[Terawang] - 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senin siang, markas Asosiasi Sektor Kopo. Irsya Soemarsono meninggalkan sel tahanan dengan penjagaan Jaka dan Saras. Abay lalu menemani Andri menginterogasi tersangka di dalam sana.

"Lho, kenapa gak nunggu di luar? Aku 'kan gak minta buat masuk," tanya Andri.

"Nyonya Lenny bilang aku harus belajar interogasi di dalam juga."

Proses interogasi berjalan tidak kooperatif. Sejak memasuki ruangan, Irsya terus menantang Andri dan Abay. Ini memang bukan masalah selama Lenny menangani interogasi. Dia jauh lebih menyalak daripada Irsya. Masalahnya sang kepala unit masih terbaring di rumah sakit.

Tidak banyak informasi yang mereka dapatkan dari Irsya. Dia terus berdalih meminta pengacara selama interogasi berlangsung. Andri mendengkus sesaat setelah interogasi berakhir.

"Aku masih belum bisa setenang Bu Lenny dalam menghadapi penjahat seperti itu."

Lenny memang hebat. Dia masih bisa menjaga ketenangannya bahkan di depan dukun santet—asalkan mereka tidak menyerang dengan ilmu hitam. Pantas dia sering mengeluh soal kompetensi cenayang yang terus menurun. Cenayang senior sekelas Andri saja kewalahan menghadapi Irsya tanpa bantuan Abay.

Kini giliran para cenayang mengeluarkan Haras dari dalam Termos Perangkap. Jaka dan Malika bersiap di luar sana untuk mengantisipasi hal buruk.

Makhluk halus yang terlibat tindak kriminal akan mereka mintai keterangan setelah tertangkap. Informasi mereka akan berguna dalam persidangan dan reka ulang. Para cenayang kemudian akan menyerahkan tersangka dari golongan makhluk halus pada Pengawas—satuan polisi alam lain yang berhubungan langsung dengan Asosiasi—untuk ditindak sesuai hukum di sana.

Jaka memasang pagar gaib di sekitar ruang interogasi. Abay menggunakan jurus Hembusan Badai Kutub Selatan untuk menekan api di sekujur tubuh Haras.

"Pemuda lemah itu boleh juga. Dia punya potensi kekuatan besar di tubuhnya," ucap Haras.

"Jangan mengalihkan pembicaraan," balas Andri. "Siapa kau? Apa hubungannya kau dengan Irsya Soemarsono."

"Aku hanya meminjamkan kekuatanku sebatas kontrak. Jujur saja aku tidak suka diperbudak manusia, tapi ilmu hitamnya sangat kuat."

"Dari mana dia bisa menemukanmu? Kontrak macam apa yang kaumaksud?"

"Kenapa kau bertanya padaku sementara pemuda di sampingmu jelas-jelas melakukannya juga?"

"Kontrak apaan? Ngontrak rumah ato kostan?" balas Abay dengan wajah tanpa dosa.

"Jangan membohongiku! Aku sangat mengenal hawa siluman di sekitarmu. Di mana Tuan Muda sekarang?"

"Kau jangan mengalihkan pembicaraan!" bentak Andri. Baru kali ini pria setenang dirinya lepas kendali saat menginterogasi. Wajarlah. Irsya membuatnya sakit kepala.

"Aku takkan menjawab pertanyaan itu sebelum pemuda itu menjawabnya!"

Abay menyeringai. "Lalu, jika aku memang orang yang kaucari, apa yang akan kaulakukan? Kau ingin membakar habis Sektor Kopo? Begitu? Pertanyaan basa-basimu membuang waktuku di sini."

Api di sekujur tubuh Haras kemudian padam. Berulang kali Andri bersin berkat suhu ruangan yang terus menurun.

"Oh. Apa yang akan kaulakukan? Kenapa diam saja? Cepat beritahu padaku soal penyerangan gaib pada tiga orang sekaligus dan kejahatan yang Irsya lakukan! Atau mungkin, apa aku perlu membekukanmu sampai mati?"

"Ampun, Tuan Muda! Ampun! Jangan sakiti aku! Aku akan ceritakan semuanya!"

Abay hanya berakting di depan Haras, tapi semua berjalan seperti tertanam dalam karakter aslinya.

Proses interogasi, baik tersangka maupun korban, berjalan hampir seharian. Hari semakin gelap. Jalanan sekitar kawasan Merdeka semakin memadati jalanan satu lajur itu. Abay terdiam ketika mendapati Trueno merah berhenti di depan markas Sektor Kopo.

"Nak, masuklah!"

Ayah tiba-tiba saja menjemput Abay. Kantor Palapa Konstruksi di kawasan Asia Afrika memang dekat dengan markas Asosiasi Sektor Kopo.

"Kenapa Ayah tiba-tiba jemput?" tanya Abay.

"Kau pasti capek karena sering pulang malam. Ayah hanya ingin kau lebih banyak istirahat. Sebentar lagi kau itu ujian dan lulus SMA, Nak."

"Namanya juga lagi nanganin kasus."

"Tetap saja. Sekarang kau itu sudah kelas 3, Nak! Ayah tidak permasalahkan kau harus kuliah di kampus bagus seperti Ressa. Tetap saja, kau harus lulus SMA."

Ayah tidak marah soal akademik seperti dulu, tapi tetap saja. Ceramah Ayah soal pentingnya sekolah di sepanjang jalan membuat kuping Abay membara. Ayah selalu menekankan pendidikan bisa mengubah nasib. Pesan yang sama dan selalu keluar dari bibir Ayah selama bertahun-tahun.

Ceramah Ayah berhenti seiring lampu jalanan by pass berubah merah.

"Nak, kau pulang jam berapa hari Jum'at?"

"Biasanya sebelum jam 4. Moga aja gak ada interogasi dadakan. Kenapa gitu?"

"Kita akan langsung pergi ke Jayakarta Jum'at nanti."

Apa? Abay bahkan tak bisa membantah perintah Ayah. Kenapa Ayah tiba-tiba mengajaknya pergi ke sana?

Jumat sore. Satu persatu cenayang berhamburan dari markas Asosiasi Sektor Kopo. Abay berpisah dari Saras yang langsung melesat kembali ke Arcamanik. Abay terus menunggu Ayah. Ia juga sudah membawa bekal baju. Seingat Abay, paman dari ibunya tinggal di sekitar Jayakarta. Mereka tidak pernah ke sana setelah Ibu menghilang. Apa mungkin Ayah akan pergi ke sana?

Ayah sudah tiba. Abay lalu memasang sabuk pengaman. Bibirnya berkomat-kamit melantunkan doa sebelum Ayah tancap gas. Ayah kerap ugal-ugalan di jalan tol. Angka di spidometernya bahkan sejak tadi tidak di bawah 80 km/jam.

"Ayah!"

Omelan Abay tersamarkan dengan lantunan lagu koplo lawas dari pemutar kaset di mobil. Kesadaran Abay benar-benar habis setelah Ayah tancap gas di turunan dengan truk dan bus yang mengapit sedan tuanya. Semoga saja mereka sampai dengan selamat.

Sekitar pukul 8 malam. Ayah menepuk bahu Abay. Mereka sampai di sebuah rumah satu lantai berhalaman luas dengan garasi panjang yang cukup menyimpan dua mobil. Itu bukanlah rumah milik pamannya.

"Nak, bangun. Sudah sampai."

Kesadarannya belum pulih benar sesampainya di sana. Ayah lalu menekan bel di dekat pintu. Seorang pemuda berseragam perawat membukakan pintu.

"Tamunya Pakde ya. Mari masuk!" ajak perawat itu.

Mereka lalu memasuki rumah megah di kawasan Jayakarta. Abay mengamati foto-foto tua dan deretan piagam yang tertera di dinding. Mata Abay langsung tertuju pada deretan medali di dinding. Salah satunya medali dari kompetisi renang Isola Cup, kompetisi bergengsi perenang amatir tingkat nasional di Kompleks Olahraga Isola. Terdapat pula deretan piala di sampingnya. Abay lalu terfokus pada nama dari piagam di dinding.

Antonio Ruslan

Ujung tombak klub Mutiara Timur yang kerap memenangkan lomba renang estafet dan gaya kupu-kupu. Abay sering bertemu dengan Tono di Centrum. Dia sering latihan di sana semata-mata ingin menarik perhatian gadis yang satu klub dengan Abay. Ada perlu apa Ayah membawa Abay ke rumah Tono? Bukankah lebih mudah menemui Tono di Kopo?

Pemuda berseragam perawat membawa seorang pria renta dengan kursi roda. Pria itu menggenggam tongkat untuk membantunya duduk di sofa ruang tamu.

"Nak Wira akhirnya datang juga. Yudha, tolong bikin teh!"

"Iya, Pakde."

Pemuda bernama Yudha itu pergi ke arah dapur di belakangnya.

"Kenapa perawat itu memanggil Bapak sebutan Pakde?" tanya Ayah.

"Dia Yudha. Keponakanku dari kampung. Dia baru lulus sekolah perawat dan mau kerja di kota. Dia tinggal di sini sambil bantu-bantu sekaligus kerja."

Abay menyikut tangan Ayah. "Ayah, itu siapa?"

Ayah berbalik menjitak Abay. "Dasar bodoh! Beri salam pada Pak Farmidji!"

Farmidji ... rasanya tidak asing. Abay lalu menelisik deretan piagam penghargaan di dinding. Beberapa di antaranya memang milik Tono. Mata Abay semakin membesar tatkala mendapati nama dari piagam di dinding.

Farmidji Ruslan

Abay merinding di depan pria renta berwajah teduh itu. Perkataan Lenny sewaktu pelatihan Asosiasi kembali berdengung di telinga.

"Asosiasi bermula dari usulan kepala Kepolisian saat itu, Pak Sjamsoel Handojo, untuk mengurangi main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan seperti babi ngepet dan tuyul. Beliau juga menambahkan kasus kriminal seperti itu seharusnya juga bisa ditangani pihak berwajib dengan pasal sesuai kejahatan yang mereka lakukan."

Seingat Abay, ada empat orang yang terlibat dalam pendirian Asosiasi. Salah satunya adalah Farmidji Ruslan yang duduk di depannya.

"Maafkan anakku, Pak. Aku terlalu mendadak mengajaknya ke sini. Belakangan ini perusahaanku sibuk dengan tender proyek pembangunan pemerintah."

"Tidak apa-apa, Nak Wira. Justru aku yang terlalu mendadak dengan menghubungi Nak Wira lewat kontak di internet."

Ayah memang sengaja memasang kontak di internet untuk mencari Ibu. Bisa saja ada orang baik hati di internet yang memberi kabar soal Ibu.

"Nak Wira istirahat dulu. Pasti sangat melelahkan langsung berangkat dari Kopo sepulang kerja."

"Ini juga kepaksa ngebut buat ngejar ganjil genap. Takutnya sampai tengah malam sementara platku ganjil."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro