Part 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Another Way to Love

###

Part 2

###

"Apa Diaz tahu apa yang kaulakukan di belakangnya, Nina?"

Pertanyaan Kinan membuat Nina tersentak dan membeku di tempatnya berdiri. Wajahnya memucat dan tak akan bisa lebih pucat lagi mengingat siapa yang baru saja ditemui dan siapa yang tengah memergokinya saat ini. Sialan, ternyata Kinan membuntutinya. Seharusnya tadi ia tak perlu menyapa wanita itu. Kebodohan apalagi yang kaulakukan, Nina! rutuknya.

Pria itu benar-benar menyulitkannya. Sambil bersumpah bahwa pria itu tak akan mendapatkan apa pun jika sampai hubungan mereka terbongkar.

"Apa kau sudah menemukan pengganti untuk Diaz yang tercintamu itu? Sepertinya wajahnya cukup tampan, meski tidak setampan Diazmu ataupun Adamku."

"Itu bukan urusanmu, Kinan," geram Nina. Berjuang terlihat setenang dan senormal mungkin ketika matanya bertatapan dengan Kinan. Membuka pintu mobil dan bersiap masuk. Tak perlu banyak basa-basi dengan Kinan atau reaksinya malah akan mengundang kecurigaan.

"Wajahnya juga terlihat familiar bagiku," Kinan mengerutkan kening. Telunjuknya yang bercat merah mengetuk-ngetuk kepalanya tampak mengingat-ingat sesuatu, dan tentu saja ia tak butuh waktu lebih dari satu menit untuk mengingat.

Nina menoleh dengan cepat. Wajahnya kembali sepucat kapas. Tidak mungkin Kinan mengenali pria semacam itu. Tidak boleh!

"Kau terlihat ketakutan, Nina?" Seringai Kinan semakin lebar. "Kau tidak mungkin punya hubungan yang serius dengan pria yang mencoba membunuhku dengan merusak rem mobilku, kan?"

Tentu saja Kinan tahu siapa pria itu. Hanya cukup satu kali ia melihat wajah pria itu di cctv untuk menanamkan di ingatannya. Bagaimana dia lupa? Gara-gara pria itu Kinan harus merayu dan berakhir dihamili oleh Ario. Gara-gara pria itu ia kehilangan Adam.

"Kau benar-benar sebuah kejutan yang besar, Nina."

Nina mengerjap, menutupi gemetar yang mulai menyerang. Mencoba mendapatkan pengendalian dirinya kembali saat menyangkal, "Apa maksudmu, Kinan? Aku sama sekali tidak tahu apa yang kaukatakan."

Wajah Kinan mengeras. Ia tak pernah bisa mengendalikan emosinya, terutama jika itu menyangkut Adam. Dalam satu gerakan cepat, ia sudah menempatkan satu tamparan yang sangat keras di pipi kiri Nina.

Kepala Nina berputar, seringai dan tawa kecil di bibir mengalihkannya dari rasa sakit di pipi. Saat wajahnya terangkat, senyum licik membalas tatapan Kinan. "Tuduhan yang sangat serius, Kinan. Apa kau punya bukti?"

Kemarahan Kinan benar-benar sampai di batas ambang kesabaran, tapi sayangnya batasan itu tak pernah ia miliki. Ia juga tidak punya apa pun yang membuktikan bahwa Ninalah pembunuh Adam. Bukti cctv itu sudah lenyap. Namun, ia punya kemarahan yang menggelegak dan siap diluapkan pada orang yang tepat.

Nina tak sempat menghindar, tiba-tiba saja Kinan menarik rambutnya. Kepala Ninan terdongak ke atas dan mengaduh.

"Kau ingin bukti?" Kinan menahan tangan Nina yang berusaha memukul perutnya. "Aku tak perlu bukti untuk membuatmu benar-benar kehilangan Diaz. Aku bersumpah akan membuatmu begitu menyedihkan di mata Diaz hingga dia tak akan melirikkan mata padamu sedikit pun. Selamanya kau akan sengsara dengan tatapan penuh kebencian yang dimiliki Diaz untukmu. Kau bahkan tidak akan bisa tidur mengingat tatapan menjijikkan yang diberikan Diaz untukmu."

Nina mendesis kesakitan dan berusaha melawan lagi. "Kaupikir Diaz akan percaya padamu?"

"Apa kaupikir aku tidak bisa melakukan itu?"

"Apa kau pikir aku takut?" desis Nina tajam. Salah satu tangannya terbebas, tanpa menunda lagi ia melayangkan satu tamparan sangat keras di pipi Kinan. Wanita itu memekik dan tanpa sadar mendorong tubuhnya ke pintu mobil yang terbuka.

Kinan mengusap pipinya yang terasa nyeri bercampur panas. Dengan penuh kebencian ia memandang tubuh Nina yang tersungkur di samping mobil. Wanita itu mengerang kesakitan dan kedua tangannya memegang sisi perut.

"Kau ...." Kinan tak melanjutkan kalimatnya. Hantaman cukup keras di punggungnya membuatnya terjatuh ke rumput dengan keras. Lalu serangan nyeri itu naik ke kepalanya dan mengaburkan pandangannya.

"Apa kau ingin aku melakukan tugasku dengan benar kali ini?" Suara pria yang tiba-tiba muncul perlahan semakin menjauh saat kesadaran dicabut dari tubuh Kinan.

***

Ario memperhatikan lalu lalang kendaraan yang padat dari jendela mobil. Kesibukan di siang hari memang begitu membuat kepalanya pusing. Seharusnya ia mengatur pertemuan itu di malam hari.

"Tuan Farick sudah menunggu," lapor Doni saat menghentikan mobil di halaman sebuah restoran western. Pria itu segera turun dan mobil dan berputar membukakan pintu mobil untuk Ario.

Ario menghela napas. Ayah yang tak siap untuk anak yang tak disangka. Mungkin hal yang terburuk, tapi itu juga bukan hal yang terbaik yang datang di hidupnya. Ia memang harus mengurus semuanya.

"Tuan Farick," sapa Ario dengan senyum di bibir penuh maksud terselubung. Beramah tamah adalah salah satu hal untuk membuat lawan terbuai. Ia mengambil tempat di kursi kosong depan Diaz.

"Apa yang kau inginkan?" Berbeda dengan Diaz yang sama sekali tak mau membuang energi untuk berpura-pura baik dan membuang waktu lebih lama dengan pria itu. Meskipun Diaz bukanlah pria yang memedulikan pandangan publik ketika kepergok berhubungan dengan mafia kelas kakap seperti Ario Bayu, ia hanya tak mau membuang waktu terlalu banyak hanya untuk mengurusi kekacauan yang dibawa Kinan pada kehidupannya.

Senyum di wajah Ario seketika lenyap digantikan ekspresi dingin oleh sikap Diaz yang tak butuh basa-basi di sana-sini sedikit pun. "Menurut Anda?"

"Aku tahu hubunganmu dengan Kinan, dan kurasa kita juga tak butuh penjelasan panjang lebar untuk masalah ini."

Ario mengangguk-angguk mengerti sambil mengusap-usap dagunya dengan tenang. Ia ingin mengobrol lebih lama, tapi sepertinya lebih cepat lebih baik jika lawannya semudah ini.

"Kami akan bercerai," Diaz melanjutkan.

Ario mengerutkan alis, meskipun tak heran dengan pernyataan Diaz, ia tetap bertanya, "Kenapa?"

"Kau tahu alasannya,"

Mata Ario menyipit penuh selidik ke arah Diaz, "Anda begitu mudah melepaskan seorang istri yang berselingkuh di belakang Anda. Apakah ada sesuatu yang tersembunyi di dalam pernikahan kalian?"

"Kurasa bukan urusanmu untuk tahu lebih banyak mengenai rumah tanggaku."

Ario terkekeh. "Anda benar."

"Tapi, hubungan kami hanyalah sebatas pernah menghabiskan satu malam bersama. Saya tahu istri Anda masih tetap mencintai Anda, saya bisa memastikan hal tersebut. Semua yang terjadi di antara kami hanyalah kecelakaan semata."

"Dan aku tak butuh omong kosongmu," desis Diaz mulai kesal dengan ekspresi mengejek yang berkilat di mata Ario. "Itu urusanmu dengan Kinan dan aku tak mau tahu lebih banyak lagi."

"Saya tidak tahu harus berterima kasih ataukah sebaliknya dengan keputusan Anda ini."

Diaz tak berkomentar apa pun.

"Sungguh Anda suami yang baik hati karena dengan sukarela memberikan istrinya pada orang lain yang lebih bisa membahagiakannya." Kali ini Ario benar-benar berkata dengan tulus, meskipun dengan raut kelicikan yang tersemat di pujian tersebut. "Pantas saja semua wanita rela untuk menjadi madu Anda, tuan Farick."

"Membahagiakannya?" dengkus Diaz, "Apa kau yakin? Dengan latar belakang yang kau miliki, apa kau yakin akan membuat Kinan dan anaknya bahagia."

Ario tersenyum masam, rupanya Diaz tahu dengan siapa pria itu berhubungan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan menggaruk dagunya yang tidak gatal, Ario berkata lagi, "Sayangnya hal itu juga tidak menghentikan saya untuk meminta Kinan pada Anda."

"Itu sudah seharusnya," sahut diaz dingin, "mungkin kau bisa mengabaikan wanita yang pernah menghabiskan satu malam denganmu, tapi kau tak bisa mengabaikan darah daging yang tengah bertumbuh di dalam perut Kinan. Bukankah itu alasanmu menelfon dan memintaku menemuimu di sini?"

Ario hanya tersenyum kecut dengan penjabaran Diaz. Sejak meniduri Kinan, ia tahu dirinyalah pria pertama wanita itu. Bagaimana mungkin dengan usia pernikahan Diaz dan Kinan yang menginjak tahun ketiga, pria itu sama sekali tak pernah menyentuh istrinya. Dengan tubuh seseksi dan semulus Kinan, sangat tidak mungkin jika ada seorang pria yang mampu menahan gairahnya. Tubuh wanita itu selalu mampu membuat pria mana pun berfantasi dengan begitu liar.

"Bolehkah saya bertanya satu hal pada Anda sebelum kita berpisah, tuan Farick?" pertanyaan Ario mencegah Diaz untuk berbalik.

Diaz hanya diam. Tak mengiyakan maupun menolak.

"Bagaimana keadaan kehamilan istri kedua Anda?"

Rahang Diaz seketika menegang, tangannya terkepal menahan keinginan untuk meninju wajah Ario, "Aku tidak pernah ingin ikut campur urusanmu dengan Kinan, akan lebih baik jika kau juga tak mengurusi urusanku juga."

Senyum kepuasan melengkung lebar di bibir Ario sambil mengamati punggung Diaz yang menjauh. Reaksi pria itu menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya.

Senja ....

Kinan ....

Hanya mereka berdua wanita yang tidak jatuh di telapak kakinya. Saat kau di kelilingi wanita yang begitu memuja dan tak segan-segan melemparkan diri ke dalam pelukanmu, tentu saja hal itu sangat menarik perhatianmu.

Selain itu, kecantikan mereka benar-benar menawan Ario. Memikat hatinya dengan keindahan yang mereka miliki dengan cara berbeda. Keindahan dan kecantikan mereka benar-benar memanjakan mata dan hatinya. Tidak cukup gila untuk menginginkan kedua wanita di hidupnya, bukan?

'Betapa beruntungnya Farick satu ini.' Sekali lagi Ario memuji keberuntungan Diaz.

"Tuan?" Panggilan Doni yang tiba-tiba muncul di dekatnya membuyarkan lamunan Ario.

Ario menoleh. "Bisakah kau mencari tahu tentang Alluna Senja?"

"Huh?" Doni bertanya bingung. Kemarin Ario meminta berkas tentang wanita bernama Kinan yang tengah hamil anak pria itu, dan sekarang bosnya itu meminta berkas tentang wanita yang lain. Seharusnya ia tidak mengherankan hal tersebut, mengingat jejeran wanita-wanita yang mengantri untuk melemparkan diri ke pelukan Ario Bayu.

"Mungkin kau juga perlu mencari tahu rutinitas hariannya," tambah Ario.

"Tapi, Tuan. Bagaimana dengan wanita bernama Kinan? Yang tengah ...."

Ario berdiri. Masalah selesai semudah ini, tapi dorongan membuat semuanya rumit tiba-tiba muncul di kepala. Lalu, seringai di bibir Ario naik lebih tinggi. "Kinan akan datang padaku, Don. Sekarang, aku hanya ingin bermain-main sedikit."

Hanya sedikit ....

***

Thursday, 17 January 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro