[Mayat Tanpa Nama] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak tadi Abay gelisah dalam tidur. Kaki yang terangkat di udara turut bergerak seiring pemuda itu bergoyang sana-sini.

Malam itu Abay bermimpi.
Bayangan hitam bergerak mengejar tubuhnya. Setitik cahaya kuning mencolok muncul dari dalam bayangan.

"Bukankah kau putus asa dengan kondisimu yang lemah? Aku bisa membantu dengan mempercepat kematianmu."

"Gak! Aku masih pengen ketemu Ibu!"

"Buat apa kau berharap pada wanita yang jelas-jelas sudah mati?"

Abay tersudut dalam kegelapan absolut. Tubuhnya kini terangkat tinggi. Aliran napas menyempit hingga wajahnya membiru.

"I-bu!"

Abay terbangun dengan keadaan basah kuyup. Detak jam dinding di atas kepala menunjukkan pukul 3 pagi. Keadaan di sekitar senyap. Deru angin bergulung-gulung menjeda sesaat kesunyian sekitar Rancabadak. Pemuda malang itu pejamkan mata lagi. Bisa saja bermimpi buruk karena lupa berdoa.

Pagi itu Abay lalui dengan tubuh pegal-pegal. Perutnya mulai membaik meski tersisa rasa sakit pascaoperasi. Rutinitasnya sama. Seorang dokter datang memeriksanya lalu berganti perawat yang memberi makan. Huh. Sayang. Tak ada cuci mata lagi. Perawat yang datang sedikit gemuk. Tubuh Abay tak bisa duduk tegap hingga perawat pun menaikkan sudut ranjang untuk makan.

Pagi itu ada tamu datang. Para perawat yang membantu Abay tersenyum sesaat pada pria berjas putih di dekatnya.

"Pagi, Profesor Rachmat."

"Pagi, Dokter Jehan. Apa pemeriksaannya sudah selesai? Saya ingin bicara dengan pasien ini sebentar."

Profesor Rachmat duduk di samping ranjang Abay.

"Kudengar dari ayahmu kau dirawat di sini sehingga tidak bisa terapi. Aku sengaja mampir ke sini sekaligus memeriksa keadaanmu juga."

Itu Profesor Rachmat, psikiater yang juga bekerja di rumah sakit itu.

"Bagaimana dengan keadaanmu? Apa halusinasi itu masih sering muncul?"

"Gak gitu sering."

"Begitu. Apa belakangan ini kau juga sering alami mimpi buruk?"

Abay mengangguk.

"Kondisi sakit seperti ini bisa memicu keadaanmu menjadi lebih buruk. Tetaplah positif. Itu akan mempercepat pemulihan kondisi fisik dan mentalmu."

"Baik, Dokter."

Keriput di wajahnya pun turut tersenyum. Profesor Rachmat tinggalkan kursi dan berpapasan dengan Lenny di balik pintu.

"Paman?"

"Lenny. Bukankah kau seharusnya pergi bekerja?"

"Aku sedang tugas di luar. Sekalian saja mampir"

Telinga Abay menangkap percakapan sesaat di dekat pintu. Profesor Rachmat pun pergi seiring Lenny duduk di sampingnya.

"Nyonya gak ke markas?"

"Aku baru saja menyelidiki rumah tersangka. Sekalian saja aku mampir ke sini."

"Terus gimana kelanjutan kasus Eli?"

Lenny menceritakan hasil penyelidikannya kemarin. Berdasarkan pengakuan tersangka, serangan yang terjadi di rumah Elissa bermula dari sakit hati.

Novita dulunya merupakan pembantu keluarga Elissa. Hal itu dibenarkan dengan kesaksian Ua Hasan, kedua orang tua Elissa, dan Ceu Edoh. Dia dipecat setelah tertangkap mencuri perhiasan milik orang tua Elissa. Dia lalu melancarkan balas dendam pada keluarga Elissa selama bertahun-tahun. Dia menghalalkan segala cara demi bisa berada lebih dekat dengan mereka. Penyelidikan Asosiasi pula menemukan bahwa Novita mengalami masalah kejiwaan.

"Aku banyak bertanya soal tersangka pada Profesor Rachmat. Dia menganggap Pak Supriatna mencintainya dan istrinya justru merusak hal itu. Pencurian perhiasan yang terjadi sebelumnya berhubungan dengan hal itu. Dia akan melakukan apapun bagi orang-orang yang telah mengusik 'suaminya'."

"Bener-bener cinta ditolak dukun bertindak. Kayak di film aja."

"Dia juga harus melakukan pemeriksaan kejiwaan lebih lanjut. Pasalnya kami menemukan bukti berupa semacam altar dengan foto Pak Supriatna di kamar tersangka. Kami belum pernah menangani kasus santet yang bermula dari obsesi tidak wajar."

Lenny lalu menaruh hadiah kecil di pangkuan Abay.

"Nyonya. Apa ini?"

"Kado dari Ryan. Dia sedih sewaktu mendengarmu masuk rumah sakit. Dia langsung menggambar ini semalaman. Katanya biar Kakak cepat sembuh."

Itu bukan makanan atau bunga seperti pengunjung lain. Itu sebuah gambar krayon biasa buatan tangan. Tak ada jejak krayon menempel di atas tangan Abay. Ah iya. Abay pernah melihat anak kecil menyemprot cat semprot bening di atas lukisan krayon agar tidak menempel di tangan.

Ada empat orang saling berpegangan tangan di sana. Ada tulisan tangan sederhana dari krayon di bawahnya.

Papa Mama Ryan Kakak

Ryan itu putra semata wayang Lenny dan Adrian. Dia selalu mengajak Abay bermain setiap kali berlatih di sana. Senyuman bocah berumur 9 tahun itu juga hiburan bagi Abay yang menahan sakit berkat latihan setiap akhir pekan. Ketika kertas gambar itu ada di tangannya, air matanya bergulir membasahi piyama rumah sakitnya.

"Cepat sembuh. Semua menunggumu. Jangan melakukan tindakan gegabah lagi kemarin lagi. Paham?"

"Ba-Baik, Nyonya."

Lenny lalu meninggalkan kamar rumah sakit. Abay mengelus gambar buatan Ryan. Andai saja Abay bisa lebih berguna daripada sekarang, ia takkan membuat orang lain sedih.

Abay tidak tahu seberapa lama dirinya di rumah sakit. Hari demi hari berlalu sama saja. Luka di perutnya berangsur membaik. Kaki berbalut gips itu kini berada di ranjang. Abay sudah bisa duduk sendiri sembari naikkan sandaran ranjangnya.

Derap langkah sekelompok pelajar mendekat pun berakhir di depan pintu rumah sakit yang membuka. Sepasang muda-mudi berseragam sekolah datang ke dalam.

"Bay. Gimana, udah agak mendingan?"

Ada perasaan mengganjal ketika Adnan berdiri di sampingnya. Pemuda berambut klimis itu berdiri tegap dengan setelan seragam rapi.

Abay kadang membenci keadaan sekolah. Banyak tugas, guru galak, dan ulangan memang menyebalkan. Lebih menyebalkan lagi mematung di kamar bau obat dengan makanan lembek dan gangguan hantu. Ketika Adnan, Saras, tidak, dan bahkan satu persatu teman sekelasnya datang, perasaannya pun bercampur aduk.

"Bay, kapan sembuh? Dicariin tau sama kapten kelas lain. Katanya gak asik kalo kamu gak ada," ucap si kurus jangkorang yang berdiri di dekatnya.

"Bilang aja lagi libur futsal dulu."

Kebanyakan murid yang datang membesuk itu murid laki-laki. Abay tidak begitu akrab dengan murid perempuan selain Saras. Ia terus bicara berselang tawa dengan teman-teman sekelasnya. Hari itu Bu Naina juga datang. Abay lalu bertanya soal ulangan susulan pada wali kelasnya.

"Bu, susulannya kapan?"

"Bayu mau ulangan sekarang?" tanya Bu Naina.

"Ng-Ng-Gak, Bu. Aku belum sempet belajar."

"Nanti kalau mau susulan, bilang ya. Bayu cepat sembuh dulu."

Matanya berpaling pada seseorang yang seakan bersembunyi di balik kerumunan teman sekelas. Sejak tadi Sephia berdiri sendiri di dekat pintu kamar rumah sakit.

Seorang gadis belia berwajah bulat telur itu seakan menjauh dari balik pintu. Ia berbalik sesaat sebelum Abay memanggilnya.

"Sephia?"

Gadis berambut hitam sedagu itu terhenti di dekat pintu. Mata Abay selalu jeli pada gadis yang mirip artis idolanya. Entah kenapa, Sephia masih belum bisa akrab dengan teman-temannya yang lain.

"Masuk aja. Gak apa-apa. Gabung atuh sama yang lain!" ajaknya.

Senyuman sepintas melengkung di wajahnya. Sephia justru baru masuk ketika teman-teman sekelasnya yang lain pulang. Keadaan di sana sisakan Abay dan kedua sahabatnya.

"Um. Kudengar. Kau terluka saat bertugas," ucap Sephia selagi menunduk.

"Gak usah kaku gitu, atuh. Lagian kita juga temen."

Hingga saat ini, Sephia gugup berada di dekat teman sekelasnya. Trauma di sekolah lamanya membuat Sephia masih menyendiri. Abay berusaha mencairkan suasana. Seingat Abay, ada pedagang kaki lima rumah sakit yang ....

"Sephia, lu udah coba soto di depan belum?"

"Soto ... di depan?"

"Iya. Sotonya enak banget."

Air muka Sephia berubah sesaat. "Mama bilang hati-hati."

"Masa iya sih jualan di deket rumah sakit gak bersih? Cobain aja ke sana. Sotonya gak kalah sama soto Cak Ikin!"

"Be-narkah?"

Ketika Sephia bicara soal makanan kesukaannya, jarak di antara mereka mulai merapat. Cara itu selalu berhasil memancing Sephia bicara. Abay tersenyum selagi Sephia berbicara santai berkat semangkuk soto. Namun, senyum itu bisa menjadi salah arti di mata orang lain.

"Ras?" bisik Adnan.

"Nan, mending kita pulang aja deh."

Adnan lirik jam tangannya. "Bay, kita pamit dulu ya."

Kini mereka berdua di sana. Kemudian, pembicaraan pun berubah.

"Berhati-hatilah. Ada makhluk halus yang berkeliaran di sekitar kamarmu."

"Gue tahu. Kenapa gak pulang? Apa gak takut pulang sendiri?"

"Sejujurnya, aku ... aku tidak tahu jalan pulang."

"Yaelah, bawa HP gak?"

Sephia ambil ponsel dari dalam tas. Abay tersentak. Itu ponsel keluaran terbaru yang baru saja rilis! Iklan ponsel itu sering muncul di internet, televisi, bahkan kanal TV kabel di rumahnya. Jangan sampai ponsel di tangannya jatuh apalagi rusak. Gaji Abay mana sanggup untuk menggantinya.

"P-Password-nya?"

Sephia raih ponsel dan mengembalikannya kurang dari sepuluh detik.

"Bukankah tidak sopan untuk bermain HP orang lain begitu saja?"

"Gue mo pesenin Go-Jack ke sana. Dari Prama lewatin berapa blok?"

Sephia terpaku sesaat.

"Tiga rumah. Satu belokan. Pondok Nira pas di ujung jalan."

Abay tersenyum selagi kembalikan ponsel Sephia.

"Tunggu aja di depan. Tukang ojeknya lagi ke sini."

Sephia menunduk dan berkata, "T-Terima kasih."

"Santuy lah. Namanya juga temen."

Perawat ambil makanan di atas ranjang Abay. Dokter di sampingnya tersenyum dan berkata, "Kondisimu sudah membaik. Kau bisa pulang dalam waktu dekat."

"Benarkah, Dok?"

"Betul. Tapi kau masih harus kontrol ke rumah sakit untuk fisioterapi. Rusuk dan kakimu patah. Butuh waktu untuk memulihkan kondisi fisikmu agar tidak mengganggu pekerjaan. Kudengar kau itu seorang cenayang. Pekerjaan seperti itu memang beresiko mengalami luka fatal seperti ini lagi."

Dokter sudah pergi seiring troli perawat pria itu meninggalkan ruangan. Jam di dinding menunjukkan pukul 6 malam. Pikiran Abay seketika mengarah ke rumah.

Apa yang Ressa masak hari ini?

Apa Ayah tidak marah karena meja makan kosong?

Abay tak bisa tidur. Perut sudah kenyang. Obat pun sudah habis. Sesekali matanya lirik gambar Ryan. Itu bisa menjadi hiburan bila rindu rumah. Lampu kamar rumah sakit masih menyala. Kini ia berusaha pejamkan mata. Semoga saja tak ada hal aneh seperti hantu yang mengganggunya waktu itu.

Keadaan rumah sakit masih ramai saat itu meskipun bukan jam besuknya lagi. Keluarga pasien masih ada yang datang. Dokter dan perawat sudah beredar memeriksa keadaan para pasien di malam hari sekaligus memastikan makan malamnya sudah tersedia.

Isak tangis pun sampai di telinga. Suara itu berasal dari kamarnya. Isak tangis seorang wanita. Jangan sampai. Jangan sampai bertemu hantu berwajah rusak itu lagi.

Abay pejamkan mata selagi abaikan suara yang bisa saja halusinasi itu.

"I-Ibu!"

Abay tarik selimutnya. Anggap saja tidak ada. Anggap saja tidak ada.

"Ibu. Ibu di mana?"

Abay raba-raba ranjangnya. Tombol darurat sudah ada di genggaman tangan. Tubuhnya gemetar. Gigi-giginya mulai gemeletuk.

"Ibu. Maafkan aku, Bu!"

Abay beranikan diri mengintip dari balik selimut. Ada sesosok berbaju nila yang duduk di sofa kamar rumah sakit. Suara isak tangis nyaring seakan-akan ada di dekatnya.

"K-Kenapa?" tanya Abay.

Sosok yang menangis pun berbalik. Sontak Abay menjerit. Ya. Itu hantu wanita bermuka rusak yang mengganggunya saban hari. Pemuda payah itu tekan tombol darurat di tengah ketidakberdayaannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro