[Janji]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alkisah di sebuah rumah sakit pemerintah. Seorang anak bermain di tempat penitipan anak. Dia selalu di sana. Tanpa sepatah kata atau tawa. Selalu menyudut tatkala anak-anak lain datang. Berpasang-pasang mata yang berlalu di sekitar penitipan anak mengiba. Pertanyaan di benak mereka selalu sama: apa gerangan yang melanda anak itu?

Hari demi hari dia lalui sendiri. Seakan menanti seseorang dari sudut penitipan anak. Hingga suatu ketika seseorang mengulurkan tangan. Hangat dan lembut. Dia lalu berjongkok di depannya.

"Di mana orang tuamu?"

Dia membisu.

"Apa mereka sakit?"

Menggeleng pun tidak. Pria itu mengusap kepalanya.

"Kasihan. Kamu pasti kesepian di sini. Ayo kita main!"

Dia genggam tangan mungil nan ringkih. Mereka pergi ke sebuah kamar dengan raungan bergema dari dalam. Sekelompok orang berseragam putih berada di samping ranjang. Mereka terus membujuk bocah berambut cepak yang terus merengek.

"Dik, main di luar ya. Bapakmu butuh istirahat," bujuk si perawat.

"Gak mau," si bocah lelaki tak mau melepaskan genggaman dari brankar, "Aku mau di sini sama Bapak!"

Bocah lelaki itu lalu berlari pada pria di dekat pintu. Seorang dokter bertanya.

"Kau pasti keluarganya. Bisakah kau membujuk anak ini? Kami takkan bisa memeriksa pasien Abimana jika anak ini tak mau keluar."

Pria itu merunduk serendah bocah yang menangis. "Adrian main yuk. Ada temennya nih."

"Gak mau. Aku maunya main sama Bapak!"

"Bapak 'kan masih sakit. Main sama Abang aja ya. Kasian temennya nungguin."

Bocah kecil berkaus kedodoran merogoh saku celana longgarnya. Dia seakan berkata "jangan menangis" dengan sapu tangan kusut di tangannya. Adrian diam sesaat sambil menarik ulur ingus dari hidung.

"Abang. Itu siapa?"

"Kenalin. Ini temen baru Adrian. Orang tuanya juga lagi sakit. Dia suka main sendiri di luar dan gak nangis. Baik-baik sama dia ya."

Adrian menurut. Mereka pergi ke tempat penitipan anak dan bermain bersama. Sejak saat itu, Adrian tak pernah lagi merengek di kamar bapaknya yang masih kritis. Mereka bermain bersama hingga seorang dokter menghampiri mereka.

"Ternyata ada anak kecil juga di sini," sapa pria berseragam dokter di dekat tempat penitipan anak. Bocah berkaus kedodoran lalu berlari memeluk dokter.

"Dokter mengenalnya? Apa dia anak pasien dokter?"

Dokter itu mengusap kepala si bocah berambut gondrong. "Ini Lenny, anak tetanggaku yang baru saja meninggal. Kasihan dia. Di usia sekecil ini, dia harus melihat kedua orang tuanya mati terbunuh. Aku sengaja membawanya ke sini agar lebih mudah mengawasi dan memeriksa kondisi mentalnya."

Bocah kecil mendekap sang dokter.

"Biasanya dia tidak mau bermain bahkan dengan pasien anak di sini. Siapa anak itu? Apa dia anakmu?"

"Bukan. Dia anak temanku. Sudah tiga hari bapaknya dirawat di sini. Adrian tidak mau meninggalkan kamar bapaknya. Kuajak saja dia ke sini agar tidak mengganggu dokter apalagi kesepian."

Tepukan tangan Profesor Rachmat membangunkan Abay. Profesor Rachmat duduk di samping kursi pasien yang bersandaran rendah. Hari itu Abay melakukan sesi hipnoterapi sekaligus membantu penelitian sang psikiater. Hipnotis bisa menguak informasi dari alam bawah sadar—konon juga bisa menguak masa lalu berdasarkan teori reinkarnasi.

"Apa yang Nak Bayu lihat?"

"Rumah sakit. Ada dua anak kecil. Satu gak bisa ngomong. Satu lagi terus menangis di kamar bapaknya. Anak itu persis sama Nyonya Lenny di foto. Kupikir kemampuanku juga bekerja dalam pengaruh hipnotis."

"Kemampuan apa yang Nak Bayu punya?"

"Mungkin Dokter gak percaya, tapi aku bisa ngeliat masa lalu. Biasanya kemampuan itu baru berfungsi kalo lagi mikirin suatu kejadian sambil ada di dekat pemicunya kayak barang bukti di TKP. Belakangan ini kemampuan itu membuatku takut. Kadang aku gak bisa tidur sepulang dari TKP."

"Aku memang tidak begitu percaya akan kemampuan di luar nalar, tapi melihat kondisimu ... pasti itu mempengaruhi masalah kejiwaanmu juga."

Sesi terapi Abay di rumah sakit berakhir. Tidak banyak informasi berarti tentang masa lalu Abay dari alam bawah sadarnya. Abay lalu bertolak pulang. Barangkali Ayah tahu sesuatu. Namun, Ayah tak kunjung pulang hingga petang menjelang. Ressa yang baru datang bertanya.

"Bay, tumben gak gembok pager."

"Lho, ntar kalo Ayah pulang gimana?"

"Ayah bakal pulang malem. Katanya ada urusan kantor di Jayakarta. Gembok aja. Nanti juga Ayah nelepon kalo udah nyampe mah."

Sabtu itu ada pembagian rapor semester genap. Hal yang jauh lebih menegangkan mengingat ini berkaitan dengan kenaikan kelas tiga. Abay mematung selagi Bu Naina bicara dengan Ayah di kelas. Mulanya pemuda itu pura-pura lari pagi agar bisa pergi ke sekolah tanpa Ayah. Masalahnya Ayah takkan tertipu lagi trik serupa untuk kedua kalinya.

Abay mendengkus. Pasti badai muncul di rumah setelah Ayah tersenyum meninggalkan kelas. Keadaan di sekitar mobil menekan Abay hingga menciut.

"Kenapa?" tanya Ayah selagi membuka pintu.

"A-Aku mau ke Salam."

"Masuklah. Ayah antar ke sana."

Suasana masih hening sesaat setelah Abay mengencangkan sabuk pengaman. Mobil Ayah bertolak menuju Rumah Sakit Salam lewat jalanan sekitar Marga Asih.

"Wali kelasmu bilang ranking-mu naik jadi 25. Kau juga tidak pernah bermasalah lagi selain tidur di kelas."

"A-Ayah gak marah?"

"Sudah Ayah bilang, Ayah takkan memarahimu. Kau juga sudah berusaha belajar sebisamu sambil bekerja. Itu hal yang sulit, Nak. Apalagi belakangan ini kau sering pulang malam."

Rumah Sakit Salam berada di samping kompleks Marga Asih. Lebih mudah menuju rumah sakit lewat jalan kompleks daripada harus melewati jalan raya yang memutar. Ayah lalu bertanya pada Abay sesampainya di area parkir.

"Apa badanmu sakit?"

"Aku mau nengok Nyonya Lenny. Sekalian ada hal yang perlu dipastiin."

"Kau pulang sendiri ya, Nak. Ayah mau ke bengkel dulu."

Abay mengunjungi bangsal Pinus, tempat Lenny dirawat. Adrian kemudian membuka pintu dengan sorot mata sinis.

"Ada apa?"

"A-Aku minta maaf."

"Maaf apa? Apa kau tahu kecerobohanmu itu bisa membahayakan Lenny?"

"A-Aku. Ma-Ma-Maaf."

Lenny kemudian menimpali pembicaraan mereka, "Adrian. Hentikan! Ini rumah sakit. Kau bisa mengganggu pasien di kamar sebelah."

Adrian menghela napas sejenak. "Katakan. Apa yang kau inginkan?"

"A-Aku mau ngobrol sa-sama Nyo-nya."

"Masuklah. Aku tak bisa membiarkan Lenny sendiri begitu saja di dalam," balas Adrian.

"Adrian. Ini cuman kecelakaan kerja kok," bujuk Lenny.

"Kenapa kau gak langsung menghentikan anak ini? Apa kau tahu aku gak bisa tidur karena terus memikirkan kondisimu setiap saat?"

"Pulanglah. Kau juga butuh istirahat. Kasihan kakakmu kalo harus dititipi Ryan terus."

"Siapa yang akan menjagamu lalu membantumu ke kamar mandi tiap malam jika aku pulang?"

Lenny menoleh ke arah Abay. "Maaf ya kalau harus melihat kami bertengkar. Adrian memang seperti itu sejak kecil. Jangan diambil hati."

Adrian di sana tak ubahnya Adrian kecil dalam ingatan bawah sadar Abay. Apa ini saat yang tepat untuk bertanya?

"Ah, aku lapar. Aku ke kantin dulu, Len."

Jam di dinding kamar rumah sakit memang menunjukkan waktu makan siang. Kini Abay menarik kursi kecil ke samping ranjang.

"Kenapa kau datang sendiri?"

"Aku pengen nanya sama Tuan dan Nyonya."

"Soal apa? Latihan? Jangan sekarang. Adrian masih uring-uringan. Bagaimana dengan kasusnya?"

"Senin ini kami akan menginterogasi tersangka lagi."

"Cobalah kau interogasi mereka. Kau harus belajar melakukannya tanpa kutemani. Tanyakan pada Andri jika ada masalah. Dia jauh lebih baik dalam menginterogasi tersangka dibandingkan dengan Jaka."

Suasana di dalam kamar rumah sakit mendadak senyap.

"Tidak ke kantin?"

"A-Aku belum laper. A-Aku mau nanya sama Nyonya. Nyonya kenal sama Tuan Adrian sejak kapan?"

"Aku sebatas tahu dari Adrian kalau kami bertemu di rumah sakit sewaktu masih kecil. Ingatan masa kecilku memang begitu kabur. Kenapa kau bertanya itu?"

"A-Aku ngeliat sesuatu soal Nyonya pas terapi kemaren."

Lenny terdiam sesaat. Tangannya kemudian berkata dalam bahasa isyarat. Abay tidak pernah belajar bahasa isyarat. Sebuah kejadian dari masa lalu muncul seakan menerjemahkan perkataan Lenny.

"Apa benar kita pernah bertemu sebelumnya? Kenapa perasaanku begitu familiar?"

"Nyonya bertanya padaku?"

"Siapa kau sebenarnya? Tidak mahir bela diri, tapi menguasai jurus tanpa sadar. Skala kekuatanmu seperti orang biasa, tapi bisa menahan serangan lawan berskala 8 sendirian. Kau juga bukan manusia, tapi hawamu lebih lemah daripada campuran. Aku bahkan jauh lebih sering bermimpi buruk setelah kau bergabung dengan Asosiasi."

Lirikan tajam Lenny tidak membuatnya bergidik seperti biasa. Abay justru menghadapinya dalam senyuman.

"Justru aku ingin bertanya hal serupa pada Nyonya. Aku ini siapa? Kenapa belakangan ini aku melihat Nyonya dan Tuan Adrian lewat kemampuanku? Apa ada sesuatu yang tak kuingat sebelum terjebak dalam tubuh ini?"

"Apa yang kaulihat?"

"Rumah sakit dan sepasang anak kecil. Semua persis cerita Nyonya tentang awal mula Nyonya kenal dengan Tuan Adrian."

Keadaan di rumah sakit kembali hening. Tak ada suara apapun yang memecahkan kesunyian selain derit pintu kamar rumah sakit. Adrian kembali dengan membawa keresek berisi makanan dan minuman. Dia langsung menghampiri Lenny yang berlinang air mata. Dia percepat langkahnya. Sekepal tinju membuat Abay jatuh tersungkur.

"Apa yang kaulakukan? Apa kau ingin mencelakai Lenny?"

"Tu-Tu-Tuan. A-Aku—"

Lenny meraih kepalan tangan Adrian. "Adrian! Hentikan!"

"Kenapa denganmu? Dia jelas-jelas membuatmu seperti ini!"

"Jangan sakiti Abang!"

Adrian menurunkan kepalan tangannya. "Apa-apaan kau ini? Abang itu lebih muda daripada Bapak. Apa kau masih meracau soal itu lagi? Abang mana mungkin menepati janjinya."

Saat itu, sebuah kejadian dari masa lalu muncul di depan Abay.

Seorang pria berambut putih duduk di selasar rumah. Tubuhnya terlalu lemah untuk berdiri lama. Dia tak bisa melerai dua bocah kecil yang mendekap pria dengan kantung di depannya.

"Abang! Abang jangan pergi! Siapa yang bakal ajak kita main lagi?"

Bocah dengan ingus terus meluap saat menangis itu Adrian. Rambutnya masih hitam dan cepak.

Abang berjongkok sambil menyapu air mata Adrian, "Bapak udah sembuh. Kenapa gak main sama Bapak?"

"Bapak belum bisa lari kayak Abang. Abang juga punya banyak cerita buat kami," isak Adrian.

"Kenapa kau tidak menetap di desa ini saja? Desa ini masih butuh tabib. Puskesmas apalagi rumah sakit juga jauh dari sini," usul pria berambut putih yang duduk bersandar di samping tiang kayu rumah.

"Maaf. Aku tidak bisa. Kudengar akan ada puskesmas yang akan dibangun di dekat sini. Aku lebih dibutuhkan di tempat lain yang tidak ada tabib bahkan dokter daripada kampung ini."

"Abang!"

Tarikan kedua bocah di sekitar kakinya menghentikan langkah sang tabib. Dia lalu merunduk pada bocah berambut cokelat yang persis lelaki di sampingnya. Dia bisu. Dia terus menangis sambil menarik-narik kakinya.

Sudah saatnya dia pergi ke desa lain yang tidak memiliki akses kesehatan. Namun, kedua anak itu membuat dadanya sesak. Dia tak pernah menyangka niat tulus mengasuh seorang anak yang bapaknya sakit keras akan berakhir seperti ini. Dia juga tak pernah menyangka bocah penyintas pembunuhan di sampingnya akan kembali berkicau setelah mengalami trauma hebat.

"A. A ... baaaah ... ng," lalu dia berucap dengan suara yang lemah dan nyaris lenyap.

Hatinya teriris-iris karena kedua anak itu. Kakinya semakin berat meninggalkan mereka. Sang tabib lalu berjanji akan kembali dan bermain bersama mereka suatu saat nanti.

Namun, janji itu benar-benar terlupakan. Seiring dengan ingatan yang terus tergerus sang waktu.

"Hei! Kenapa dengannya?" tanya Adrian.

"Dia memang seperti itu sewaktu kemampuannya bekerja. Sorot matanya kosong seperti sedang melamun."

Matanya teriris-iris. Dadanya sesak. Perasaannya bercampur aduk ketika kenangan itu kembali.

"Abang."

Mata Abay berkaca-kaca. "Maaf. Maaf karena ingkar janji. Aku ... kurasa aku pamit dulu. Aku masih bingung dengan semua keadaan ini."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro