[Mayat Tanpa Nama] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begini nasib jadi Bayu Samudera. Sudah jatuh tertimpa tangga, terkena omel pula. Masalah memang sudah menjadi nama tengahnya. Itu artinya Abay tak perlu repot-repot lagi mengurusi paspor di Imigrasi karena sudah punya nama tengah.

"Dasar bodoh! Memangnya kau pikir jatuh dari ketinggian lima meter itu sangat lucu?"

Ayah mengurut dada. Batal sudah perjalanan bisnis ke Kawali berkat telepon dari Saras. Umur pria paruh baya itu seakan bertambah cepat. Ada-ada saja masalah Abay yang bisa membuat tensi Ayah naik sekaligus menambah uban di kepalanya.

"Ayah. Tenanglah. Setidaknya operasinya juga berjalan lancar," bujuk Ressa.

Dokter dan perawat lalu menghampiri brankar Abay. Abay tercenung sesaat dengan keberadaan Dokter Angga. Dokter jaga UKS di sekolahnya itu memang bekerja sebagai dokter UGD di Rancabadak. Seingat Abay, sifnya berada di akhir pekan seperti sekarang.

"Lho, Bayu. Kakimu kenapa?"

"Patah tulang, Dok. Dokter baru dateng?"

"Aku sudah di sini dari tadi siang kok."

Dokter Angga lalu bicara pada Ayah soal prosedur pemindahan pasien. Para perawat langsung memindahkan Abay ke Paviliun Aster. Kini Abay berada di lantai dua, tepatnya kamar nomor 8 Paviliun Aster. Kamar itu terdiri atas empat pasien. Sejak tadi Ressa terus berjaga di kamar. Ayah meninggalkan ruangan setelah mendapat panggilan telepon

"Kak, bosen."

"Biasanya juga nonton film," ucap Ressa selagi menyodorkan ponsel milik Abay dari dalam tasnya.

"Gak enak. Enakan nonton di bioskop ato di rumah. Gambarnya kecil gitu. Mana boros kuota juga."

"Daripada bosen, Bay."

Mereka berada di sana hingga malam hari. Ayah masih bolak-balik ke luar ruangan untuk membalas telepon dari kantor. Sementara itu, Ressa menonton seri drama Chosun di ponsel. Abay ikut-ikutan menonton serial drama di ponsel Ressa.

"Kak!" isak si pemuda malang itu. Air mata meluber begitu saja membasahi pakaian rumah sakitnya.

"Ya ampun, Bay! Emang sakit?"

"Kenapa si cowoknya kudu mati segala sih? Si ceweknya bodo lagi. Masa gitu aja gak peka!"

Rupanya si pecundang itu menangis berkat adegan drama! Tidak banyak yang tahu Abay kerap menangis bila menonton film romantis. Hal itu sering menjadi bahan ledekan Saras di samping ketakutannya akan hantu dan film horor. Kini kakak beradik itu rukun karena menonton serial drama romantis.

Hal itu pula menjadi cibiran dari bibir Ayah yang kembali ke kamarnya.

"Laki-laki kok cengeng. Mau jadi apa nanti?"

"Ayah. Biarin aja Abay nonton. Daripada bosen."

Begini nasib jadi pesakitan. Kaki menggantung di atas kepala. Pantatnya sepegal goyang dangdut semalam suntuk. Tidak ada teman, keluarga, apalagi pesan masuk. Sejak tadi grup Lain kelasnya hanya mengirimkan stiker dan doa agar lekas sembuh. Pasien lain sudah tertidur lelap. Kini ia sendiri bersama dengan jangkrik dan kodok yang konser di taman rumah sakit.

Hari itu sudah lewat pukul 11 malam. Kedua matanya masih terjaga. Sekuat apapun Abay berusaha tidur, matanya kembali membuka. Bermain HP sampai mengantuk pun tak mempan. Ketukan langkah kaki dan sayup-sayup suara sekelompok orang dari lorong sampai di telinganya.

"Eh tau gak. Gua paling males kalo jaga malem," ucap seorang pemuda bersuara sengau yang nyaris tak ada beda dengan suara perempuan.

"Males kenapa sih?" balas orang bersuara berat.

"Gua denger dari anak-anak koas yang lain, di paviliun Aster itu ada penunggunya."

Perkataan dua orang yang berlalu menyapu bulu kuduk Abay. Bersamaan dengan hawa dingin dari sekitar Rumah Sakit Rancabadak di malam hari. Abay remas selimut yang menutupi badannya.

Detak jam dinding di kamar rumah sakit membuat bulu kuduknya menegang. Jalanan sekitar Rancabadak berangsur senyap. Semua berubah menjadi mimpi buruk. Sejak tadi badannya berkeringat dingin. Ia raih tombol darurat di samping ranjang dengan mata mendelik kanan kiri dan gigi saling mengetuk. Angin malam mengamuk. Semua dinding di ruangannya bergerak, menghimpit, dan membuatnya tersudut di atas ranjang. Abay lalu mengerjapkan mata.

"Itu cuman angin. Itu cuman angin."

Lagi, halusinasinya kambuh. Mulutnya berkomat-kamit dari balik selimut.

Langkah kaki di malam hari membuat Abay menutup erat kedua telinga dengan bantal. Bersatu dengan deru angin malam mengusik kesunyian rumah sakit.

"Tolong," suara ringkih parau membisiki telinga Abay.

"Itu cuman halusinasi. Itu cuman halusinasi."

Sudah cukup delusi menyiksanya selama ini. Gejalanya sempat berkurang setelah terapi rutin dengan Profesor Rachmat. Lalu kenapa?

Mulutnya kembali berkomat-kamit dalam tempo lebih cepat. Debaran jantung seakan memutus tarikan napas Abay. Pemuda itu terbelalak. Kepala wanita muncul menembus selimut. Kulitnya pucat dengan rambut hitam lurus tergerai. Ketika wanita itu mengangkat kepalanya, borok di wajah membuat Abay tercengang.

"Tolong!"

Abay menjerit sambil berusaha menekan tombol darurat berulang-ulang. Para pasien yang ada di sekitarnya terjaga.

"Apaan sih? Berisik tahu!" gerutu seorang pasien laki-laki di sudut kamar.

Sosok hantu wanita itu kemudian meraih dada Abay. "Tolong! Tolong aku!"

Wajahnya pucat pasi. Tombol darurat lalu terjatuh dari genggaman tangan Abay. Pemuda itu berakhir tak sadarkan diri.

Pagi itu, seorang bidadari cantik berpakaian putih berdiri di depan Abay. Pandangannya setengah memicing lalu memfokus berkat paras ayu perawat berhidung mancung dengan bibir merah muda alaminya. Suara lembutnya samar mengalun di telinga Abay.

"Saudara Bayu. Sudah waktunya sarapan."

Kecantikan perawat mengalihkan Abay akan keberadaan hantu wanita semalam. Sepasang mata belo berbinar bak mutiara hitam yang terpoles sempurna. Senyuman bibir merah merekah yang terlipat. Ya setidaknya cuci mata gratis. Perawat bertubuh semampai di depannya meletakkan baki makan beserta obat dengan anggun.

"Habiskan makanannya ya. Dokter akan memeriksamu jam 9 nanti."

Senyuman perawat bermata sayu menyiratkan kehangatan. Andai saja perawat itu seorang selebgram atau artis.

Perawat berbaju putih itu mendorong baki menuju ranjang di seberang. Seorang dokter berambut keriting datang memeriksa kondisi tubuhnya. Itu Dokter Jehan, dokter beram pop

"Kudengar dari dokter jaga kalau semalam tiba-tiba membunyikan tombol darurat? Apa masalah apa?"

"Dokter. Bisa pindah kamar gak sih? Di sini angker."

"Ya ampun. Di sini itu gak ada hantu. Kau tidak bisa pindah kamar begitu saja," balas Dokter Jehan.

Sial. Abay harus bertahan di sana sampai sembuh? Rasanya ini seperti terjebak dalam film horor!

Siang harinya, Abay tidak menyangka kedua sahabat baiknya datang menjenguk ke rumah sakit. Keberadaan mereka melenyapkan pinggul yang encok dan teror hantu semalam.

Saras menaruh sekantung keresek berisi buah-buahan di atas nakas. "Nih, Bay. Gue bawain buah. Biar cepet sembuh."

"Cih. Bawain pizza ato traktiran shabu-shabu kek!"

"Ini orang sakit ato preman sih?" cibir Saras.

"Bay, pucet banget. Kenapa?" tanya Adnan.

"Gue gak bisa tidur, Nan!"

Saras menyilangkan tangan di dada. "Emang kenapa sih, Bay? Lo gak bisa tidur karena bekas operasinya masih sakit?"

"Ada hantu nyeremin banget di sini, Ras!" Abay gemetar. "Gak mau tahu. Gue pengen pindah kamar!"

"Emangnya bisa pindah kamar gitu? Ini rumah sakit umum, Bay. Bukan rumah sakit punya Om Wira."

Abay bercerita soal kejadian semalam. Gadis berambut merah bata itu termenung.

"Emang sih gue ngerasa ada energi negatif gak wajar. Soalnya deket kamar mayat. Kalo gue ngeliat pasti—"

Kini Adnan ikut-ikutan pucat pasi dibuatnya. Kenapa Saras harus bicara soal hantu di depan kedua pecundang itu?

"Ras, lu mau tanggung jawab kalo asma si Bengek kumat terus koit?"

Saras melotot ke arahnya. "Bay, lo malah ngedoain Adnan koit?"

"Udah deh. Ngapain kudu berantem sih? Kasian ngeganggu pasien yang lain," lerai Adnan.

Adnan dan Saras tidak berlama-lama di sana. Mereka menyerahkan kartu ujian tengah semester miliknya. Abay bernapas lega karena tidak harus bertemu soal Matematika, Akuntansi, dan Ekonomi yang membuatnya kejang-kejang minggu depan. Tetap saja, ulangan susulan sendiri itu jauh lebih horor daripada terjebak dengan hantu rumah sakit semalaman.

Malam hari di rumah sakit. Abay masih berjuang untuk tidur. Saat itu jam masih menunjukkan pukul 8 malam. Ia tidak ingin bertemu sosok hantu wanita itu lagi. Kelopak matanya berayun melawan hasrat untuk tidur cepat. Semakin lama semakin berat hingga suara itu berbisik lagi.

"Tolong. Tolong."

Abay kembali terjaga. Ia mencari seribu cara agar lekas tidur nyenyak di malam hari.

Menonton film di ponselnya? Adanya rekomendasi film di beranda aplikasi streaming itu film horor.

Main game? Abay tidak begitu suka main game.

Terus apa lagi? Lantas, ia ingat salah satu adegan film kartun yang pernah ditontonnya.

Kalo gak bisa tidur, ngitung domba aja!

"Sebelas domba. Dua belas domba."

Badannya sudah lelah tapi tak kunjung untuk tidur. Ia mencari cara lain. Buah-buahan masih tersisa sebagian di atas nakas. Ia kunyah apel perlahan untuk memancing kantuk. Detak jantung melambat membuat ia tidak bisa tidur. Ia telan apel pelan-pelan sambil menggenggam tombol darurat di samping.

Lorong rumah sakit semakin senyap. Derap langkah kaki membuat Abay terjaga.

"Siapa di sana?" Abay berbisik. Ia menoleh ke arah jendela rumah sakit. Bayang-bayang sekelompok orang berjalan lewat di lorong. Ternyata dokter yang sif malam.

Tak lama kemudian, suara parau membalas perkataan Abay.

"Kau bisa melihatku?"

Abay gigit apel besar-besar lalu mengunyahnya cepat. Apel di tangan habis, Abay langsung mengambil pisang. Ia sumpal mulutnya dengan buah-buahan setiap kali ingin berteriak. Sudah cukup ia mendapat masalah dari pasien sekamarnya. Hantu itu pun mendekat. Ia tampakkan wujudnya di samping ranjang.

Jurus Distorsi Batas menjadi cara teraman untuk berteriak kencang tanpa masalah. Dimensi distorsi masih belum cukup untuk mengatasi keberadaan hantu wanita di depannya. Apa yang hantu itu inginkan? Kenapa hanya Abay yang bisa melihatnya? Pertanyaan-pertanyaan masih bercokol di benak pesakitan dalam jeratan gips.

"Jangan ganggu. Jangan ganggu. Alam kita udah beda. Pergi sono!" usir Abay yang memicingkan mata. Tangannya masih meremas pisang seperti menggenggam pisau.

"Aku tak bisa pergi," jawab hantu wanita dalam rompi nila panjang yang lusuh. Rompi itu benar-benar familiar. Persis seragam pegawai toko atau pegawai bank, masih di sekitar Kopo.

"Ke-Ke-Kenapa gak sekalian ganggu dokter ato pasien yang lain kek? Gu-Gu-Gue parno tau!" bentak Abay terbata-bata.

"Kau satu-satunya anggota Asosiasi yang dirawat di rumah sakit ini. Tolong! Temukan jasadku. Aku tidak ingin membuat ibuku sedih."

Lantas siapa sebenarnya hantu wanita itu? Membayangkan hantu berambut panjang dengan wajah borok bercampur nanah saja lebih buruk daripada bertemu Sadako.

"Bisa minggir gak? Urang gak bisa tidur yeuh."

Akhirnya Abay bisa tidur di malam itu juga. Tepatnya ia pingsan berkat hantu yang tidak mau menyingkir dari pandangannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro