lima belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Thank you untuk semua komen yang kalian tulis. Aku membaca semua komen kalian di part sebelumnya. Maap karena banyak yang nggak aku balas. Bukannya aku nggak mau balas, tapi aku nggak tau mau balas apa.

Part lalu aku nulis sambil nangis. Seriusan. Makanya kutanya, feelnya dapet nggak. Karena aku khawatir aku baper sendiri, eh malah nggak berhasil nuangin ke kata-katanya dengan oke. Kalau dapet syukurlah, kalau nggak, ya nggak apa-apa juga. Itu artinya sebagai penulis amatiran, peerku masih sangat banyak.

Selamat menikmati part yang ini.

Budayakan membaca baru vote yaaa... Love love...

-------------------------------------------

Aku menatap bayanganku di cermin.

Aku kurusan. Parah.

Gaun yang beberapa hari lalu membalut tubuhku dengan pas, melonggar di bagian dada dan pinggang. Untung Ci Nina, yang baru dihubungi Terry kemarin malam, mengambil keputusan bijak dengan menambahkan karet di bagian punggung, dan tali spaghetti.

Wajahku dirias tidak terlalu tebal, namun lipstik yang digunakan sangat terang. Jelas sekali MUA-nya berusaha menutupi bibir pucatku.

"Sorry, gaun kamu jadinya sedikit berkerut di bagian belakang," kata Ci Nina minta maaf sambil memasangkan veil-ku. Aku menyunggingkan senyum tipis.

"Thank you Ci Nina, dan maaf banget ngerepotin Ci Nina, harus ngerombak di waktu mepet begini."

"Justru aku yang thank you, kamu mau menikahi abangku yang sinting itu. Dan stop memanggilku cici. Habis ini kamu bakal resmi jadi kakak iparku lho."

Aku terkekeh, dan Ci Nina ikut terkekeh.

"Jadi kapan operasinya?"

"Dua hari lagi. Mereka menunggu hasil pemeriksaan apakah aku cukup kuat untuk menjalani operasi atau tidak."

"Oh." Ci Nina membenarkan posisi rambutku yang keluar dari tempatnya lalu menatapku serius. "Lili, aku titip Terry. Berjanjilah padaku, kamu akan membahagiakan dia, tak peduli sepanjang apapun atau sependek apapun umurmu."

Aku mengangguk.

"Aku akan berusaha membahagiakan Terry seumur hidupku, Nina. Kamu bisa pegang kata-kataku."

"Good. Thank you, Li. Ah, aku belum sempat mengatakan ini sejak lamaran kamu waktu itu. Welcome to the family ya, yang bentar lagi jadi Nyonya Hanafi," kata Ci Nina sambil memelukku, dan aku balas memeluknya. Saat dia melepaskan pelukannya, aku dan dia bertukar senyum, lalu Ci Nina meringis.

"Padahal aku tuh mau banget ngeledekin kamu pas kamu dan Terry nikah. Aku tahu banget dia masih perjaka ting-ting dan aku pengen banget ngeledekin dia. Tapi karena kamu sakit, yah nggak jadi deh ngeledekin malam pertama. Tunggu kamu sehat aja ya aku baru ngeledekin. Toh dengan sifatnya yang kayak gitu, dia pasti nunggu kamu sehat dulu baru berani ngapa-ngapain," ucap Ci Nina dengan nada kecewa, dan aku malah melotot.

Seriusan beneran belum pernah??

Aku nggak pernah berani nanya Terry sih. Nggak enak aja nanya beginian ke dia.

Tapi kok dia bisa ehm- jago gitu????

Astaga, aku masih ingat betapa mudahnya aku terlena hari itu, dan kalau bukan karena omongan Mami yang telanjur merasuk tulangku dan pengendalian dirinya yang luar biasa, bisa aja sekarang aku lagi hamil anaknya.

Ci Nina menatapku yang masih terbengong, lalu tiba-tiba dia ikut melotot kaget.

"Dia udah pernah pegang-pegang kamu???"

"Eh?"

"Oh my God, astaga, Terry nggak sepolos itu anjir!!" jerit Ci Nina kaget, dan Ciciku yang manis memilih waktu ini untuk masuk ke ruang gantiku.

"Kenapa? Kok kayaknya seru?"

"Eh, lo tahu nggak, si Terry ternyata-"

"Ahhhhhh Ci Nina!!!" jeritku cepat, khawatir Ci Nina mengatakan yang aneh-aneh pada Ci Flo. Walaupun Ricky dan Ronny nggak mungkin membawa golok ke sini, tapi ini masih di rumah sakit. Di sini sarangnya pisau operasi, alat setrum, dan obat-obatan. Siapa yang bakal tahu alat mana yang bakal disambar si kembar untuk menghabisiku karena berbuat mesum?

Aku nggak mau digorok di hari pernikahanku.

"Kita nggak ngapa-ngapain kok, beneran!! Cuma batas-batas wajar kok!!"

"Ada apa nih?"

Ci Nina menatapku curiga, mengabaikan Ci Flo yang tampak sangat penasaran.

"Beneran? Dia nggak pegang-pegang?"

Aku menggeleng kuat-kuat, dan Ci Flo menatap kami berdua bingung.

"Ngomongin apa sih?"

"Ini, lho. Si Terry pernah pegang-pegang Lili atau nggak-"

"Pernah juga nggak apa. Udah mau nikah ini. Udah pernah ciuman juga kan?" jawab Ci Flo santai.

Hah?

"Anjir, kalau mereka belum pernah ciuman, kok gue malah ragu Terry straight."

"Sinting ya lo, itu kembaran lo sendiri."

"Ya masa udah pacaran tapi nggak pernah dicium. Kan aneh. Kalau masih SMP, SMA sih wajarlah kalau nggak cipok-cipok. Ini Lili udah dua-empat lho."

Mereka berdua kembali menatapku, dan aku terkejut. Soalnya daritadi aku asyik memperhatikan mereka berdua membicarakan aku dan Terry seakan-akan aku tidak ada di sini.

"Jadi kalian pernah ciuman kan?" tanya Ci Nina, dan aku mengangguk pelan.

"Oh well, berarti Terry straight. Don't worry, Nyet," kata Ci Flo santai.

Ci Nina berdecak, lalu kembali membenarkan veil-ku.

"Kutinggal dulu ya, calon kakak ipar."

"Oh ya!!" seru Ci Flo tiba-tiba. "Ingetin gue buat ledekin Terry habis ini. Anjir pangkat gue jadi lebih tinggi dari dia!"

"Penting banget sumpah, Nek," ledek Ci Nina sebelum menutup pintu dan meninggalkanku berdua dengan Ci Flo.

Ci Flo menatapku dari atas sampai bawah dan tersenyum lebar.

"You look fabulous."

"Thanks, Ci. Siapa dulu Cicinya." Ci Flo tertawa.

"Cici benar-benar senang, kamu tidak memulai hubungan kamu dengan Terry dengan cara sekacau Cici. Apalagi kamu bisa menjaga diri kamu sampai hari pernikahan. I'm so proud of you."

Aku tersenyum tipis, namun tidak menjawab.

"Cici ingat saat pertama kali Terry ketahuan suka sama kamu. Mungkin kamu nggak ingat, tapi Cici ingat sekali.

Hari itu, seminggu sebelum ulangtahunmu yang ke-sepuluh. Kami dipulangkan lebih cepat karena persiapan ulangan Mid Semester, sementara kamu kalau tidak salah pulang terlambat karena les Inggris.

We're in my room, studying, dan saat kamu pulang, seperti biasa kamu akan masuk dan menyapa kami. Dan hari itu untuk pertama kalinya kami menyadari kalau Terry bersikap aneh denganmu.

Dia melihatmu seakan-akan hanya ada kamu di ruangan saat itu, Li, dan kami semua langsung sadar, sahabat kami itu jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama kamu."

Aku terdiam, terhanyut dalam cerita Ci Flo.

"Saat ulangtahun kamu yang ke-10, aku dan dia membuat taruhan. Kalau dia menang main catur melawan Ronny, Cici akan meng-update foto kamu sampai kamu SMA. Tapi kalau dia kalah, dia harus berusaha berhenti suka sama kamu, karena jujur aja Cici takut. Saat itu kami sudah SMA, sedangkan kamu masih SD. Tapi dia menang, jadi Cici memberinya apa yang dia mau. Fotomu, info tentang kamu, dan yang lainnya. Hanya satu yang cici minta darinya, jangan dekati kamu sampai kamu lulus SMA. Kalau dia masih menyukaimu saat itu, Cici tidak keberatan sama sekali."

"Kenapa-?"

Ci Flo tersenyum.

"Karena walaupun Terry adalah sahabat Cici, tapi kamu adik perempuan Cici satu-satunya. Cici harus mampu menjaga kamu, bahkan dari teman cici sendiri. Saat ini dia sudah berhasil membuktikan cintanya, dan Cici tenang menyerahkan kamu dalam penjagaannya. He really loves you."

Aku mengangguk, dan menguntai senyum di wajahku. Hatiku sangat hangat.

Hubunganku dengan Ci Flo nggak bisa dibilang terlalu dekat karena perbedaan usia kami yang jauh, tapi mendengar dan merasakan kasih sayangnya selalu membuatku bahagia.

Aku nggak kebayang kalau saat aku SD, atau SMP, atau SMA, aku tahu Terry menyukaiku. Aku pasti kaget dan menolak mentah-mentah. Tapi saat ini, saat aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui dan menerima cintanya, aku siap.

Aku menarik Ci Flo dalam pelukanku.

"Thank you, Ci, karena mempertemukan aku dengan Terry, dan menjagaku selama ini."

"Cici nggak mempertemukan kalian. Kalau memang jodoh, tidak perlu cici yang mempertemukan, kalian akan bertemu."

Aku mengeratkan pelukanku.

***

Ci Flo dan Mami menatapku galak sementara aku mengerucutkan bibirku.

"Aku sehat kok. Aku bisa jalan."

"Tapi nggak pakai heels dua belas senti juga..."

"Mami udah beliin kamu flat shoes. Jangan pakai heels."

"Nggak mau. Terry kan tinggi. Tar aku kayak makhluk boncel di sebelahnya. Jelek."

Mami memijit keningnya, sementara Ci Flo menarik nafas panjang.

"Aduh, kecentilan banget sih kamu. Saat sakit begini masih mikirin foto-"

"Ya kan aku mirip Mami. Mami juga gitu kan? Inget nggak, Mi, pas dua tahun lalu, pas Mami Papi anniversary, Mami demam tapi tetap maksa pakai dress dan heels, make up full, dan berlagak baik-baik aja supaya hasil fotonya bagus padahal tiap ada break Mami selalu merosot jatuh ke sofa dan merem saking panasnya?"

Mami manyun, sementara aku dan Ci Flo nyengir.

"Mami dan Ci Flo tenang aja. Dokter bilang aku cukup kuat kok. Pemberkatan juga nggak lama, paling lama satu jam. Habis itu aku bakal duduk, dan istirahat. Oke?"

Saat Mami dan Ci Flo saling bertukar pandang, aku tahu, aku menang.

Walaupun aku sakit, aku tetap harus kelihatan fabulous di hari pernikahanku.

***

Aku berdiri di depan pintu kapel yang masih tertutup, dan menarik nafas panjang.

Minum obat, check. Lipstik dan make up masih oke, check. Gigi bersih, check. Nafas wangi check. Heels oke, check.

Aku melirik Ronny yang berada di sebelahku.

"Ganteng banget sih, Ron, hari ini," godaku, dan dia menoleh.

"Iya, lo juga cantik, Li. Pake banget," katanya, dan aku nyengir.

"Tau aja sih, gue minta dipuji."

"Taulah. Lo pikir gue hidup sama lo cuma setahun-dua tahun?"

"Sayang deh sama lo."

"Iya, gue juga."

Aku memeluk lengannya erat, dan dia mendengus, namun tangannya menepuk telapak tanganku yang melingkari lengannya.

Seharusnya Papi yang menggandengku ke altar hari ini, tapi nggak bisa. Walaupun aku tahu, di dalam hatiku, Papi masih ada.

Papi pasti seneng kalau Papi ada di sini, kataku dalam hati. Seandainya saja Papi masih ada di sini. Tapi Papi pasti lebih bahagia di Sana. Aku nggak kebayang sakitnya kayak apa, kanker otak stadium akhir itu. Yang stadium dua aja nggak enak begini.

Aku mengerjabkan mataku, berusaha supaya air mata ini nggak turun dan membuat dandananku berantakan.

Kupikir Papi akan hidup lama, sejujurnya. Aku bahkan membayangkan Papi mengomeli Ricky atau Ronny karena mereka menghamili anak orang, karena hal itu sangat mungkin terjadi mengingat kebiasaan buruk mereka berdua. Atau mungkin malah sewot mempersiapkan pernikahan Freddy yang kelihatannya bakal melangkahi Ricky dan Ronny, saking kacaunya kedua kakak kembarku itu.

Tapi umur manusia siapa yang tahu.

Hari ini mungkin baik-baik saja, tapi besoknya? Who knows?

Aku sendiri, sejak tahu penyakitku ini, kadang bertanya-tanya. Apa besok aku masih bernafas?

Dan aku di saat-saat ini baru menyadari, banyak hal yang harus dilakukan, tapi waktunya sangat sedikit.

Aku harus memanfaatkan waktuku dengan sebaik-baiknya, karena aku nggak tahu, kapan jantung ini akan berhenti berdetak.

Setidaknya, aku tahu salah satu hal penting yang harus kulakukan sampai saat itu tiba.

Terus mencintai pria bodoh yang jatuh cinta pada anak kecil ini sejak empat belas tahun yang lalu.

****

"Saya, Kilian Akira Terry Hanafi, menerima kamu, Lilian Abigail Detama, sebagai isteriku, untuk sekarang dan seterusnya, untuk saling memiliki dan menerima, dalam suka dan duka, sehat atau sakit, kaya maupun miskin, untuk mencintai dan menjagamu, sampai maut memisahkan kita."

"Saya, Lilian Abigail Detama, menerima kamu, Kilian Akira Terry Hanafi, sebagai suamiku, untuk sekarang dan seterusnya, untuk saling memiliki dan menerima, dalam suka dan duka, sehat atau sakit, kaya maupun miskin, untuk mencintai dan menghargaimu, sampai maut memisahkan kita."

***

Pernikahanku hanya dihadiri oleh segelintir orang. Keluargaku, keluarga Terry, Benji dan Ko Felix, Ko Hendra dan keluarganya, kakak laki-laki Benji dan keluarganya, beberapa teman Ko Theo yang kayaknya artis, perawat-perawat yang kepo karena melihat pria seganteng Terry menikahi pacarnya yang sakit di rumah sakit, Pak Cakra, dan Pak Rusli yang menjadi saksi.

Setelah pemberkatan, kami hanya berkumpul dan makan siang bersama, lalu aku diboyong kembali ke kamar inap oleh Terry, dengan alasan takut aku kelelahan.

Padahal aku nggak kenapa-kenapa. Lebay.

Mami, Ci Flo, dan Ci Nina membantuku melepas semua atribut yang melekat di tubuhku, dan membantuku mengenakan pakaian rumah sakit. Setelah itu perawat masuk untuk memasangkan infus.

"Perlu banget infusnya ya, Sus? Tanganku kan jadi jelek, merah-merah gitu," keluhku saat perawat itu menusuk-nusuk telapakku.

"Perlu dong. Nggak apa-apa merah sedikit, kan udah laku," goda perawat itu sambil tersenyum. Aku terkekeh.

"Kasian dong suami aku, masa nyium tangan isterinya, merah-merah?"

"Ntar juga hilang," kata Terry yang duduk di tepi ranjangku sambil mengelus rambutku.

Terry sudah mengganti tuxedonya dengan kaos dan celana pendek, tapi tetap saja dia kelihatan ganteng.

Aih, suamiku.

Akhirnya aku nikah juga.

Aku tanpa sadar menatap suamiku dengan wajah terpesona, dan menutup mata saat dia mengecup dahiku lembut.

Perawat yang memasangkan infus tersenyum malu-malu sambil melirik kami - lebih tepatnya melirik Terry - lalu undur diri.

Ih, Terry mah PDA. Mentang-mentang udah sah. 

"Kamu lamaan di sini, kayaknya perawat satu bangsal ini bisa naksir kamu," kataku sambil nyengir saat perawat itu menutup pintu, meninggalkan kami berdua.

"Ngomong apa sih kamu? Nggak penting banget deh."

"Kok kamu di sini? Nggak nemenin tamu?"

"Nggak ah. Ada Nina dan Flo kok. Aku mau sama isteri aku aja."

Wajahku pasti memerah sekarang.

Wow, aku sudah jadi isteri orang.

Tiba-tiba bibirku dikecup.

"Ih, Ter, ntar kalau ada yang masuk gimana-"

"Biar saja."

Terry memiringkan kepalanya lalu kembali menciumku, lebih dalam dari sebelumnya, dan aku menyambutnya dengan senang hati.

Ciuman dari suamiku nggak mungkin mampu kutolak.

***

Jangan berharap kami akan melakukan hal-hal nakal di rumah sakit. Nggak bakalan.

Terry, suamiku - aih, suami - terlalu baik dan khawatiran. Dia takut aku kenapa-kenapa yang berakibat aku nggak bisa operasi dua hari lagi.

"Aku sudah menunggu empat belas tahun untuk menikahi kamu, Lili. Kalau hanya malam pertama, aku nggak keberatan menunggu beberapa minggu atau beberapa bulan lagi."

Ya, dia sih nggak keberatan. Tapi aku yang keberatan.

Kan penasaran. Apalagi sekarang sudah halal.

Mana Terry dari tadi cium-cium terus pula. Kan bikin makin pengen.

Kami benar-benar dibiarkan berduaan di rumah sakit. Sore, keluargaku dan keluarga Terry, serta Benji dan Ko Felix sempat datang untuk pamit pulang, sekalian membawakan makanan untuk Terry.

Sementara aku? Makanan rumah sakit lah.

Dokter memberi pantangan makan gula. Katanya yang manis-manis bisa memicu kankernya makin besar.

Sial. Selama ini aku kan doyan eskrim. Jangan-jangan gara-gara itu dia makin parah?

Ck.

Aku kan sedih.

"Hei. Kok malah melamun? Makan dong," kata Terry yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Aku menatapnya terpesona karena dia baru saja selesai mandi. Ujung rambutnya bahkan masih basah.

"Males."

"Disuapin mau?"

Aku tersenyum lebar.

"Mau."

"Dasar manja ya," kata Terry sambil mencubit hidungku, dan aku meringis. Nggak sakit sih, kaget aja.

"Ih, biarin. Kan sama suami sendiri. Kalau suami orang lain baru nggak boleh."

Terry berdiri di samping ranjangku dan mulai menyuapiku.

Rasa makanannya jadi lebih enak, nggak setawar tadi. Pasti karena suamiku yang nyuapin.

Untung nggak ada Benji. Kalau ada dia, dia pasti bilang aku norak. Mentang-mentang udah nikah.

"Li," panggil Terry saat aku masih asik mengunyah.

"Hmm?"

"Pulang dari rumah sakit nanti, langsung pulang ke rumah kita ya. Nggak pulang ke rumah orangtua kamu lagi."

Rumah kita.

Apakah Anda tahu betapa bahagianya Saya saat mendengar kata-kata itu?

"Err.. Oke."

"Nanti kamu mau aku bawain barang apa? Biar aku cicil dulu pindahannya. Atau semuanya?"

"Hmm.. semuanya boleh. Tar tanya Mami aja."

"Oke."

"Terry..."

"Ya?"

"Kamu nggak ngerokok lagi?"

Terry menoleh padaku, dan aku membalas tatapannya.

Aku tahu hidungku tidak bermasalah, tidak seperti mataku yang kadang memburam sendiri kadang baik-baik saja, dan bau tembakau dari Terry tidak tercium sama sekali dalam dua hari ini. Sebagai gantinya, aku mendapati dia sering mengulum permen.

"Ya. Aku berhenti."

"Kenapa?"

"Aku nggak mau kamu sakit, apalagi gara-gara aku."

Aku terdiam. Aku tahu Terry merokok karena perlu pengalihan atas kematian orangtuanya, dan ujung-ujungnya kecanduan parah, tapi aku tidak menyangka sama sekali dia akan berhenti karena ini.

Aku merasa mataku mulai berair, dan aku menarik pinggang Terry mendekat, lalu menguburkan kepalaku di perutnya.

"I-" aku mulai bicara dengan suara serak karena menangis. "-really appreciate this, tapi kamu-" aku menarik nafas dengan suara keras karena ingus, "-bisa nggak sih berhenti bersikap manis begini??"

"Aku nggak bersikap manis. Aku cuma ngomong apa adanya."

"Justru itu yang bikin manis, Terry. Ah, kamu mah. Nggak jelas romantis apa nggak," kataku merajuk.

Terry mengusap kepalaku, dan aku merasakan puncak kepalaku dikecup olehnya.

"Nggak, aku nggak romantis. Aku cuma melakukan apa yang mau kulakukan, supaya kamu bahagia dan baik-baik saja."

Ini apanya yang nggak romantis?? Ah Terry mah.

Aku melepas pelukanku setelah mengelap ingusku di kaosnya.

"Sini cium dulu," kataku, dan dia terkekeh.

"Kamu belepotan air mata."

"Lalu?"

Terry menunduk dan mengecup bibirku.

"Udah jangan nangis. Habisin makanannya ya."

Aku mengangguk, dan aku membiarkan Terry menghapus airmataku dengan kaosnya - tanggung sudah keburu kotor katanya - dan kembali menyuapi makan malamku sampai aku kenyang.

Cobaan paling berat datang di malam hari.

Aku sudah berbaring nyaman di ranjang, dan Terry mematikan lampu kamar, sehingga satu-satunya penerangan datang dari lorong rumah sakit.

Kukira dia akan tidur di sofabed yang ada di kamar ini, tapi dia justru mendekatiku dari sisi yang bebas dari selang infus.

"Mau tidur bareng?"

Ya mau lah.

"Di sini?"

"Iya."

"Sempit kan?"

"Nggak apa-apa. Malam ini doang."

"Besok nggak lagi?" desahku kecewa.

"Tergantung kamu bisa tidur atau nggak malam ini."

"Well," aku menggeser tubuhku sedikit, memberikan ruang lebih untuknya. "Sini."

Terry perlahan naik ke atas ranjang, dan berbaring miring menghadapku. Aku juga berusaha memiringkan tubuhku menghadapnya, tapi hanya bisa sedikit.

Terry mengusap pipiku lembut, menyingkirkan anak rambut yang jatuh menutupi wajahku.

"I dream of this every night. That I can watch you fall asleep every night, and hug you till morning. And you will wake me up with a kiss, or maybe two. Or I will wake up before you, and kiss you until you wake up and kiss me back."

Aku mendekatkan wajahku padanya dan mengecup bibirnya.

"This is not a dream anymore. I can kiss you as much as you want, and you can kiss me too."

Dia mengecup bibirku, dan bertahan lama di sana.

"Ya, ini bukan mimpi. Kamu nyata, dan kamu isteriku."

Terry mendekatkan dirinya padaku, dan memelukku, berhati-hati agar tidak menyenggol infus di tanganku, dan aku masuk dalam dekapannya.

I can live like this forever.

Tbc

Siapapun yang mau komentarin grammar saya, boleh, boleh banget. Tapi yang sopan ya. Ntar kalau sama-sama nyolot kan nggak enak. Hehehe

Ini panjang banget. Sekalian abisin sampai malam pertama di rumah sakit. Semoga nggak kepanjangan dan bikin bosan.

Tolong bilang-bilang kalau Terry-nya kelewat manis. Ntar dikurangin.

Tolong jangan tagih lapak sebelah, saya lagi galau. Idenya malah muncul yang ini, yang sebelah malah tiba-tiba bingung.

Sorry for typos.

Sampai ketemu di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro