menangani kasus kriminal. Seperti halnya kasus Novita kemarin."

Lenny mulai mengajari Abay dasar-dasar pertolongan pertama. Kejadian dari masa lalu muncul begitu saja seakan menuntun Abay belajar. Ryan turut belajar pertolongan pertama dengan mainan di sekitarnya. Bocah kecil itu berpura-pura mainan robot kesayangannya sakit dan menjadi pasiennya. Abay tak henti tertawa dengan tingkah polah polosnya.

"Kau bahkan lebih cepat belajar ini dibandingkan jurus dasar. Kenapa kau tidak kuliah kedokteran saja?"

Abay tersipu. "Me-Memangnya bisa masuk kedokteran dari IPS?"

"Bisa saja. Banyak teman di kampusku dulu yang punya latar belakang berbeda dengan jurusan kuliahnya. Asalkan Abay mau belajar, itu bukan masalah."

"Mama, nanti kalo udah gede, Ryan mau jadi dokter juga!"

"Gak mau kerja kayak Mama dan Papa nih?" balas Lenny.

Abay mengangkat kain di tangannya. Apa alasan Abay masuk jurusan IPS? Abay hanya ingin lebih mudah masuk Akademi Kepolisian. Ia ingin menjadi polisi agar bisa membantu mencari Ibu.

Tangan Lenny yang terbalut sempurna membuatnya termenung. Balutannya serapi perawat rumah sakit. Abay menyentuh kain yang membalut tangan Lenny. Sebuah bayang-bayang dari masa lalu dengan keadaan serba hitam putih memperlihatkan bocah lelaki bergigi ompong dengan senyuman lebar. Kepalanya berdenyut ketika berusaha mengenali bocah dengan poni panjang menutupi matanya.

"Kepalamu pusing?"

"Aku gak apa-apa, Nyonya. Kali aja ini efek keseringan begadang buat nugas."

"Maaf hanya ini yang bisa kuajarkan. Aku belum bisa mengajarimu jurus pemulihan. Jika kau masih ingin berlatih dengan Adrian, aku akan mengajarimu pertolongan pertama sebisaku. Jangan membebani dirimu sendiri karena merasa tak berguna lagi. Paham?"

Sorot mata sendu tampak sekilas di balik senyuman Lenny. Tak terasa hari sudah siang. Dia lalu mengantar Abay pada Wira. Sejak tadi perokok berat itu menggerutu di teras rumah Lenny.

"Ayah. Maaf kalo lama."

"Kau juga serius belajar di sana. Sudah lama Ayah tidak melihatmu semangat belajar seperti tadi. Di mana mobil Ayah? Katanya suami atasanmu hanya meminjamnya untuk keliling Rajamantri."

Lenny mengurut dada. "Maafkan Adrian. Dia memang sering memalukan bila sudah berhubungan dengan mobil tua."

"Apa menariknya mobilku? Padahal itu mobil seken yang kubeli dari atasanku di kantor dulu."

Abay lalu teringat perkataan Saras soal mobil Ayah. Abay lalu mencarinya di internet.

https://www.youtube.com/watch?v=I9BGdchyQBg

Abay benar-benar lemas mendapati harga Trueno merah Ayah di internet.

"Ayah. Harga mobil Ayah lebih mahal daripada ginjal. Jual aja mobilnya!"

Ayah langsung menjitak anaknya yang kurang ajar itu. Saat itu pula Adrian sampai di depan rumahnya.

"Baru tahu Pak Wira punya mobil tukang tahu," ucap Adrian selagi mengembalikan kunci mobilnya. "Pak Wira mau lepas mobilnya berapa?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro