delapan belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena kebanyakan pilih opsi satu, saya mau kasih warning ya. Part ini 21++ (Padahal tuh nggak ada hubungannya 🙄🙄)

Mustinya sih yang baca cerita ini nggak ada yang di bawah umur kan? Tolong jangan nambah dosa saya yang sudah sangat banyak ini 🙈🙈

Budayakan baca dulu sebelum vote ya.. Terima kasih...

--------------------------------------

Aku terbangun saat merasakan sinar matahari menyentuh mataku, dan aku perlahan membuka mata.

Belum sempat mataku membuka sempurna, aku merasakan kecupan lembut di keningku.

"Morning, Princess."

Aku membuka mata, dan hal yang pertama kulihat adalah Terry, berbaring miring menghadap kepadaku, dan tersenyum lembut.

"Morning..."

Akhirnya aku bisa tidur nyenyak berdekatan dengan Terry, tapi mungkin juga pengaruh kelelahan.

Padahal kami hanya melakukannya sekali, tapi setelah itu Terry memelukku dan aku jatuh tertidur.

Aku menatap wajahnya yang tampan, dan tanganku secara otomatis bergerak untuk menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi dahinya.

Terry menggenggam tanganku dan menuntunnya ke bibirnya, lalu mengecupnya lembut.

Wajahku langsung memanas.

Astaga, aku nggak kuat.

Sepertinya otak mesumku yang sempat hilang selama sakit dua minggu kembali lagi, dan aku saat ini menginginkan Terry. Amat sangat menginginkannya.

Hanya satu pikiran itu yang menguasaiku, dan saat aku sadar, aku sudah berada di atas tubuh Terry, memagut bibirnya.

Aku bisa merasakan tangannya meremas pinggangku yang telanjang, lalu turun dan meremas bokongku.

"Lili..."

Bahkan suaranya terdengar serak dan sangat - ehm - seksi.

"Kamu yakin?" tanyanya, dan aku mengangkat wajahku dari lehernya - oh tidak, sepertinya aku tergila-gila dengan wanginya - menatapnya bingung.

"Maksud kamu?"

"Kamu masih masa pemulihan. Seharusnya kita belum boleh melakukan ini-"

Tiba-tiba aku merasa jantungku sakit.

Kenapa kesannya Terry menyesal kami melakukannya? Atau karena aku sekarang jadi jelek?

Tapi semalam dia menikmatinya kok. Benji sudah memberitahuku ciri-ciri pria yang puas dengan itu, dan Terry menurutku sih puas. Apa aku salah tangkap?

Itu-nya juga berdiri kok. Lalu apa yang salah?

Terry tiba-tiba duduk, dan mengusap wajahku yang masih duduk di atasnya.

"Kamu mikir apa, hmm?"

Bilang tidak ya? Bilang, tidak, bilang, tidak-

"Kenapa? Apa kamu nggak mau? Apa karena aku sekarang jelek?"

Aku menatap lurus kepadanya, menantang matanya untuk menjawabku dengan jujur. Mata Terry balas menatapku, dengan sorot tidak percaya.

"Siapa yang bilang kamu jelek?"

"Aku sendiri. Ya, kan memang jelek. Aku sekarang botak, pucat, kurus-"

"Hanya kamu sendiri yang bilang dirimu jelek."

"Mungkin yang lain terlalu nggak enak buat bilang begitu di depanku."

"Lili," panggil Terry sambil menyentuh kedua tanganku, lalu membawanya ke dadanya, tempat jantungnya berada. "Menurutmu, kalau kamu jelek, apa jantungku akan berdebar sekencang ini?"

"Apa hubungannya-"

"Itu dia. Tidak ada hubungannya. Aku mencintai kamu, bukan perkara kamu cantik atau jelek. Karena aku mencintai kamu, kamu tidak akan pernah terlihat jelek di mataku. Aku hanya takut kamu kelelahan, karena bercinta itu menguras tenaga, Lili."

Lalu dengan satu tangannya dia membelai puncak kepalaku.

"Kalau kamu insecure soal rambut kamu, kan nanti tumbuh lagi. Kalau kamu merasa terlalu kurus, aku akan ajak kamu makan lebih banyak."

"Lalu soal pucat?"

Terry tersenyum tipis, tampan sekali. Dia membelai pipiku, dan aku merasa tangannya begitu hangat. Nyaman sekali.

"Pipimu mulai merona, Lili. Kamu kelihatan sehat, dan cantik."

Aku memalingkan wajahku dan mengecup telapak tangannya, dan kembali menatap matanya.

"Kalau aku kelihatan sehat, bolehkah kita melakukannya lagi?"

Aku merapatkan posisiku padanya, sehingga milikku bergesekan dengan miliknya, dan Terry mengerang.

"Astaga, Lili." Terry mengumpat pelan, yang entah bagaimana terdengar begitu seksi di telingaku, lalu membalikkan posisi kami, sehingga aku berbaring di bawahnya.

"Kita akan terlambat sarapan," ucap Terry dengan wajah begitu dekat dengan wajahku. Aku tersenyum kecil.

"Aku belum lapar. Mungkin kamu bisa membantuku supaya lebih cepat lapar, jadi aku bisa makan lebih banyak. Katamu, bercinta itu menguras tenaga kan?"

"Dasar anak nakal," bisik Terry, lalu dia menurunkan wajahnya, dan mencium bibirku.

***

Aku menggeliat, lalu perlahan turun dari ranjang. Sebelum masuk ke kamar mandi, aku kembali menatap wajah Terry yang tertidur pulas sambil tersenyum geli.

Dia takut aku kelelahan, tapi sepertinya dia yang kelelahan. Sebaliknya, aku merasa lebih segar.

Aku berjalan menuju kamar mandi, mengabaikan rasa perih di antara kedua kakiku, lalu di dalam kamar mandi, aku menatap pantulan wajahku di cermin.

Aku masih tetap botak dan kurus, tapi Terry benar, aku sudah tidak terlalu pucat lagi. Ada rona kemerahan di wajahku, dan aku tidak bisa berhenti tersenyum.

Aku menyikat gigiku, lalu mandi. Kegiatan mandiku selesai lebih cepat, karena tidak ada rambut yang harus dikeramas dan diberi conditioner.

Selesai mandi, aku yang hanya berbalut handuk keluar dari kamar dan melihat Terry masih tidur nyenyak. Aku mengenakan pakaianku dengan cepat, lalu meninggalkan kamar.

Sekarang aku benar-benar merasa lapar.

***

Aku menuju dapur di lantai bawah, dan menemukan Mami dan Ci Nina sedang bercengkerama sambil minum teh.

"Pagi, Mi, Ci Nina."

Mereka berdua menoleh, dan tersenyum saat melihatku.

"Pagi, Sayang. Ayo sarapan dulu. Terry mana?" tanya Mami.

"Masih tidur, Mi."

Aku duduk di sebelah Mami, dan mulai mengambil nasi goreng.

"Bisa tidur nyenyak semalam?"

"Bisa, Mi."

"Baguslah, Mami takut kamu nggak bisa tidur di tempat baru. Kamu kan suka gitu, susah adaptasi."

"Ah, Tante Nana masa nggak nyadar? Lili bisa tidur pasti karena kecapean begituan sama Terry," celetuk Ci Nina, dan aku langsung tersedak.

Kok Ci Nina bisa tahu???

Mami buru-buru menyodorkan air putih padaku yang langsung kutelan habis, sementara Ci Nina malah terkikik geli.

"Bener kan? Gila si Terry. Nggak tahan juga dia ternyata."

"Kok-"

"Lili, lihat sinar wajah kamu aja, udah bisa ketebak. Perempuan yang udah pernah make love itu keliatan lebih glowing. Apalagi kamu, kentara banget bedanya."

Aku langsung memegang wajahku yang panas. Apa emang beneran se-kentara itu?

Mami tertawa tertahan, lalu mengusap punggungku dengan sayang.

"Pantesan tadi Mami lihat cara jalan kamu aneh. Kirain kamu cuma kecapean, ternyata-"

Lalu Mami dan Ci Nina tertawa bersama, sementara aku sudah malu setengah mati.

Pembicaraan macam apa ini?? Terry, tolong aku! Enak banget kamu tidur, aku malah di-bully di sini!

"Udah, Nin. Lili jangan digodain terus. Biarin dia makan dulu."

"Iya betul juga, Tan. Biar nanti kuat buat ronde-ronde selanjutnya," jawab Ci Nina sambil cekikikan. Sial, aku benar-benar di-bully di sini.

***

Terry turun dari kamar dalam kondisi sudah mandi, dua jam kemudian, lalu menghampiri aku yang sedang menonton televisi bersama Ci Nina.

Terry mengecup pipiku lembut, setelah menyapa Ci Nina.

"Kok aku nggak dibangunin?"

"Kamu keliatan pulas banget. Nggak tega bangunin. Di dapur ada nasi goreng, Mami masak tadi."

"Mami tadi datang?"

"Iya. Tapi udah pulang, ada arisan."

"Oh."

Lalu Terry mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Kamu nggak mau temenin aku makan?"

"Nggak usah nempel-nempel mulu kayak perangko mentang-mentang udah nikah ya, Sap. Dapur deket kali. Lebai lo ah," celetuk Ci Nina cepat, sebelum aku sempat menjawab.

"Eh, yang dulu abis nikah terus nempel ke mana-mana kayak lintah siapa ya? Nggak usah ngomongin gue deh."

"Siapa yang nempel-nempel kayak lintah, hah?? Dasar perjaka tua - eh, lupa, udah nggak perjaka lagi."

"Monyet."

Terry tertawa, dan Ci Nina ikut tertawa.

Mereka berdua memang kembar, tapi tidak terlalu mirip, walaupun orang akan menyadari kalau mereka bersaudara. Tapi saat ini, saat mereka berdua tertawa, aku bisa melihat kalau mereka berdua sangat mirip, dan walaupun saling menyela, mereka terlihat care satu sama lain.

"Ya udah, lah. Lo makan sana. Gue sama Lili lagi asik nonton juga. Berisik banget lo. Hush, hush," usir Ci Nina, dan Terry menghela nafas. Dia mendekatkan wajahnya padaku dan berbisik pelan.

"Makan dulu ya. Habis film ini, usir Nina pulang. Aku mau berduaan sama kamu."

Setelah itu dia mengecup pipiku lembut, lalu meninggalkanku dengan wajah sangat panas.

Astaga, aku malu banget. Apalagi Ci Nina melirik kami sambil tersenyum geli, dia pasti mendengar perkataan Terry barusan.

Begitu Terry meninggalkan kami, Ci Nina buka suara.

"So sweet banget kalian. Jadi inget masa-masa baru nikah."

"Tapi Ci Nina sama Bang Leon so sweet banget, sampai sekarang," elakku, dan Ci Nina tertawa.

"Bedalah, sekarang kan udah punya tiga buntut. Mereka kan juga musti dapet perhatian juga."

Aku ikut tertawa, walaupun sedikit bingung, lalu kami kembali fokus pada layar televisi.

Saat filmnya sudah melewati adegan klimaks, Terry datang sambil memeluk setoples keripik kentang, dan langsung duduk di antara aku dan Ci Nina.

"Yah, udah mau habis," keluh Terry saat melihat layar televisi, dan Ci Nina berdecak.

"Nggak usah sok sedih gitu deh. Gue tau lo mau ngusir gue pulang, ya kan? Sorry, laki gue belum nyampe."

"Lo boleh kok nungguin laki lo di teras," kata Terry sambil mengunyah keripik kentang, dan Ci Nina langsung mencubitnya, membuat Terry berteriak kesakitan.

"Awww!!! Sakit, Monyet! Ganas banget sih!"

"Dasar Sapi jahat!!! Masa lo nyuruh gue nunggu di teras??? Kembaran jahanam!!"

Aku hanya tertawa terbahak-bahak sambil mengamankan toples berisi keripik kentang dari tangan Terry.

"Aw!! Lili, tolong aku!"

"Nggak mau ikutan," jawabku masih sambil tertawa, lalu aku duduk di sofa yang letaknya paling jauh dari mereka, dan mulai mengunyah keripik kentang sambil menonton kerusuhan di depanku. Aku belum pernah melihat interaksi mereka berdua yang seperti ini, dan Terry bertingkah sekonyol ini. Apalagi saat aku mendengarnya menjerit gara-gara Ci Nina. Mereka lucu sekali.

***

Ci Nina pulang lima belas menit kemudian, dan Terry langsung menggendongku kembali ke kamar.

Dia meletakkanku perlahan di atas ranjang, lalu mencium bibirku.

"Kamu jahat. Nggak bantuin aku," rajuknya, dan aku tertawa.

"Kalian berdua lucu. Aku suka liat kamu kayak tadi."

"Kamu suka liat aku disiksa?"

"Aku suka liat kamu yang ekspresif kayak tadi."

Aku menyentuh pipinya, dan mengecup bibirnya.

"Aku juga mau bisa seru-seruan sama kamu, tanpa kamu terus-menerus bersikap hati-hati sama aku."

Terry melihatku dengan bingung, lalu tiba-tiba seringai muncul di bibirnya. Seringai yang belum pernah kulihat selama ini.

Tapi bukannya menyeramkan, justru membuatku makin suka.

"Jadi kamu mau yang lebih seru? Semalam sama tadi pagi kurang seru?"

Apa?

"Tapi, kamu harus segera bilang ke aku kalau aku kelewatan ya."

Apa???

Tiba-tiba Terry menyambar bibirku, dan melumatnya.

Aku benar-benar terkejut, karena Terry tidak melakukannya dengan lembut seperti sebelumnya, tapi aku langsung merasa panas. Dia mengeksplorasi seluruh mulutku, membuatku merasa diaduk-aduk.

Apalagi saat aku merasakan jemarinya mengusapku dari balik celana tidurku.

Sial, aku ingin dia menggodaku lebih.

Aku menegakkan tubuhku dan berlutut di depan Terry, sehingga posisiku lebih tinggi darinya, dan tanganku bertopang di bahunya.

Mulut kami masih bertautan, dan aku bisa merasakan Terry menarik turun celanaku, dan jemarinya mengusap milikku.

Terry melepaskan bibirku, dan mulai menciumi leherku, membuatku meremang. Apalagi saat jarinya menyeruak masuk ke dalam milikku. Lengannya yang lain memeluk pinggangku, mencegahku bergerak leluasa.

Aku mengerang, tanpa sadar aku mencengkeram bahunya kuat-kuat saat merasakan gelombang itu menerpaku.

Hanya lewat jari! Dia benar-benar kelewatan.

Aku luruh di bahunya, dan Terry mengangkatku ke pangkuannya.

"Aku benar-benar suka melihat kamu kayak gini. Apalagi saat tahu aku penyebabnya."

Aku nggak kuat lagi. Tanganku bergerak berusaha membuka resleting celananya, sementara tangannya mencengkeram pinggangku, dan mengarahkannya semakin naik.

Sial. Aku menginginkannya sekarang.

Aku membenarkan posisiku, sementara Terry menatapku bingung. Celananya memang belum dilepaskan, tapi miliknya sudah terpampang jelas, dan itu cukup.

"Bantu aku, Terry..."

Aku meletakkan kakiku mengapit tubuhnya, dan perlahan menurunkan tubuhku.

Aku bisa mendengar Terry mengumpat, lalu tiba-tiba dia mengangkatku dan aku jatuh terbaring di atas ranjang, dengan dia berada di atasku, menatapku dengan matanya yang menggelap oleh gairah.

Aku merasakan miliknya menyeruak masuk ke dalamku dan dia mulai menyentakkan tubuhnya maju mundur. Mulutnya tak berhenti mengumpat dan menyebut namaku, namun perkataannya justru membuat gairahku semakin naik.

Dia meremas dadaku sampai rasanya sakit, namun rasa sakit itu tertutup nikmat yang dia berikan padaku di bawah sana.

Aku kembali mendapatkan puncakku yang rasanya nyaris membuatku hilang kesadaran, dan dia juga mendapatkannya beberapa saat setelahnya. Aku merasakan diriku penuh, dan merasa puas.

Beda, beda banget sama semalam dan tadi pagi.

Kali ini aku merasa dia benar-benar lepas.

Terry luruh di atas tubuhku, sama-sama mengatur nafas. Aku bisa merasakan nafasnya menerpa leherku, dan bibirnya mengecupi apa yang sanggup dia jangkau.

Lalu dia melepaskanku, dan beringsut ke sebelahku. Matanya menatapku khawatir.

"Apa aku menyakitimu?"

Aku menggeleng, lalu aku tertawa.

"Kenapa kamu tertawa?"

"Kamu benar-benar menahan diri ya semalam?"

"Sedikit... Aku takut nyakitin kamu, tapi aku udah nggak tahan," jawab Terry sambil meringis. Aku kembali tertawa mendengar pengakuannya yang jujur itu.

Aku bukannya tidak menyukai Terry yang bersikap manis dan lembut padaku, tapi aku benar-benar lebih menyukai dia yang sekarang jadi suamiku. Lebih ekspresif, lebih mau terbuka. Aku benar-benar senang.

Memang benar kata orang, kalau sudah menikah, akan lebih jelas kelihatan bagaimana sifat asli pasangan kita.

"Ternyata kamu berisik kalau lagi gini."

"Oh ya??" tanya Terry terkejut, dan aku mengangguk.

"Banget. Tapi nggak apa-apa," aku mendekatkan diriku padanya dan mengecup bibirnya. "Aku suka."

"Lili..."

"Hmm?"

"Apa kamu capek?"

Aku menggeleng.

"Sekali lagi boleh?"

Kali ini aku melotot.

Sekali lagi???

Tapi saat tangannya mulai menyentuhku lagi, aku lupa kalau tadi aku kaget. Aku bahkan lupa dengan hal apapun, kecuali dia.

Tbc

Kalau suka, jangan lupa vote yaa...

Maap yaa kalau adegannya sangat sangat dewasa. Habisnya Terry kiyut sihh, saya nggak tahan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro