[Terawang] - 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam itu teramat gelap. Gemintang di atasnya meredup di balik gumpalan awan. Seorang pria yang duduk di dahan pohon cemberut. Langit tidak meninabobokannya dengan kerlap-kerlip perhiasan malam seperti kemarin.

"Sudah berapa tahun aku tinggal di alam manusia?" gumamnya selagi menengadah ke langit. Pria itu kembali menguap sambil menggeliat. Matanya memberat setelah berjaga semalaman. Baru saja kelopak matanya menutup, suara gaduh muncul dari bawah sana.

"Cepat turun dari sana!"

Pria itu mencibir, "Hei, bisakah kau membiarkanku tidur dengan tenang?"

Seorang pria dengan rompi kevlar menginjak puntung rokok. "Cih. Makhluk halus sepertimu tak bisa dipercaya. Pasti kau yang mengganggu penduduk di sekitar kebun dan menyebabkan malapetaka."

Pria bertelanjang dada itu turun dari dahan pohon. "Memangnya aku salah bila menumpang tidur? Aku kurang tidur karena seorang ibu yang melahirkan di tengah malam! Aku tidak pernah bermaksud untuk mengganggu manusia apalagi penduduk sekitar sini."

Pria berompi kevlar itu memasang kuda-kuda mantap di atas tanah berhampar rumput liar. "Memangnya aku percaya dengan alibimu?"

Pria itu mendengkus. Sebilah tombak muncul dalam genggaman tangan kanannya. "Cih. Kau memaksaku untuk menggunakan tombak tak berguna ini. Kau benar-benar manusia kurang ajar yang mengganggu tidurku!"

Pertarungan di antara makhluk halus berambut putih dan seorang pria berompi kevlar tak terelakkan lagi dengan satu alasan: bisakah pria itu tidur nyenyak walau sekejap saja?

Kepala Abay pengar. Ketika ia membuka mata, badannya berada kamar tamu. Ayah, Tono, dan Farmidji Ruslan berada di sana. 

"Kok bisa ada di sini sih?" ucapnya selagi berusaha duduk di ranjang.

"Kau pingsan sewaktu Ayah melakukan eksorsis. Kupikir kau akan binasa dengan kemampuan Ayah. Ternyata selama ini kemampuanmu mulai kembali hingga menyamai Ayah."

"Terus gimana dengan pusakanya?"

"Pusaka itu tiba-tiba lenyap seperti menemukan pemiliknya. Penerawanganku memang mengatakan Nak Wira akan datang ke sini dengan membawa kunci dari senjata pusaka itu. Kunci itu tak lain adalah dirimu," timpal Farmidji Ruslan.

Abay menggaruk kepala. Kunci? Apa itu nama band atau merek tepung terigu yang biasa Ressa minta belikan di pasar untuk membuat kue?

Abay pun berbisik pada Ayah, "Beliau lagi ngelantur apa mabok lem sih?"

Pertanyaan bodoh Abay kini berakhir jeweran di telinga yang membuatnya menjerit-jerit minta ampun.

"Ternyata Nak Wira galak juga pada anaknya."

Ayah mengurut dada. "Anak itu memang kurang ajar jika tidak diperingatkan."

"Terus maksudnya kunci itu apa? Perasaan aku gak bawa kunci," tanya Abay.

"Bapak emang ngomongnya agak aneh sama ambigu sih, Bay. Soalnya Bapak bisa ngeliat masa depan dari orang yang diajakin ngobrol," balas Tono.

Bola mata Abay membelalak. "Pak-Pak Farmidji bisa nerawang masa depan?"

"Itu benar, Nduk. Bapak memang bisa melihat masa depan seseorang selama satu tahun ke depan. Itu sebabnya Bapak tidak bisa asal bicara. Semakin akurat perkataan Bapak soal penerawangan masa depan seseorang, masa depan yang Bapak lihat dari orang itu akan berubah drastis dan tidak akurat."

"Paradoks masa depan. Rasanya ini seperti film yang pernah kutonton saja."

"Coba kau keluarkan senjata itu, Nak," pinta Ayah.

Abay menggaruk kepala. "Hah? Gimana caranya?"

"Dulu kau pernah berduel denganku sambil mengeluarkan tombak milikmu. Cobalah kau mengingat caranya."

Jadi, mimpi itu ... memang pernah terjadi di masa lalu? Bagaimana bisa? Selama ini kemampuan Abay bekerja selama berada di sekitar ... tunggu. Abay menggenggam senjata itu selagi Ayah melakukan eksorsis. Lalu sebuah tombak muncul di atas ranjang. Tombak sepanjang 1,5 meter itu muncul begitu saja dalam genggaman Abay. Pemuda itu mengangkat tombaknya tinggi.

"Seriusan ini téh ada tombak di tangan?"

Lain halnya dengan Abay, sepasang ayah dan anak melongo di samping ranjang.

"Lho, bukannya Bapak bilang kalau pusaka itu jauh lebih berat daripada tabung gas elpiji yang besar?" tanya Tono.

"Ini sangat aneh. Seingat Bapak pusaka itu sangat berat. Bapak harus meminta bantuan dua cenayang lain untuk membawanya ke mobil," timpal Farmidji.

Sementara itu, Ayah mengamati betul-betul tombak di tangan Abay. "Tidak salah lagi. Ini tombakmu yang sempat hilang. Bagaimana bisa tombak itu berada di TKP kasus pembunuhan?"

"Sepertinya ada yang memungut pusaka itu lalu menjualnya pada pelaku. Aku tidak begitu tahu persis soal penemuan benda itu di TKP. Benda itu sudah berada di gudang Asosiasi Divisi Pusat sejak lama."

Kasus pembunuhan. Ingatan Abay akan tombak itu terakhir kali menyiratkan pertemuan pertamanya dengan Ayah. Mereka pernah bertarung di sebuah rumah tepi perkebunan, sekitar kawasan Lembang. Abay kemudian mencari tahu misteri keberadaan tombak itu dengan kemampuannya.

Sebuah rumah di kawasan Lembang, tidak tahu persisnya. Seorang pria berambut hitam diikat rendah tengah mencari suatu hal.

"Berdasarkan laporan warga, terdapat serangan gaib secara misterius yang berasal dari sekitar rumah ini. Masalahnya tak sedikitpun jejak atau barang bukti yang muncul di sekitar sini."

Pria itu menoleh ke samping. "Wira?"

Keadaan di sekitarnya benar-benar kosong.

Pria berjaket kevlar itu melanjutkan penyelidikannya. Dia menyoroti setiap bagian rumah yang temaram dengan senter di tangan. Derap langkah kaki dari belakang membuatnya berbalik sambil menyorot dengan senternya.

"Astaga. Bisanya ngagetin aja kamu, Dik."

Seorang pria berkulit cerah kemudian mendekatinya. "Lho. Mas Radit sendirian di sini? Di mana Wira?"

"Entahlah. Sepertinya Wira lagi di kamar mandi. Ini aneh. Masalahnya Wira gak pernah pergi tanpa bilang-bilang. Biasanya Wira langsung balik lagi setelah ke kamar mandi."

"Mungkin saja dia sakit perut. Abisnya dia tadi makan nasi padang dua porsi sambil nambah sambel. Mau kutemenin?"

Pria bernama Radit itu menghela napas lega. "Baguslah kalo ada temen. Tempat ini terlalu mengerikan untuk diperiksa sendiri."

Mereka lalu melanjutkan penyelidikan di sekitar kawasan rumah. Radit kemudian berhenti di dekat sebuah lemari tua. 

"Dik, sini deh. Kamu ngerasain hawa yang gak enak dari lemari ini gak?"

"Lemari?" Pria di dekat Radit mengeluarkan sebilah tombak yang tersembunyi di punggungnya. "Gak ada yang aneh kok."

"Kok perasaanku malah gak enak ya. Aku ngerasa hawa-hawa kayak ada yang ngikutin terus," Radit berbalik, "Dika. Apa yang kamu lakukan?"

Dika menyeringai. "Lho. Aku cuman pegang tombak ini dari tadi. Kali aja ini barang bukti."

"Dika! Lepasin! Gak lucu tahu!"

Dika mengumpulkan segenap tenaga untuk mengayunkan tombak itu."Mas Radit mending istirahat. Nanti Wira juga ke sini kok."

Tepukan Ayah mengembalikan Abay ke dunia nyata. Badannya gemetar setelah menggenggam tombak yang kembali lenyap.

"Nak?"

"A-Ayah."

"Nak Wira," Ayah menoleh ke arah Farmidji, "Berhati-hatilah. Kau akan mendapatkan hal yang selama ini diinginkan, tapi dengan taruhan besar."

"Apa? Maksud Pak Farmidji itu ... Marini akan pulang? Benarkah?"

"Aku tidak bisa memastikannya, tapi," Farmidji lalu menoleh ke arah Abay, "masalah pelik sedang menunggu keluargamu terutama Nak Bayu. Nak Wira akan mengalami masa-masa sulit karenanya."

Abay masih gemetar dengan kejadian yang muncul di depan matanya.

"Nak, ayo kita pulang!" ajak Ayah.

"Nak Wira. Kenapa terburu-buru untuk pulang sekarang?"

"Jalan tol ke arah Kopo akan macet. Mumpung sekarang bebas ganjil genap. Permintaan Pak Farmidji juga sudah selesai."

Ayah dan Abay bersiap untuk mandi. Mereka langsung bersiap pulang. Namun, perasaan mengganjal masih tersisa di dada. Tombak itu ....

"Nak, gak pamit sama Pak Farmidji juga Bu Farida?"

Abay lalu memberi salam pada Farmidji dan Farida di dekat pintu. Pria tua yang duduk di kursi depan rumahnya itu berkata.

"Aku melihat kegelapan akan terus mengikuti Nak Bayu. Nduk, apapun jalan yang kaupilih, terus dengarkan kata hatimu. Ingatlah itu agar kau tidak kehilangan arah apapun masalah yang mendera."

"I-Iya, Pak."

"Bay, sampe ketemu di Centrum ya. Kalo butuh bantuan bilang aja," ucap Tono.

"Paling minta bocoran UN sih."

Tono menepuk jidatnya. "Dasar. Belajar yang bener! Jangan ngarep sama bocoran UN yang gak jelas."

Ayah dan Abay melambaikan tangan sebelum bertolak kembali ke Kopo. Abay lalu bertanya soal kejadian dari masa lalu pada Ayah.

"Ayah kenal seseorang bernama Radit?"

Ayah kemudian menyalakan rokok selagi macet. "Mas Radit itu bisa dibilang saudara angkat Bapak. Orang tuanya membiarkan Bapak tinggal di sana semasa kuliah di Kopo. Mereka juga kenal dengan ibumu."

"Kenal dengan Ibu juga?"

Lampu persimpangan jalan kembali hijau. Mobil Ayah lalu berbelok melewati jalanan menuju jalan tol. Lagi, kemacetan menjebak mereka beberapa meter kemudian. Maklumlah. Banyak penduduk Jayakarta menghabiskan libur akhir pekan di Kopo. Terlebih semenjak popularitas tempat wisata di Kopo lewat internet dan dibukanya jalan tol yang langsung menghubungkan kedua kota. Ayah kemudian bercerita sambil mengisap rokoknya.

"Itu benar, Nak. Mas Radit itu yang jodohin Ayah sama Ibu. Lucu memang. Ayah kabur dari perjodohan untuk kuliah, tapi justru ketemu sama orang yang mau dijodohin di Kopo. Ujung-ujungnya dijodohin juga sama Mas Radit."

"Jadi, Ayah dan Ibu dulunya mau dijodohin?"

"Itu benar. Kami berdua kabur dari kampung karena tidak mau dijodohkan. Ayah kabur dengan mengambil tawaran beasiswa kuliah. Ibu memang sejak awal ingin kerja di kota."

Ayah kemudian menyetel radio. "Sayang Mas Radit sudah lama meninggal. Jika saja kau tidak menahanku saat itu, Mas Radit mungkin akan selamat. Dia tewas dalam penyelidikan Lembang sektor 14."

Haruskah Abay ceritakan kebenaran tentang kematiannya? Tidak. Ini bukan saat yang tepat.

Setelah terjebak dalam kemacetan Jayakarta, akhirnya mereka berhasil mencapai jalan tol. Ayah mendengkus, lagi-lagi dengan kemacetan di atas jalan layang persimpangan Cikunir. Ayah hendak menyetel kaset lagu lawas kesukaannya, tapi salah memencet menjadi tombol radio. Saat itu, radio menangkap siaran dari sekitar.

"Kabar duka muncul dari kawasan Jayakarta. Mantan ketua Asosiasi Divisi Pusat, Farmidji Ruslan, meninggal dunia akibat serangan jantung. Jenazah kini disemayamkan di rumahnya sebelum dimakamkan esok hari ...."

Ayah kemudian menyetel kaset lawas di mobil.

"Sepertinya pembersihan itu ...."

"Ayah."

"Ayah masih harus memeriksa keadaan proyek di Kawali sebelum diresmikan. Kau jangan terbebani akan hal itu, Nak."

Mobil terus melaju melewati jalanan. Kehidupan layaknya jalan tol. Mereka takkan tahu hal yang menantinya di ujung sana.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro