[Terawang] - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pria berusia enam puluhan itu tersenyum. Padahal tidak bermaksud untuk tersenyum. Garis keriput di sekitar mata yang menyipit menyiratkan senyuman teduh dari wajahnya. Itulah ciri khas seorang Farmidji Ruslan—mantan ketua Asosiasi pertama setelah era Reformasi yang tiba-tiba saja menghubungi Ayah. Yudha lalu mengantar Ayah dan Abay ke kamar tamu sesuai permintaannya.

Rumah setapak itu layaknya landhuis peninggalan kolonial dengan banyak kamar. Sebagian besar anak dari sang mantan ketua eksentrik itu sudah menikah. Kini tersisa kamar-kamar kosong yang hanya terisi saat libur panjang dan hari raya.

"Omong-omong, di mana Bu Farida? Biasanya beliau selalu ada di samping Pak Farmidji," tanya Ayah.

Yudha membalas, "Bude lagi ke Kopo buat bantu pindahan Tono. Namanya juga anak bungsu dan baru masuk kuliah. Katanya besok pulang."

Tono memang setahun lebih tua daripada Abay. Selama ini dia tinggal bersama kakaknya yang bekerja di Kopo. Rupanya Tono tidak mau merepotkan kakaknya dengan memilih kos dekat kampus. Abay jarang berbicara lagi dengan Tono sehingga tak banyak tahu soal kuliahnya.

Mereka melalui sebuah ruang makan luas di belakang rumah. Meja makan tua dengan delapan kursi di depan Abay masih terawat dengan baik. Dapurnya terbilang modern dengan kulkas dua pintu model terbaru dan kompor dengan oven. Namun, hawa di sekitarnya membuat Abay tak kerasan. Instingnya berkata hawa itu berasal dari pintu tertutup yang ada di sebelah kanannya. Yudha lalu membuka pintu yang berada di samping kiri ruang makan.

Ada sebuah ruangan dengan kasur tingkat di dalamnya. Meskipun kamar tamu, bagian dalamnya bersih dan rapi.

"Maaf kalo kamarnya agak kecil. Pakde gak bilang kalo tamunya ada dua orang."

"Tidak apa-apa," pungkas Ayah sebelum beristirahat.

Abay tidur di ranjang bawah sementara Ayah tidur di atas. Mereka sebatas membawa dua setel pakaian untuk ganti besok.

"Ayah. Apa Ayah ngerasa hawa yang aneh dari belakang?"

"Iya. Itulah yang beliau ceritakan di WasApp. Beliau minta Ayah untuk memeriksa gudangnya. Kenapa harus Ayah sementara beliau bisa menanganinya sendiri?"

"Apa mungkin karena sakit?"

"Pak Farmidji itu bisa menangani masalah berat meskipun sedang sakit."

Banyak isu beredar di kalangan para cenayang mengenai Farmidji Ruslan. Abay sebatas mengetahuinya dari penjelasan Lenny di kelas selama pelatihan. Konon, pria tua murah senyum itu terkenal eksentrik. Berkepribadian ramah, tapi sering bicara hal-hal aneh. Hal itu tidak selalu berhubungan dengan hal supranatural. Seperti halnya pagi itu.

Seorang wanita paruh baya dengan uban menutupi sebagian kepalanya menyiapkan sarapan. Itu Farida, istri Farmidji Ruslan. Tenaga wanita itu benar-benar ekstra meski baru sampai dari Kopo sekitar pukul 10 malam.

"Maaf kalau makanannya hanya sebatas ini. Ibu juga belum sempat belanja karena bangun kesiangan."

"Tidak masalah," balas Ayah sambil mengambil nasi dari bakul di atas meja.

Sarapan menjadi momen bersantai bagi para orang tua. Abay kemudian menoleh ke arah Tono yang baru saja meninggalkan kamar. Pemuda bertubuh atletis itu melambaikan tangan sesaat sebelum turut sarapan.

"Bay, ngapain ke sini?" sapanya selagi menarik kursi.

"Aku cuman ngikut Ayah ke sini."

"Tidak kusangka. Tono dekat dengan anak Nak Wira," timpal Farmidji.

"Apa anak Pak Farmidji juga bergabung dengan Asosiasi?" tanya Ayah.

"Tono tidak tertarik dengan hal-hal supranatural apalagi bergabung dengan Asosiasi. Dia jauh lebih tertarik dengan akademik dan olahraga."

"Kupikir anak Pak Farmidji kenal dengan Abay dari Asosiasi."

"Gak kok. Kami sering ketemu di kolam renang. Tono itu perenang tercepat di klubnya, tapi sering nongkrong di Centrum buat deketin cewek di klub," timpal Abay.

"Eh, Bay. Ngapain kudu dibilang-bilang sih? Malu tahu ada tamunya Bapak!" timpal Tono.

Sarapan pagi itu berlalu dengan pembicaraan soal gadis incaran Tono dan hal santai. Farmidji kemudian mencegat Tono yang hendak kembali ke kamarnya.

"Bapak mau apa?"

"Bapak mau buka pintu gudang."

"Pak, bukannya bahaya kalo buka pintu gudang sembarangan?"

"Tenang saja. Ada Pak Wira di sini."

Tono lalu menyanggupi permintaan bapaknya untuk membuka pintu gudang. Pemuda berambut klimis itu cemberut sewaktu menggenggam kenop pintu.

"Emangnya ada apa di sana?" tanya Abay.

Tono kemudian bercerita soal gudang terkunci itu.

Hawa mengerikan dari dalam sana berasal dari sebuah benda pusaka yang tidak sengaja Tono temukan. Tono kemudian bertanya pada bapaknya soal benda itu. Benda itu merupakan barang bukti dari kasus pembunuhan yang tersimpan dalam gudang Asosiasi. Tidak seperti barang bukti lain yang dikembalikan pada keluarga korban atau dimusnahkan, benda itu tetap dibiarkan di dalam gudang Asosiasi selama bertahun-tahun. Pasalnya terlalu beresiko untuk memusnahkan sebuah pusaka yang pernah menjadi barang bukti.

Tahun demi tahun berlalu. Para cenayang kerap mengalami gangguan selama bekerja di markas. Farmidji Ruslan kemudian membawa benda pusaka itu ke rumahnya. Dia lalu menyegel pusaka itu dengan mantra khusus agar tidak membawa petaka bagi orang-orang sekitar. Selama ini tidak ada masalah dari pusaka itu. Namun, segelnya melemah seiring berjalannya waktu. Jika saja Tono tidak membersihkan gudang, Farmidji Ruslan takkan tahu bahwa energi negatif di dalam pusaka itu bocor lalu mulai merusak segelnya.

Jika memang kondisinya segenting itu, kenapa sang mantan pimpinan hanya meminta bantuan Wira, seorang manajer konstruksi biasa, dan bukan cenayang dari Asosiasi?

"Pak. Ini terlalu beresiko. Kita harus menghubungi Asosiasi!" seru Ayah.

Farmidji Ruslan meminta bantuan Yudha untuk memapahnya ke dekat gudang. Langkahnya tertatih meski dituntun seorang perawat dan tongkat di tangannya. "Penerawanganku mengatakan kita akan baik-baik saja."

"Tidak. Pusaka itu bukan barang sembarangan. Aku juga belum pernah menangani barang pusaka. Pak Farmidji lebih berpengalaman dalam menangani masalah seperti ini."

"Kondisi tubuhku tidak memungkinkan untuk menyegel pusaka sendiri seperti dulu. Penerawanganku mengatakan hanya Nak Wira yang bisa menanganinya. Itu karena Nak Wira memiliki kunci yang bisa menenangkan pusaka di dalam sana."

Menenangkan barang pusaka ... itu tidak ada dalam buku panduan pelatihan cenayang. Apa mungkin harus melakukan ritual seperti yang pernah Abay lihat dalam adegan film horor? Jantungnya berdebar terlalu kencang seiring dengan Tono membuka pintu gudang. Tak lupa nyalakan lampu di dalam gudang yang pengap dan temaram.

Farmidji Ruslan kemudian meminta Tono membukakan jalan. Jalinan tali cahaya dari telapak tangan Tono menyebar ke seluruh ruangan. Layaknya manifestasi tenaga dalam yang sering cenayang gunakan. Tali itu memastikan keadaan sebelum menganyam dirinya menjadi jaring-jaring pengaman di sekitar mereka. Bisa saja tumpukan barang-barang gudang di sekitar jatuh sewaktu pembersihan.

"Sejauh ini sudah aman, tapi," tiba-tiba Tono jatuh sambil menggenggam gagang pintu.

Konsentrasi energi negatif di dalam gudang amat pekat. Kadarnya lebih dari cukup untuk membuat siapapun mual terlebih Farmidji Ruslan yang berusia renta. Serangan energi negatif berkonsentrasi tinggi bisa memperburuk kondisi orang berusia lanjut di sekitarnya mengingat daya tahan tubuh yang semakin melemah. Kadar energi negatif berasal dari benda di balik kain lusuh, seberang Tono. Pasti itu benda pusaka. Bibir Farmidji Ruslan mulai berkomat-kamit sembari memberi isyarat agar tali Tono juga menahan benda pusaka.

"Pakde!"

Yudha menepikan pamannya yang terjatuh.

"Dek Yudha mending tunggu di luar aja. Temenin Bude di sana," ucapnya bernada lemah.

"Terus Pakde?"

"Pakde ora popo. Masih ada Tono."

Yudha akhirnya meninggalkan gudang dan menutupnya rapat. Sementara itu, tali di sekitar benda pusaka mulai putus. Benda pusaka itu bergerak-gerak.

"Apa jangan-jangan ada penunggu di dalam sana?" tanya Ayah.

"Selama ini tidak ada penunggu di dalam pusaka. Ini semata-mata karena akumulasi energi negatif yang besar dan bereaksi dengan segelnya," jawab Farmidji yang mulai batuk darah. Tono lalu berbalik ke dekat pintu.

"Bapak!"

"Tetap ikat pusakanya, Nduk."

Aliran energi negatif di sekitar gudang jauh lebih reaktif dibandingkan dengan di sekitar Kopo Medical Center. Layaknya air bah bertekanan tinggi menghantam bendungan, begitulah keadaan benda pusaka itu.

Ayah meminta Abay menggunakan Distorsi Batas. Tono memperkuat satu persatu jalinan tali yang putus dengan tali baru. Mulut Farmidji Ruslan basah dengan rapalan mantra yang tak ubahnya tembang seorang sinden. Mantra itu bereaksi dengan pusaka yang terangkat ke udara lalu memutus semua tali juga segel yang terikat di sekitar kain pembungkusnya. Segel itu berupa tali pengikat yang sudah diberi jampi-jampi.

Kain lusuh yang terlepas dari badan benda pusaka memperlihatkan benda berselimut kobaran hitam di baliknya. Keadaan di sekitar gudang berubah temaram. Bahkan sorot lampu gudang seakan sirna. Benda itu mulai memutus jeratan tali yang terus tumbuh di sekitar.

"Benda apa itu?" tanya Tono.

"Itu adalah kemampuan senjata pusaka setelah menghisap seluruh energi negatif di sekitar selama puluhan tahun. Senjata itu juga seakan menyimpan kenangan dari pemilik aslinya lalu menggunakan itu untuk berbalik menyerang."

Ayunan senjata pusaka itu membelah sekaligus menghempaskan barang-barang di sekitar gudang. Jika saja tak ada pelindung dari rapalan mantra Farmidji, mereka bisa tamat.

"Pak Farmidji, apa yang harus kita lakukan?" tanya Ayah.

"Nak Wira, lakukan eksorsisme selagi aku," dia terbatuk sesaat, "aku sanggup menahan serangannya."

"Ini terlalu beresiko. Tingkat kekuatannya saja nyaris mendekati skala 10."

"Percaya padaku. Kau bisa melakukannya selagi masih mengendalikan kuncinya."

Senjata pusaka itu kembali berayun. Jerat yang Tono gunakan sudah mencapai batas. Bahkan ayunan senjata pusaka berhasil memutus rantai yang menahannya. Senjata itu lalu melayang tinggi sambil menyedot seluruh energi di sekitar. Lantai gudang berguncang. Puing-puing di sekitar gudang mengarah pada mereka. Pasir hitam melayang dari sekitar Ayah kemudian menangkis serangan kembali ke arah senjata pusaka. Berhasil ... rasanya tidak. Ayunan senjata pusaka membelah semua barang yang terpantul. Senjata pusaka menyapu angin bertekanan tinggi ke arah mereka.

"Angin macam apa ini?" gerutu Abay.

"Itulah kemampuan dari senjata pusaka, Nduk. Senjata itu tidak hanya memiliki kekuatan melebihi senjata biasa. Senjata itu seakan menyimpan pikiran penggunanya juga kemampuan unik bergantung pada proses pembuatannya," balas Farmidji sembari memperkuat pelindung di hadapan mereka.

Kondisi tubuh orang-orang di sekitar Abay mulai melemah. Bahkan petarung setangguh Ayah tak sanggup untuk berdiri. Eksorsisme memang menjadi satu-satunya cara. Masalahnya, jurus bertipe pembasmi juga membutuhkan akurasi dan perhitungan matang layaknya tipe serangan. Sementara senjata pusaka terus menghimpun seluruh tenaga untuk melancarkan serangan selanjutnya.

Tunggu. Bukankah Abay tidak mengalami efek samping fatal karena kondisi fisiknya?

"Ayah! Gunakan eksorsisme!"

"Ayah tidak bisa, Nak."

Serangan kedua kembali menghantam mereka. Kini angin bertekanan tinggi menerbangkan tubuh mereka. Jeratan tali dari tangan Tono kemudian menangkap mereka.

Senjata pusaka mulai dalam pose menyerang. Abay mengeluarkan tombak es di tangannya.

"Ayah. Gunakan eksorsisme selagi aku memancingnya!"

"Dasar bodoh. Kau ingin cari mati?"

Abay menyeringai. "Tenang saja. Aku takkan mati semudah itu."

Dengan jurus Lompatan Kelinci, Abay bertolak untuk mengalihkan serangan. Sementara itu, Ayah berusaha mengumpulkan tenaga untuk eksorsisme.

"Sepertinya kau sudah bisa mengendalikan kunci itu, Nak Wira."

"Apa maksud Pak Farmidji?"

"Tono. Bantu Bapak menjebak pusaka itu dengan mengikuti pergerakan Nak Bayu. Gunakan eksorsisme sekuat yang kau bisa, Nak Wira!"

"Masalahnya Abay ... dia akan ...."

"Lakukan seperti permintaannya. Dia akan baik-baik saja."

Ayunan tombak es di tangan Abay tidak sanggup untuk menahan ayunan senjata pusaka di depannya. Cepat dan nyaris tanpa celah. Seakan-akan senjata itu bisa membaca arah serangan sekaligus pikiran Abay. Kemampuan Abay sekarang tak sanggup untuk menangkis serangan benda pusaka yang menggurat pipinya.

"Kampret," lalu tombak es di tangannya menjadi tameng dari serangan senjata pusaka. Retakan dari tombak esnya sudah tak terelakkan lagi. Tombak esnya tak cukup kuat untuk menangkis mata senjata pusaka yang terus membara dalam kegelapan. Abay kemudian menoleh ke arah jerat yang menahan kardus-kardus di sekitar.

"Tono! Tahan senjata itu!" seru Abay.

Jeratan tali dan rantai kemudian menahan senjata pusaka yang bergoyang-goyang. Entah sampai kapan tali Tono dan rantai dari mantra penahan bisa menjebak senjata pusaka. Abay segera meraih senjata pusaka lalu memerangkapnya dengan manifestasi es besar.

"Ayah! Sekarang!"

Seberkas cahaya menyilaukan muncul di hadapan Abay. Pemuda itu mengerang selagi menggenggam erat senjata pusaka. Tubuhnya terbakar dengan cahaya menyilaukan mata berlatar rapalan mantra yang ditembangkan. Senjata pusaka dalam genggamannya tidak beringas lagi. Namun, hawa di sekitarnya teramat familiar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro