[Kenangan yang Hilang] - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Teriakan dari dalam rumah bertambah kencang. Satu persatu tetangga di sekitar meninggalkan rumah. Lenny menggedor pintu rumah itu dari luar.

"Permisi! Permisi!"

Tidak ada balasan. Kenopnya bahkan tidak terbuka. Lenny berancang-ancang mendobrak pintu dari teras rumah. Namun, seorang pria yang baru saja memasuki halaman mencegatnya.

"Apa yang kau lakukan?" seru pria berkemeja polo di samping Lenny. Lenny mengeluarkan lencana miliknya.

"Lenny Marcellina, cenayang Asosiasi Sektor Kopo. Aku ke sini ingin bertemu dengan Pak Sanata."

Teriakan terus bertambah kencang dari dalam sana. Kondisi semakin genting. Lenny berusaha kembali mendobrak pintu. Pria di sampingnya lalu membawa Lenny menuju pintu belakang rumah sang pengacara.

"Sebaiknya kita periksa saja pintu belakang. Barangkali ada pembantunya di sana."

Mereka lalu menyusul lewat pintu belakang rumah sang pengacara. Benar. Pintunya tidak terkunci rapat. Seorang pembantu dan wanita berteriak dari dalam rumah. Tubuh sang pengacara terangkat tinggi. Wajahnya membiru sambil terus mengerang.

"Lepaskan! Lepaskan Bapak!"

Tarikan pembantu dan majikan tak sanggup menurunkan sang pengacara. Pembantu itu berbalik ke arah Lenny dan tetangganya yang datang.

"Pipih! Dibilangin tutup pintunya yang rapat!" bentak wanita yang menarik kaki sang pengacara.

"Bu Ratna. Pak San kenapa?"

"Pak RT! Cepat tolong bantu Bapak!" seru si pembantu berdaster kembang-kembang.

Penglihatan dari jurus Mata Batin memperlihatkan sesosok makhluk halus bertubuh tinggi besar mencekik tubuh sang pengacara. Sekujur tubuhnya ditumbuhi rambut panjang dengan tangan kurus kering meremas badan sang pengacara. Lidah panjang yang tergulung dari dalam mulutnya berusaha untuk mencekik lehernya.

"To-long!"

Lenny mengerahkan Distorsi Batas sebelum menyelamatkan Sanata. Dia melompati pilar-pilar tanah sebelum menepis sosok yang mencengkeramnya dengan bongkahan es besar. Pak RT, Ratna, dan Pipih segera menangkap tubuh Sanata yang jatuh.

"Cepat bawa beliau ke tempat yang aman!"

Lenny kemudian melancarkan serangan ke arah sosok berkepala pitak di depannya. Sosok itu kemudian hendak menangkap Lenny dengan tangan dan lidahnya. Dia lalu menahan serangan dengan jurus manifestasi elemen tanah sambil menggunakan jurus Hembusan Badai Kutub Selatan. Angin dingin kencang mengayunkan lampu gantung di ruang keluarga. Pipih langsung menutup pintu kamar.

"Beraninya kau menggangguku!" teriaknya dengan bibir yang mulai membiru.

"Apa yang kau inginkan dari pria itu?"

"Dia harus disingkirkan seperti wanita tua itu."

"Oh, jadi kau juga yang menyerang Bu Cempaka?"

"Rupanya kau cenayang ikut campur yang mereka katakan. Aku tak bisa membiarkan kalian mengacaukan rencana kami."

Lenny memantapkan langkahnya. "Siapapun yang mengirim kalian, katakan padanya aku tidak takut."

Sorot mata tajam Lenny membuat sosok itu mundur. Ia tertawa nyaring di depan Lenny.

"Kita lihat saja. Siapa yang akan menang nanti?"

Lenny menarik napas lega. Sosok itu sudah pergi dari rumah Sanata. Berdasarkan perhitungannya, sosok itu berkekuatan di atas skala 8. Dia tak bisa menanganinya sendiri tanpa bantuan Jaka atau Saras yang lebih tangguh di lapangan.

Lenny lalu mencari informasi dari keluarga Sanata. Mereka lalu bertanya soal identitas Lenny.

"Mohon maaf bila tadi saya menerobos rumah tanpa izin," Lenny mengeluarkan lencana dan sprindik dari dalam tas, "Saya Lenny Marcellina dari Asosiasi Sektor Kopo. Saya ingin bicara Pak Sanata berkaitan dengan kasus penyerangan Ibu Cempaka Prameswari."

Istri sang pengacara dan pembantunya meninggalkan kamar. Pria yang terduduk di atas ranjang itu Sanata. Seorang pengacara berwajah kusut yang masih gemetar atas kejadian tadi. Gigi-giginya terus gemeletuk sambil terus menarik napas cepat.

"Bapak tidak apa-apa?"

"Apa? Bu Cempaka diserang? Ini benar-benar buruk."

"Itu benar. Putranya, Rendra, melaporkan kasus penyerangan tersebut pada Asosiasi. Berdasarkan informasi dari rekan hukum Bapak, Bapak sudah sebulan tidak datang ke kantor. Apa ini berhubungan dengan teror barusan?"

Sanata menarik napas dalam-dalam. "Firasat Bu Sania benar. Ada yang tidak beres dengan kematian almarhum Pak Priya."

"Bu Sania? Siapa beliau?"

"Bu Sania itu sahabat Bu Cempaka yang juga akuntan rekanan Priya Group. Kami memang sering berhubungan berkaitan dengan masalah internal Priya Group terlebih setelah almarhum Pak Priya meninggal. Bu Sania itu sedikit aneh. Aku mengira Bu Sania bertingkah seperti itu karena tak sengaja menemukan kejanggalan arus kas perusahaan setelah Pak Priya meninggal."

"Kejanggalan arus kas?"

Sanata menjelaskan kejanggalan yang ditemukan sang akuntan dari salah satu unit bisnis Priya Group. Kejanggalan itu berasal dari lini makanan beku yang dikelola adik Priya Sumarsono. Jauh sebelum sang pengusaha meninggal, laporan keuangan selama dua kuartal terakhir mencatatkan kejanggalan. Informasi penjualan mencatatkan keuntungan bersih perusahaan pada periode tersebut mencapai seratus juta, tapi jumlah kas dari kedua kuartal tersebut tidak sama dengan laporan perusahaan.

"Bu Sania sempat memintaku untuk menyelidiki juga masalah kas ini. Namun, kejadian demi kejadian aneh muncul setelahnya termasuk hari ini. Bu Sania lalu memperingatkanku agar tidak berbuat macam-macam dalam menangani kasus ini. Jangan sampai melibatkan Rendra, Billy, dan polisi. Itu pesan terakhirnya lewat telepon sebulan lalu."

Apa jangan-jangan ini berhubungan dengan serangan gaib yang dialaminya barusan? Wanita bernama Sania itu sepertinya salah satu kunci penting dalam kasus ini.

"Apa Pak Sanata tahu alamat Bu Sania?"

"Aku kurang begitu tahu. Coba tanya Bu Cempaka atau datang saja ke kantornya. Kalau tidak salah, kartu namanya ada di atas meja. Alamat kantornya berada di sana."

Sanata menunjuk pada meja kerja di dekat ranjangnya. Setumpuk berkas penting berlogo Priya Group tertata rapi di atas meja. Begitu pula dengan ponsel, laptop, alat tulis penunjang pekerjaan, dan wadah berisi kartu nama penting berhubungan dengan relasi Priya Group. Lenny lalu memotret kartu nama milik akuntan tersebut dengan ponselnya.

Suatu siang di markas Asosiasi Sektor Kopo. Bentangan layar putih menjembatani dinding-dinding di sampingnya. Lampu ruangan berangsur padam lalu berganti sorot proyektor dari dalam ruangan.

Enam orang cenayang duduk mengelilingi meja panjang di depan layar. Tidak biasanya Lenny menyalakan proyektor seperti ini. Penyelidikan di rumah Sanata  kemarin turut membuahkan barang bukti penting.

"Apa ini?" tanya Jaka.

Sorot cahaya laser dari lampu di tangan Lenny menunjuk pada tampilan layar proyektor, "Laporan keuangan Priya Group dua kuartal terakhir sebelum Priya Sumarsono meninggal. Aku mendapatkan salinan  laporan ini dari pengacaranya."

"Tunggu. Seingatku pengacara tidak ada hubungannya dengan laporan keuangan," balas Andri.

"Kayaknya buat ngitung aset kayak utang piutang deh. Soalnya harta warisan gak bisa dibagiin gitu aja sebelum utangnya lunas," timpal Abay.

"Bay, tumben otaknya encer," balas Saras.

"Logikanya gini, Ras. Emangnya ada ahli waris yang mau ditinggalin utang?"

"Ucapan Bayu soal hutang itu benar," timpal Lenny. "Selain itu, pengacara juga diserang kiriman makhluk halus sewaktu aku ke sana."

Para cenayang tersentak. Lenny menggeser papan tulis di sampingnya yang memperlihatkan diagram tak beraturan yang tertera pada papan tulis. Terdapat foto anggota keluarga Priya Sumarsono, pengacara, dan catatan kecil yang Lenny tulis dengan spidol beraneka warna.

"Mulanya aku berpikir kasus ini hanya perebutan harta warisan di antara kedua istri. Namun, artikel yang Jaka berikan dan hasil pemeriksaan dengan Bayu menunjukkan hal sebaliknya."

"Aku melihat percakapan antara Bu Cempaka dan Bu Maria di rumahnya. Mereka membicarakan sesuatu soal wartawan dan skandal," timpal Abay.

"Maria Soewono juga membenarkan pertengkarannya dengan korban. Jika memang ada kebencian di antara mereka," Lenny memperlihatkan video interogasi Maria Soewono lewat proyektor. "apa bisa dia seterkejut ini? Semua gerak-gerik dan bahasa tubuhnya justru menyiratkan keakraban di antara mereka."

Lenny kemudian bertanya pada Malika, "Malika, bagaimana dengan hasil analisis dari detektor di rumah korban?"

Gadis bertubuh mungil yang duduk di samping Lenny membalas, "Aku sudah membaca bacaan data dari pengamatan detektor selama beberapa hari ini. Terdapat pergerakan energi negatif mencurigakan pada rentang waktu sore hari dan pukul 9 malam. Energinya berkisar antara skala 7 dan 9. Semua itu cocok dengan kesaksian saudara Rendra mengenai keanehan yang dialami oleh korban."

Lenny meremas senter penunjuk laser dalam genggamannya. "Cepat adakan pembersihan dan isolasi secepatnya!"

Para cenayang di ruang rapat tersentak. Pembersihan tidak bisa dilakukan begitu saja tanpa adanya bukti pendukung. Hasil pembacaan data dari detektor saja kurang kuat. Ciri-ciri pelaku dan motifnya masih samar. Mereka bahkan belum menemukan rencana untuk menjebaknya.

Namun, Lenny bersikeras. Dia sudah pernah menghadapi sosok itu sebelumnya. Dia tak bisa diam lagi melihat korban yang meminta pertolongan di depan mata. Seperti halnya Lenny yang tak berdaya ketika orang tuanya saling membunuh dalam pengaruh guna-guna.

Senin pagi, ruangan markas sedang kosong. Tak satupun cenayang datang ke ruangan unit. Padahal apel pagi sudah selesai. Wajar bila tak ada cenayang dari jalur khusus yang masih dalam pendidikan formal, tapi di mana Jaka dan Andri?

Kedatangan Abay membuyarkan pikiran Lenny.

"Di mana Saras?"

"Remedial, Nyonya. Dia masih remedial Sosiologi di sekolah."

"Kau sendiri?"

Abay tersenyum lebar. "Gak remed, Nyonya. Paling Kamis nanti bakal izin buat tanding futsal antar kelas."

"Ya sudah. Cepat ganti baju lalu ikut aku."

"Nyo-Nyo-Nyonya jadi ngelakuin pembersihan? Sekarang?"

"Sebelum itu, ada hal yang perlu kupastikan terlebih dulu."

Lenny memeriksa ponselnya sebelum memasuki mobil. Dia kemudian mengatur GPS agar menunjukkan jalan menuju kantor akuntan itu. Tak lama kemudian, Abay selesai ganti baju. Mereka lalu pergi ke kantor akuntan dengan mobil kantor.

Apik Consulting berada di kawasan Naripan, tidak jauh dari markas Asosiasi Sektor Kopo. Sekilas gedung itu tak ubahnya deretan gedung tua bergaya kolonial yang berjajar di sepanjang jalan. Namun, bagian dalamnya berhias perabotan modern minimalis yang didominasi rona cokelat dan putih.

"Nyonya ngapain ke sini?"

Lenny memberi isyarat agar diam. Mereka lalu pergi menuju resepsionis di depan.

"Selamat siang. Adakah yang bisa dibantu?" sapa seorang resepsionis wanita. Lenny kemudian menunjukkan lencana dan sprindik dari dalam tas.

"Lenny Marcellina dari Asosiasi Sektor Kopo. Apa Ibu Sania Prabawati ada?"

"Bu Sania?" resepsionis itu gelagapan. Dia lalu mengangkat telepon di depannya. "Halo. Apa Bu Sania ada di dalam? Baiklah."

Resepsionis itu lalu mengabari Lenny agar menunggu selama satu jam. Seorang klien tengah berkonsultasi dengannya saat itu. Satu jam pun berlalu. Resepsionis lalu memanggil Lenny dan Abay agar segera menemuinya. Ruangan akuntan itu berada di lantai dua gedung. Mereka lalu memasuki ruangan Sania.

Seorang wanita tengah duduk sembari mencatat sesuatu dari telepon yang dijepit di bahunya. Sesekali dia mengangguk sambil menulis di atas meja.

"Begitu rupanya. Baiklah. Kami akan memeriksa laporan itu secepatnya," pungkas sang akuntan sebelum menerima dua tamu di hadapannya. "Ada perlu apa cenayang Asosiasi repot-repot datang ke sini?"

"Kami ingin menyelidiki perihal masalah keganjilan laporan keuangan dua kuartal terakhir Priya Group."

Wanita dengan tahi lalat di dagu itu meletakkan pulpennya. "Seingatku Asosiasi tidak punya wewenang untuk menyelidiki masalah penggelapan. Itu wewenang milik Kepolisian."

"Tapi ini menyangkut masalah hidup dan mati Ibu Cempaka Prameswari. Kami sudah memeriksa pengacara Priya Group mengenai kasus penyerangan gaib yang dialami oleh beliau."

Wanita berambut cokelat itu terpaku sesaat. "Apa katamu? Cempaka diserang?"

"Ketika kami menyelidiki kasus itu, Pak Sanata juga mengalami serangan serupa. Apa Bu Sania tahu sesuatu?"

"Apa Pak Sanata yang melapor soal ini?"

"Bukan. Saudara Rendra yang melaporkannya."

Sang akuntan membuang mukanya ke arah meja. "Ini buruk. Rendra dan Billy tidak boleh terlibat dalam masalah ini. Masalah ini lebih rumit daripada perkara harta warisan atau masalah internal perusahaan."

"Apa maksud Bu Sania?"

"Aku melihat. Kematian. Kumohon. Hentikan. Rendra dan Billy masih terlalu muda untuk terlibat dalam masalah ini."

Sanata benar soal Sania yang sedikit aneh. Saat itu Lenny tersadar, akuntan itu rupanya memiliki indra keenam.

"Dia akan mengganggu siapapun yang mengusik rencananya. Tak peduli Bu Cempaka, Pak Sanata, atau anak-anak almarhum Pak Priya. Aku bahkan kesulitan untuk membongkar masalah ini sendiri."

"Jangan cemas. Rendra sudah meminta bantuan kami. Kami akan menyelamatkan mereka sekaligus perusahaan," pungkas Lenny.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro