Anneta - Bab 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan susah payah Anneta mengikuti langkah lebar Alfian. Ia tahu laki-laki itu sangat marah dan merasa dipermainkan. Ah, bodoh! Kenapa dia lupa mengeluarkan buku harian milik Naira dari tasnya? Kenapa harus ia bawa? Dan juga ... kenapa dia harus menitipkan tas itu pada Alfian? Kalau sudah begini apa yang harus ia lakukan? Alfian pasti sangat marah. Dan ia yakin, penjelasan apapun yang ia keluarkan pasti tidak akan laki-laki itu terima jika kondisinya seperti ini.

Langkah Anneta terhenti saat Alfian berhenti di depannya. Laki-laki itu masih membelakanginya, tapi Anneta tahu Alfian sedang menahan emosi. Terlihat dari pundaknya yang kini tampak naik turun. Sungguh, kalau bisa Anneta ingin kabur saat ini juga. Dia hanya menggigit bibir dengan tangan bertautan cemas. Siap menerima luapan emosi laki-laki itu. Dia bahkan tidak tahu harus menjelaskan semuanya dari mana. Semua kosakata di kepalanya seolah menghilang saat itu juga.

"Harusnya aku tahu, ketulusan itu bullshit!" Alfian terlihat menarik napas, sebelum kembali bersuara. Dia masih berdiri memunggungi Anneta.

"Aku yang terlalu naif, terlalu cepat percaya sama kamu, dan ... dengan cepat pula mempercayakan hatiku sama kamu."

Anneta merasa semakin bersalah, bisa ia rasakan kepedihan dari setiap kata yang laki-laki itu ucapkan.

"Aku sudah bilang, aku nggak suka kamu menyebut nama itu di depanku." Ada jeda beberapa saat, sebelum tubuh itu memutar penuh ke arahnya. Hingga sorot kemarahan itu terlihat jelas dari mata Alfian.

Anneta memilih menunduk, dia tidak sanggup ditatap dengan sorot tajam yang sedikit ... menakutkan. Bahkan Alfian yang ketus dan bermulut pedas, rasanya lebih baik di mata Anneta. Dari pada Alfian yang seperti ini, sangat dingin, sinis, dan ... Anneta menghela napasnya. Masih belum bisa menjelaskan apa pun.

"Kamu memang tidak menyebut nama itu, tapi ternyata." Alfian tertawa miris, "kamu adalah utusannya? Apa yang kamu mau?"

Anneta mengangkat wajahnya secara perlahan, tatapan tajam itu masih menjadi pemandangan yang ia terima.

"Aku ... aku, aku hanya ingin, meluruskan kesalah__pahaman ... kalian," cicitnya terbata-bata, dan memilih kembali menundukkan wajah.

"Tidak pernah ada kesalah pahaman! Semua sudah terlalu jelas! Kamu nggak tahu apa-apa Anneta. Jadi ... berhenti, cukup mempermainkan hati saya sampai di sini. Dan ... jangan lagi muncul di hadapan saya. Lupakan apa pun itu yang menjadi rencana kamu selanjutnya."

Anneta mendongakkan wajahnya, dia menggeleng pelan. Banyak kalimat yang ingin ia katakan, tapi tak satupun mampu ia keluarkan. Dan kenapa Alfian harus bicara seformal itu?

"Lebih baik kamu pulang, supir saya akan mengantar kamu," katanya, lalu menyodorkan tas milik Anneta yang masih ia pegang, dan pergi begitu saja sebelum gadis itu mengatakan apa pun yang akan membuat hatinya semakin marah.

Anneta hanya mematung, satu bulir menetes dari sudut matanya. Dia ingin berlari dan menghentikan langkah lebar itu. Ia ingin berteriak, dan menjelaskan semuanya. Atau kalau perlu, dia akan mengikat tubuh Alfian, menutup mulutnya agar laki-laki itu mau mendengarkannya. Dia harus mendengarkannya!

"Mbak, kata Pak Alfi, saya disuruh ngantar Mbak pulang sekarang." Anneta tidak menyahut, matanya masih menatap punggung Alfian yang kini sudah menghilang di balik pintu dapur.

"Mbak!"

Anneta mengangguk, lalu melangkahkan kakinya keluar. Mungkin Alfian butuh waktu, yah ... dia harus mencari cara untuk bisa menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

***

Alfian membanting pintu kamarnya dengan kasar, tidak peduli dengan reaksi orang-orang di bawah sana jika mendengarnya. Dadanya naik turun menahan emosi. Ternyata ketakutannya selama ini terjadi. Gadis itu benar-benar punya maksud lain untuk mendekatinya. Harusnya dia tidak terlalu naif, harusnya dia sadar mana mungkin ada seorang gadis mendekatinya jika tanpa alasan. Seperti yang selalu terjadi selama ini.

Sama sekali tak pernah terbayang, jika gadis itu ternyata punya hubungan dengan Naira. Apa katanya tadi? Ingin meluruskan kesalah pahaman? Hah! Tahu apa dia soal itu semua, dan siapa sebenarnya dia? Temannya? Saudaranya? Atau orang bayaran yang Naira sewa untuk membantunya? Kenapa nama itu harus kembali muncul dalam kehidupannya, saat dia baru saja bisa menata hati. Dan dengan bodohnya, dia dengan sukarela memberi jalan kepada Naira untuk kembali menghancurkan hatinya. Dan kali ini, kenapa dia harus membawa-bawa orang lain.

Alfian mengacak rambutnya frustasi. Kenapa gadis-gadis itu seolah senang sekali mempermainkan hatinya! Kenapa? Apa salahnya? Tidakkah dia mempunyai kesempatan untuk bahagia dengan seseorang? Di saat hatinya mulai percaya kembali dengan apa itu cinta. Nyatanya hatinya harus kembali terluka. Mungkin, dia memang ditakdirkan untuk hidup sendiri, tanpa siapa pun. Itu lebih baik.

"Al, kamu di dalam?" Fokus Alfian sedikit teralih oleh suara Alana dari balik pintu kamarnya yang terkunci. Wanita itu memang tadi sempat melihat adik laki-lakinya masuk ke dalam kamar tanpa Anneta di sisinya. Dia yakin ada yang tidak beres karena wajah Alfian memancarkan sebuah kemarahan.

"Al?"

"Anneta sudah pulang, dia ada keperluan mendadak. Tadi juga titip maaf karena nggak bisa pamit langsung," jawab Alfian sedikit berteriak, dia enggan membuka pintu karena yakin Alana tidak akan percaya dengan penjelasannya.

"Tapi ...."

"Bentar lagi aku turun, mau ganti baju, gerah!" teriak Alfian lagi. Alana pun tidak melanjutkan kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya. Mungkin dia bisa menanyakan apa yang terjadi nanti pada Anneta. Karena kalau sudah seperti ini, adiknya pasti akan selalu menghindar.

***

Tara sedang berdiri di teras rumah Anneta saat gadis itu turun dari mobil. Mata Tara memicing, mencoba meyakinkan bahwa penglihatannya tidaklah salah. Anneta ... menangis?

"Ta?"

Gadis itu berusaha mengusap air mata yang keluar dari sudut matanya. Niatnya agar Tara tidak melihat, tapi sepertinya terlambat.

"Kenapa lagi?"

Anneta berhenti, sebelum akhirnya melangkah cepat dan menghambur ke pelukan Tara. Cowok itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia membiarkan Anneta menangis di dadanya. Membiarkan gadis itu meluapkan apa pun yang kini tengah mengusik hatinya. Yah, seperti yang biasa ia lakukan. Sejak kecil keduanya memang sangat dekat. Bahkan sering bertukar cerita. Mungkin karena Anneta anak tunggal, dia merasakan sosok kakak pada diri Tara. Walaupun secara silsilah Tara adalah adik sepupunya, tapi nyatanya cowok yang usianya terpaut dua bulan di bawahnya itu memang terlihat lebih dewasa.

"Cowok lagi?" tebak Tara, dan tepat sasaran. Itu kenapa Anneta hanya diam, menyusut hidung dengan tisu lalu melemparnya ke arah Tara. Cowok itu meringis jijik lalu melempar kembali tisu itu ke arah Anneta yang kini mengerucutkan bibir.

Keduanya sudah duduk di sofa tengah rumah Anneta.

"Ryan lagi? Dia masih gangguin kamu?"

Anneta berdecap lirih, "Nggak lah! Ngapain aku nangisin cowok kayak dia!"

"Terus? Siapa lagi?"

Anneta menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Melirik ke arah Tara yang kini menampakkan wajah penasaran, lalu menatap langit-langit rumahnya. Apa lebih baik dia cerita pada Tara? Siapa tahu sepupunya ini bisa memberinya solusi. Karena pikiran Anneta benar-benar sedang tumpul, dan tidak ada satu pun ide yang muncul di otaknya. Dia tidak boleh membiarkan kesalahpahaman ini berlangsung berlarut-larut.

"Kamu masih ingat Alfian, nggak?"

Tara tampak mengingat-ingat, lalu mengangguk. Mencoba menjadi pendengar yang baik, karena Anneta seperti sudah menyiapkan ancang-ancang untuk bercerita.

"Aku mau cerita, tapi kamu jangan ketawa, ya?" katanya seraya menunjuk-nunjuk wajah Tara dengan mata sedikit menyipit. Cowok itu hanya mengangguk mantap dan menggeser tubuhnya, menopang sebelah kepalanya. Dia benar-benar siap menjadi pendengar yang baik.

"Jadi gini, awal aku kenal sama dia itu sebenarnya karena sebuah misi," jelas Anneta. Cowok itu hanya mengernyitkan dahi, tapi tidak berusaha menyela sedikit pun.

Anneta pun mulai bercerita dari dia yang menemukan buku harian Naira, lalu tentang teror-teror hantu cewek di dalam mimpinya yang ia yakini adalah sosok Naira. Semua ia ceritakan tanpa terlewatkan sedikitpun, minus tentang perasaannya untuk Alfian tentunya.

Dahi Tara tampak berkerut-kerut, mencoba mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir gadis itu. Berusaha menganggap ini semua bukanlah sebuah kekonyolan.

"Jadi gitu," desah Anneta di akhir ceritanya. Dia benar-benar bingung harus bagaimana.

"Kamu ini lagi cerita beneran? Nggak lagi ceritain tentang cerita fiksi, kan?"

"Ih, Tara!" Anneta gemas sendiri dengan tanggapan sepupunya itu. "Beneran, lah! Aku terpaksa!" Gadis itu bersedekap lalu menatap langit-langit rumah.

"Aku harus gimana, Tar?" tanyanya tanpa menoleh.

Tara mengembus napas pendek, lalu ikut bersandar pada punggung sofa. "Kamu suka sama dia, ya?" Dari sekian banyak masukan yang ingin Anneta dengar. Malah pertanyaan itu yang ia dapat, sontak kepalanya memutar ke arah Tara.

"Kamu suka, kan? Sama dia?" cengir Tara dengan senyum menggoda.

"Nggak penting, Tar! Aku minta saran dari kamu!"

Tara kembali menatap lurus ke depan. Mengusap-usap dagunya seperti sedang berpikir.

"Kalau menurut aku si kasih dia waktu untuk menangkan diri dulu. Seenggaknya sampai emosi dia mencair, setelah itu kamu bisa nemuin dia."

Anneta hanya mengerjapkan mata, sepertinya kata-kata Tara ada benarnya juga.

"Dia pasti kecewa banget sama kamu, Ta! Dia pasti merasa dipermainkan, apalagi ... setelah kesalah pahamannya dengan Naira. Posisi kamu itu jadi sedikit rumit."

Anneta menghela napas, menyandarkan kembali kepalanya di punggung kursi. "Salahnya aku, si Tar. Kenapa surat itu nggak aku kopi dulu coba."

Tara malah terkekeh, "Kalau nggak ceroboh, bukan Anneta namanya," katanya seraya mengacak-acak rambut Anneta.

"Ih Tara!" teriak Anneta kesal sembari memukul lengan Tara, karena dia selalu senang mengacak rambutnya hingga berantakan.

Selanjutnya mereka mengobrolkan hal lain, termasuk soal Tara yang sedang mendekati Riska. Sesekali Anneta menggoda cowok itu. Dia senang, akhirnya sepupunya itu bisa move on. Semoga kali ini kisah cinta Tara berjalan lebih mulus. Dan ... semoga masalahnya dengan Alfian juga bisa cepat selesai.

***

Anneta merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengutak-atik ponselnya. Membaca kembali pesan-pesan yang pernah Alfian kirim. Lalu dahinya mengernyit saat ada yang janggal. Tidak ada foto laki-laki itu di profilnya. Dengan mata terpejam Anneta mengirimkan tes pesan ke nomor Alfian, tidak terkirim. Lalu dengan jantung yang sudah berdebar cemas dia men-dial nomor laki-laki itu. Dan ... bibir Anneta menganga saat sadar nomornya ... diblokir.

📕📕📕

Ayo Ta! Semangat berjuang kembali! 😜

Jangan lupa tinggalkan jejak kalau suka. Happy reading .... 🤗😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro