tiga belas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingat sepotong percakapanku dengan Mami, seminggu sebelum aku berangkat ke California bersama Benji untuk kuliah.

"Lili..."

"Ya, Mi?"

Mami berdeham pelan, sedikit salah tingkah, menunjukkan betapa topik ini sulit untuk dibicarakan. Aku menunggu dengan sabar, sampai Mami akhirnya membuka mulutnya.

"Kamu tahu kalau Mami dan Papi membuat kesalahan yang berakibat pernikahan kami?" Aku mengangguk. Aku tahu Mami hamil sebelum menikah dengan Papi. Kan aku bisa berhitung. Ci Flo nggak mungkin lahir prematur 6 bulan.

"Mami dan Papi membuat kesalahan, walaupun kami tidak menyesali, memiliki kalian semua sebagai anak-anak kami. Tapi delapan tahun pertama begitu berat."

Aku mendengarkan Mami bercerita tentang penderitaannya menikah tanpa cinta, menikah karena terpaksa, harus hidup dengan pria yang sudah merusak masa depannya yang harusnya tertata rapi namun hancur karena hubungan semalam.

Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini.

Mami menepuk tanganku yang ada dalam genggamannya.

"Mami tahu ini kedengaran kolot, dan Mami sendiri melanggarnya, tapi Mami ingin kamu berjanji. Jangan pernah berikan milikmu yang paling berharga kepada laki-laki manapun sebelum ada ikatan pernikahan diantara kalian."

Aku mendengus.

"Mana mungkin, Mi. Aku bayanginnya aja jijik-"

"Lili," potong Mami, dan baru kali ini aku mendengar Mami berbicara dengan tegas padaku.

"Mami sudah mengalaminya. Mami menghancurkan diri Mami sendiri saat memberikan kehormatan Mami pada Papi sebelum kami menikah, dan yang lebih konyol dari semuanya, kami bahkan tidak pacaran saat itu. Jadi Mami sangat berharap kamu tidak mengulangi kesalahan Mami, dan mengalami neraka di pernikahanmu nanti."

Aku baru akan memotong saat Mami kembali bicara.

"Tidak mudah menolak pesona lawan jenis, apalagi jika kamu tertarik dengannya, atau bahkan sayang dan cinta padanya. Dan kamu akan pergi ke negara yang kehidupannya begitu bebas, Mami tidak tahu apa yang akan terjadi di sana. Tapi Mami mau kamu berjanji. Tidak Benji, tidak siapapun, yang boleh menyentuhmu lebih dari sewajarnya sebelum kalian menjadi pasangan suami isteri."

Aku akhirnya dengan perlahan mengangguk, lalu Mami tersenyum.

"Ya, Mi. Aku janji. Aku akan menjaga diriku baik-baik. I'll stay virgin until my marriage day. You can keep my words."

***

Aku tersentak.

Terry, yang sedang menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku, menyadari gerakanku dan mengangkat wajahnya.

Aku bisa melihat kabut gairah di matanya, tapi senyum yang mengulas wajahnya dan kata-kata yang dilontarkannya membuatku terkejut.

"Kalau kamu mau berhenti, aku akan berhenti, Princess."

Aku terpaku, dan tanpa bisa kucegah, air mataku mengalir. Aku nggak mau berhenti, tapi janjiku pada Mami membuatku sadar.

"Iya, kita harus berhenti..."

Terry langsung menarikku ke dalam pelukannya, dan aku terkubur dalam dada telanjangnya yang hangat. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup cepat, yang anehnya sangat menenangkan. Aku langsung merasa rileks. Apalagi, sejujurnya, sentuhan kulit dengan kulit seperti ini terasa menenangkan.

"Maaf, Lili. Aku nggak berencana membuat kamu menangis begini..."

Aku mengangkat wajahku, dan mencium bibir Terry. Terry membalasku. Bukan dengan nafsu, tapi dia menyalurkan cintanya, kekuatannya, membuatku merasa aman dan nyaman.

Aku benar-benar terharu. Aku tahu gairahnya masih berkobar, dan aku juga merasakan yang sama, tapi dia langsung berhenti begitu aku minta berhenti.

Setelah beberapa saat, dia melepasku, dan jemarinya mengusap air mataku. Aku bisa menangkap sorot bersalah di matanya yang teduh itu.

"Jangan menangis. Maafkan aku..."

Aku menggeleng.

"Aku yang salah. Seharusnya aku tidak memancingmu-"

"Seharusnya aku mampu menjagamu."

Aku terdiam, dan menatap kedua bola matanya yang menatapku teduh. Masih ada sisa gairah di sana, dan aku sangat terkejut, karena Terry benar-benar mampu berhenti.

"Kita lanjutkan dua bulan lagi, nggak apa-apa, ya?" tanyaku pelan, dan Terry terkekeh.

"Memang seharusnya kita baru boleh begini dua bulan lagi, Lili. We're not supposed to do this today. Maaf aku tidak bisa menahan diri."

"Nggak. Aku yang mesum."

"Ya, dan sekarang kamu perlu memakai pakaian."

Kurasa saat ini percikan gairah diantara kami sudah telanjur padam. Mood-nya sudah benar-benar selesai.

Terry menyingkirkanku dari pangkuannya, dan aku baru sadar kalau dress-ku menumpuk di pinggang. Satu-satunya pakaian yang menutupiku dengan benar tinggal celana dalamku. Aku langsung buru-buru menarik dress-ku turun.

Setelah ini semua lewat, benar-benar yang tersisa hanya rasa malu.

Terry bangkit dari sofa dan berjalan menuju lemari. Lalu dia kembali sambil membawa piyama dasterku yang bergambar hello kitty.

Aku terpana melihat sosok Terry, dan jantungku kembali berdebar kencang.

Semua kancing kemeja Terry sudah lepas, memperlihatkan dadanya yang bidang dan perut roti sobeknya yang -uhuk- kelihatan yummy. Gespernya sudah terbuka, bahkan kancing celana bahannya juga sudah terbuka, memperlihatkan karet celana dalamnya. Dan tonjolan di antara kedua kakinya terlihat begitu jelas saat ini.

Aku meneguk ludah.

Dua bulan, cepatlah datang!!!!

Terry menarikku berdiri dan membantuku mengenakan piyamaku.

Aku tanpa sadar mengusapkan jariku pada dadanya yang telanjang.

"Lili..." geramnya pelan. Lalu tiba-tiba dia berbisik di telingaku, membuat sekujur tubuhku meremang.

"Satu-satunya alasan aku berhenti tadi hanya karena kita belum menikah. Setelah kita menikah nanti, aku tidak akan membiarkanmu lepas."

Aku langsung merona, dan jantungku jumpalitan tak karuan.

Terry tersenyum, dan mengecup dahiku lembut.

"Sleep tight, fiancè. Besok kujemput jam 7."

Aku buru-buru menahan tangannya.

"Nggak tidur di sini?"

Terry berbalik, dan kembali tersenyum padaku.

"Jangan menggodaku, Lili. Kamu tahu jawabannya."

Aku menggigit bibirku, tersipu mendengar kata-katanya. Aku bisa merasakan betapa sayangnya dia padaku.

Terry mengecup bibirku lagi, hanya sebuah kecupan ringan, lalu berbalik meninggalkanku sendirian di kamar.

Aku masih diam berdiri di tempatku semula cukup lama setelah Terry meninggalkan kamarku. Aku masih bisa merasakan bibirnya di wajahku, leherku, dan hangat tangannya yang menyentuhku. Aku bahkan masih bisa mengingat rasa sentuhannya dari luar celana dalamku-

Aku perlu mendinginkan kepalaku. Aku perlu mandi.

Gila, panas banget di sini.

***

Aku terbangun dengan dentuman keras di kepalaku, dan secara otomatis aku meraba-raba nakas, mencari obat, dan menelannya tanpa air.

Seratus hitungan berlalu, dan kepalaku tetap sakit.

Sial.

Entah sudah lewat berapa lama yang rasanya seperti seabad, aku baru merasakan sakitnya berangsur memudar, sampai akhirnya aku sudah mampu membuka mata dan duduk sambil menyender di kepala ranjang.

Aku berusaha meredakan nafasku yang memburu, dan mengambil handuk kecil untuk mengelap keringat dinginku.

Kenapa dia makin parah?

***

Aku melewatkan sisa hariku bersama Terry, yang lagi-lagi memanjakanku dengan semua perhatiannya yang manis.

Kami sarapan bersama di restoran hotel sebelum check out dan menuju bandara untuk kembali ke Jakarta, dan sesampainya di Jakarta dia mengantarku pulang terlebih dahulu sebelum dia kembali pergi bertemu klien lagi, tentunya memberiku kecupan lembut di bibir sebagai perpisahan dan berjanji akan menjemputku keesokan harinya untuk fitting.

Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Mataku melirik cincin yang begitu cantik, yang melingkari jari manisku, dan meyakinkan diriku kalau semua ini nyata, namun di sisi lain aku khawatir.

Aku nggak sehat, aku sadar itu. Diantara kami berlima, aku yang paling sakit-sakitan.

Apa aku perlu check up lagi?

Aku membuka notebook dan membereskan isi koper sembari menunggunya menyala sempurna, lalu aku membuka email dan segera mengetikkan pertanyaan kepada dokterku.

Sakit kepalaku adalah penyakit menahun, tapi aku tidak pernah perlu minum obat. Sampai suatu kali, saat aku sudah di US, dan aku jatuh pingsan karena  saking sakitnya, lalu Benji yang panik membawaku ke dokter universitas dan sejak itu, penyakit ini jadi rahasia kami bertiga.

There's something in my head, nggak ganggu sih, tapi memang akan membuatku sesekali sakit kepala. Obat dari dokter menahannya supaya tidak berkembang menjadi yang nggak-nggak.

Aku nggak berani cerita dengan Mami, Papi, dan saudara-saudaraku. Aku nggak tahu kenapa. Entah aku hanya tidak mau membuat mereka khawatir, atau karena aku tidak siap. Entahlah.

Aku selesai mengetik email untuk dokter Reagan, dan menutup notebook-ku, tepat saat Mami masuk ke kamarku.

Mami mendekatiku dan mengecup kedua pipiku.

"Happy birthday, Sayang. Gimana Singapur? Suka?"

Aku mengangguk, dan Mami menarik kedua tanganku dan memperhatikannya. Mami memperhatikan cincin di jari manisku, dan tidak menampakkan ekspresi terkejut sama sekali.

"Pilihan Terry bagus. Berarti kamu sudah setuju menikah dengan Terry?"

"Mami tahu??"

"Ya. Terry sudah minta izin dengan Mami untuk melamarmu, sebelum kalian pergi ke Singapura."

"Kapan????" seruku, terkejut. Mami terkekeh geli.

"Mau tahu aja. Jadi cerita dong, ke Mami, gimana lamarannya?"

Aku berdecak kesal.

"Mami cerita dulu, aku baru mau cerita."

"Oh, kalau nggak mau cerita, nggak apa. Nanti Mami tanya Terry saja," kata Mami pura-pura ngambek, lalu berjalan ke arah pintu, namun aku buru-buru menghentikannya.

"Iya, iya, Lili cerita. Dasar ambekan," ledekku, dan Mami tertawa. Kami duduk di ranjangku, dan aku bercerita tentang perjalanan kami di Singapura, tentu saja minus adegan-adegan delapan belas tahun plus plus yang bakal membuatku digorok oleh Ricky dan Ronny, dan membuat Mami sakit jantung mendadak.

***

Malamnya, Benji datang ke rumahku dengan gaya hebohnya dan langsung masuk ke kamarku, tidak peduli saat itu aku sedang berselonjoran di atas ranjang sambil menonton televisi, dengan pakaian ala kadarnya.

"Aloha, Enengnya Abang yang baru pulang pacaran!!!"

Aku yang terkejut, langsung melemparnya dengan bantal, tepat ke wajahnya.

"Nggak bisa ketok pintu dulu ya???? Gue nggak pake daleman, Bego!!!"

"Apa sih, lebay deh, Neng. Udah tahu lo telanjang aja nggak ngefek apa-apa ke gue," jawab Benji cuek sambil menutup pintu dan duduk di sampingku.

"Ya kan malu sih, Jek. Lo juga nggak mungkin nggak pake kolor di depan gue kan?"

"Pernah kok. Lo lupa pernah mergokin gue lagi o-"

"Aaaaaaaaa!!!! Aaaaaaaa!!!! Nggak denger!!! Nggak denger!!!!"

Fyi, begitu tahu Benji gay, aku memutuskan untuk patungan dengannya menyewa flat murah di dekat universitas dan keluar dari Dorm. Selain karena jauh lebih enak bareng Benji, teman satu dorm-ku sama sekali nggak menyenangkan. Dia suka menyelundupkan pacarnya ke kamar saat aku lagi nggak di dorm, membuat kamar kami kotor dan bau. Pas kutegur, eh dia ngeyel. Dia bilang dia nggak menggangguku, karena dia nggak pernah melakukannya saat ada aku, dan di atas ranjangnya sendiri. Tapi baunya kan seruangan, dan dia bersih-bersihnya nggak bersih sama sekali. Dasar nggak punya otak.

Nah, di flat yang kami sewa, kamarnya ada dua, jadi aku nggak peduli kalau Benji membawa cowoknya ke apartemen. Aku tinggal memasang  headset dan memutar lagu kencang-kencang. Benji juga cukup tahu diri, biasanya dia pacaran di tempat pacarnya, bukan di flat kami.

Masalah muncul saat suatu kali, aku nggak sengaja melihat dia lagi masturbasi di kamarnya, sambil nonton film porno. Yang kusyukuri hanya satu. Yang kulihat hanya layar komputernya dan punggung Benji dan tangannya yang bergerak. Tapi aku nggak pernah melihat milik Benji dan selamanya akan begitu.

Jangan sampai aku lebih rusak dari ini.

Benji merangkulku dan mengecup pipiku dengan cepat, lalu tertawa saat aku mendorongnya.

Aku buru-buru bangun dari ranjang dan mengambil bra, lalu menuju kamar mandi sambil menggerutu. Lima menit kemudian, aku yang sudah mengenakan pakaian dengan benar, kembali naik ke ranjang dan duduk di sebelah Benji yang sudah menjarah cemilanku.

"Cerita-cerita dong, Neng. Gimana SG? Dia tahu lo ulang tahun nggak?"

"Lo udah kayak mak-mak tukang rumpi, tau nggak? Ko Felix pasti illfeel kalau tahu lo cerewet kayak gini," keluhku, dan Benji tertawa.

"Ayolah, buruan. Gue mau pulang cepat nih. Ntar baby gue kangen."

"Najis lo!!"

Namun aku tetap saja bercerita padanya, full tanpa ada yang kututupi. Dan benar saja, dia menertawakanku habis-habisan karena kami nggak lanjut.

"Tapi dengan begitu gue jadi yakin dia benar-benar sayang sama lo, Neng," kata Benji di sela tawanya. "Gila, bisa berhenti pas udah nanggung gitu?? Pengendalian dirinya sih kuat banget. Lo yakin dia nggak gay kan?"

"Nggak lah," jawabku cepat. Aku kan nggak bodoh. Kalau dia gay, nggak mungkin itu-nya bisa keras gara-gara aku.

"Gue respek lah sama laki lo," kata Benji sambil meninju bahu kirinya dengan kepalan kanannya.

"Oh, ya, Ben. Visa Amrik lo masih berlaku?" tanyaku, tiba-tiba ingat sakit kepalaku tadi pagi.

"Masih. Kenapa- Oh sh*t. Lo sakit kepala lagi?"

Benji menatapku khawatir, dan aku hanya nyengir.

"Gue baru email Dokter Reagan. Kalau dia nyuruh gue ke sana, lo temenin ya."

"Sejak kapan sakit lagi?"

"Ya, kan kadang-kadang emang sakit. Cuma tadi pagi lebih sakit dari biasanya," kataku, dan Benji mengerutkan keningnya.

"Oke. Tar kabarin gue, gue temenin."

Lalu Benji diam, akupun ikut diam. Benji jarang diam saat bersamaku, jadi aku tahu kalau saat ini dia sedang berpikir.

"Eh, Li. Lo ngasih tau Terry nggak?"

Aku menggeleng.

"Kenapa? Dia kan calon laki lo."

"Nggak ah. Bukan penyakit parah ini." Aku nggak mau Terry khawatir berlebihan, yang pasti terjadi jika dia tahu, menilik sikapnya ke aku. Aku cukup dikhawatirin Benji aja, yang lain nggak perlu tahu.

"Tapi-"

"Tolong jangan kasih tahu siapa-siapa ya, termasuk Ko Felix. Hanya lo yang bisa gue percaya, Ben. Please."

Benji menatapku tidak setuju, sama tidak setujunya seperti lima tahun yang lalu, saat aku minta dia merahasiakan diagnosa dokter Reagan dari keluargaku. Namun seperti waktu itu juga, dia dengan berat hati mengangguk.

"Gue bisa gila lama-lama punya sahabat kayak lo, Neng. Sumpah gue nggak mau ikutan kalau kita ketahuan laki lo dan dia ngamuk."

"Itu urusan gue, Ben. Thank you ya. You are the best."

Aku melirik ponselku dan melihat notifikasi email. Aku menghela nafas panjang dan meyakinkan diriku sendiri, kalau aku mengambil keputusan sesuai kata hati aku. Aku tidak peduli aku benar atau tidak, tapi inilah aku, ini caraku mengatasi masalahku. Tanpa campur tangan orang lain, hanya Benji.

Aku tahu Terry mencintaiku dan sayang sekali denganku, tapi dia nggak tahu sisi diriku yang ini. Dan aku takut dia membenciku karena ini. Aku belum siap menerima rasa lain darinya. Mungkin aku nggak akan pernah siap.

Tbc

Kira-kira ketebak lah ya, ceritanya bakal dibawa ke mana.

Sorry for typos.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro