sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terry menjemputku keesokan paginya sebelum berangkat ke kantor, untuk mengambil mobilku yang masih terparkir di rumah Benji.

Hari ini Terry tampak ganteng, dengan kemeja biru muda dan jas hitam. Dia tampak seperti CEO-CEO ganteng di novel-novel favorit Ci Flo.

Eh, dia memang CEO sih. Aku lupa.

"Li, sabtu depan temani aku ke acara reuni ya."

"Reuni?"

"Iya. Reuni SMA."

"Ada Ci Flo, Ci Nina, Ko Hendra, dan Ko Felix dong?"

"Mungkin."

"Kok mungkin?"

"Biasanya mereka malas ikut reuni."

"Emang boleh bawa pasangan?"

"Boleh. Rata-rata bawa pasangan kok."

Aku berpikir keras. Kayaknya menarik. Aku kan nggak tahu kehidupan SMA Terry. Pasti seru.

"Aku nggak apa-apa ikutan?"

"Nggak apa-apa. Kamu kan calon isteriku." Aku langsung tersipu, padahal Terry mengucapkannya dengan nada biasa-biasa aja.

"Boleh, deh. Sabtu malam kan?"

"Iya."

"Oke deh."

Terry menghentikan mobilnya di depan rumah Benji, dan mematikan mesin mobilnya. Dari dalam rumah, Benji dan Ko Felix baru saja keluar dengan pakaian kerja mereka.

"Pas banget kalian datangnya. Mau ambil mobil ya, Neng?" tanya Benji saat melihat kami. Aku mengangguk.

"Kalian mau berangkat kerja?" Benji menjawab dengan cibiran.

"Ya iya lah. Masa pakai baju begini ke pantai?"

Aku mencebik. Dasar rese.

Sementara aku dan Benji saling melontarkan ejekan, Terry dan Ko Felix mengobrol.

"Ter, lo udah confirm hadir reuni?" tanya Ko Felix. Terry mengangguk.

"Lo dateng?" Felix menggeleng.

"Malas. Lo tahu lah kenapa. Kalian aja."

Aku dan Benji sama-sama melirik ke arah mereka berdua.

Ko Felix sepertinya menyadari kalau perhatian semua orang tertuju padanya, dan menatap jam tangannya dengan panik.

"Gue harus jalan sekarang! Bye, Ter. Bye, Lils. Yuk, Ben," katanya, memeluk dan men-cipika cipiki aku, lalu menarik Benji masuk ke dalam mobil. Benji membuka kaca mobil dan melambaikan tangan pada kami sebelum menjalankan mobilnya meninggalkan rumahnya.

Aku mengalihkan perhatianku pada Terry begitu mobil Benji menjauh.

"Kita juga berangkat deh," kataku, dan Terry mengangguk.

Aku naik ke dalam mobilku diikuti Terry, dan sebelum aku menutup pintu, Terry menahan pintu dan menunduk ke arahku. Tanpa aba-aba dia mengecup bibirku.

"Hati-hati ya. Kamu jalan duluan aja, aku ikuti dari belakang."

Aku langsung tersipu-sipu, dan mengangguk.

Terry kembali mengecup dahiku, dan menutup pintuku, sebelum kembali ke mobilnya sendiri. Aku mengikuti gerakannya lewat kaca spionku, mengagumi sosoknya yang makin lama kok makin ganteng.

Aku nggak sabar menunggu waktu kami menikah.

***

Hari sabtu pun tiba. Aku sedang bersiap-siap saat Mami masuk ke kamarku.

"Mau ke mana, Li?"

"Temenin Terry reuni."

"Oh. Ada cici kamu dong."

"Kayaknya," kataku tanpa menoleh, dan meneruskan kegiatanku, memulas eye shadow berwarna nude di kelopak mataku.

Tanpa kusadari, Mami asik memperhatikan aku berdandan, dan memperhatikan pakaian yang kusiapkan. Dress selutut berwarna khaki dengan model off shoulder. Salah satu dress lama yang kubeli saat diskon summer tahun lalu di US.

"Baju kamu yang ini bagus."

"Thanks, Mam." Baju aku yang mana sih yang nggak bagus? Lili gitu lho. Kaos dan jeans koleksiku saja bagus, apalagi dress beginian?

"Kamu mustinya beliin Cici kamu juga. Pakaian dia parah banget. Padahal tubuhnya bagus."

Aku menarik nafas panjang. Aku sudah biasa dengan ini. Mami, walaupun sering beradu mulut dengan Ci Flo, tapi sangat menyayangi Ci Flo. Sejak aku kecil, aku terbiasa melihat Mami membelikan pakaian dan sepatu bermerk pada Ci Flo, yang sama sekali tidak tahu mode itu. Sementara aku, aku mencintai fashion sama besarnya dengan kecintaanku pada eskrim, dan sejak aku SMP, Mami berhenti membelikanku pakaian dan memberiku uang untuk membeli keperluanku sendiri. Aku sih sebenarnya lebih senang begitu, karena seleraku dan Mami suka nggak cocok, tapi itu sebelum aku menyadari kalau biaya yang dikeluarkan Mami untuk Ci Flo bisa dua kali lipat dibanding uang sakuku. Mending ya, dibeliin terus dipake. Biasanya oleh Ci Flo, pemberian Mami hanya jadi pajangan di lemari doang. Tapi tetap saja Mami membelikannya. Coba aku yang begitu, pasti diomelin.

I don't mind, really. Memangnya aku siapa?

Saat Ci Flo minta melanjutkan S2 di Paris, mengambil jurusan pastry yang sebenarnya tidak disetujui Mami, mereka - Papi dan Mami - tetap meloloskan keinginannya dengan mudah. Bahkan jauh lebih mudah dibanding saat aku meminta hal yang sama, melanjutkan S2. Padahal kalau dilihat-lihat, jurusan yang kupilih sesuai dengan apa yang Papi dan Mami mau.

Aku nggak boleh iri. Nggak boleh.

"Ya udahlah, Mi. Ci Flo kan udah punya suami yang bisa beliin dia baju bagus. Toh sekarang pakaiannya mendingan kok. Dia udah nggak buta fashion lagi," jawabku, menekan kedongkolan dalam hati.

"Ya, nggak ada salahnya kamu beliin Cici kamu juga toh."

"Ya, ya, ya," jawabku, malas berdebat. Membicarakan Ci Flo di depan Mami hanya akan semakin membuatku merasa seperti anak tiri.

Aku menepuk pipiku dengan bedak tabur, menyudahi sesi berdandanku, dan mengenakan dress itu saat ponselku bergetar pelan. Aku meliriknya dan melihat pesan dari Terry.

Pacar sayang : aku sudah di bawah.

Aku mengenakan heels tujuh senti-ku, mengambil purse dan ponselku, lalu keluar dari kamar diikuti Mami.

"Mi, aku jalan dulu ya."

"Hati-hati ya."

Aku mengangguk, lalu menghampiri Terry di luar rumah.

Terry terlihat tampan dengan celana jeans gelap, kaus putih, dan blazer navy. Rambutnya yang hitam disisir dengan gaya sedikit berantakan, membuatnya terlihat seperti anak kuliahan. Matanya yang berwarna hazel menatapku tak berkedip, walaupun raut wajahnya datar.

"Hai," sapaku, dengan sedikit tersipu. Aku malu dipandangi seperti ini.

"Kamu cantik."

Hais. Dia memang pintar membuatku semakin tersipu.

"Yuk jalan," kataku, tanpa berani menatapnya. Lalu aku mendengarnya terkekeh geli.

Tiba-tiba tangannya merangkul pundakku, dan aku merasakan dia mengecup puncak kepalaku.

"Kenapa buru-buru? Aku belum selesai memandangmu."

Sejak kapan Terry jadi begini????

"Udah malam, ayo jalan," kataku tanpa berani memandangnya. Seriusan, nggak ada gunanya aku pakai blush on tadi, karena wajahku panas sekali sekarang.

Jadi begini aslinya Terry??

***

Terry menggandengku masuk ke hall sebuah hotel, tempat acara reuni diadakan. Aku berdecak kagum pada siapapun panitianya, karena niat sekali mengadakan acara reuni ini. Tapi kemarinan Terry bilang mereka minta sumbangan ke para alumni, jadi aku nggak bingung dananya muncul darimana.

Ko Hendra yang terlebih dulu melihat kami, melambaikan tangan dan mendekati kami. Saat melihatnya sendirian, aku langsung bertanya penasaran.

"Lho? Isteri Ko Hen mana?"

"Di rumah. Austin lagi rewel nggak mau ditinggal, kayaknya gara-gara tumbuh gigi sih," kata Ko Hen menyebut nama putra sulungnya. "Gue juga nggak bakal lama-lama di sini. Kasian bini tar kangen."

Aku tertawa.

"Idih."

Ko Hendra memperhatikanku dari atas ke bawah, lalu tersenyum lebar.

"Cantik banget, kacang polong. Sejak kapan sih kamu sebesar ini?"

"Sejak bertahun-tahun yang lalu kali, Ko. Thank you," jawabku sambil nyengir.

"Lo udah lama di sini?" tanya Terry, dan Ko Hen mengangguk.

"Lumayan. Gue udah ketemu anak-anak basket yang dulu, beberapa teman sekelas juga."

"Ketemu mantan juga?" tanya Terry sambil tersenyum geli. Aku jadi ikutan tersenyum, sadar kalau Terry meledek Ko Hen, yang terkenal sangat playboy sejak SMA. Untung sudah tobat. Kalau nggak, kasian isterinya.

"Berisik banget lo, Ter."

Ko Hen melihat jam tangannya.

"Gue balik deh. Takut ada yang cemburu di rumah, khawatir lakinya yang ganteng ini clbk."

"Idih, Ko Hen pede banget."

"Lho, kan emang ganteng," kata Ko Hen, lalu dia menepuk puncak kepalaku, dan bahu Terry, sebelum pamit meninggalkan kami.

"Terry, kamu punya berapa mantan pas SMA?"

Terry menoleh kepadaku dan menatapku terkejut, lalu seulas senyum menghiasi wajahnya.

"Kenapa? Kamu takut aku ketemu mantan aku?"

"Nggak. Aku cuma penasaran aja."

"Hmm.." Terry tampak berpikir keras, dan mengeluarkan jarinya. Aku melihat dia mengangkat satu jari, dua, tiga, empat-

"Banyak ya??"

Terry terkekeh, lalu mengangkat satu jari di depanku.

"Satu doang?"

"Satu. Eh, tuh orangnya."

Hah???

Aku masih melongo kaget saat Terry menggandengku mendekati salah satu kumpulan yang sedang mengobrol.

"Woi, Terry!! Whassuppp, bro???" sapa salah satu pria di sana, yang alih-alih menyalami Terry, malah memeluknya erat.

"Wah, Terry bawa cewek!! Kapan nikah, Bro?"

"Lima bulan lagi," jawab Terry. "Kenalin, ini Lili, tunangan gue. Li, ini teman-teman sekelasku pas kelas sebelas. Ini teman basket, -" aku menyalami mereka satu per satu, mengabaikan keterangan nama mereka. Toh aku nggak bakalan hafal. Aku bersalaman dengan sekitar empat pria dan dua wanita. Aku bahkan nggak tau diantara dua wanita ini yang mana yang mantannya Terry, tapi bodo amat. Mereka berdua sudah menikah soalnya, dan -sorry ya- masih cantikan aku. Kalau sama dokter yang waktu itu, baru deh aku agak minder. Udah cantik, pinter pula.

Aku menatap interaksi mereka sambil tersenyum sopan, sementara pikiranku mengelana, tidak memedulikan apa yang mereka obrolkan.

Terry nggak begitu akrab dengan mereka, menurutku. Dia hanya tersenyum ramah, tertawa sesekali, dan menanyakan kabar dengan ramah. Tipe pria yang mudah bergaul. Tapi, hanya sebatas itu.

Lamunanku buyar saat kedua wanita memisahkan diri, dan salah satu pria temannya Terry ini tersenyum lebar, dan menepuk pundak Terry.

"Gue nggak nyangka lo ternyata suka perempuan juga. Gue kirain lo homoan sama Felix."

Hah?

Aku bisa melihat perubahan raut wajah Terry, namun sepertinya teman-temannya tidak menyadarinya.

"Iya juga ya, sejak kabar lo putus dari Amel, lo makin lama makin dekat sama Felix."

"Eh, Felix nggak dateng ya hari ini?"

Salah satu di antara mereka mendengus.

"Baguslah nggak datang. Gue ngeri sama dia. Makin lama makin keliatan gay. Gimana kalau dia ternyata naksir kita? Ngeri!"

"Emang tuh, gue liat fotonya di ig. So gay."

"Kok bisa ya dia jadi gay gitu?"

"Nggak ada cewek yang suka kali."

"Dia pendek sih. Apa gunanya gym dan karate kalau pendek? Mana ada cewek yang mau?"

Eh, buset. Sampah banget mulut manusia-manusia ini.

Lalu salah satu dari mereka menepuk pundak Terry lagi.

"Untung lo nggak homoan sama dia, Ter. Rugi! Masa jeruk makan jeruk?" Lalu dia tertawa terbahak-bahak, seakan-akan apa yang dikatakannya itu lucu.

Sepertinya salah satu temannya mulai menyadari perubahan raut wajah Terry, dan bicara dengan nada pelan, "lo masih temenan sama Felix ya, Ter?"

"Masih," jawab Terry pendek.

Aku menggenggam erat tangan Terry, berusaha menguatkannya. Aku tahu Terry manusia yang sabar, tapi mendengar sampah yang diucapkan manusia sampah ini, aku saja rasanya pengen marah, apalagi Terry.

"Ehm," aku berdeham, sehingga mereka semua melihatku. Lalu aku memasang senyum manis.

"Kupikir, Felix gay atau bukan, nggak ada urusannya sama kalian kok. KALAUPUN dia gay, kurasa dia nggak bakalan naksir kalian. Emangnya kalian pikir kalian ganteng?" Aku mengabaikan tatapan melongo mereka, dan tersenyum saat melihat Terry yang menatapku kaget.

"Lapar. Cari makan yuk."

Lalu aku menggandeng Terry pergi dari sana.

Sumpah mati aku nggak akan pernah membiarkan Terry berteman dengan mulut-mulut sampah seperti itu. Menghakimi dan memandang orang lain dengan jijik hanya karena mereka berbeda, seakan-akan hidupnya suci saja.

Najis.

***

"Aku mengerti sekarang kenapa Ko Felix nggak mau datang. Nggak hanya mereka yang ngomongin ko Felix kan?" semburku saat kami berada di luar hall. Angin semilir berhembus, menyejukkan hatiku yang ternyata cukup panas mendengar perkataan mereka.

Gimanapun, sahabatku satu-satunya juga gay, dan aku benci membayangkan orang lain ngomongin dia di belakang kayak begini.

Terry menghela nafas, dan menyenderkan tubuhnya di balkon, lalu mengangguk.

"Dari dulu sampai sekarang, nggak ada yang berani mengatainya terang-terangan, karena Felix sabuk hitam karate. Tapi memang waktu SMA dia belum terlalu kelihatan sih."

"Kok kamu diam saja waktu mereka ngomongin Ko Felix kayak tadi??"

Saat Terry mengeluarkan kotak rokok dan pemantik, aku merebut keduanya dengan agak kasar.

Orang lagi ngomong serius, dia malah mau merokok. Ampun.

Terry kembali menghela nafas panjang, tidak berusaha merebut kembali benda yang sudah berpindah ke tanganku itu.

"Percayalah, aku dan Hendra sudah melakukan apapun untuk meredam mulut-mulut mereka. Tapi kami sudah sampai di satu titik, di mana kami sadar, kalau kami nggak bisa membuat mereka diam. Yang bisa kami lakukan hanya menutup telinga. Biar orang mau berkata apa, Felix tetap sahabat kami. We know him more than anyone else, itu yang penting."

Aku termangu. Dan Terry memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil rokoknya dari tanganku. Dia menyulut satu batang, menghisap, dan menghembuskannya perlahan.

"Semakin aku dan Hendra membelanya, gosip tentang Felix akan semakin kejam. Jadi kami berhenti."

"Sampah," umpatku pelan.

Untung saja Benji nggak punya sedikitpun potongan melambai, dan nggak ada yang menyangka dia gay. Mungkin karena stereotype cowok gay itu agak gemulai kali ya, padahal kan belum tentu. Belum tentu juga yang halus dan gemulai itu homo.

Dulu, saat Benji mengaku padaku, aku sampai shock. Aku bahkan menghindarinya selama hampir dua minggu.

Agama yang kuanut mengajarkan kalau homoseksual itu dosa. Belum lagi norma yang berlaku di masyarakat kita, juga menentang keras, dan menganggap ini adalah penyimpangan seksual. Penyakit.

Tapi aku bisa ngomong apa? Seumur hidupnya, Benji nggak pernah tertarik sama perempuan. Satu kalipun.

Dia cuma pernah pacaran dengan perempuan satu kali. Itupun karena perempuannya kelewat agresif dan maksa, dan Benji nggak tahu gimana bilang nggak. Cuma tahan sebulan sih, habis itu ceweknya yang bosan sendiri.

Tapi akhirnya aku kembali bersahabat dengannya, karena aku sayang sama dia. Mungkin dia memilih cara hidup yang menurutku salah, tapi bagaimanapun, dia tetap sahabatku. Jadilah kami sekarang, sahabat dekat. Malah lebih dekat dari sebelum pengakuannya.

Satu-satunya yang kusyukuri dari perbedaan orientasi seksualnya adalah aku dan dia bisa bersahabat dengan enak tanpa takut konslet.

Untung aku nggak keburu konslet. Kalau nggak, malu banget nggak sih, naksir sahabat sendiri yang ternyata nggak suka cewek?

"Sudahlah, nggak perlu dipikirkan. Kita punya hak untuk memilih orang yang berada di hidup kita kan?"

"Iya. Kita nggak perlu memilih orang-orang bermulut sampah, yang cuma bisa menghujat di belakang, padahal hidupnya juga bergelimang dosa," kataku. Lalu aku menatapnya yang belum selesai merokok.

"Pulang aja yuk."

"Aku habisin ini dulu ya."

Aku berdecak. Namun aku mengalah.

"Ya udah. Aku ke toilet dulu. Nanti ketemu di pintu masuk ya." Terry mengangguk, lalu aku meninggalkannya untuk ke toilet.

Keadaan toilet sedang kosong, dan aku memilih masuk ke bilik yang di ujung, paling jauh dari pintu masuk.

Aku baru saja selesai dan akan membuka pintu bilik saat aku mendengar percakapan beberapa wanita di luar bilik, yang membuatku mengurungkan niat keluar.

"Lo liat Terry? Gila ya tuh orang, makin ganteng."

Mereka ngomongin Terry-nya aku?

"Emang, emang. Udah jadi pengusaha pula. Dia nongol di majalah bisnis kan, tahun lalu? Orang kepercayaannya Jeremy Barata, pula."

"Gue nyesel nggak deketin dia dari dulu. Dia susah banget dideketin sih."

"Makanya lo beralih ke Hendra kan?" Lalu aku mendengar mereka tertawa.

"Ya, dulu kan Terry deket banget sama Felix, sampai digosipin homoan."

"Gue nggak ngerti kenapa gosip itu bisa muncul, padahal Terry kan dulu pacaran sama Amel."

"Oh iya, mereka pacaran. Berapa lama ya? Setaunan kan ya?"

"Lebih, kali. Kok bisa putus ya, padahal dulu kan Amel cantik banget. Baik pula."

Salah satu dari mereka mendengus.

"Lo udah ketemu Amel yang sekarang belum? Lo pasti kaget, nggak bakal nyangka kalau dulu dia ketua MD (Modern Dance, nama salah satu ekskul). Gendut banget bookk."

"Itu mah karena dia baru lahiran dua bulan lalu kali."

"Ya, kan udah dua bulan. Masa masih gendut gitu?"

Eh, buset. Habis ketemu cowok bermulut sampah, sekarang nguping cewek bermulut sampah. Jackpot banget ya aku.

"Lo musti liat dong, cewek yang dibawa Terry hari ini."

Jadi sekarang ngomongin aku?

"Kenapa? Itu bukannya adeknya?"

Adek?????

"Calon bininya, tau."

"Tai, masih kecil begitu??? Mending gue lah ke mana-mana."

Kecil??????

"Kalau kata Robin, iya masih kecil. Awal dua puluh kayaknya. Tingkahnya juga masih kekanakan banget. Masa dia ngatain Robin nggak ganteng?"

Terus yang ngomongin orang di belakang itu dewasa????

Aku sekarang pengen banget buka pintu dan menampar mereka bolak balik.

"Standar Terry turun banget ya. Dari Amel yang cantik dan tinggi, jadi bocah begitu."

"Hidup nggak adil ya. Gue udah susah-susah treatment ini itu, nggak bisa dapet yang kayak Terry. Bocah itu gampang banget dapetnya."

"Rebutlah. Susah amat. Lo lebih cakep kali dari dia."

"Atau gue aja yang coba? Siapa tahu Terry udah nggak suka yang cakep kayak lo, tapi sukanya yang kayak gue?"

Aku memutuskan kalau acara menguping sudah cukup, dan membuka pintu bilik. Aku mendengar mereka bertiga - oh, bertiga ternyata - terkesiap kaget melihatku.

Aku mengakui kalau salah satu dari mereka memang terlihat cantik memukau - mungkin dia yang susah-susah treatment tapi nggak dapet-dapet cowok kayak Terry - tapi sumpah, dua lagi bahkan nggak lebih cantik dari dua wanita yang sudah menikah, yang salah satunya adalah pacar Terry yang berkenalan denganku tadi.

Aku mencuci tangan di salah satu wastafel, sementara mereka bertiga diam.

"Lo nguping ya?" tanya salah satu dari mereka, bukan yang paling cantik, dengan nada yang terdengar berusaha mengintimidasiku.

Nggak ngefek kali.

"Saya nggak berniat nguping, tapi suara kalian terlalu kencang."

Aku mengeringkan tangan dengan tisu, membuangnya ke tempat sampah, lalu menghadap mereka.

"Sebelum ngomongin orang, ngaca dulu. Orang yang kalian panggil Amel memang gendut, tapi dia masih lebih cantik dari kalian. Atau kalian sirik kali ya? Dia udah menikah dan bahagia, tapi kalian belum?"

Aku tidak bisa menahan senyum saat melihat mereka terbelalak kaget.

"Mendingan buruan nyari deh, tar keburu tua, makin susah nyarinya. Tapi sorry, ya. Terry's taken. Jangan diganggu, kalau kalian nggak mau sakit hati ditolak. Udah dipelet sama bocah ini soalnya. Bye."

Lalu aku melewati mereka menuju pintu keluar toilet. Namun sebelum keluar, aku berbalik dan memberikan satu senyum lagi.

"Lain kali, kalau mau gosip di toilet, pastikan dulu kalau toiletnya kosong."

***

Aku keluar dari hall dan menemukan Terry sedang berdiri di salah satu sudut, lalu aku bergegas mendekatinya.

Begitu aku tiba di depannya, aku langsung memeluknya erat.

Terry membalas pelukanku dengan bingung.

"Kenapa, Li? Kok lama di toiletnya?"

"Nggak apa-apa," kataku, lalu aku melepaskan diri dari pelukannya, dan menatap matanya.

"I love you. Jangan pernah meninggalkanku, ya."

Terry menatapku dengan terkejut, namun senyumnya perlahan merekah. Dia mengecup dahiku lembut dan berbisik, "I love you more, Lils. Aku nggak akan pernah pergi."

Aku kembali memeluknya erat. Aku nggak rela melepasnya sama sekali. Mau mantannya, atau teman sekelasnya, atau siapapun, tidak akan bisa merebutnya dariku. Dia milikku.

Tbc

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro