[Kenangan yang Hilang] -7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ujung-ujung pisau hitam terus menekan leher dan tangan Lenny. Billy terus meronta-ronta meminta tolong. Sementara itu, Saras mengumpulkan tenaga dalam pada kakinya. Tendangan kakinya tertahan dengan satu tangan.

"Kau pikir serangan seperti itu bisa menyerangku?"

Sosok di dalam tubuh Sania membanting Saras dengan satu tangan. Ia lalu mendelik ke arah Billy.

"Kau juga ingin melawan seperti gadis ini?"

Abay menjadi satu-satunya harapan para cenayang. Pemuda itu menangkis serangan yang hendak mengenai Saras.

"Kau. Bukankah kau itu pecundang yang bertarung saja tak becus?"

"Gue paling gak suka kasar sama cewek apalagi ngeliat cewek terluka."

Abay melepaskan cengkeraman sosok itu dari tangan Billy. Ia lalu menyikut sosok yang hendak menyerangnya dari belakang. Haras kemudian terpental dari dalam tubuh Sania. Tubuhnya membentur Irsya yang tengah menahan jampi-jampinya.

"Haras. Kenapa denganmu?"

"Sial. Pemuda itu ternyata pengguna ilmu Tepis Bayang."

"Aku tak peduli dengan hal itu. Sekarang kau singkirkan saja mereka bertiga. Sementara aku  menahan wanita cenayang di sana."

Abay kemudian memeriksa kondisi Saras dan Sania. Untung saja mereka tak mengalami luka serius. Billy duduk menyudut sambil menarik napas cepat. Wajahnya benar-benar pucat pasi.

"Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?"

"Tuan diem aja di sini."

Bongkahan es tajam muncul dari genggaman tangan Abay. Pemuda itu lalu mengayunkan tombak es tajam ke arah Haras. Api yang menyelimuti tubuhnya melelehkan tombak es di tangan Abay. Namun, pemuda itu terus menahan serangan Haras.

"Menyerah sajalah. Anak buahmu itu terlalu bodoh untuk menantang Haras," bujuk Irsya.

Ujung runcing pisau-pisau hitam di sekitar Lenny terus menekan kulit. Abay terus menyerang Haras meski peluang mengalahkannya sangat kecil.

"Abay! Hentikan!"

"Kalo kita ngalah, siapa yang bakal nangkep pelakunya?" balas Abay dalam keadaan babak belur. Pukulan Haras meninggalkan tapak api yang membakar rompi kevlar di badannya.

Lenny benar-benar kehabisan tenaga. Jika saja tidak ada trauma masa lalu yang membelenggunya, Abay dan Saras takkan kewalahan seperti ini. Saras kembali bangkit meski dengan langkah yang goyah. Mereka bahu membahu menghadapi Haras sekaligus melindungi para korban.

"Bay, lo bisa manifestasi jaring ato trampolin?"

"Be-Be-Bentar, Ras!"

Jaring dari tenaga dalam seakan mengikuti pergerakan Saras. Gadis itu menggunakan jaring buatan Abay untuk memudahkannya bergerak. Ketika tubuhnya hendak mencapai Irsya, tembok penghalang mementalkannya. Abay lalu menangkap Saras dengan jaring raksasa.

"Makasih, Bay."

Irsya menyeringai. "Segitukah kemampuan kalian, Cenayang? Menyerahlah. Kalian tak sanggup untuk menangkap kami."

"Lebih baik kami gugur dalam tugas daripada harus mengalah!" balas Saras bersuara lantang. Saras kemudian terduduk karena kaki kanannya tak sanggup untuk berdiri lagi.

"Jangan memaksakan dirimu, Nona," lingkaran hitam di depan Irsya membentuk pisau-pisau hitam seperti yang mengerubungi tubuh Lenny, "lebih baik kau bersantai sejenak selagi aku menghabisi keponakanku."

Tembakan pisau-pisau hitam mengarah pada Saras. Abay kemudian membentuk tombak es yang menangkisnya ke sekitar. Tetap saja, pisau itu turut menggores pipi Abay.

"Benar-benar menarik. Apa kalian sepasang kekasih? Aku memang tidak serius untuk menyerang kalian. Haras."

Peluh mulai membasahi pakaian. Keadaan di dalam sana berubah menjadi merah membara. Api di sekujur tubuh Haras semakin membesar. Tombak es di tangan Abay meleleh dalam hitungan detik. Para cenayang terdesak. Banaspati di hadapannya bertambah kuat dengan ketakutan yang diserap dari lingkungan sekitar. Ketakutan Billy dan trauma masa kecil Lenny justru memperburuk keadaan. Haras kemudian mengeluarkan tombaknya yang membara.

"Kemampuanmu bertarung dengan tangan kosong jauh lebih buruk dibandingkan dengan saat menggenggam tombak. Hadapi aku dengan serius sekarang!"

Ayunan tombak membara hendak menyambar tubuh Abay. Jurus Hembusan Badai Kutub Selatan Abay sekalipun tak sanggup memadamkan api di sekujur tubuh Haras. Sudah cukup Lenny diam saja. Kakinya berusaha keras melawan trauma yang membelenggu demi menyelamatkan Abay.

"Nyonya! Awas!"

Hangat. Perutnya benar-benar menghangat. Tangannya hendak merangkul Abay sesaat sebelum jatuh di atas lantai bergenangan darah yang mendidih. Suara Abay semakin memudar. Begitu pula dengan kesadaran dan cahaya dari sepasang matanya.

Jauh sebelum seleksi jalur khusus Asosiasi tahun lalu, Lenny memang menginginkan Abay bergabung pada timnya. Jaka dan Andri saja tak cukup membantu menangani kasus yang tak sebanding dengan jumlah anggota tim.

Tak hanya itu. Abay menyimpan sesuatu yang aneh. Ia seperti menyimpan sisi lain di balik masalah dan ketakutannya akan makhluk halus di lapangan. Hal itu Lenny utarakan pada Profesor Rachmat, beberapa hari setelah insiden di Kopo Medical Center. Hari itu Lenny sengaja datang ke Hegarmanah sekaligus memeriksa kondisinya.

"Apa reinkarnasi itu memang benar-benar ada?"

"Kenapa Lenny tiba-tiba tertarik dengan penelitian Paman?"

"Paman serius menyelidiki soal itu?"

"Paman dan kolega Paman sesama dokter di kampus menyelidiki fenomena ini untuk topik jurnal ilmiah. Apakah reinkarnasi itu memang benar ada ataukah perwujudan dari gangguan psikologis atau neurologis pada pengidapnya semata? Seingatku anak buahmu juga membantu penelitianku."

"Abay?"

"Iya. Entah kenapa anak muda itu jauh lebih serius dan antusias daripada kami. Dia terus saja bertanya soal perkembangan penelitianku dan hal-hal berhubungan dengan reinkarnasi."

Bicara soal Abay, pikirannya mengarah pada satu hal: Lenny lebih sering bermimpi buruk bila terlalu sering berhubungan dengan Abay. Bisa saja itu kebetulan semata. Lenny tidak bisa membuktikannya secara langsung. Bagaimana bisa pemuda yang baru saja menginjak 18 tahun itu ... tidak. Kejadian di Kopo Medical Center mematahkan asumsinya. Terlalu banyak misteri yang menyelimuti diri bawahan gegabah itu.

Misteri akan pemuda itu tanpa sadar membuat tubuh Lenny bergerak sendiri seakan ingin melindunginya. Lalu, kenapa?

Ketika Lenny terbangun, vas bunga dan detak alat bantu medis menjadi hal pertama yang ditemuinya. Cahaya mentari samar menyelinap dari jendela. Langit pagi itu sedikit berawan. Adrian lalu meraih tangannya yang menghangat.

"Lenny. Syukurlah. Kau benar-benar membuatku cemas. Kau sudah tiga hari tidak sadarkan diri."

Tiga hari. Selama itulah tangannya pegal dengan jarum infus menancap di tangan. Selama itulah rasa sakit menggigiti perutnya.

"Sayang. Ini hanya kecelakaan saat bertugas. Siapa yang menjaga Ryan kalau kau ada di sini?"

"Ryan masih sekolah. Sebentar lagi juga pulang kok."

Jam di dinding menunjukkan pukul 11 siang. Hari itu Lenny teringat akhir pekan ini harus mengambil rapor Ryan. Bagaimana dengan nilainya?

"Gak usah mikirin soal Ryan. Mending istirahat aja biar cepet sembuh."

Adrian mengecup keningnya sesaat sebelum pergi menuju Ryan.

Pergerakan jarum jam di dinding jauh lebih menusuk daripada bekas jahitan di perut. Kaki Lenny jauh lebih pegal daripada seharian terjebak kemacetan sambil menginjak pedal gas. Berguling ke samping pun membuatnya pedih. Bagaimana dengan pelaku? Apakah mereka berhasil tertangkap?

Ketukan pintu dari luar membuyarkan pikiran Lenny. Sepasang dokter dan perawat memasuki kamar rumah sakit. Dokter memeriksa kondisi fisik Lenny sebelum memberinya obat dan makan siang. Ah, enak juga makan seporsi pasta saus pesto di saat sakit seperti ini. Makanan lembek rumah sakit tak membuat lidahnya kerasan. Terlebih setelah minum obat yang lebih pahit daripada segelas kopi hitam kesukaannya.

Sepasang remaja berseragam SMA kemudian memasuki ruangan. Mereka bicara sebentar dengan dokter sebelum pergi. Salah satu di antara mereka menaruh buah-buahan di atas meja.

"Abay. Saras. Bukannya kalian harus ke markas? Kalian 'kan sudah santai."

"Lagi pengen jenguk Nyonya," balas Abay dengan senyuman. "Mumpung belum tanding final futsal. Tempatnya deket dari sini. Jadi sekalian mampir."

"Futsal?"

"Sekolah kami sering mengadakan pertandingan olahraga antarkelas setelah ujian semester. Hari ini kelas kami masuk babak final. Abay juga tanding di sana."

"Abay juga bisa futsal? Kenapa kau tidak ikut dengan Andri? Seingatku Andri sering tanding futsal dengan cenayang pria lain jika tidak ada kasus."

"Di Asosiasi juga ada futsal?" tanya Abay dengan mata berbinar.

"Tanya saja pada Andri sewaktu santai."

"Nyonya, Saras izin ke toilet sebentar."

Saras kemudian meninggalkan kamar Lenny. Kamar rumah sakit dengan satu pasien itu kini menyisakan Abay dan Lenny. Masih ada pertanyaan mengganjal di benak Lenny selagi Saras tidak ada.

Benarkah mereka berdua sempat berhubungan di masa lalu?

Tidak banyak yang tahu soal kemampuan bahasa isyarat Lenny. Lenny sempat tak bisa bicara setelah kematian orang tuanya. Dia sempat belajar bahasa isyarat untuk bicara. Lenny tidak begitu ingat kapan dirinya bisa kembali bicara seperti sekarang. Satu hal yang jelas, sosok di masa lalu itu pastilah bisa membalas "apa kabar" dari gerakan kedua tangannya.

Abay tertunduk sembari menggenggam gagang brankar di depannya. Abay pernah cerita kalau kemampuannya sering tidak terkendali hingga berujung sakit kepala. Entah apa yang Abay lihat dengan kemampuannya.

Namun, ia membalas, "apa Nyonya benar-benar anak lelaki itu" dengan kedua tangannya.

Keadaan di antara mereka hening sesaat. Saras baru saja kembali dari toilet. Dia menepuk bahu Abay seraya berkata, "Bay, jangan ngelamun. Bukannya bentar lagi lo tanding?"

"Eh, iya ya. Nyo-Nyonya, kami permisi dulu. Bentar lagi pertandingan finalnya dimulai."

"Hati-hati," jawab Lenny bersuara lemah.

Sepasang pelajar SMA itu pergi dari kamar rumah sakit. Perasaan di dada Lenny bercampur aduk. Kenapa hatinya tiba-tiba menghangat, tapi sekaligus ingin menangis? Tanpa sadar air mata tumpah dari balik senyumannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro