Demo dan Kumpul Bocah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mei 1998. Kami takkan bicara soal kerusuhan. Toh saat itu, kami masihlah bocah ingusan dengan sepeda roda tiga yang masih senang mengompol selagi tidur.

Hari itu, aku ingat sekolah sedang libur. Keadaan di luar sana begitu kacau hingga sekolah pun tutup. Berita soal polisi yang mengejar-ngejar pemuda berjas keren itu menggantikan tayangan kartun kesukaanku. Aku ingin bermain dengan teman-temanku yang rumahnya satu jajar dan satu RT.

"Budi! Main yuk!"

Anak bertubuh bongsor itu Budi. Dia tinggal di seberang rumah. Ia tidak pernah ke luar rumah setelah maghrib. Bayang-bayang sesosok kuntilanak dari pohon jambu air depan rumahnya cukup membuatnya enggan tinggalkan rumah meskipun untuk pergi mengaji setelah Maghrib.

Hari itu, si Budi kusut.

"Bud, kenapa?"

"Si Stefan pindah. Katanya dia gak bakalan main lagi sama kita."

Stefan yang dia maksud adalah bocah peranakan Tionghoa yang juga teman kami semasa kecil. Ia terpaksa pindah mengikuti kedua orang tuanya setelah melihat berita kerusuhan di Jakarta. Rasisme tak terelakkan terjadi di masa itu. Cerita kengerian Mei 1998 membekas di telinga sebagian orang yang pernah merasakannya. Untung saja, aku hanyalah penduduk pinggir kota Bandung. Keadaan Bandung saat itu relatif aman bagi kami untuk bermain.

Geng bermain kami terasa berbeda tanpa keberadaan Stefan. Suaranya jauh lebih melengking daripada badan besar Budi. Nyalinya besar apalagi bila pegang senjata mainan. Cita-citanya ingin jadi seperti Ksatria Baja Hitam. Apa kabarnya sekarang?

Hari demi hari berjalan lambat setelah kerusuhan. Sepanjang jalan, orang-orang berjas warna-warni berjalan selagi teriakkan yel-yel dari luar jendela angkot.

"Bu, aku mau jas kayak gitu!" pintaku.

"Sekolah yang bener baru bisa dapet jas warna-warni kayak gitu," jawab Ibu. Saat itu, aku belum tahu jas warna-warni itu bernama jas almamater. Pakaian kebanggaan para mahasiswa dan harga diri mereka.

Sekolah masih libur. Keadaan masih berbeda tanpa keberadaan Stefan.

"Main apa lagi nih?"

Bocah berkacamata itu Hadi. Bapaknya seorang tentara yang sedang pergi bertugas. "Kita main demo-demoan kayak di TV aja yuk!"

"Demo itu apa?" dan si kurus itu namanya Tono. Dia senang jajan, tapi badannya tidak besar-besar seperti Budi.

"Kata berita, itu lho orang-orang yang bawa karton pake tulisan gede-gede terus teriak-teriak pake jas warna-warni," balas Hadi.

"Tulisannya dikasih tulisan apa?" tanya Budi.

"Minta Chiki dua karung biar dapet Tazos banyak!" seru Tono.

"Minta sama Pak Ustadz biar gak setrap terus gara-gara lupa Juz Amma!" balas Budi berapi-api.

"Kamu tuh sering kena setrap. Soalnya gak pernah ngaji di masjid," balas Hadi.

"Abis kuntinya nyeremin. Apalagi kalo malam Jum'at Kliwon. Suka keluar di pohon jambu depan rumah!"

"Lagian salah sendiri sering nonton film hantu. Didatengin kuntilanak baru tahu rasa 'kan?"

Pada masa itu, film hantu bisa tayang di siang hari. Anak-anak seusia kami sering membicarakannya di sekolah. Tidak nonton film hantu sama saja seperti pengecut.

"Kalo Juki mau demo apa?" tanya Tono.

"Beliin Juki permen karet setoples!"

"Aku jadi tentara aja ya. Biar bisa kayak bapakku di TV!" seru Hadi selagi membusungkan dadanya.

Andai saja Stefan masih ada di sini, ia mungkin akan meminta Ksatria Baja Hitam diputar ulang setiap hari.

Kami lalu bermain dengan membeli kertas, mencorat-coret tulisan dengan krayon, lalu berteriak-teriak seperti mahasiswa di TV. Hadi ambil selang panjang di depan rumahnya lalu menyirami kami yang berlari seperti dikejar anjing. Bicara soal anjing, untung saja anjing di sebelah rumah Hadi sudah tidak ada. Dulu kami berlima selalu dikejar anjing bila sedang mengambil bola yang masuk ke halaman rumah di ujung jalan.

Ketika kami berteriak-teriak dengan baju berwarna-warni kebesaran dari rumah, kertas di tangan dengan corat-coret krayon, dan tentu saja basah kuyup, Nindya datang. Dia satu-satunya anak perempuan yang tinggal di RT 01 dan sebaya dengan kami.

"Main apa sih?" tanya Nindya di depan pagar rumahnya.

"Main pake jas warna-warni sambil teriak-teriak kayak orang di TV. Jangan lupa bawa kertas sama tulisannya," jawab Hadi.

"Ikutan dong! Awas kalo gak nungguin!"

Nindya yang sehari-harinya sering pakai celana pendek kini kenakan jaket kebesaran milik ibunya. Coba tebak apa yang ia tulis di kertas dengan pensilnya?

"Beliin aku Barbie sama rumah-rumahnya!"

Ternyata si gadis tomboi itu senang memainkan boneka Barbie, layaknya anak gadis lainnya. Pada masa itu, boneka Barbie tergolong mahal apalagi bila harus membeli dengan rumahnya. Para anak perempuan di kelasku sering pamer koleksi boneka dan rumah-rumahannya.

Kami berteriak dengan kertas di depan rumah Hadi. Lagi-lagi Hadi mengejar kami dengan selang air dari rumahnya. Permainan selesai setelah Ibu Hadi menjewernya lalu memaksanya masuk.

Stefan boleh tidak ada. Keadaan di sekitar bolehlah kacau akibat demo dan kerusuhan. Namun anak-anak tetaplah diri mereka yang polos dan menikmati permainan di tengah masalah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro