tujuh belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku benar-benar kembali. Maksudnya aku nggak meninggal.

Tapi seriusan, ini nggak ada yang lebih nggak sakit ya?

Aku terbangun dengan sakit di sekujur tubuhku. Kepalaku sakit, perutku mual, kepalaku pusing, mata berkunang-kunang, tubuh lemas, dan selang di mana-mana. Tapi menurut dokter, itu reaksi yang wajar, sebagai efek samping pasca-operasi.

Belum lagi reaksi mereka saat melihatku bangun.

Ih, kan sudah kubilang aku baik-baik saja.

Alhasil, aku yang mustinya bisa keluar rumah sakit seminggu kemudian, ditahan sampai dua minggu lebih hanya karena aku mendadak demam tinggi di hari ke-enam.

Terry-ku sayang yang lebay.

Padahal dokter saja memujiku, katanya tubuhku punya daya juang yang tinggi untuk pulih.

Ya, habisnya kalau aku nggak pulih, Terry gimana?

Hari ini aku keluar rumah sakit. Akhirnya.

Infusku sudah dilepas sejak kemarin, sejak aku bisa makan dengan normal tanpa mual-mual lagi.

Aku berdiri di depan cermin di kamar mandi, menatap pantulan wajahku yang tampak pucat dan sangat kurus. I look horrible, actually. Ditambah lagi luka melintang di kulit kepalaku yang sudah mengering, namun meninggalkan bekas merah yang cukup panjang, sangat kentara di sana, tanpa rambut yang menutupinya.

Berat badanku menyusut banyak, aku menyadarinya saat mengenakan kemeja pas badanku, dan memundurkan lubang ikat pinggangku karena celanaku sangat longgar.

Saat ini aku bersyukur sudah menikah dengan Terry. Bayangkan kalau aku menikah sekarang. Foto pernikahanku pasti jelek sekali. Akunya, bukan Terry. Dia mah selalu ganteng.

Aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Terry berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar, sedang menelepon dengan nada serius.

"Ya, Marsha. Suruh Tommy menggantikan saya berangkat. Iya, sama kamu. Sama siapa lagi? Ya, Mister Chen sudah tahu. Nanti sore kamu dan Tommy datang ke rumah saya. Bawa semua berkas. Iya, saya sudah pulang hari ini. Jangan ada yang ketinggalan, Marsha."

Terry menutup ponselnya dan berbalik, lalu tersenyum saat melihatku. Dia berjalan mendekatiku dan mengecup bibirku.

"Princess sudah siap pulang?" bisiknya pelan di telingaku, dan tubuhku meremang. Aku masih belum terbiasa dengan dirinya yang bersikap manis padaku seperti ini, walaupun dia melakukannya hampir setiap hari. Berbisik di telingaku, maksudku. Rasanya otakku diacak-acak oleh suaranya yang agak nge-bass itu.

"Sudah. Ih, kok Princess sih?"

"Lho? Udah nggak mau dipanggil Princess? Maunya dipanggil Nyonya Hanafi aja?"

Aku merasakan wajahku memanas.

Aku masih belum bisa percaya aku menjadi isteri Terry. Rasanya seperti mimpi.

Perawat masuk dan mengecekku untuk terakhir kali, dan tersenyum tipis saat mengucapkan selamat pulang padaku, sebelum keluar lagi dari kamar, meninggalkanku berdua dengan Terry.

"Ayo," kata Terry.

"Tunggu. Mana wig-ku?"

Terry mengernyit dalam.

"Apa perlu?"

"Perlu. Aku nggak mau nanti kulit kepalaku kena sinar matahari langsung."

Terry menatapku tidak setuju, namun mengambilkan salah satu wig dari dalam tas travel, dan membantuku mengenakannya. Aku merasakan helaian rambut jatuh di sisi kepalaku, menyentuh bahuku.

I feel better.

"Udah? Ayo pulang ke rumah kita."

Aku tersenyum dengan wajah yang pasti sudah semerah tomat busuk.

Rumah kita.

Ya ampun, aku nggak kuat.

***

Terry menggandengku turun dari mobil, sementara tangan yang lain menenteng travel bag berisi barang-barangku yang tadinya dibawa ke rumah sakit.

Jantungku berdegup tidak karuan, ketika melihat rumah Terry - rumah kami, saat ini.

Ya ampun, aku dan Terry benar-benar hidup bersama setelah ini.

Baru saja aku membuka pintu, suara kencang menerpaku.

"Congratulations!!!!"

Aku membelalak kaget. Di ruang tamu berkumpul begitu banyak orang, dan spanduk besar bertuliskan : 'Welcome home, Lilian Abigail Detama-Hanafi' terpasang melintang di atas foto berpigura besar - foto pernikahanku dan Terry.

Sejak kapan selesai dicetak?? Kok aku nggak tahu apa-apa??

Mami bergerak memelukku, diikuti Ci Flo, Ronny, Ricky, Freddy, dan aku nggak ingat siapa lagi. Banyak sekali.

Ci Nina yang terakhir memelukku, dan dia berbisik pelan di telingaku, sehingga hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Welcome home, kakak ipar. Jangan lupa segera pecah telur ya."

Aku melongo, sementara Ci Nina menepuk bahuku sambil tersenyum lebar.

Astaga, aku lupa sama sekali tentang bagian itu.

Aku merasakan tangan Terry memeluk erat pinggangku, dan dia memegang wajahku dengan tangannya yang lain.

"Kamu kenapa? Wajahmu merah. Capek? Mau istirahat aja?" Aku buru-buru menggeleng.

"Wow, kode keras banget, Ter. Lo ngusir kita semua pulang? Biar bisa berduaan sama Lili?" kata Ci Nina dengan suara keras, dan aku bisa mendengar suara tawa dari sana-sini.

Mami adalah yang pertama maju.

"Kalau gitu, Mami pulang dulu ya. Besok Mami datang lagi. Kalian baik-baik ya."

"Mami ngapain besok datang ke sini? Mereka mau indehoy, masa Mami gangguin?" celetuk Ricky rese, dan yang lain tertawa. Aku sudah tidak mampu menahan malu, menenggelamkan wajahku di bahu Terry.

"Jangan lupa pake pengaman ya, Bro- eh lupa, udah sah," ledek Ko Hendra, yang membuatku benar-benar malu. Astaga, kenapa kami jadi di-bully begini sih?

"Lili masih perlu istirahat," jawab Terry tenang, tapi aku bisa menemukan nada geli dalam suaranya.

Jadi di sini cuma aku yang malu banget??

"Iya, kita percaya kok," ledek Ci Nina, dan Terry tertawa kecil.

Aduh, aku benar-benar malu.

Apalagi saat semuanya berpamitan dan kami mengantar mereka ke depan rumah, Ko Hendra masih sempat-sempatnya berbisik pada Terry namun cukup keras sehingga aku masih bisa mendengarnya, "tar jangan keras-keras ya, nanti Bik Nem shock."

"Sialan lo. Padahal lo yang suka berisik kalau lagi gituan. Kita berempat sampe nggak ada yang mau nginep di apartemen lo saking berisiknya."

"Lho? Emang lo pernah gituan? Siapa tau lo juga berisik, kayak gue."

"Bangke," umpat Terry sambil tertawa, dan ko Hendra ikut tertawa. Lalu Hendra mengalihkan pandangan padaku dan menepuk bahuku.

"Yang sehat ya, kacang polong. Jangan lupa kasih Koko Hendra yang ganteng ini keponakan-keponakan yang lucu."

Aku tersenyum dan memeluknya lagi.

"Ko Hen emang yang terbaik."

"Lho? Aku nggak?" kata Terry, kelihatan sekali tidak terima dengan apa yang barusan kukatakan. Aku melepas pelukan Ko Hendra dan memukul pelan perutnya.

"Ih, apaan sih. Kan beda."

"Woi, Hen! Pulang! Gangguin pengantin baru aja lo!" teriak Ci Nina tiba-tiba, dan kami menoleh, melihat Ci Nina yang sudah duduk manis di dalam mobil, kembali meneriaki Ko Hendra. Ko Hendra tertawa, kembali berpamitan dan menghampiri isterinya yang sudah menunggu di depan mobil mereka.

Ci Nina dan yang lain kembali melambaikan tangan pada kami sebelum satu per satu mobil mereka meninggalkan rumah kami. Lalu aku seperti baru sadar dengan keberadaan mobil yang banyak itu.

Kok bisa ya aku nggak nyadar kalau mobil mereka bertebaran di depan rumah dari tadi?

Lamunanku berhenti saat Terry meraih pinggangku dan menuntunku masuk.

"Ayo ke kamar."

"Apa??"

Terry menyentil dahiku, senyum geli tersungging di wajahnya.

"Kamu perlu istirahat, Lili. Jangan mikir yang nggak-nggak. Abaikan saja mereka."

Aku merengut sambil mengelus dahiku yang tidak sakit.

Iya, harus kuakui, aku memang berpikir yang nggak-nggak barusan. Tapi aku malu mengakuinya. Akhirnya aku membiarkan Terry membimbingku masuk ke kamar.

Terry membawaku masuk ke kamarnya, dan aku tercengang. Kamar ini berubah total.

Warna dindingnya masih tetap sama, namun dekorasinya berubah.

Poster pemain bola yang tadinya memenuhi dinding sudah digantikan foto pernikahan kami dengan ukuran besar. Lemari pakaian pun ukurannya menjadi lebih besar. Yang paling kentara adalah penambahan meja rias yang sangat feminin di sebelah meja kerja Terry.

"Nanti kalau ada yang mau kamu ubah, ubah aja ya."

"Nggak, ini udah cukup." Aku berjinjit dan mengecup pipi Terry. "Thank you."

Terry terpaku sesaat, namun kembali tersenyum sambil menatapku. Dia menunduk dan mengecup bibirku lembut.

"Kamu ganti baju dulu, habis itu istirahat. Aku tinggal bentar ya, ada kerjaan."

"Oke."

Terry melepaskanku, dan setelah mengecup bibirku lagi, keluar meninggalkanku sendirian.

Sepeninggal Terry, aku membuka lemari pakaian. Hampir semua bajuku ada di sana, yang aku tahu pasti kerjaan Mami, karena susunannya mirip dengan susunan bajuku di rumah dulu.

Aku mengganti pakaian dengan piyama favoritku dan melepaskan wig, sebelum masuk ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka lagi.

Aku menatap pantulan wajahku dari cermin dan kembali menarik nafas panjang.

Ini pertama kalinya aku merasa diriku tidak cantik. Bukan hanya karena rambutku tidak ada, tapi juga karena wajahku tidak terlalu bersinar.

Aku harus segera pulih, batinku menyemangati.

"Semangat!" jeritku sambil mengepalkan tangan di depan cermin, berusaha tersenyum ceria.

Ah, capek.

Sebaiknya aku tidur.

***

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, namun aku terbangun saat merasakan sesuatu yang hangat dan basah di tengkukku.

Lalu aku menyadari ada lengan yang melingkari pinggangku, lengan yang setia menemaniku selama dua minggu ini.

Aku menyentuh lengan itu dan mengusapnya, lalu aku merasakan Terry bergerak.

"Princess?" panggil Terry dengan suara serak, dan aku bergumam pelan, merespon panggilannya.

Terry mengeratkan pelukannya, dan aku bisa merasakan bagian belakang tubuhku menempel sepenuhnya dengan Terry.

"Kamu lapar?"

"Nggak."

Aku berusaha membalik tubuhku, dan Terry melonggarkan pelukannya serta memundurkan tubuhnya sehingga aku bisa berbaring telentang. Aku menoleh menghadapnya yang masih berbaring miring, dengan mata menatapku lembut.

Sorot mata yang tidak pernah berubah sejak hari dia mengakui perasaannya terang-terangan padaku.

Aku mengangkat kepalaku dan mengecup bibirnya pelan.

"I love you."

"I love you more."

Terry mendekatkan dirinya padaku dan menempelkan bibirnya kembali padaku. Aku memejamkan mataku, menikmati apa yang dia lakukan padaku.

Jantungku berdegup begitu kencang, dan aku menginginkan lebih. Aku membuka bibirku, membiarkan lidah Terry menemukan lidahku dan membelitnya, membuat darahku terasa mengalir deras ke otak.

Aku merasakan kulit perutku disentuh oleh tangan Terry yang hangat, dan aku mengerang lirih. Sentuhannya begitu lembut, namun sangat sensual. Setiap sentuhannya meninggalkan jejak panas sekujur tubuhku, membuatku meremang dan mendamba.

Dia melepaskan bibirku dan aku terengah, paru-paruku berusaha meraup nafas sebanyak yang aku mampu, namun bibirku menginginkan lebih.

Aku membuka mata dan menatap Terry yang menatapku dengan lembut, namun aku menemukan kilatan gairah di kedua matanya.

"Boleh?"

Dia hanya bertanya satu kata, meminta izin padaku, dan aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Aku merasakan Terry membuka satu per satu kancing piyamaku, dan udara dingin menerpa kulit dadaku yang terbuka.

"Kamu lagi-lagi nggak pakai bra..."

"Kan tadi tidur-"

"Nggak apa. Aku suka kamu nggak pakai bra kalau di ranjang."

Aku terkesiap saat tangannya mengusap payudaraku, sengaja tidak menyentuh puncaknya sama sekali, sementara aku menanti dengan jantung yang rasanya mau copot saking cepatnya dia berdetak.

"Terry..." rengekku, dan Terry tersenyum.

"Sabar ya. Biarkan aku mengagumi isteriku dulu."

Aku tersentak saat tiba-tiba dia menunduk dan aku merasakan lidahnya yang hangat dan basah menyentuh titik sensitif di ujung payudaraku.

Otakku mendadak blank. Aku seperti dibawa ke puncak dunia, merasakan sesuatu yang nikmat dan asing yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Sentuhan Terry pun terasa lebih bebas, tidak ditahan-tahan seperti saat kami hampir kebablasan di Singapura waktu itu. Aku pun merasakan sensasi yang lebih dibanding waktu itu. Mungkin karena saat ini tidak ada yang perlu kami khawatirkan lagi. Ini memang sesuatu yang semestinya kami lakukan dalam ikatan pernikahan, bukan sebelumnya.

Dalam waktu beberapa jam ke depan, aku benar-benar merasakan Terry yang berbeda, namun aku justru semakin yakin, Terry benar-benar mencintaiku, dan aku juga mencintainya. Sangat mencintainya.

Tbc

OKAY!!! KALI INI SAYA BENAR-BENAR MEMBERIKAN OPSI KEPADA PARA PEMBACA UNTUK AKHIR CERITA INI, KARENA SAYA MENYIAPKAN DUA JALAN MENUJU ENDING, dan pilihan yang paling banyak yang akan saya pakai untuk part selanjutnya.

Opsi satu, no conflict anymore, jadi satu atau dua part lagi tamat. Kelar. The end.

Opsi dua, tambah satu konflik lagi, tapi it really bothersome, dan saya nggak yakin kalian akan suka sama prosesnya. Dan saya juga nggak suka, sebenarnya 🙈🙈

Opsi tiga, sama dengan opsi satu, tapi di akhir cerita saya bakal kasih tau alternative ending di opsi dua, tapi nggak bakalan saya pake. Kalau pilih opsi satu, ya saya nggak akan bilang-bilang alternative endingnya. Biar bisa saya pake ke cerita lain hohohoho

Saya menunggu komen kalian sampai - yah, mungkin tiga - empat hari. Tengkiu yaaa

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro