enam belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku nggak bisa tidur.

Yah, aku yakin aku sempat tertidur selama beberapa jam, namun setiap kali perawat masuk mengecek infus, aku terbangun. Setiap Terry bergerak sedikit, aku terbangun.

Aku tidak terbiasa tidur bareng orang lain, kalaupun tidur seranjangpun tidak pernah tidur sedekat ini.

Akhirnya, setelah perawat masuk untuk kesekian kalinya, dan saat aku bertanya, dia memberitahuku kalau ini sudah jam lima pagi, aku menyerah untuk berusaha tidur kembali.

Aku justru asik memandangi wajah Terry yang terlelap seperti bayi, dengan tangan melingkari pinggangku.

Terry itu tampan. Dan saat aku memandanginya dalam jarak sedekat ini, aku merasa dia terlihat semakin tampan. Jantungku berdebar saat mataku melahap pemandangan indah di depanku.

Sepertinya aku bisa terbiasa memandangi wajah ini setiap bangun tidur.

Dengan perlahan aku menaikkan tanganku yang tidak tertancap jarum infus untuk menyingkirkan anak rambut yang jatuh di wajahnya, namun aku terkejut melihat senyum mengembang di wajahnya.

Terry membuka matanya dan tersenyum menatapku.

"Kamu ngapain, hmm?"

"Aku-"

Terry mendekatkan wajahnya dan mengecup bibirku.

"Kok nggak tidur?"

"Udah nggak ngantuk."

"Jam berapa ini?"

"Lima."

Terry kembali mengecup bibirku, lalu dia menegakkan tubuhnya dan turun dari ranjang.

"Lho? Mau ke mana?"

"Toilet."

Aku menggeser tubuhku, dan ikut duduk. Mataku mengikuti gerakannya yang berjalan dan menghilang dari balik pintu kamar mandi. Aku menunggu.

Kok lama? Dia ngapain?

Sepuluh menit yang rasanya seperti seabad kemudian Terry keluar dari kamar mandi dan mendekatiku.

"Lho? Kok malah duduk?"

"Kamu kok lama di kamar mandi?"

"Hah?"

Aku berdecak. Nafas Terry yang wangi menerpa indera penciumanku. Aku ingin menciumnya lagi, tapi aku belum sikat gigi.

"Aku mau sikat gigi juga."

Aku menyibak selimut, dan Terry buru-buru membantuku bangun.

"Kamu mau ke kamar mandi?"

Aku mengangguk.

Terry membantuku berjalan sambil menarik tiang infusku, dan kami masuk ke kamar mandi bersama. Terry menuntunku supaya berhenti di depan wastafel, dan mengambilkan sikat gigi dan odol untukku.

"Aku bisa sendiri-"

"Tangan kiri kamu jangan terlalu banyak digerakin. Nanti sakit," potong Terry, lalu menyerahkan sikat gigi padaku. Aku mengambilnya dengan tangan kanan, dan mulai sikat gigi dengan perasaan amburadul.

Malu banget, masa aku sikat gigi aja ditungguin?

Terry bahkan membantuku berkumur dan membasuh wajah.

Malu banget sih.

"Ter, boleh tinggalin aku bentar? Aku mau pipis," kataku setelah Terry menyeka wajahku yang sudah segar habis dicuci.

"Nggak. Aku temenin. Nanti kalau kamu jatuh gimana?"

"Aku nggak apa-apa. Kamu keluar aja."

Terry menatapku dengan serius, dan aku juga.

Bukannya aku mau adu keras kepala saat ini, tapi aku malu banget.

Bisa bayangin nggak, aku pipis ditungguin sama Terry?

Terry tidak berkata apa-apa, dan malah berdiri di hadapanku. Kedua tangannya sudah menangkup pinggangku, dan aku sangat terkejut saat dia menarik turun celana dan celana dalamku.

"Duduk."

Wajahku nggak bisa lagi lebih merah dari ini.

Oke, dia suamiku. Tapi kami nggak pernah telanjang di depan masing-masing sebelumnya. Apalagi ini kegiatan yang sangat pribadi.

Aku nggak berani menatapnya, hanya berani menunduk karena malu luar biasa. Tapi kulihat kakinya memutar.

Dia berbalik badan?

Oke, ada yang jauh lebih penting. Air seniku nggak mau keluar!

Gila ya, saluran kemihku amat tahu diri. Dia tahu aku malu setengah mati, dan dia menolak keluar, walaupun rasanya sudah sangat penuh.

"Err.. aku panggilin suster ya," kata Terry, lalu buru-buru keluar kamar mandi.

Hah?

Aku mengangkat wajah tepat saat Terry akan menutup pintu, dan aku bisa melihat telinganya yang sangat merah.

Aku melongo.

Ternyata nggak hanya aku yang malu.

Habisnya, dia mah, ada-ada aja.

Akhirnya aku bisa pipis dengan tenang.

***

Aku menghabiskan sepagian dengan dokter dan perawat yang terus menerus melakukan pemeriksaan padaku dan Terry yang manis itu duduk di sana, menemaniku.

Dia menemaniku makan siang, lalu kami menonton film dari televisi di ruang rawat inapku, sambil berpelukan di atas ranjang.

Ronny datang mengunjungiku setelah jadwal prakteknya berakhir, dan bukannya mengobrol denganku, dia malah main catur dengan Terry di iPadnya Terry.

Lalu sorenya, Mami dan Ci Flo datang mengunjungiku diantar Ko Theo, disusul Freddy yang baru pulang kuliah. Kami makan malam beramai-ramai di rumah sakit. Ci Nina dan Bang Leon datang menjengukku sebentar, dan sekitar pukul sembilan, Ricky dan Benji yang baru selesai lembur juga ikutan meramaikan suasana di rumah sakit.

Benji memelukku dan aku mengecup pipinya.

"Hei, Neng. Gimana lo hari ini?"

"Baik, baik. Nggak liat muka gue cantik merona begini?" kataku, dan Benji tertawa. Terry sendiri sudah agak pasrah melihat interaksiku dengan Benji. Mau marah, tapi Benjinya gay. Ya udah.

Ricky mendekatiku dan mengecup dahiku lembut.

"Hai, Dek."

"Hai, Rick. Baru pulang lo? Lembur?"

"Hmm. Gitu deh."

"Makan dulu sana. Pasti belum makan deh lo, kebiasaan," gerutuku, dan Ricky terkekeh. Dia melepasku dan mendekati Mami yang sudah menyiapkan nasi kotak untuknya.

"Lo udah makan?" tanyaku pada Benji, dan dia menggeleng.

"Ya udah, makan dulu. Mami beli banyak banget. Mami tuh suka lupa, kalau nggak semua anaknya punya perut kayak Freddy," kataku.

"Iya, makan dulu aja," kata Terry yang duduk di sebelahku. Sumpah kami berdua udah kayak perangko dan surat. Nempel mulu dari tadi.

"Tar aja," kata Benji lalu melirik Terry.

"Gue pengen ngobrol berdua sama Lili, boleh?"

Aku ikut melirik Terry, yang menatap kami berdua bergantian. Tanpa bicara, dia turun dari ranjang, dan mendekati keluargaku.

"Kenapa, Ben?" tanyaku saat melihat Terry sudah duduk di sebelah Freddy di sofa.

"Dari kemarin dia nempel sama lo terus?"

"Iyalah. Kenapa?" Benji nyengir.

"Dasar ya, yang pengantin baru." Aku berdecak.

"Daripada lo, bukan pengantin tapi nempelnya ngalahin gue." Benji ngakak. Lalu wajahnya kembali serius.

"Lo operasi besok pagi?"

"Iya."

"Sorry gue nggak bisa temenin. Palingan gue datang malam aja ya."

"Santailah. Lagipula lo datang besok malam, belum tentu gue udah bangun."

"Ada yang mau gue omongin ke lo."

"Apa?"

Tiba-tiba Benji menggenggam tanganku erat.

"Gue berencana melamar Felix, dan menikahinya di luar negeri."

Aku membelalakkan mataku.

Apa????

Namun belum sempat aku menjerit, Benji buru-buru menutup mulutku.

"Jangan teriak-teriak. Ada dua temennya di sini, dan gue nggak mau Felix tahu dari orang lain," desisnya, dan aku buru-buru menelan jeritanku.

"Astaga, Ben, lo serius? Gila sih lo ya. Gokil abis lho," bisikku saat dia menjauhkan tangannya dari mulutku.

"Iya. Walaupun pada akhirnya gue sama dia nggak mungkin punya surat nikah di Indo, setidaknya gue mau nunjukin kalau gue beneran serius mau ngabisin hidup gue sama dia. Jadi lo harus sembuh ya. Lo harus datang ke nikahan gue."

Aku memeluk Benji erat.

"Iya, pasti, Ben. Oh, astaga, gue bener-bener seneng dengernya. Ya ampun, Benji udah gede."

"Bangke."

Aku tertawa, dan Benji ikut tertawa.

Wow, tambah lagi satu alasan supaya aku bisa sembuh.

Demi Terry, demi keluargaku, dan demi Benji, aku harus sembuh.

***

Aku menyenderkan tubuhku, setengah berbaring dalam pelukan Terry, dan tangannya membelai rambutku dengan lembut. Saat ini kami sudah tinggal berdua di kamar inapku, dan cahaya lampu sudah dipadamkan. Satu-satunya penerangan adalah dari celah pintu yang memberikan bias cahaya dari koridor rumah sakit.

"Belai sepuasnya ya," kataku, dan Terry terkekeh pelan.

Rambutku akan digunduli besok pagi, sebelum operasi dimulai. Jujur saja, itu jauh lebih menegangkan dibandingkan kenyataan bahwa dokter akan membuka tengkorakku.

Aku akan botak setidaknya sampai beberapa bulan mendatang!

Astaga, aku nggak bisa membayangkannya.

Tapi sisi positifnya, aku nggak perlu keramas dan menyisir rambut. Kalau mau model rambut seperti apa, tinggal beli wig.

Tapi tetap saja, itu bukan rambutku.

"Kamu mikirin apa?"

"Mikirin kalau aku botak, pasti rasanya aneh."

Terry mengecup puncak kepalaku lembut, masih sambil mengusap kepalaku.

"Ada atau tidak ada rambut, kamu pasti tetap manis."

"Kamu bisa ngomong gitu sekarang. Tar, pas aku botak, kamu yakin masih bisa ngomong begitu?"

"Kenapa nggak? Bukan rambutmu yang membuatmu kelihatan manis, tapi senyummu. Kalau kamu berhenti tersenyum, baru deh, jelek."

"Heh!!"

Terry tertawa, sementara aku memukul dadanya kesal.

Lalu Terry menurunkan kakinya dari tempat tidur.

"Mau ke mana?"

"Tidur."

"Nggak di sini?" tanyaku, mendadak merasa kehilangan. Terry yang sudah turun dari ranjang, mendekatkan wajahnya padaku dan mengecup bibirku.

"Kamu perlu tidur."

"Nggak mau bareng?"

"Aku tahu semalam kamu nggak bisa tidur. Nanti kamu harus terbiasa tidur bareng aku, tapi tidak hari ini. Kamu perlu tidur cukup untuk besok, Princess."

Aku merengut, tapi hatiku berbunga-bunga.

Terry benar-benar perhatian dan sangat peka.

"Tapi temenin aku sampai aku tidur dulu, ya."

Terry tersenyum, lalu menarik kursi ke dekat ranjangku, duduk di sana, dan menggenggam tanganku yang tidak tertusuk jarum infus.

Tangannya yang satu lagi membelai puncak kepalaku yang sudah berbaring.

"Tidurlah. Aku di sini."

Aku tersenyum, secara otomatis mengangkat tangannya yang menggenggam tanganku dan mengecupnya.

"Good night."

"Good night, Princess."

***

Aku menyentuh rambut- ups salah, kepalaku yang licin tanpa rambut dengan perasaan asing dan sangat ganjil. Di sampingku, perawat sudah menyiapkan injeksi obat bius untukku.

Mami bergerak mendekatiku dan aku tersenyum.

"Mami mukanya kusut banget deh. Nggak usah khawatir, Mi. Lili baik-baik aja, cuma botak doang."

Mami memukul kakiku gemas, padahal matanya berkaca-kaca.

"Kamu tuh, masih sempat bicara ngaco di saat kayak gini."

"Ya habisnya Lili emang baik-baik aja. Pokoknya Mami tunggu aja, tar tiba-tiba Lili udah sehat."

Mami meloloskan tawa kecil, dan mengusap air mata di wajahnya.

"Iya, Mami tunggu." Mami mendekatiku dan mengecup keningku, lalu melangkah mundur.

"Lili..."

Aku menoleh dan mataku bersirobok dengan mata suamiku. Aku mengenali pandangan itu. Dia pasti khawatir dan takut menjadi duda di usia pernikahan yang lebih muda dari jagung ini.

"Nggak usah takut. Aku akan baik-baik saja."

Dia mendekat, dan mengecup bibirku lembut.

"Aku tahu. Aku akan menunggumu di sini."

"Iya."

Perawat memasukkan obat bius ke dalam tubuhku, dan dikelilingi orang-orang tersayangku, pandanganku memudar dan kegelapan menguasaiku.

***

Aku terbangun karena cahaya mentari bersinar mengenai mataku. Aku menegakkan tubuhku, dan menyadari aku berada di sebuah gazebo di tengah taman yang luas, dengan bunga-bunga berbagai jenis tumbuh subur dan indah.

Lalu sebuah suara yang tidak asing memanggilku, dan aku menoleh.

"Papi!!!"

Aku bangun dan menghambur memeluknya.

"My little Lili..."

Aku merasakan mataku memanas, dan airmata mengalir membasahi kemeja putih yang Papi kenakan.

Banyak hal yang aku ingin ungkapkan padanya, tentang betapa rindunya kami semua padanya, tentang betapa semua rasanya berbeda saat dia tidak ada, tentang banyak hal.

Namun aku tidak mampu bicara, dan Papi sepertinya mengerti. Beliau memelukku erat, membiarkanku menangis sampai aku berhenti, sambil tak hentinya mengelus punggungku.

Aku tidak tahu berapa lama kami berpelukan, dan saat aku sudah kehabisan tenaga untuk menangis lagi, Papi melepaskan pelukannya dan mengusap air mata dari wajahku.

"Kamu tumbuh jadi anak yang kuat. Papi bangga."

"Aku kangen sama Papi."

"Papi juga."

Papi menarikku untuk duduk di kursi, tempatku berbaring beberapa saat yang lalu, dan duduk di sebelahku.

"Kita di mana, Pi?"

Papi tidak menjawabku. Beliau justru mengalihkan pandangan dariku dan menatap hamparan taman bunga di depan kami, dan aku mengikuti arah pandangnya.

Lalu aku menyadari sesuatu, dan aku takut dengan pikiranku sendiri. Bagaimana kalau ternyata aku-

"Apa aku sudah meninggal, Pi?"

Papi kembali menoleh padaku, dan dengan tersenyum, menggelengkan kepalanya.

"Kamu belum meninggal. Kamu masih berjuang, di bawah sana."

Tanpa sadar aku menghela nafas lega, dan Papi terkekeh pelan. Seketika itu, aku jadi merasa bersalah.

"Sorry, Pi. Bukan maksudku nggak mau nemenin Papi di sini-"

Papi kembali terkekeh.

"Papi tidak kesepian di sini. Jangan mengkhawatirkan orang yang sudah meninggal,  my Little Lili... Kami berada di tempat yang jauh lebih baik dari dunia kita yang kacau itu."

Lalu Papi membelai puncak kepalaku yang sudah tidak berambut itu.

"Kamu akan bertahan, Li. Kamu punya Mami kamu, Cici dan Koko kamu, Freddy, dan suami kamu. Berjuanglah untuk hidup, my Princess, demi mereka. Mereka memerlukanmu."

Aku tersenyum, dan mengangguk.

Papi kembali menarikku dalam pelukannya.

"Ingatlah selalu, Papi menyayangi kalian semua."

Tbc

Maaf untuk kata2 yang nggak berkenan di part yang ini.

Sorry for typos

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro