delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku main di rumah Benji sampai malam, karena mereka berdua - Ko Felix yang akhirnya bangun memaksaku ikut makan malam dengan mereka. Aku sebenarnya malu, mengganggu pasangan ini, tapi aku juga malas pulang. Moodku sedang nggak bagus, dan aku nggak mau membuat Mami khawatir melihatku seperti ini. Setidaknya di sini, aku bisa ketawa-ketawa dengan mereka berdua.

Kami makan malam bersama, delivery dari salah satu restoran chinese food favorit aku dan Benji. Sepanjang makan malam, aku tak berhenti meledek Benji yang sepertinya nggak mampu menjauhkan tangannya dari Ko Felix yang terus menerus menepis tangannya karena malu.

Namun saat makan malam berakhir dan kami duduk mengobrol di sofa depan televisi, Ko Felix sudah lupa dengan rasa malunya dan asik mengobrol denganku sambil duduk di pangkuan Benji. Kemesraan mereka berdua sungguh membuatku iri.

"Mau nginap aja nggak di sini malam ini?" tawar Ko Felix, yang langsung mendapat tolakan tegas dariku dan Benji.

Gila aja, semalaman aku disuruh mendengar mereka gituan? No, no, no. Makasih banyak.

Benji berbisik pelan di telinga Ko Felix, dan wajah Ko Felix langsung merona. Benji pasti ngomongin hal mesum. Ck. Kebiasaan.

Tak lama kemudian, bel rumah Benji berbunyi nyaring. Ko Felix dan Benji saling bertatapan, sebelum Ko Felix bangun dari pangkuan Benji.

"Biar aku yang buka."

Ko Felix pergi untuk membuka pintu, dan yang tidak kuduga, Terry menghambur masuk ke dalam rumah dan dia terlihat panik. Dia benar-benar terlihat aneh, karena biasanya dia minim ekspresi. Sepertinya baru kali ini aku melihat dia lepas kendali begini.

Benji bangkit berdiri dan tersenyum tipis padaku.

"Beresin tuh, masalah lo sama laki lo. Gue naik dulu."

Lalu Benji menarik Ko Felix yang nyengir minta maaf padaku, lalu mereka bergandengan tangan menuju kamar Benji di lantai dua. Lalu aku akhirnya ngeh.

Ini pasti kerjaan mereka berdua.

"Kenapa kamu mematikan ponselmu?! Kenapa kamu melarikan diri begitu saja dari bridal Nina?!" tanya Terry begitu suara pintu kamar Benji tertutup. Dia bertanya dengan nada suara yang benar-benar asing di telingaku, mungkin karena panik. Tapi kenapa harus panik, aku nggak ngerti.

"Hai, Terry," kataku sok kalem, sambil bangkit berdiri dan menghadap Terry. Kalau mengikuti kata hati sih, aku males banget ketemu dia sekarang. Tapi apa daya, udah ketemu. Mau gimana lagi.

"Untung saja Ben mau memberitahuku kalau kamu ada di sini!"

"Oh..." jadi Benji yang memberitahunya.

"Ada apa denganmu, Lili? Tadi pagi kamu masih baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba kamu aneh?"

"Nggak, biasa aja."

"Biasa aja bagaimana? Biasanya ponselmu tidak pernah tidak bisa dihubungi seperti ini!"

"Ponselku mati. Itu kan wajar."

"Coba lihat aku dan bilang kalau kamu biasa aja."

Aku baru sadar, daritadi aku tidak melihat Terry. Aku sibuk memandangi lukisan gunung hasil karya Benji - dan aku - saat SMA, saat kami masih ikut ekskul melukis. Benji berbakat dalam melukis, tapi orangtuanya menentangnya mendalami profesi ini, jadi dia yang nggak tahu mau ngapain, ikut saja saat aku mengajaknya kuliah bisnis di Amerika. Untung dia multitalent dan mau belajar hal baru. Kalau nggak, mungkin perusahaannya saat ini sudah gulung tikar.

"Lili! Lihat aku!"

Oke, aku malah ngalor ngidul ke mana-mana, lupa kalau ada yang lagi berapi-api di depanku.

Aku menatap Terry dan mencoba bilang kalau aku merasa biasa-biasa aja, tapi nggak ada suara yang keluar.

Lalu Terry bergerak mendekatiku dan menangkup wajahku. Tangannya begitu dingin, nggak seperti biasanya. Apa dia sakit?

"Kalau ada yang kamu nggak suka, ngomong sama aku. Jangan diamkan aku begini. Aku nggak ngerti."

"Aku nggak apa-apa," kataku lagi, dan Terry memaksaku menatap wajahnya.

"Lihat aku dan bilang apa yang mengganggu kamu!"

"Jangan maksa aku!"

Aku menghentakkan tangannya dari pipiku dan menjauh darinya.

"Aku nggak apa-apa, Terry. Sudahlah, nggak usah diperpanjang."

"Aku hanya khawatir, Li."

"Apa yang kamu khawatirkan? Aku kenapa-kenapa? Buktinya aku nggak kenapa-kenapa. Aku cuma datang main ke rumah temanku. Ponselku mati. Biasa aja."

Terry menarik nafas panjang, lalu menatapku sendu. Aduh, aku jadi lemah.

Nggak, nggak. Aku nggak boleh terperdaya.

Aku benar-benar nggak mau membahas soal siang tadi, saat ini. Aku benar-benar malas membahasnya. Gimanapun, itu ciciku sendiri.

"Li..."

"Apa?" jawabku ketus.

"Aku lapar..."

Hah? Dia belum makan daritadi??

"Kenapa kamu nggak makan sama Ci Flo aja?? Kamu kan seharian sama dia!! Nggak usah ngeluh-ngeluh lapar ke aku!!"

"Lho? Kamu ngomong apa sih?"

"Iya, kan kamu seharian sama Ci Flo! Ngeluh laparnya sama dia dong! Jangan sama aku!"

Lalu aku melihat Terry mengulas senyum tipis. Rasanya aku seperti masuk jebakan.

"Ternyata benar kata Nina. Kamu cemburu."

Sial, dia memang mengetesku. Ci Nina pasti cerita macam-macam dengannya.

"Nggak! Aku nggak cemburu!"

Aku mencoba mengelak saat Terry mendekatiku, namun tangannya melingkari pinggangku dengan erat. Lalu dia mengecup dahiku lembut.

"Aku memang dekat dengan Flo, tapi nggak lebih dari sahabat kok. Aku nggak pernah sadar karena belum ada yang pernah mencemburui kedekatan kami. Maaf ya, Li."

Maksudnya, aku doang yang nggak suka mereka dekat? Orang lain merasa biasa aja??

Eits. Aku nggak cemburu. Aku cuma nggak suka aja. Dia kan pacarku. Pacar mana sih yang suka pacarnya dekat dengan sahabat yang berlawanan jenis? Nggak ada kan?

"Aku nggak cemburu."

"Cemburu juga nggak apa. Aku senang."

Aku menatapnya sambil mengernyit. Dia gila ya? Kok malah senang dicemburui??

"Artinya kamu sayang sama aku. Perasaanku benar-benar nggak bertepuk sebelah tangan," kata Terry sambil tersenyum, senyumnya lembut sekali. Dia kelihatan makin ganteng.

Lho, kok aku jadi tersipu.

Jantung monyong ini juga berdebar-debar nggak karuan.

Sial, kenapa Terry ganteng begini ya?

"Aku- aku nggak mau melarang kamu dekat dengan teman-temanmu. Tapi aku juga mau kamu bisa ketawa-ketawa seru denganku," kataku pelan, berusaha mengungkapkan isi hatiku padanya. Dia udah susah payah nyariin aku, jadi ya sudahlah, mending dikelarin hari ini aja masalahnya.

Terry terdiam sesaat, lalu mengangguk.

"I'll try."

Lalu dia mengeratkan pelukannya, dan aku bisa merasakan dagunya menempel di puncak kepalaku, sementara wajahku menempel pada dadanya. Debar jantungnya yang cepat membuatku nyaman.

Dia mungkin nggak mengucapkan kata-kata yang panjang dan janji-janji untuk membuatku merasa nyaman, tapi dari satu kata yang dia ucapkan dan perlakuannya, aku bisa merasakan kesungguhannya.

"Kalau ada apa-apa, tolong bilang sama aku. Aku nggak mau kamu berpikir macam-macam, dan aku nggak tahu apa-apa," kata Terry pelan.

"Iya, akan kuusahakan. Kalau begitu, kamu juga tolong kabarin aku kalau kamu memang mau keluar sama Ci Flo atau siapapun itu. Aku nggak suka, semua tau kamu di mana, tapi aku nggak."

"Iya. Diusahakan ya."

Kami berpelukan selama beberapa saat, yang kuharap terjadi selamanya, lalu Terry melonggarkan pelukannya.

"Mau pulang?"

Aku mengangguk. Aku meraih tasku, dan Terry menggandengku keluar dari rumah.

"Tapi mobilku-"

"Tinggal saja. Besok kita ambil."

Aku tersenyum dan mengangguk. Kami menutup pintu rumah Benji - yang terkunci otomatis - dan bergandengan tangan menuju mobil Terry.

***

"Jadi kalian udah baikan?"

"Udah. Kok lo bisa telepon gue? Ko Felix mana?"

"Nih, tidur di sebelah gue."

"Nggak keganggu? Lo teleponan di sebelah dia kan?"

"Udah nyenyak dia. Capek."

Aku bergidik. Dasar Benji maniak.

Dia meneleponku dua jam setelah aku pulang dari rumahnya tadi. Sepertinya dia penasaran dengan apa yang terjadi padaku tadi.

Tapi aku nggak mau membayangkan apa yang dia lakukan selama dua jam ini, sampai Ko Felix kelelahan.

"Ya sudah kalau begitu. Gue mau tidur dulu. Lo tidur juga deh, Neng."

"Iya, good night, Benji mesum." Benji tertawa.

"Good night, Lils."

Aku mematikan sambungan telepon dan merebahkan kepalaku ke atas Little Terry.

"Little Terry, kenapa abangmu itu sangat manis?" tanyaku sambil menatap langit-langit. Aku sepertinya nggak bisa marah-marah lama-lama dengannya. Dia terlalu manis.

Ponselku berdering, dan aku melihat nama Terry berkedip di layar. Aih, pucuk dicinta ulam tiba. Baru juga dipikirin, udah nelepon aja.

Halah, emangnya sekarang lo kapan berhenti mikirin Terry?

Sialan.

Dengan jantung yang berdebar sampai terasa mau copot, aku mengangkat telepon darinya.

"Halo?"

"Kamu belum tidur?" tanya Terry. Aku merinding mendengar suaranya yang berat begitu dekat dengan telingaku. Jantungku bertalu semakin kencang.

"Belum. Ini sudah mau tidur."

"Oke. Good night, Lili."

"Lho? Kamu juga sudah mau tidur?"

"Iya."

"Emangnya kamu habis ngapain?"

"Ngurusin kerjaan dikit. Kenapa?"

"Oh. Nggak apa-apa. Ya udah. Good night, Terry."

"Good night, Princess."

Aku menutup sambungan telepon dan menutup wajahku. Jantungku masih berdegup dengan cepat. Aku nggak tau. Rasanya kali ini ucapan selamat malamnya beda. Mungkin karena nggak ada lagi yang kupendam, dan dia juga terdengar berusaha untuk nggak sekaku itu denganku lagi.

Aku beralih memeluk Little Terry erat-erat, berusaha meredakan degupan jantungku yang menggila.

Aku tahu, saat ini aku mencintainya. Sangat mencintainya sampai rasanya jantung ini mau meledak.

Tbc

Satu masalah selesai. Kita happy-happy dulu ya.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro