dua belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Warning ya... Walaupun kelakuan Lili suka manja nggak jelas, tapi ini cerita dewasa. Aku bahkan sudah tulis warning 18++ di deskripsi.

Bagi yang di bawah umur, dilarang baca. Apalagi praktekin. Hush-hush. Sekolah dulu aja yang bener.

Seriusan, gue udah warning yaa.

Terry bukan Leon soalnya.

Dan part ini panjang. Habisnya rasanya nggak pas kalau di-cut. Mudah2an pada gak bosan.

So, enjoy...

----------------------------------

Aku membuka mataku dan melihat Papi duduk di salah satu sudut teras belakang rumah kami, salah satu tempat favoritnya saat dia perlu bicara empat mata dengan anak-anaknya.

Aku mengambil tempat di sebelahnya, dan Papi menoleh, tersenyum hangat saat melihatku. Aku hampir menangis, betapa aku merindukan senyum itu.

Papi mengusap kepalaku lembut, seperti yang biasanya dia lakukan padaku dulu.

"My little Lili..."

Aku hanya diam, menunggu. Dan Papi kembali membuka mulutnya dan tersenyum padaku.

"Papi bangga padamu. Kamu mengurus Mami dengan baik, dan perusahaan juga membaik."

"Semua tetap saja berbeda, karena nggak ada Papi," rajukku, dan Papi menarikku dalam pelukannya.

"Mami tidak apa-apa. Mami mungkin merindukan Papi, tapi Mami baik-baik saja. Mami memiliki kalian semua."

Aku tidak lagi mampu menahan tangisku.

"Sstt.. Jangan menangis. Sudah dua empat kok masih cengeng."

Aku terisak, dan Papi menepuk kepalaku lembut.

"Selamat ulang tahun ke-dua puluh empat, Lili.."

Hah?

Aku terbangun dengan mata berair dan kebingungan, dan melotot kaget saat menyadari wajah Terry berada tepat di hadapanku dan menatapku khawatir.

Aku sampai menjulurkan tanganku dan menyentuh pipinya yang terasa agak kasar karena bakal rambut yang baru tumbuh, dan tangannya yang mengusap air mataku terasa nyata.

"Kamu mimpi buruk?"

"Aku mimpiin Papi..."

Terry menurunkan wajah dan mengecup dahiku lembut, lalu memelukku hangat, membuatku merasa lebih baik. Untung ada Terry.

Lalu aku baru tersadar. Aku melepaskan diri darinya dan melihat sekeliling. Ini kamarku, dan matahari mulai menyeruak masuk, artinya sudah pagi. Tapi ada kejanggalan di sini. Aku menatap Terry dengan tatapan terkejut.

"Kok kamu ada di kamarku??"

Terry tersenyum dan membimbingku duduk, lalu menyodorkan kue dengan lilin berangka dua dan empat yang menyala.

"Selamat ulang tahun, Princess."

Hah?

Aku langsung meraih ponselku dan melihat tanggal yang tertera di sana. Enam belas september.

Bagaimana aku bisa lupa hari ulang tahunku sendiri????

Lalu suara dehaman di sebelahku membuatku mengalihkan pandanganku kembali kepada Terry, dan menatapnya penuh curiga.

"Kok kamu bisa masuk ke sini?"

"Kamu pasti nggak sadar, kartu kamarmu hanya satu."

"Hah?"

"Aku hanya memberimu satu. Satunya lagi kupegang."

Aku melotot kaget. Aku baru sadar!!!

Gila, dia licik banget. Dia tahu aku nggak akan ngeh, dan dia menggunakan cara licik untuk diam-diam masuk ke kamarku. Luar biasa pacarku ini.

Tapi aku sayang, gimana dong.

"Ayo, make a wish, lalu tiup lilinnya," kata Terry, dan aku mengangguk.

Aku memejamkan mataku, mengucapkan wish di hari ulang tahunku yang ke-dua puluh empat ini. Nggak panjang-panjang, aku hanya ingin tahun depan bisa merayakan ulangtahunku bersama Terry lagi, dan dibuat terkaget-kaget lagi.

Aku membuka mata, dan meniup lilinnya.

Terry meletakkan kue dengan lilin yang masih berasap itu di meja, lalu menangkup wajahku dengan kedua tangannya.

"Happy birthday..."

Lalu dia mengecupku lembut. Bibirnya mencecap bibirku, dan mengulumnya pelan.

Aku meleleh.

Aku mencengkeram bagian depan pakaiannya, dan Terry memiringkan wajahnya, memperdalam ciuman kami.

Lalu tiba-tiba aku tersadar. Aku buru-buru berusaha mendorong tubuhnya.

"Aku belum sikat gigi-"

"Nggak apa-apa," bisiknya serak, dan lidahnya menerobos masuk ke dalam mulutku dan menggoda lidahku.

Aku langsung nge-blank.

Aku nggak tahu berapa lama kami berciuman, dan aku benar-benar menikmatinya. Ini dia yang kutunggu-tunggu dari kemarin!!

Bibirnya sudah berpindah dari bibirku, dan menyusuri rahangku, menuju telingaku. Semua yang disentuh bibirnya terasa begitu panas. Aku benar-benar meleleh dibuatnya.

Dengan otak sepanas ini, aku benar-benar lupa, Terry belum pernah menciumiku seperti ini. Reaksi tubuhku juga belum pernah sepanas dan se-bergairah ini.

Tangan Terry sudah berpindah ke leherku, menuruni bahuku dan lenganku, lalu aku tersentak saat dia membelai sisi payudaraku yang tidak mengenakan bra.

Aku baru ingat, aku nggak lagi pakai bra!!!

"Kamu nggak pakai bra..." bisik Terry di telingaku, hembusan nafasnya yang panas menggelitikku, mengirimkan gelenyar asing di seluruh tubuhku. Aku merasa basah.

"Nggak... Aku nggak pakai bra saat tidur..." Suaraku mengagetkanku. Aku nggak pernah se-kesulitan ini untuk bicara, dan suaraku terdengar seperti desahan mesum.

Sial. Ini semua harus berhenti.

Tapi aku nggak bisa.

Terry menangkup payudaraku yang masih tertutup kaos, dan mengusapnya lembut.

"Ter.." ucapku, diiringi desahan pelan karena tangannya tanpa sengaja mengusap puncak payudaraku dan membuat otakku berkabut. Bagaimana bisa hal sesederhana sentuhan membuatku berantakan begini? Tapi aku harus berhenti. Kami harus berhenti.

"Terry... Stop..."

Terry tersentak kaget, dan tangannya meninggalkan payudaraku. Aku langsung menarik nafas panjang, seakan-akan dari tadi aku menahan nafas.

"Maaf..."

Terry meluruhkan kepalanya di bahuku, dan mengatur nafas, mungkin dia berusaha meredakan gairahnya.

Aku sendiri juga berusaha mengatur nafas. Sial, aku bisa merasakan bagian bawah tubuhku gatal dan lembab.

Boleh nggak nikahnya besok aja????  Sekarang juga nggak apa-apa deh!!!!

Terry mendongakkan kepalanya, dan menatapku penuh rasa bersalah.

"Seharusnya aku surprise kamu siang nanti. Wajahmu saat bangun tidur terlalu menggoda."

Aku meloloskan tawa tertahan, karena nafasku belum benar-benar normal. Menggoda dari Hongkong. Berantakan iya.

"Untung aku mengambil kamar terpisah."

"Apa hubungannya dengan kamar terpisah?"

"Kalau kita sekamar dan seranjang, apa menurutmu aku mampu berhenti?"

Aku melongo, menatap matanya yang menatapku dengan serius.

"Aku bahkan sudah berhati-hati menciummu, supaya gairahku tidak naik."

Aku mengerjabkan mataku linglung, baru sadar kalau Terry barusan memberikan jawaban atas kegundahanku semalam.

Oh, jadi itu alasannya???

Kenapa dia cute banget sih????

Aku langsung melompat naik ke pangkuannya, dan mencium bibirnya. Aku memeluknya, dan membiarkan payudaraku bergesekan dengan dadanya. Sial, sentuhan seperti ini kenapa bisa enak begini? Sensasinya menggelikan, tapi aku nggak bisa berhenti.

"Lili..." geramnya, dan aku malah merasa semakin gatal. Suara geramannya terdengar seksi sekali.

Aku bisa merasakan gundukan keras di bawah pangkuanku, dan walaupun aku masih perawan, aku tahu apa itu.

Lalu tiba-tiba aku teringat kata-kata Benji beberapa tahun yang lalu.

"Lo tahu apa yang enak selain penetrasi? Gesekin milik gue sama penisnya pasangan gue. Geli-geli nikmat. Apalagi saat liat wajah pasangan gue. Enak banget, Neng."

Benji!!!! Dasar sesat!!! Kenapa gue harus ingat kata-katanya di saat-saat kayak gini????

Dan sialnya, emang enak. Padahal nggak secara langsung. Gimana rasanya kalau langsung ya?

Kenapa gue jadi mesum begini????

"Lili..."

Tiba-tiba, Terry mendorongku, dan menjauh dariku. Nafasnya tidak beraturan sama sekali, dan akupun sama.

"Kita.. harus berhenti... Aku... Harus kembali... Ke kamar... Mandi... Nanti... Aku... Jemput... Makan siang..."

Lalu Terry keluar dari kamarku, meninggalkanku sendirian, yang masih kebingungan.

Lalu saat kesadaran menghinggapiku, aku langsung menutup wajahku dengan bantal.

Lili mesum!!!! Tidak!!! Apa yang barusan kulakukan!!!

***

Beberapa jam kemudian, aku yang kembali tertidur, terbangun oleh suara ponselku. Tanpa membuka mata, aku mengangkatnya, dan suara Ci Flo menyambut indera pendengaranku.

"Happy birthday, Lili Sayang..."

"Thank you, Cici..." jawabku sambil tersenyum. Sesirik apapun aku padanya, dia tetap satu-satunya kakak perempuanku yang kusayang.

"Happy birthday, Adik Ipar." Tiba-tiba suara Ko Theo berteriak di sana, membuatku tertawa.

"Thank you, Ko Theo. Lagi di-speaker ya?"

"Iya nih," kata Ko Theo.

"Gimana di Singapur?" tanya Ci Flo, mengambil alih pembicaraan.

"Baik-baik, Ci. Aman terkendali."

"Terry nggak ngapa-ngapain kamu kan?"

Ups.

Lalu aku mendengar ci Flo tertawa.

"Nggak mungkin sih. Dia kan sayang banget sama kamu."

"Yakin, Flo? Bukannya kamu bilang dia udah hidup selibat selama empat belas tahun?"

"Iya, emangnya kamu pikir Terry kayak kamu, nggak bisa nahan nafsu?"

"Terry kan juga cowok. Apalagi sekarang berduaan sama Lili."

Kenapa aku jadi mendengarkan pembicaraan mereka ya? Ini membuatku semakin merasa salah tingkah. Aku seperti penjahat yang sedang menyembunyikan diri.

"Nggak, aku percaya sama Terry. Berani taruhan, mereka pasti nggak sekamar di sana. Ya kan, Lils?"

"Iya, Ci. Kamar kami sebelahan," jawabku, rasanya perutku ngilu. Di satu sisi, Ci Flo benar. Di sisi lain, yah, hanya kami dan Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi tadi pagi kalau saja akal sehat kami nggak kembali tepat pada waktunya.

"See? I knew it. Terry terlalu sayang sama Lili. Lagipula kalau dia berani macam-macam, Ricky dan Ronny udah nyiapin golok, kok," kata Ci Flo sambil tertawa.

Aku ikut tertawa. Mungkin iya, mereka nyiapin golok, tapi untuk menyembelih aku, bukan Terry. Orang tadi yang mesum itu aku kok.

Haduh, kok aku bisa semesum itu ya?

"Anyway, have fun ya, Lils. Nanti jangan lupa mampir ke rumah. May udah nyariin Aunty kesayangannya tuh," kata Ci Flo, dan aku mengangguk, walaupun tahu dia tidak bisa melihatku.

"Iya, Ci."

Sesirik apapun aku padanya, aku tidak bisa membenci Ci Flo. Karena aku tahu, kasih sayang dan toleransi Mami dan Papi yang berlebihan padanya adalah salah satu bentuk rasa bersalah mereka.

Papiku dan Mamiku menikah karena terpaksa, Mami hamil Ci Flo karena kesalahan satu malam mereka. Pernikahan mereka seperti di neraka, dan Ci Flo tumbuh tanpa kasih sayang. Kesalahan kedua mereka melahirkan Ricky dan Ronny, dan membuat hubungan keduanya semakin kacau. Ricky dan Ronny akhirnya lebih banyak diurus oleh Ci Flo, karena Mami sempat depresi dan hancur.

Singkat cerita, mereka akhirnya belajar saling toleransi, dan jatuh cinta satu sama lain, setelah delapan tahun menikah. Lalu tahun berikutnya aku lahir, disusul Freddy dua tahun kemudian.

Bisa dibilang aku cukup beruntung, Freddy juga. Kami lahir saat kondisi rumah tangga Papi dan Mami sudah adem ayem. Tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri, Papi dan Mami sedikit berlaku kurang adil pada kami. Mereka seperti berusaha membayar tahun-tahun yang mereka buang dengan mengabaikan ketiga kakakku. Jadi, begitulah.

Tapi aku baik-baik saja kok. Aku tidak kekurangan kasih sayang. Apalagi sekarang ada Terry, yang melimpahiku dengan semua yang manis dan indah.

Harus kuakui, dia adalah hal termanis yang pernah terjadi dalam hidupku.

***

Terry menjemputku pukul sebelas waktu Singapura, dan tidak ada satupun penjelasan yang keluar dari mulut kami berdua mengenai kejadian tadi pagi, setelah acara tiup lilin. Aku terlalu malu membahasnya, dan dia sepertinya juga terlalu canggung untuk membahasnya. Di balik sikap cool-nya, aku tahu Terry agak canggung denganku. Seperti yang Benji bilang, dia terlalu lama memendam perasaan padaku, jadi nggak segampang itu all out ke aku.

Namun dia berusaha normal, dan aku juga berusaha. Kami bisa mengobrol tanpa canggung lagi, walaupun kembali lagi, tidak ada satupun dari kami yang menyinggung kejadian tadi pagi. Mungkin satu hal yang berbeda dari kemarin-kemarin, dia hari ini tidak mencuri-curi kecupan dariku. Itu yang membuatku mengambil kesimpulan kalau Terry agak canggung denganku sekarang.

Hari ini Terry membawaku berkeliling di Garden by the Bay dan sekitarannya, sampai hampir jam lima, lalu dia mengajakku kembali ke hotel.

"Nanti jam tujuh kujemput makan malam ya," kata Terry, yang mengusap kepalaku lembut dan masuk ke kamarnya sendiri.

Aku masuk ke kamarku dengan perasaan campuraduk, dan tertegun saat melihat kotak yang ada di atas ranjangku.

Dengan penuh antisipasi aku membukanya, dan mataku nyaris keluar dari tempatnya karena kaget.

Sebuah gaun cantik berwarna biru muda dan heels berwarna senada tersusun rapi di dalam kotak itu, dan sebuah kartu terletak di atasnya. Aku mengambil kartu itu dan membukanya.

Thank you for being born, Princess. I love you.

Ps. Wear this tonight, ok?

Aku meleleh. Aku paling tidak bisa kalau diberikan hal-hal semanis ini, kayak yang biasa di novel-novel romantis.

Aku melebarkan gaunnya dan tersenyum bahagia. Gaun ini benar-benar cantik. Di bagian atasnya berhiaskan brukat yang menutupi sampai ke pergelangan tangan. Aku tersenyum geli. Khas Terry sekali, yang tidak terlalu nyaman melihat kulitku terekspos. Walaupun dia tahu aku tidak suka mengenakan yang panjang-panjang sampai ke mata kaki, jadi gaun ini hanya sedikit di atas lutut.

(Kira-kira kayak begini bajunya)

Aku akhirnya membentangkannya di atas ranjang dan bergegas mandi. Aku hanya punya sisa satu setengah jam sebelum Terry menjemputku.

***

Pukul tujuh kurang lima menit, aku sudah siap. Aku menatap tampilanku di cermin dan tersenyum puas. Untung aku membawa semua peralatan make up-ku.

Pintu kamarku diketuk, dan aku yang sudah mengenakan heels berjalan pelan membukanya, dan aku terpana.

Terry benar-benar tampan. Apalagi dengan kemeja navy pas badannya, yang cukup memperlihatkan seberapa bagus tubuhnya di balik kemeja itu.

Jadi ingin menyentuh-

Lili!!! Mesum banget sih!!!

"Hai," sapa Terry sambil tersenyum canggung, dan akupun sama. Aku jadi merasa seperti kencan pertama. Deg-degannya sama banget.

"Kamu cantik," katanya pelan, sambil menatapku, membuatku merona.

Tuh kan, kayak kencan pertama.

Terry mengulurkan tangannya padaku, yang kusambut dengan senang hati. Aku menutup pintu hotel yang langsung terkunci otomatis, dan menuju lift.

Saat di dalam lift, aku bingung melihat Terry tidak menekan tombol lift menuju lobby, melainkan menuju lantai paling atas hotel ini.

"Kita ke mana?"

"Makan malam."

Lift berhenti, dan Terry membawaku keluar dari lift, menuju restoran yang berada di rooftop hotel yang kami tinggali.

Aku membelalak kaget, terpesona dengan pemandangan yang ditawarkan. Aku mungkin bukan pecinta pemandangan dengan lampu kelap kelip dan gedung pencakar langit, tapi ini indah.

Terry membimbingku duduk di salah satu sudut, sehingga kami bisa leluasa menatap pemandangan indah di luar.

"Suka?"

Aku menoleh, dan aku melihat Terry sedang tersenyum sambil memperhatikanku. Seketika wajahku merona. Aku keasikan, lupa bahwa aku sedang bersama Terry.

"Ya. Thank you, Terry."

Lalu aku baru menyadari, suasana restoran ini sangat sepi. Tidak ada satupun manusia lain di sini kecuali pelayan restoran ini.

"Kok sepi ya?"

"Mungkin karena ini bukan weekend," jawab Terry, yang dengan santai menyesap wine di depannya. Aku ikut mengambil gelasku dan menyesapnya pelan. Aku cukup suka rasa wine, yang walaupun awalnya terasa pahit, lama-lama jadi manis. Seperti pria di depanku ini. Awal-awal dia mengajukan tawaran pernikahan padaku, rasa-rasanya dia sangat menyebalkan. Tapi ternyata manis dan memabukkan.

Seriusan, boleh nggak sih, nikahnya besok aja???

Makanan pembuka pun dihidangkan, dan kami makan sambil mengobrol. Makanan lezat, pemandangan indah, pria yang kucintai. Ini sempurna. Nggak ada yang lebih baik dari ini.

Aku benar-benar wanita yang bahagia.

"Enak?" tanya Terry, dan aku mengangguk. Aku menghabiskan potongan terakhir salmon di piringku dan mendesah puas.

"Mau dessert-nya sekarang?" Aku kembali mengangguk. Aku nggak pernah menolak dessert. Eskrim, coklat, permen, dan biskuit selalu masuk dalam daftar belanja bulananku.

Pelayan membawakan dua cloche dan meletakkannya di depan kami masing-masing, dan aku dengan antusias membuka tutup cloche di depanku.

Namun aku tertegun.

Alih-alih dessert yang ada di dalamnya, seperti yang ditawarkan Terry tadi, aku justru menemukan kotak beludru kecil yang berisi sebuah cincin berwarna rose gold cantik yang berhias berlian berbentuk hati di depannya. Cincin kecil yang begitu cantik.

Tapi kenapa ada cincin di piring makanku??

Aku masih terpaku saat Terry mengambil cincin itu dan tiba-tiba dia berlutut dengan satu lutut di depanku.

"Princess..."

Aku mau dilamar????????

Oh my God!!!!!

"Aku tahu awal mula hubungan kita dimulai dari kontrak kerja, dan bukan atas dasar perasaan cinta. Tapi saat ini, aku ingin meminta padamu. Hidup bersamaku, jadi pasangan hidupku, tidak hanya urusan pekerjaan, tapi seluruhnya."

Aku mau nangis. Aku paling nggak bisa diginiin.

I always wondering, nanti kalau aku dilamar, rasanya bakal kayak apa? Nanti calon suami aku ngelamarnya bakal gimana? Dan kupikir itu wajar aja, karena aku perempuan, dan aku suka berkhayal.

Sejak memutuskan menikah dengan Terry, aku sudah mengubur impian itu. Sama sekali. Namanya nikah karena persyaratan utang, what can I expect, ya kan?

But here he is. Berlutut di depanku, dengan tatapan memuja, di restoran di rooftop hotel, yang memutarkan lagu cinta klasik, menyodorkan cincin untukku.

Mataku berkaca-kaca. It's beyond my expectation, really. Semua memang jauh lebih indah kalau tidak diharapkan.

"Aku bukan pria sempurna. Tapi berikan aku kesempatan untuk mencintaimu seumur hidupku, membahagiakanmu sampai kematian yang memisahkan kita. Be mine, Princess?"

Aku menatapnya dengan pandangan mataku yang sudah sangat buram akibat air mata, dan mengangguk.

"Yes."

Terry tersenyum dan memasukkan cincin itu di jari manisku, dan aku langsung memeluknya erat.

"Aku berjanji akan mencintaimu seumur hidupku, Terry. Aku mencintaimu."

Terry memelukku dengan erat, dan mengucap kepalaku dengan sayang, sementara aku sudah sesenggukan.

Aku tidak peduli suara tepuk tangan oleh para pelayan, yang aku pedulikan hanya Terry.

***

Terry mengantarku kembali ke kamar setelah acara lamaran barusan, karena aku tidak bisa berhenti menitikkan air mata.

Kenapa aku jadi cengeng begini????

"Mau kutemani dulu?" tanya Terry saat kami sudah tiba di depan kamarku, dan aku mengangguk.

"Mau. Aku mau makan kue. Kita belum makan kue ulangtahunku," ucapku dengan suara serak dan nada merajuk, dan Terry mengecup puncak kepalaku lembut. Dia membantuku membuka pintu kamarku dan kami masuk, lalu duduk di sofa, membiarkan pintunya tertutup otomatis.

"Kenapa kamu harus melamarku? Persiapan pernikahan kita tinggal dua bulan," tanyaku setelah kami duduk bersisian di sofa. Terry tetap merangkulku erat, dan aku sengaja menempelkan tubuh padanya. Dia hangat, dan aku merasa nyaman dengannya.

"Kupikir aku harus melakukan hal yang benar. Awalnya kamu mau menikah denganku karena kontrak kerja kan? Tapi keadaan sudah berbeda. Our feelings are mutual now."

Lalu aku bisa merasakan dia kembali mengecup puncak kepalaku.

"Aku tidak mungkin menikahi wanita yang kucintai tanpa lamaran yang layak."

Aku mengangkat wajahku, dan mataku bersitatap dengan matanya yang teduh.

"I love you, Ter."

"I know," jawabnya sambil tersenyum lembut, dan aku menyerah. Menyerah pada perasaanku, menyerah pada dorongan fisikku.

Aku maju, dan mencium bibir Terry. Aku menggigit bibir bawahnya pelan, dan mengulumnya, berusaha melakukan apa yang biasanya dia lakukan padaku.

"Lili..." geramnya, yang membuatku semakin bersemangat. Aku mencengkram kemejanya, sementara dia menarik pinggangku mendekat.

Sekarang aku sudah duduk di pangkuannya, dengan kedua kakiku mengapit pinggangnya. Aku kembali bisa merasakan benda keras di antara pahanya mengenaiku, dan aku sengaja duduk tepat di atasnya, sementara bibirku dan bibirnya masih menari liar penuh gairah.

I can't stop.

Jari Terry menyusuri pahaku, membuat dress-ku semakin naik, dan aku merasa sangat panas. Sekujur tubuhku meremang oleh sentuhannya, dan aku menginginkan lebih.

Aku terkesiap saat merasakan udara dingin menerpa punggungku, dan tangan Terry yang satu lagi mengusapnya lembut.

Dia sudah membuka resleting dress-ku.

"Lili..."

Sial. Aku suka sekali mendengarnya menggeramkan namaku.

Lalu Terry menjauhkan wajahnya, dan mata kami saling bertatapan. Aku kesulitan melihatnya karena mataku berkabut, tapi sorot matanya menggelap.

Terry menurunkan dress-ku dari bahu ke pinggang, dan menampakkan payudaraku yang tidak terbungkus bra.

"Cantik..." Sial, aku kembali meremang. Sorot matanya menatap tubuhku dengan gairah, dan pemujaan. Membuatku ingin sekali menciumnya atau menarik kepalanya supaya terkubur di dadaku.

Lalu dia kembali menciumku.

Aku sendiri, dengan tangan gemetar, mulai membuka kancing kemeja Terry.

Tbc

Yak!! Cut!!

Siapa yang berharap mereka bablas?

Siapa yang berharap mereka berhenti dan melanjutkannya setelah sah?

Semoga suka dengan part ini.

Sorry for typos.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro