[Sepatah Kata] - 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jantung siapa yang tidak copot saat Elissa benar-benar terjun dari lantai dua rumah? Fokus para cenayang terpecah belah. Ceu Edoh bahkan langsung menutupi wajahnya dengan panci. Mereka tak sanggup mendapati tubuh gadis belia bermata menyipit itu menjadi onggokan daging tak bernyawa.

Ternyata tidak. Tubuh Elissa justru melekat di langit-langit rumah. Logika macam apa ini? Jelas-jelas ini bertentangan dengan teorema Newton yang ada dalam buku pelajaran sekolah. Sosok yang merasukinya benar-benar puas mengerjai orang-orang di bawah sana.

"Dasar makhluk-makhluk hina! Memangnya kalian bisa menangkapku?"

Kini Ceu Edoh tak sadarkan diri. Sosok dalam diri Elissa tertawa dengan seluruh kekacauan di bawah sana.

"Teruslah kalian seperti itu! Itulah balasan karena menentang kami!"

Kedua orang tua Elissa terus mendesak para cenayang. Sosok di dalam tubuh Elissa lalu memanggil bala bantuan. Sekelompok makhluk halus berkumpul di lantai bawah rumah. Tujuh melawan empat. Keempat makhluk halus bertubuh gelap itu langsung menyambar para cenayang.

"Malika. Apa lu bisa mendeteksi kekuatan mereka?" tanya Jaka lewat sambungan alat telekomunikasi di telinga. Sial. Tak ada balasan.

Jaka dan Andri terus menahan agar orang tua Elissa dan keempat makhluk halus di dalam sana tidak menyentuh Saras. Sementara itu, Saras dan Abay membopong Ceu Edoh ke kamarnya.

"Ras, gimana nih?"

"Bay, mending lo jagain Ceu Edoh. Gue bakal bantu Bang Jaka sama Bang Andri di luar."

Saras bertolak menuju area ruang tengah yang berubah menjadi medan pertempuran dadakan. Jaka kembali menggunakan Distorsi Batas yang efeknya sempat memudar. Jangkauan jurus itu tidak sampai ke kamar Ceu Edoh. Abay lalu mencari obat-obatan, minyak kayu, putih, atau balsem di antara barang-barang pribadinya. Tak ada satupun di atas meja televisi apalagi lemarinya. Tanpa sengaja dirinya mendapati Yanuar yang terluka dari arah jendela kamar. Jalannya tertatih setelah berusaha menembus tembok halaman belakang. Abay segera menghampirinya.

"Lu gak apa-apa?"

"Jin tadi kuat juga. Untung saja wanita berambut putih di sana berhasil menyegelnya."

Abay lalu membawa Yanuar ke kamar Ceu Edoh. Sekilas, keadaan di sekitar bagian depan rumah benar-benar rapi dan kosong. Semua itu merupakan efek samping dari jurus Distorsi Batas. Entah kenapa Yanuar berlari ke tengah gedung. Dalam kondisi terluka, ia mengoyak penghalang dari jurus Distorsi Batas. Abay lalu mengejarnya.

Keadaan di sana kacau balau. Meja makan terbelah. Piring-piring pecah berserakan. Isi lemari di ruang tengah rumah Elissa berceceran. Para cenayang mulai kehabisan tenaga. Pantas jurus itu mulai kehilangan efektivitasnya.

"Bay. Ngapain ke sini? Gimana caranya bisa nembus?" tanya Jaka dengan napas terengah-engah.

"Bukan gue yang nembus," Abay lalu memasang ulang jurus Distorsi Batas. Ia lalu menunjuk ke arah Yanuar yang menerjang kedua orang tua Elissa sendiri.

"Siapa dia?"

"Bangsa lelembut yang—"

Darah pun memercik dari bibir gelapnya. Aneh. Padahal biasanya penggunaan tenaga dalam ringan seperti berlari tidak berefek samping seperti melakukan manifestasi.

"Mending lu temenin pembantu itu di kamar," bujuk Jaka.

Lagi. Abay seperti anak bawang. Wajah Saras lebam ketika menghadapi dua sosok bayangan itu sendiri. Andri terus menghindari lemparan pisau ayah Elissa sambil berlari. Jaka kembali menghadapi ibu Elissa dan sosok bayangan di sampingnya. Bahkan Yanuar pun memaksakan diri bertarung dengan luka yang semakin melebar.

Abay lalu mendongak ke arah Elissa yang bergerak bak laba-laba. Apa yang harus Abay lakukan?

Eksorsis.

Abay kumpulkan segenap tenaga dalam pada tangan dan kakinya. Ia gunakan Lompatan Kelinci untuk meraih Elissa. Masa bodoh dengan mimisan dan darah di bibirnya.  Tangannya raih tubuh Elissa di langit-langit sana.

"Kau ingin jadi sok jagoan rupanya?"

Abay menggunakan jurus Pemurnian Jiwa, jurus yang sering digunakan untuk eksorsis. Namun, jurus itu tidak berefek apapun.

"Kampret! Kok gak bisa sih?" rutuknya.

Sosok dalam tubuh Elissa kemudian membanting Abay hingga membentur  lantai. Pemuda itu menjerit. Tulang kakinya menyembul dari balik kulit yang koyak.

"Ibu!"

Para cenayang langsung menghampiri Abay.

"Tahan dikit, Bay," ucap Jaka selagi membalut kaki Abay dengan kemejanya.

Sementara itu, sosok dalam diri Elissa meninggalkan tubuhnya. Yanuar lalu menangkap tubuh Elissa yang jatuh di udara. Sosok itu kemudian memperlihatkan wujud aslinya yang separuh anjing.

Bibirnya selebar muka. Deretan gigi-gigi panjang dan runcing nan mencuat siap melahap Abay. Tarikan napasnya berbau bau sampah busuk yang bercampur dengan setumpuk cucian kotor. Jaka dan Andri berusaha untuk menghadangnya. Namun, sosok bayangan menahan kedua tangan mereka. Saras bertolak menyarangkan tendangan dari belakang. Namun, gadis itu terpelanting membentur anak tangga.

Kini hanya sosok itu dan Abay. Pemuda itu tak kuasa melawan sosok yang mencekik lehernya tinggi. Keringat dingin mengucur deras dari diri pemuda malang itu.

"Kau memang nekat, tapi badanmu sangat menarik. Dagingmu bebas lemak, padat, dan kenyal."

Saras berusaha bangkit. Gadis berwajah lebam itu kemudian menyerang untuk kedua kalinya. Kini tubuhnya terpental berkat serangan dari sosok bayangan yang menghadang di dekat tangga.

"Nyalimu besar juga, Nona. Apa mungkin aku harus memakanmu juga?" ucapnya selagi menjilati bibir yang basah. "Ah, sudah lama sekali aku tidak memakan daging perawan tangguh seperti dirimu."

Kuda-kuda Saras mulai goyah. Gadis itu berusaha untuk menyelamatkan Abay.

"Saras. Jangan! Itu terlalu berbahaya!"  seru Andri.

Abay tak bisa lagi seperti ini. Sudah cukup Saras menolongnya sejak masih SD. Tak peduli dari kejaran anak geng berseragam SMA, preman, kakak kelas semasa SMP yang memeras uang bekalnya, siluman harimau, bahkan pembunuh bayaran. Tarikan napasnya mulai membeku sesaat. Sosok setengah anjing di depannya gemetar.

"Hawa dingin macam apa ini?"

Hal serupa terjadi pula di sekitar Jaka dan Andri. Jaka bersin kencang karena hanya mengenakan kaus dalam.

Gigi-gigi Jaka mulai gemeletuk. "Ndri, emang tadi di sini nyalain AC?"

"Perasaan gak deh. Aku lihat AC-nya juga mati dari pas kita nyampe sini."

Sosok setengah anjing di depan Abay terpaku. Sekujur tubuhnya gemetar dengan perubahan suhu mendadak. Tangannya melepaskan Abay begitu saja. Pendarahan hebat akibat patah tulang mulai menguras kesadaran Abay. Semuanya kini buyar lalu berganti bayang-bayang hitam.

Abay terbangun di sebuah tempat yang gelap dan sunyi. Kakinya yang patah sudah bisa kembali berjalan.

"Ras? Bang Andri? Bang Jaka?"

Berulang kali Abay berteriak, suara itu bergema seakan tak berujung.

Semua orang meninggalkan Abay. Pemuda itu termenung sendiri karena tak bisa apa-apa. Tak bisa bertarung, menggunakan tenaga dalam secara bebas, apalagi menolong orang-orang terdekatnya.

"Aku dengar kau sangat menginginkan kekuatan."

Suara misterius itu kembali mengikuti Abay. Ia lalu menoleh sekeliling. "Siapa kau?"

"Cih. Aku? Aku tidak sudi melihat pemuda payah dan lemah sepertimu."

"Apa benar kau bisa membantuku?"

"Aku bisa membantumu dengan satu syarat."

"Apa yang harus kulakukan? Aku lelah bila harus berakhir tak berguna seperti ini!"

Sosok itu kembali berbisik, "Mati."

Semua berubah terang. Cahaya menyilaukan di atas kepala membuat Abay tersadar. Aroma obat-obatan bercampur dengan darah yang mengering. Ketika Abay menoleh sekeliling, hanya ada tirai penyekat dan rekan-rekan satu unitnya. Termasuk Lenny.

"Nyo-Nyonya gak kenapa-napa, 'kan?"

"Dasar bodoh! Apa kau tidak lihat keadaanmu sendiri?"

Abay menoleh ke depannya. Seorang pasien terbaring di seberang sana. Kakinya kini berselimut gips yang mengangkat tinggi. Sementara itu, perban turut membalut Jaka, Andri, dan Saras.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

Saras lalu bercerita kejadian sewaktu dirinya pingsan.

Sosok yang selama ini meneror Elissa dan keluarganya sudah lepas. Pengaruhnya melemah seiring dengan hawa dingin yang tanpa sadar Abay lepaskan. Jaka dan Andri memanfaatkan kesempatan itu untuk melakukan eksorsis. Sementara itu, Saras merawat Ceu Edoh, orang tua Elissa, dan Elissa yang pingsan. Yanuar lalu pergi tanpa sepatah katapun.

Lenny bahkan menangkap tersangka setelah mengalami pertempuran sengit. Tak heran, tangan Lenny juga terluka. Dia lalu menelepon rumah sakit setelah mendapati kabar dari Malika soal timnya susah dihubungi.

"Berapa lama aku pingsan?"

"Sekitar dua jam. Kau langsung dibawa ke ruang operasi mengingat kondisimu yang mengalami patah tulang serius. Kau akan segera pindah dari UGD setelah orang tuamu selesai mengurusi administrasi rumah sakit."

"A-Ayah juga di sini?"

"Iya. Gue yang telepon Om Wira, Bay. Om Wira sama Kak Ressa lagi pergi ke bagian administrasi," jawab Saras.

"Kenapa kudu Ayah—"

"Apa kau tahu biaya operasimu itu melebihi batas tanggungan kecelakaan Asosiasi? Kau juga melanggar aturan saat bertugas," bentak Lenny. "Jangan pernah ulangi kebodohanmu ini lagi. Paham?"

Hari itu Abay belajar. Sebuah kesalahan kecil bisa berakibat fatal bagi dirinya. Kakinya kini menggantung di atas ranjang dengan gips yang belum mengering. Ia kini jauh lebih tidak berguna dibandingkan sebelumnya. Setidaknya masalah Elissa sudah terpecahkan. Itu dengan bayaran dirinya harus terbaring di Rumah Sakit Rancabadak, salah satu rumah sakit rujukan pasien dari Asosiasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro