Anneta - bab 33

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana pernikahan itu sangat mewah. Tamu undangan sudah memenuhi gedung. Moza dengan gaun warna pink-nya terlihat berlari-lari di depan pelaminan. Sementara kedua pasangan pengantin itu tampak sangat bahagia bersanding di atas sana.

Yah, hari ini adalah hari pernikahan Alana dan Alta. Keduanya sedang menjalani sesi foto keluarga. Tentu saja Anneta juga ada di dalamnya. Bahkan dia memakai seragam yang sama dengan keluarga Alana yang lain. Atasan brokat berwarna biru pastel sederhana, dipadu dengan kain batik berwarna senada.

Anneta turun dari panggung saat sesi pemotretan sudah selesai. Dia memilih duduk dan mengambil minuman. Matanya sempat menatap sosok Alfian yang berjalan ke arah lain. Entah apa yang laki-laki itu lakukan. Anneta memilih duduk dan mengurut tungkainya yang terasa pegal. Dia memang mengikuti prosesi pernikahan ini dari pagi. Di mana ijab kabul dilaksanakan di sebuah masjid yang cukup besar pagi tadi.

Anneta melengkungkan senyum ke arah pengantin yang kini sedang menyalami para tamu. Ada rasa iri di hatinya. Karena nanti, saat ia menikah tak akan ada mama ataupun papa yang akan menemaninya. Tak terasa satu bulir bening lolos dari pipinya.

"Ikut aku!"

Anneta menggerakkan kepalanya pada sosok Alfian yang kini sudah berdiri di sampingnya. Laki-laki itu mengulurkan tangan ke arahnya dengan senyum lembut yang membingkai wajahnya. Hari ini Alfian terlihat makin tampan dengan balutan baju batik berwarna senada dengan baju yang Anneta kenakan.

"Mau kemana si? Kakiku capek," jawabnya seraya mengurut betis yang masih terasa nyut-nyutan. Dia memang tidak terbiasa memakai sepatu heels seperti ini.

Anneta memekik saat tiba-tiba saja Alfian mengangkat tubuhnya.

"Al! Ngapain? Turunin!" katanya seraya memukul dada Alfian. Tapi laki-laki itu mengabaikan kata-katanya. Bahkan mengabaikan orang-orang di sekitar mereka yang memberikan banyak reaksi. Tentu saja banyak sorakan menggoda. Mau tak mau Anneta menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu.

"Katanya capek," kerling laki-laki itu dengan seringai jail.

"Malu," cicit Anneta. Memilih menyembunyikan wajahnya di dada kekasihnya. Dan membiarkan laki-laki itu menggendongnya entah ke mana.

***

Keduanya sudah duduk di taman samping gedung pernikahan Alta dan Alana.

"Kalau mama kamu nyariin gimana?"

Alfian menggeleng, tangannya mengusap dahi Anneta yang dipenuhi peluh. Gadis itu terlihat sangat cantik hari ini. Polesan di wajahnya tidak terlalu tebal, tapi justru itu yang membuatnya selalu menawan.

"Terus, kamu mau ngapain ngajak aku ke sini?"

Alfian hanya menahan senyumnya. Mengusap-usap wajah Anneta, lalu menyelipkan anak rambut Anneta ke belakang telinga.

"Al?"

Alfian menarik napas lembut, lalu menarik kedua tangan Anneta dalam genggaman tangan besarnya.

"Maaf ...."

Anneta mengernyitkan dahi. Tidak mengerti dengan kata maaf yang laki-laki itu maksudkan.

"Kenapa kamu minta maaf? Memang apa salah kamu?"

"Aku berkhianat. Maaf, maafin aku." Alfian menundukkan wajahnya. Jantung Anneta tiba-tiba saja berdegup lebih cepat, bisa dibilang sedikit waswas dan terkejut. Apa maksud laki-laki ini?

"Kamu jangan becanda! Nggak lucu!" teriaknya seraya memukul lengan Alfian. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca, tidak berani membayangkan apa kelanjutan dari kalimat Alfian yang terasa ambigu itu.

Alfian perlahan mengangkat wajahnya. Menatap wajah Anneta yang kini menatapnya penuh. Bisa ia tangkap bendungan di mata itu.

"Maafin aku."

Anneta menggeleng kasar, "Nggak! Aku nggak mau denger!"

"Anneta dengerin aku dulu." Alfian menarik kedua telapak tangan gadis itu yang ia buat untuk menutupi telinga.

"Dengerin aku."

Air mata sudah lolos dari kedua mata lentik gadis itu. Bibirnya bergetar karena tangis.

Alfian menarik napas lembut, lalu menangkup kedua pipi Anneta. Mengusap air mata yang meleleh. "Aku berkhianat. Aku melanggar janjiku sendiri untuk melamar kamu tahun depan. Aku berubah pikiran. Maafin aku."

Tangis Anneta semakin pecah.

"Hei-hei! Dengerin dulu." Alfian berusaha mendapat fokus Anneta.

"Aku nggak jadi ngelamar kamu tahun depan, karena itu kelamaan," ujarnya dengan senyum merekah. Sementara Anneta mengerutkan dahinya, menatap Alfian dengan pandangan yang sedikit mengabur.

"Maksudnya apa? Kamu jangan main-main!"

Alfian malah tertawa kecil, lalu mengeluarkan sebuah kotak beledu berwarna putih dari sakunya. "Aku nggak bisa berkata-kata romantis. Tapi intinya, aku nggak akan menunggu tahun depan untuk meresmikan hubungan kita. Aku nggak bisa membayangkan jika kita benar-benar terpisah. Aku udah memikirkan ini sejak seminggu terakhir ini." Alfian menghela napas panjang, lalu membuka kotak itu. Sebuah cincin emas dengan ukiran sederhana dan satu permata di tengahnya tampak bernaung cantik di sana.

"Will you marry me, Anneta?"

Gadis itu tak bergeming, dia menatap Alfian dan kotak itu secara bergantian dengan air mata yang mengering. Lalu tangis itu kembali pecah. "Kamu jahat!"

Alfian mengangkat sebelah alisnya bingung.

"Kamu nggak tahu bagaimana perasaanku tadi? Aku takut! Kenapa harus kayak gitu?" Gadis itu kembali terisak. Mau tidak mau Alfian tersenyum dan menarik tubuh Anneta ke dalam pelukannya.

"Maaf, aku nggak bermaksud begitu. Hanya ingin memberi kejutan."

"Tapi itu nggak lucu sama sekali!"

"Kan itu kejutan. Bukan mau ngelawak sama sekali!" katanya sembari terkekeh.

Anneta tidak menjawab, dia hanya memukul-mukul dada Alfian kesal.

"Iya, iya. Aku minta maaf, udah dong jangan gambek."

"Tapi janji jangan bikin aku takut lagi!"

"Iya janji," jawabnya sambil mencium puncak kepala Anneta.

"Jadi gimana nasib cincinnya? Mau dibuang apa ...."

"Jangan!" Alfian terkekeh. Lalu menarik jemari Anneta untuk menyelipkan cincin itu di jari manisnya.

"Terima kasih."

Anneta mengangguk, lalu membenamkan kepalanya di dada Alfian.

"Jadi ini yang kamu beli waktu bersama Sita?"

Alfian mengangguk, tangannya terus mengusap punggung Anneta. "Kamu mau pernikahan yang seperti apa?"

"Yang sederhana."

"Sederhana itu yang seperti apa?"

"Bisa kita bahas nanti saja? Kamu harus tanggung jawab karena sudah membuat aku syok!"

Alfian tertawa kecil, lalu keduanya mengobrolkan hal-hal ringan.

Rasanya terlalu cepat untuk keduanya. Tapi siapa yang bisa melawan takdir Tuhan? Jodoh, maut, itu misteri. Dan satu misteri dalam kehidupan mereka telah terkuak. Saat ini, keduanya hanya bisa berdoa. Semoga Tuhan masih mau bermurah hati untuk menyatukan mereka dalam ikatan pernikahan, hingga mereka menua bersama. Menjalani suka dan duka bersama. Hingga hanya maut yang memisahkan. Semoga.

***

Anneta tersenyum sendiri di ambang jendela kamar tamu rumah Tara. Matanya tak lepas dari cincin yang melingkar cantik di jari manisnya. Sudah seminggu berlalu semenjak hari itu, di mana Alfian melamarnya tepat pada hari pernikahan Alta dan Alana. Dan hari ini, rencananya keluarga Alfian akan melamar Anneta secara resmi. Karena kini gadis itu hanya memiliki om sebagai wali. Maka keluarga Alfian akan meminta gadis itu secara resmi untuk menjadi bagian dari keluarga mereka pada adik dari orangtua gadis itu.

"Nggak nyangka bakalan secepet ini." Kepala Anneta bergerak ke arah samping, di mana Tara tengah melangkah masuk dan berdiri di sampingnya. Keduanya menyunggingkan senyum sembari menatap lurus ke depan. Di luar suasana sudah mulai menggelap.

"Kamu beneran udah siap?" tanya sepupunya itu seraya menoleh ke arah Anneta yang terus saja menyunggingkan senyuman bahagianya.

"Nggak akan pernah ada kata siap, tapi aku rasa ini yang terbaik, Tar."

Tara mengangguk setuju, setidaknya jika Anneta sudah menikah nanti, dia tidak perlu lagi terlalu khawatir pada sepupu cantiknya itu. Karena akan ada yang menjaganya setiap harinya. Apalagi sepertinya Alfian adalah laki-laki yang baik, begitu juga dengan keluarganya. Tapi tetap saja, jika mengingat perkenalan Anneta dan laki-laki itu yang terlalu singkat, kadang ada rasa khawatir jika Anneta akan menyesali keputusannya. Apalagi gadis itu juga masih terlalu muda.

"Tapi perkenalan kalian itu terlalu singkat, dan ...."

"Tak terduga? Juga sedikit konyol," kekeh Anneta seraya menoleh sejenak ke arah Tara yang juga tengah menatapnya.

"Siapa yang tahu jodoh si, Tar? Kayak kamu, bisa jadi jodoh kamu itu Riska," lanjut Anneta dengan senyum meledek, lalu tertawa kecil saat mendapat decakan dari cowok di sampingnya.

"Kamu beneran serius sama Riska?"

"Nggak usah ngalihin topik," kata Tara seraya memutar tubuhnya hingga kini bersandar pada pembatas jendela, pemuda itu melipat kedua tangannya ke depan dada.

Anneta tersenyum, mengerti dengan kekhawatiran yang Tara kini rasakan. Dari dulu, cowok ini memang pelindungnya. Dia bahkan selalu ada saat Anneta membutuhkan seseorang.

"Aku ngerti kekhawatiran kamu, tapi ... setelah ini aku kan juga nggak langsung nikah. Masih ada jeda beberapa bulan. Masih ada banyak waktu untuk lebih mengenal Alfian."

"Dia harus bahagiain kamu, karena kalau enggak. Dia akan berurusan sama aku."

Mau tak mau Anneta tertawa kecil, "Berasa punya bapak aku tuh, Om Reno aja nggak segitunya loh."

Tara mendengus kesal, lalu menjitak kepala Anneta. "Semoga ini memang keputusan yang tepat."

Anneta kembali tersenyum, lalu keduanya keluar saat teriakan mama Tara menggema, memberitahukan jika keluarga Alfian sudah datang.

***

Pertemuan itu berjalan begitu hangat dan juga tenang. Kedua orang yang dibicarakan sedari tadi hanya saling melempar pandang dan mengulas senyum penuh arti. Masih tak menyangka sebenarnya, pertemuan konyol itu akan berakhir seperti ini. Kisah awal yang bertuliskan nama Naira dan Alfian, pada akhirnya harus berakhir dengan lain nama. Anneta lah yang menjadi tokoh penutup dalam kisah ini.

Setelah bermusyawarah dan mencari tanggal yang bagus, akhirnya kesepakatan itu diambil. Enam bulan lagi pesta pernikahan itu akan digelar. Anneta tidak mau merayakan pesta pernikahan yang terlalu mewah, karena mengingat kedua orangtuanya tidak akan bisa hadir, karena sudah kembali pada Tuhan. Dan hal itu sudah menjadi beban tersendiri untuk Anneta. Ada banyak kata andai, namun gadis itu mencoba menepisnya. Ini sudah menjadi takdir Tuhan, dia tidak boleh memprotes apa yang sudah menjadi ketentuan untuk hidupnya.

"Aku harap semuanya akan dimudahkan," kata Alfian saat keduanya sudah duduk di kursi teras rumah Alfian. Sementara keluarganya yang lain sedang mengobrol santai di dalam.

"Kamu siap menerima semua kekurangan aku nanti?" tanya Anneta seraya menyandarkan kepalanya pada bahu Alfian.

Laki-laki itu tersenyum, lalu menautkan jarinya pada jemari Anneta yang kini ia genggam.

"Kita belajar bersama, yakin ... semuanya akan bisa kita lewati dengan mudah jika berdua."

Anneta mengangguk dengan senyum simpul, lalu keadaan menjadi hening. Masing-masing tersenyum dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Berharap apa yang menjadi rencana ke depannya bisa berjalan mudah dan dilancarkan.

📕📕📕

Yang baca ulang, mulai part ini bakalan beda dari versi lama.

Karena banyak yang bilang endingnya gantung, jadi aku rombak total di bagian endingnya. ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro