[Kenangan yang Hilang] - 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sepasang kaki kecil terus berlari di atas hamparan rumput menghijau. Sesekali langkahnya tersandung, tapi kembali tegap berdiri. Sosok di hadapannya semakin menjauh. Dengan tersedu sedan, bocah itu berusaha meraih sosok yang berlari menuju cahaya putih menyilaukan.

"A-baaaa-ng!"

Berulang kali bocah kecil itu berteriak dengan suara nyaris lenyap. Sosok itu lalu berbalik ke arahnya. Pria bermata sayu itu seakan tak rela meninggalkan bocah kecil yang merengek-rengek menarik kakinya. Namun, semuanya berakhir setelah Lenny membuka mata. Wajah pria itu benar-benar samar. Hatinya sesak hingga tanpa sadar menitikkan air mata.

Adrian pun terbangun malam itu. Dia lalu mendekap sang istri yang terus terisak.

"Kenapa? Mimpi buruk lagi?"

"Abang. Abang di mana?"

Adrian mengusap punggung Lenny. "Aku gak tahu, Len. Sudah. Jangan nangis lagi. Bukannya besok harus pergi kerja?"

Mimpi itu berbeda dari mimpi-mimpi Lenny sebelumnya. Hangat, tapi terasa jauh. Dadanya sesak. Seakan-akan tak rela kepergian sosok misterius dari dalam ingatannya walau sekejap. Apa mungkin selama ini ingatan akan sosok itu terkunci rapat di balik trauma masa kecilnya? Pikiran Lenny benar-benar berkabut.

Malam pun berganti fajar. Lenny bangun mempersiapkan segala kebutuhan keluarganya. Tak ada senyuman yang tersungging di balik seberat apapun masalah yang melanda. Wajahnya tetap sendu bahkan setelah terbangun.

"Mama. Mama sakit?" tanya Ryan kecil yang baru saja bangun.

"Mama cuman kurang tidur kok. Ryan cepat mandi ya. Mama sudah siapin air anget sama sarapannya."

"Mama jangan kerja dulu. Mama istirahat aja di rumah."

"Mama masih kerja. Nanti siapa yang beliin Ryan mainan kalo Mama gak kerja?"

"Papa masih bisa beliin mainan buat Ryan kok. Mama jangan kerja. Sini biar Ryan pijitin Mama."

Tangan kecil nan padat itu terus memijati badan Lenny. Bocah berusia 9 tahun itu seakan-akan bisa merasakan kepedihan di dada.

"Mama cepet sembuh. Ryan pengen main bareng Papa sama Mama lagi."

Perkataan Ryan justru membuat hatinya menghangat hingga tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata.

Pagi itu Lenny tidak mengantar Ryan ke sekolah. Adrian justru mengantar Ryan dan Lenny dengan mobil jipnya. Lenny duduk di jok depan. Dia tersenyum dari balik jendela mobil setelah Ryan melambaikan tangan dari gerbang sekolah. Adrian kemudian mengantar Lenny ke markas Asosiasi Sektor Kopo.

"Hati-hati."

Kecupan di kening Lenny mengembalikan semangat dari wajah. Biasanya Lenny mengecup kening Adrian sebelum berangkat menuju toko dan pabrik perlengkapan outdoor-nya.

"Kalo ada apa-apa, WasApp aja," pungkas Adrian sebelum meninggalkan area parkir markas Sektor Kopo nan rimbun. Lenny tersenyum sambil mengusap bekas kecupan Adrian. Tanpa sadar Jaka menggodanya di dekat gerbang lobi.

"Mau dong dicium juga sama Bu Lenny!"

Seketika Lenny kembali dirinya yang biasa. Ketua Unit Reserse Kriminal Khusus dengan lirikan mata tajam dan tidak kenal ampun pada anak buahnya yang kurang ajar.

Hari itu Lenny mengumpulkan anggota unit Reserse untuk rapat penting. Mereka membicarakan perihal kasus penyerangan Cempaka Prameswari dan serangkaian kasus lain yang turut terkuak tanpa disengaja. Jaka sudah mengumpulkan barang bukti penting berdasarkan penelusurannya. Abay dan Andri memaparkan hasil penyelidikan mereka tentang dugaan penggelapan aset Priya Group berdasarkan petunjuk dari Sania Prabawati.

"Apa kalian berdua yakin mengenai dugaan penggelapan itu?" tanya Lenny selagi menggenggam ponselnya.

"Tentu saja, Nyonya. Kami sudah mendapatkan hasil audit terbaru perusahaan dari saksi sekaligus biro akuntan kepercayaan Priya Group."

"Pelaku bisa terkena pasal berlapis dalam kasus ini. Pasal penyerangan, penggelapan, pencucian uang, dan tindak pidana perdukunan. Masalahnya kasus ini beririsan langsung dengan wewenang polisi. Andri."

"Ya, Bu?" balas Andri.

"Ikut aku ke kantor Polwiltabes sekarang!"

"Baik."

Pagi itu Lenny dan Andri berjalan menuju kantor Polwiltabes Kopo. Kantor Polwiltabes Kopo terletak beberapa meter saja dari markas Asosiasi Sektor Kopo. Lenny langsung menghubungi Inspektur Edward Purba, teman lamanya di Polwiltabes Kopo. Mereka lalu bicara di ruangan pribadi sang inspektur.

"Edward, aku butuh bantuanmu. Kami sedang menyelidiki kasus penyerangan gaib yang menimpa istri seorang pengusaha, tapi tidak sengaja menguak kasus penggelapan di baliknya."

"Maaf, aku tidak bisa banyak membantu. Masalahnya tidak ada laporan resmi yang masuk ke sini."

Lenny bertanya pada Andri. "Apa kau sudah menyarankan saksi untuk melaporkan kasus ini juga pada polisi?"

"Sudah, Bu."

"Kasus kompleks dengan pasal kriminal biasa dan luar biasa sekaligus memang sulit untuk ditangani. Sebaiknya kau tangani saja kasus yang berhubungan dengan pasal kriminal luar biasa terlebih dulu. Aku akan mengabarimu nanti jika laporan itu sudah masuk. Barulah kita bicarakan perkara ini nanti," ucap Edward.

"Terima kasih, Edward."

"Justru akulah yang harus berterima kasih padamu. Kau banyak membantuku sewaktu menangani kasus pembunuhan berantai setahun lalu."

Mereka lalu kembali ke markas Asosiasi sektor Kopo. Seorang pria berlari dari arah lobi makras Asosiasi.

"Bu Lenny! Kabar buruk!"

Pria itu Malik, salah satu anggota Unit Pelayanan Masyarakat. Pria kurus itu kerap bergosip dengan Jaka dan cenayang wanita lain selagi senggang.

"Kenapa kau berlari tergesa-gesa seperti itu?"

"Ada laporan dari wanita bernama Sania Prabawati. Ada penyerangan terjadi di kawasan Winterecon."

Winterecon. Kompleks perumahan baru di sekitar kawasan Rancasagatan. Lenny kemudian memeriksa pesan WasApp Rendra dari ponselnya. Alamat itu sesuai dengan lokasi rumah Billy yang Rendra kirimkan.

"Andri. Cepat panaskan mobil pengintai sekarang juga!"

"Bu Lenny. Sekarang?"

"Tunggu apa lagi? Sekarang!"

Andri kemudian berlari menuju garasi markas Asosiasi Sektor Kopo. Lenny kemudian memanggil para anak buahnya di ruangan Unit Reserse agar bergegas.

"Nyo-Nyo-Nyonya. Ma-Mau ke mana?" tanya Abay.

"Kau masih banyak bertanya dalam kondisi segenting ini? Persiapkan juga peralatan pembersihan sekarang!"

"Bu Lenny bahkan belum ngasih tahu kita mau ke mana," timpal Jaka.

"Kalian ingin gajinya dipotong lagi?"

Suara dalam dan lirikan tajam Lenny lebih dari cukup mendorong duo biang kerok Unit Reserse kembali bekerja.

Berdasarkan petunjuk dari GPS di ponsel Lenny, mereka lalu menuju TKP. Mobil pengintai berwarna hitam itu sudah sampai di klaster Chelsey, Winterecon Kopo. Para tetangga di sekitar mulai mendekati rumah dua lantai dengan dua mobil terparkir di depannya. Tak lupa Lenny mengambil Termos Perangkap dari dalam mobil. Para cenayang mulai menepis tetangga di sekitar rumah dengan memasang garis polisi. Teriakan dari arah dalam gedung membuat para tetangga menjauhi garis polisi.

"Andri, Malika, kalian berdua berjaga di sekitar TKP. Cepat hubungi tim medis!"

Andri berusaha mengusir kerumunan di sekitar. Malika kembali ke dalam mobil. Suara Malika dari alat komunikasi di telinga menandakan persiapan sudah selesai.

"Jaka. Bantu Andri berjaga di luar. Perkuat pagar gaib di luar."

"Siap, Bos!" balas Jaka.

Lenny menoleh ke arah Abay dan Saras, "Kalian berdua, ikut aku ke dalam."

"Ta-Ta-Tapi, Nyonya," teriakan kedua menjeda pembicaraan Abay, "i-i-ini terlalu berbahaya!"

"Tidak usah takut. Lawan di Kopo Medical Center yang kau hadapi jauh lebih berbahaya daripada ini. Percayalah padaku. Kau pasti bisa."

Lenny lalu memasang jurus Distorsi Batas sesampainya di dalam. Perabotan berserakan di dalam rumah. Seorang wanita berdiri di ruang tamu sembari menyilangkan tangan.

"Tolong! Hentikan!"

Seorang pria menempel di langit-langit rumahnya. Tubuhnya terus meronta-ronta dari ketinggian. Tangan dan kakinya tidak terikat, tapi sesuatu seakan menahan tubuh gagahnya dari tarikan gravitasi. Pria itu lalu menoleh ke arah para cenayang di bawah kakinya.

"Siapapun kalian, tolong aku!"

Pasti itu suara Billy, anak pertama dari Maria Soewono sekaligus pemilik rumah ini.

Wanita berambut cokelat di dekat jendela ruang tamu mencebik. "Siapa kalian? Apa kalian juga ingin ikut campur seperti akuntan ini?"

Tubuh Sania tergeletak di antara perabotan yang berserakan. Serangan tak terlihat kemudian mengarah pada para cenayang. Sebuah tembok di depan mereka menepis serangan bertekanan tinggi sesaat sebelum retak.

"Ilmu kalian lumayan juga. Apa jangan-jangan kalian ini cenayang Asosiasi?" tanya wanita itu.

"Sudah kuduga. Pelaku penyerangan itu berasal dari orang terdekat Cempaka Prameswari. Benar begitu, Irsya Sumarsono?"

Irsya tertawa sesaat. Seketika tubuh di langit-langit terjun bebas. Saras langsung menangkap Billy dengan bantuan jurus manifestasi Lenny.

"Terima kasih. Jantungku benar-benar nyaris copot tadi," ucap Billy berwajah pucat pasi.

Sementara Saras melindungi para korban, Lenny bersiaga di dekat pintu. Abay gelagapan dengan keheningan di antara mereka.

"Nyo-Nyo-Nyonya. Ma-Maksudnya apa?" bisik Abay.

Beberapa hari sebelumnya, tepat sewaktu Lenny datang ke kantor biro akuntan Apik Consulting. Lenny bertanya lebih lanjut soal unit perusahaan milik Priya Group. Priya Group memiliki unit-unit perusahaan yang mengelola bisnis makanan dan minuman. Salah satunya unit bisnis makanan beku yang bermasalah dan ditangani oleh Irsya Sumarsono, adik kandung Priya Sumarsono. Berdasarkan detil laporan yang Sania berikan, Lenny menelisik laporan tersebut. Lenny juga membandingkan laporan tersebut dengan kesaksian Sanata, Rendra, dan hasil penelusuran Jaka.

"Apa sejak awal kau ingin mengambil alih, tidak, merebut bisnis kakakmu?"

Irsya tertawa nyaring. Abay langsung bersembunyi di balik punggung Saras.

"Bay, lo kenapa sih?"

Abay menunjuk dalam gemetar. "Ra-Ra-Raaas. Liat ke sana!"

Aura gelap lalu menyelimuti kediaman Billy Paramarta. Tekanan energi negatif yang tidak biasa memancing ketakutan Lenny. Tidak salah lagi. Ini memang aura dari ilmu hitam. Lenny tak bisa membuat Abay dan Saras kewalahan karena trauma masa kecilnya. Dia menarik napas dalam.

"Dugaanku benar. Kasus perselingkuhan dengan influencer itu rupanya jebakan. Kau sengaja ingin menghancurkan keluarga Priya Soemarsono semata-mata ingin mengambil harta dan perusahaannya, 'kan?"

"Kenapa? Apa aku salah? Selama ini aku lelah berada di bawah bayang-bayang abangku. Aku selama ini diperlakukan sebagai sampah. Aku ingin semua hal yang dibanggakannya hancur. Mulai dari bisnis bahkan keluarga yang dibanggakannya. Bahkan aku juga yang merencanakan kecelakaan di jalan tol itu."

Billy tersentak. "Apa? Jadi Bibi sengaja mencelakai Bapak? Apa Bibi tahu selama ini Bapak sangat peduli dan percaya pada Bibi?"

"Maaf. Kalian sudah terlalu tahu banyak soal ini."

Serangan ilmu hitam melumpuhkan para cenayang dan Billy di dalam rumah. Kepala Lenny berguncang. Abay segera menangkap tubuh atasannya.

"Nyo-Nyonya gak apa-apa?"

Meskipun Lenny ingin menyerang, bibir dan tangannya terlalu kaku. Bayang-bayang masa kecil akan kematian kedua orang tuanya kembali berulang di depan mata. Saras menepikan Billy lalu berusaha menyerang Irsya dari dekat. Lenny tak bisa membantu membuat penahan atau jurus lain yang bisa membantu Saras.

"Kau pikir serangan tadi bisa melumpuhkanku? Haras, bakar mereka semua untukku!"

Sesosok makhluk halus dengan tubuh berselimut api muncul di dekat Saras. Tembakan api nyaris saja memanggang Saras jika terlambat menghindar. Billy terperanjat ketika barang-barang di dinding mulai terbakar.

"Rumahku!"

"Jangan cemas. Rumah Saudara Billy tidak benar-benar terbakar," balas Lenny. "Kenapa Saras tidak menggunakan manifestasi untuk menangkis serangan banaspati itu?"

"Sa-Saras gak bisa manifestasi, Nyonya," timpal Abay.

Ini gawat. Semburan api dari Haras bisa saja melukai korban. Meskipun Asosiasi menggunakan jurus Distorsi Batas, terlalu beresiko untuk menghadapi banaspati tanpa manifestasi. Suhu tinggi di sekitarnya bisa melukai fisik bila menyerang dari dekat. Andai saja ada sesuatu yang bisa ... mata Lenny tertuju pada Abay yang meninggalkannya. Pemuda itu memang aneh. Ia kerap bertingkah gegabah dan melanggar peraturan. Embusan angin sepoi-sepoi menyapu api di dinding hingga padam. Api di tubuh Haras berangsur mengecil. Angin bertambah kencang lalu membawa bunga es di sekitar.

"Ras! Cepat serang dia selagi gue masih bisa nahan!"

Satu hal yang tidak berubah dari diri Abay: ia tak bisa diam bila temannya terdesak. Hal itu menepis ketakutan dari diri cenayang payah sesaat. Serangan banaspati di depan Saras melemah. Jurus Hembusan Badai Kutub Selatan Abay yang tak terkendali meredam bara api di sekitar Saras. Keduanya kini bertarung satu lawan satu dengan kekuatan fisik. Saras memang tak bisa menggunakan manifestasi, tapi bisa melipatgandakan serangan dengan tenaga dalam. Tinju tangan kanannya berhasil menghantam tubuh Haras hingga jatuh tersudut. Benar-benar seorang pendekar terlatih.

"Sial. Angin dingin dan serangan gadis ini benar-benar merepotkan."

Irsya terdesak. Dia kemudian menyerang Billy dengan ilmu hitam. Tubuh pria malang itu terombang-ambing di dalam rumah.

"Tolong!"

Lenny gemetar. Bayang-bayang masa kecil ketika Bapak Tua membanting-banting ibunya dari ketinggian dengan ilmu hitam masih membekas di kepala. Sementara itu, jurus Hembusan Badai Kutub Selatan tak lagi mempan. Api di sekitar Haras kembali menyala. Ia sarangkan serangan ke arah Saras yang mulai kelelahan. Abay lalu menahan serangannya dengan tombak es yang mulai meleleh.

"Bay! Lo 'kan gak bisa berantem. Bahaya!" seru Saras.

Abay mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Haras. Gerakannya kasar dan tidak terkendali. Tak ubahnya pemabuk yang menghabiskan berbotol-botol arak sekaligus. Pukulan. Tendangan. Sikutan. Memangnya Abay itu samsak yang terus terkena serangan setiap saat? Lenny benar-benar mengurut dada. Berbulan-bulan berlatih bersama Adrian belum mengasah refleks Abay dalam memprediksi serangan.

"Dasar bodoh! Jangan menyusahkan dirimu sendiri lebih dari ini!"

Abay terus bangkit. Ia sama bodohnya seperti tokoh utama film kartun yang sering Ryan tonton. Sementara itu, Saras berusaha meraih badan Billy yang jatuh. Haras mundur seiring dengan perintah Irsya.

"Kalian membuatku bosan. Haras. Mainkan saja bonekanya."

"Baik, Nyonya."

Haras meninggalkan tubuh Abay yang terduduk di dekat bufet ruang keluarga. Ia lalu merasuki tubuh Sania yang terkapar di dekat Billy.

"Saras. Awas!"

Sosok makhluk halus di dalam tubuh Sania mengangkat tubuh Saras dan Billy tinggi. Lenny berusaha untuk memberi Abay perintah, tapi pisau-pisau kehitaman yang melayang menekan sekujur tubuhnya.

"Kau yakin ingin menangkapku? Jika kau lakukan itu, nyawa mereka bertiga bahkan anak buahmu takkan selamat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro