sebelas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku belum pernah ke Singapura.

Seriusan.

Keluargaku jarang mengadakan acara jalan-jalan bareng. Alasannya karena anaknya ada lima, jadi ribet. Padahal dasar almarhum Papi aja nggak suka pergi jauh-jauh. Kalau jauh-jauh Papi lebih suka pergi berdua dengan Mami. Misalnya menjengukku di US, menjenguk Ci Flo di Paris, menjenguk Ricky di Yogyakarta, atau menjenguk Ronny di Jerman. Yah, yang gitu-gitu deh. Kurasa kalau aku nggak minta kuliah di luar, aku nggak mungkin pernah ke luar negeri sebelum ini.

Dipikir-pikir, aku gila juga ya. Cuma pernah paling jauh ke Bali doang, tapi minta kuliah jauhnya nggak tanggung-tanggung.

Iya, aku tahu sebenarnya Bali lebih jauh dari Singapura, tapi tetap aja, Bali kan masih di Indo, SG udah bukan.

Jadi saat Terry bertanya aku mau ke mana, aku malah bingung.

Pasalnya, aku ini belum pernah sekalipun ke SG, tapi Terry kuliah di sini. Pasti semua pelosok Singapura sudah pernah dijelajahi. Kalau aku minta ke daerah wisata, bukannya Terry hanya akan mati bosan?

"Gimana kalau terserah kamu aja? Aku belum pernah ke sini. Lead me, tour guide," putusku akhirnya, menyerahkan semua keputusan di tangan Terry.

"Hmm..." Terry tampak berpikir keras. "Kamu mau ke Universal Studio?"

Aku langsung membelalakkan mata dan mengangguk.

Aku nggak suka pemandangan kota besar yang penuh gedung. Kalau disuruh memilih Jakarta atau Bali, aku lebih pilih Bali. Atau Puncak. Atau di manapun deh, yang penting bukan Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan sejenisnya. Tapi aku suka bekerja di dalam gedung.

Aku memang penuh kontradiksi. Hais.

Hal yang kusuka dari jalan ke kota besar hanya barang branded dan taman bermain. Makan cantik di restoran juga kusukai. Udah. Tapi permainan lampu, gedung, dan air mancur sama sekali tidak menarik untukku.

"Besok ya, biar bisa dari pagi," kata Terry lagi.

"Jadi sekarang kita ke mana?"

Terry tersenyum dan menggandengku masuk ke dalam taksi.

"Hi, Uncle," sapa Terry pada sopir taksi kami. "Please go to Orchard road."

Lalu Terry menatapku sambil tersenyum.

"Sebagai orang Indonesia yang ke Singapura, nggak afdol kalau belum pernah jalan-jalan di Orchard Road."

***

Begitu menginjakkan kaki di Orchard Road, aku terkesima. Ya ampun, aku merasa vibe-nya seperti di Indo. Bukan tempatnya, karena tempatnya jelas jauh lebih rapi dan bagus, tapi orang-orangnya. Banyak banget wajah orang Indo di sini. Aku seperti sedang jalan-jalan di daerah Selatan.

Terry mengajakku makan eskrim seharga satu setengah dollar di gerobak yang dijual kakek-kakek, lalu kami berjalan-jalan sambil bergandengan tangan dan makan eskrim. Kadang-kadang Terry menarikku masuk ke toko dan menyuruhku mencoba pakaian, atau aku sengaja menariknya masuk ke dalam toko pakaian dalam dan membuatnya salah tingkah.

Aku tidak tahu berapa jauh aku berjalan, tapi ini semua rasanya menyenangkan. Terry mulai sering tersenyum padaku, bahkan dia sudah bisa melempar lelucon.

Kupikir ini ide yang bagus. Saat kami pergi berdua seperti ini, ke tempat yang asing, kami bisa lebih saling mengenal. Kami melakukan hal-hal yang sebenarnya biasa saja, tapi menjadi hal yang baru saat kami lakukan berdua.

Kami berjalan cepat menuruni eskalator karena MRT yang ingin kami tumpangi ternyata sudah tiba, dan berhasil masuk sebelum pintunya menutup. Aku dan Terry berdiri dekat pintu masuk dan sama-sama mengatur nafas - aku doang sih, Terry mah biasa aja. Lalu mata kami bersirobok dan kami tertawa bersama.

"Ya ampun, untung keburu."

Terry menyentuh wajahku dan menyelipkan rambutku di balik telinga, membuat jantungku kembali berdebar-debar. Gestur manisnya selalu bisa berhasil membuat aku tersipu.

"Capek?"

"Sedikit," ucapku tersipu.

"Seharusnya kita naik taksi aja."

"Nggak ah. Masa di SG naik taksi melulu?"

"Ya udah, nanti kita langsung makan aja ya," kata Terry, dan aku mengangguk.

Dia membawaku makan di restoran di Chinatown, dan bersikeras untuk pulang naik taksi.

"Besok kita ke USS, dan aku nggak mau kamu kecapean."

How sweet he is, right?

Jadi aku mengalah, dan kami pulang naik taksi.

Sampai di depan pintu kamarku, Terry menyerahkan kantong belanjaan yang dia 'paksa' belikan untukku, lalu dia mengecup dahiku lembut.

"Good night, Princess."

"Good night..."

Aku mendongak dan Terry menghadiahiku satu kecupan manis di bibir.

Kenapa kami nggak sekamar aja sihh?????

***

Oh, shit.

Aku bangun dengan kepala berkunang-kunang, satu kebiasaan yang paling kubenci dari diriku sendiri. Aku sangat mudah sakit kepala. Yah, kadang dia muncul kadang tidak, dan dia pintar memilih saat yang tidak tepat untuk muncul.

Aku meraba-raba ke nakas dan menemukan apa yang kuperlukan, my most essential need yang musti kubawa ke manapun aku pergi. Aku membuka segelnya dan langsung menelan dua butir, tanpa air, lalu kembali berbaring. Dalam hati aku menghitung, satu, dua, tiga, empat...

Dan seperti biasa, di hitungan ke seratus, sakitnya berangsur menghilang.

Jangan tanya kenapa, aku juga bingung.

Aku kembali duduk dan membuka mataku. Pandanganku yang buram berangsur kembali normal, dan aku baru berani bangkit dari ranjang.

Mataku menatap seonggok kantong hasil belanja semalam, dan mendengus geli.

Terry nyaris membelikan semua pakaian yang kucoba, kalau saja aku tidak menyingkirkan sebagian besar pakaian itu dari meja kasir. Tapi beberapa, yang berakhir di kantong-kantong itu, memang aku suka, jadi ya sudahlah, mumpung dibeliin kan? Toh kalau aku tampil cantik, kan dia juga yang lihat. Nggak apa-apa.

Aku mengeluarkan kaos putih tanpa lengan yang kubeli berpasangan dengan Terry dari kantong belanjaan, dan celana pendek jeans robek-robek yang kubawa dari Jakarta, beserta bra hitam berenda. Lalu aku tersenyum lebar.

Kuharap Terry tidak sampai mengamuk.

***

Dia mengernyit dalam saat melihatku, begitu aku membuka pintu kamar.

Dia tampak tampan. Celana pendek selutut jeans, berpadu dengan kaus putih tanpa lengan yang mempertontonkan otot lengannya yang liat dan minta digigit - My Goodness, kenapa aku jadi mesum begini???

"Lili..."

"Ya?"

"Ganti bra-mu."

"Kenapa?" tanyaku pura-pura bodoh. Aku hanya ingin menggodanya, sungguh. Terry selalu cute kalau berurusan dengan pakaian yang kukenakan.

"Terlihat jelas, Lili."

"Tapi ini Singapura. Nggak ada yang peduli warna bra-ku. Bahkan jika aku hanya mengenakan bra untuk keluar pun-"

Tiba-tiba Terry sudah masuk dan menutup pintu, lalu menghimpitku di tembok. Aku bisa merasakan deru nafasnya tepat di depanku. Aroma mint.

Fokus, Lili!!

"Kamu mau ganti sekarang atau aku yang menggantikannya untukmu?"

Mau digantiin aja!! teriak setan di hatiku, tapi untung saja akal sehatku masih jalan.

Kalau aku membiarkannya mengganti bra-ku, bisa-bisa kami tidak jadi keluar hari ini.

Aku tersenyum lebar padanya, dan mengecup bibirnya cepat.

"Iya, aku ganti. Bentar ya," kataku cepat, dan aku beringsut keluar dari kungkungannya, lalu mengambil bra lain, yang less sexy karena lebih mirip sport bra dan berwarna navy, dan masuk ke kamar mandi untuk menggantinya.

Saat aku keluar kamar mandi, Terry kembali menatapku dari atas ke bawah, dan mengernyit.

Ada yang salah lagi?? Haduh.

"Celanamu kependekan."

Aku langsung mendekati dan mengecup bibirnya cepat.

"Bawel. Ayo jalan, nanti USS nya keburu tutup."

Terry mendengus, namun dia membiarkanku menariknya keluar kamar.

"Masih pagi, Princess. Dia bahkan belum buka jam segini."

"Makan dulu kalau gitu. Go, go, let's go!"

***

Aku pernah ke Universal Studio yang di Orlando bersama Benji dan beberapa teman kuliahku. Kuakui, Universal Studio di sana lebih besar dan lebih lengkap. Tapi nggak ada yang mengalahkan sensasi bermain dengan pasangan sendiri.

Apalagi jika dia mulai secara random menciummu di tempat umum.

Aih, aku jadi malu.

Kami baru saja keluar dari permainan Mummy, dan aku yang sudah mulai kecapean, duduk di tepi jalan dan menjulurkan kakiku. Hari sudah mulai sore, namun masih banyak orang yang berseliweran di depanku. Terry duduk di sebelahku dan menyodorkan botol air yang tinggal setengah padaku yang langsung kuhabiskan.

"Capek?"

"Lumayan," kataku, dan aku menyenderkan kepalaku di bahunya. Terry merangkulku dan mencubit lembut pipiku.

"Senang?"

"Senang!"

"Udah mau pulang?"

"Satu lagi yuk."

"Mau naik apa?"

"Transformers."

"Oke."

Aku bangkit berdiri, dan Terry ikut bangkit. Aku mengulurkan tanganku padanya dengan manja, dan dia menggandengku menuju wahana robot yang kuinginkan.

Antriannya untung saja tidak terlalu panjang, jadi kami berjalan melewati lorong antrian menuju bagian dalam tempat permainan, dan tidak sampai lima belas menit kami bisa kembali bermain.

Begitu selesai, Terry merangkulku keluar dari wahana tersebut.

"Lagi?"

"Nggak deh, capek. Besok kita mau ke mana?"

"Hmm.. Akan kupikirkan."

"Oke."

"Lils?"

Aku menoleh, lalu tiba-tiba bibirnya mengecup bibirku.

"Kamu senang?"

Jantungku berdebar-debar kencang, dan aku tersenyum. Aku memajukan wajahku dan balas mengecup bibirnya.

"Senang. Thank you, Terry."

Terry ikut tersenyum, dan mengecup sisi kepalaku, lalu menggandengku keluar dari area tempat bermain itu.

***

Terry memutuskan kalau aku terlalu lelah untuk makan di luar dan kami lebih baik makan di dekat hotel saja.

Setelah makan, kami pulang kembali ke hotel dengan tubuh lelah dan puas. Di depan pintu kamarku, Terry kembali mengecup lembut dahi dan bibirku.

Aku menanti, tapi hanya itu. Hanya sentuhan ringan di bibir, tak ada bedanya dengan apa yang dia lakukan seharian ini.

"Good night, Princess."

"Good night, Terry."

Dia menungguku sampai aku masuk ke dalam kamarku, baru masuk ke kamarnya sendiri.

Aku sendiri, bukannya langsung mandi, justru menjatuhkan tubuhku di sofa.

I feel anxious.

Ayolah. Kami pergi menginap ke luar Jakarta, dan dia hanya mengecupku? Really?? Setelah semua yang dia lakukan saat kami berduaan di rumahnya??

Dia memang sering mencuri kecupan dariku, dan dia sangat manis. Tapi aku kan bingung. He can kiss me passionately sebelumnya, sampai aku bahkan bisa merasakan bukan hanya jantung yang berdebar, tapi juga gairahku ikut naik. Tapi selama kami di SG, nggak ada ciuman seperti itu.

Maksudku, ayolah, momen tadi udah oke banget. Kami di depan pintu kamar, mau pisah ke kamar masing-masing. Tapi dia hanya memberiku satu kecupan ringan. Kecupan sayang. Bukan ciuman yang you know what i mean.

Ya ampun Lili, dikasih hati malah minta jantung.

Iya sih, seharusnya aku bersyukur. Terry itu baik banget. Sayang banget sama aku. Manjain aku banget. Kenapa aku harus merasa anxious cuma masalah ciuman? Toh bukannya dia tidak menciumku. Sering malah, sampai jantungku capek kardio melulu.

Mungkin aku mau dapet, makanya pikiranku melantur aneh-aneh.

Akhirnya aku memutuskan untuk bangun dan mandi, lalu tidur. Aku capek sekali. Staminaku benar-benar payah.

Tbc

Wow, aku update cepat. Aku sampai terkejut. Lagi dapet feeling jalan-jalannya. Nulis beginian jadi bikin pengen jalan-jalan. Libur where are you...

Saya jadi agak galau nih, mereka terlalu manis, jadi nggak tega ngasih konflik.

Sorry for typos, dan kalau ada yang janggal atau punya pengalaman yang beda dengan Lili boleh dikomen kok.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro