Gajah dan Semut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku Gori. Bukan karena badanku sebesar gorila jadi namaku seperti itu. Gori itu singkatan Gogon dan Risma, nama dari kedua orang tuaku. Badanku tinggi besar, tapi tidak berbulu seperti gorila apalagi genderuwo. Mukaku masih lebih baik daripada Mandra apalagi Sapri. Masih di bawah Raffi Ahmad sedikit. Setidaknya ketampananku tidak tersaingi oleh orang utan.

Dia Samson. Badannya kecil. Anak kelas 4 SD pun masih lebih tinggi dari badannya. Dia anak tetangga yang tinggal di samping rumah dan tentunya sahabatku sejak kecil.

Dulu, orang-orang memanggil kami "Samson dan Pampam". Aku bukanlah si Pampam besar yang sering bicara logat Jawa ngapak yang selalu gosong terkena serangan balik senjata dari raja tuyul apalagi semburan api si Kentang.

Ketika aku masih SMA, aku dan Samson selalu dikatai "gargantuar dan imp" saking populernya game Plants vs Zombies pada saat itu. Ke manapun kami pergi, kami selalu berdua dengan Samson sebagai "bosnya".

Samson lebih aktif dibandingkan dengan diriku. Dia memang pendek, tapi pandai. Dia pandai dalam pelajaran, supel, dan memiliki tampang yang lumayan. Kadang orang-orang mengataiku anak buah Samson yang bertubuh besar dan nyaris tak bisa bicara.

Sebenarnya aku ....

"Son, panggilin Anya gih," bisikku pada Samson di kantin. Saat itu, jantungku berdegup tak karuan ketika sang bidadari jatuh dari surga tepat di hadapanku.

Namanya Anya. Bidadari kelas 2 IPA 3. Kelasnya bersebelahan dengan Samson. Bagi orang, standar cantiknya tergolong biasa. Tidak secantik Pevita Pearce apalagi Maudy Ayunda. Dia memiliki senyuman manis dengan rambut hitam kinclong bak model iklan sampo ketika rambutnya tergerai angin. Dia sangat cantik ketika sedang tersenyum. Berada di dekat meja kantinnya membuat jantungku berdenyut tak karuan.

Samson menyikut badanku. "Buruan gerak. Si Anya udah mo cabut nih!"

Ini sudah ketiga kalinya kami berpapasan dengan Anya secara langsung. Wajar bila Samson menyikutku. Sudah tiga kali mendapat kesempatan, tapi lidahku selalu terkunci di depan Anya. Apalagi mengingat badanku yang tinggi besar dengan tampang pas-pasan. Mana mau bidadari secantik dirinya bersama denganku!

Kerlingan matanya membuatku mematung sesaat. Samson isyaratkan aba-aba agar aku mendekat.

"Anya!"

Suara lantang Samson membuat rambut iklan samponya berayun lemas dalam 360 FPS.

"Son," bisikku. Ia pun membalas dengan sebuah tepukan di punggung.

"Good luck, Bro!"

Kedua mata kami saling bertaut. Pikiranku mengepulkan kata-kata yang tak sampai ke dua lapis tebal bibirku.

"Kamu Gori anak kelas IPA 2 ya? Ada apa?"

Alamak! Senyumnya berhiaskan berlian berkilauan di seluruh wajahnya!

"Bro, tuh udah dikasih kode," bisik Samson selagi menarik seragamku.

Anya berkedip. "Kalo gak ada urusan, aku ke kelas dulu ya."

"Anya! Si Gori suka sama kamu!"

Kusumpal mulut ember bocor Samson senyaring kaleng rombeng di kantin. Semua orang di kantin saat itu melongo. Mereka pasti bergunjing karena wajah dan penampilanku. Begitupun Anya. Dia lalu membalas dalam cekikik santai.

"Maaf ya, bukannya gak suka. Masa aku terima cowok yang nembak gitu aja? Lagian aku juga gak kenal dan akrab sama Gori. Kita temenan aja ya?"

Perkataan Samson tadi menyambar tubuhku. Aku kehilangan muka untuk kembali ke sekolah. Ragaku kopong. Jiwaku melayang mengejar para pocong dan kuntilanak yang nongkrong di kuburan dekat sekolah.

Sore itu, Samson menghiburku sambil nongkrong di pos ronda dekat rumah.

"Gor, jadi cowok itu kudu jantan. Kudu berani ngomong. Gimana bisa nikah kalo nembak cewek aja gak bisa sih?"

"Masalahnya itu, Son."

"Gak bisa ngomong? Lah itu emang penyakitmu dari zaman TK. Diledekin sama geng si Supri aja mewek padahal badannya gede. Disuruh guru SD buat pidato aja malah diemnya hampir 10 menit. Presentasi tugas aja kudu dikit-dikit ditemenin. Kapan bisa ngomongnya kalo dikit-dikit diem terus, Gor? Malu tuh sama badan!"

Samson benar. Andai saja bila aku lebih berani untuk bicara, mungkin aku bisa dekati Anya.

"Gak usah terlalu dipikirin amet, Bro. Anggap aja ini pelajaran biar bisa ngomong langsung di depan orang lain. Barangkali emang Anya bukan jodohmu kok. Kadang jodoh kita itu pacar orang lain. Jadi, masih banyak cewek yang mau sama kamu. Cuman itu tuh. Sifat kamu yang kelewat diem-dieman mulu kudu berubah."

Aku mengangguk. Samson benar. Jika ingin mendapatkan apa yang kumau, aku harus berusaha. Setidaknya dengan bicara.

Hari itu aku sangat bersyukur bisa punya teman pengertian seperti halnya Samson. Ia benar. Jodohku bukanlah Anya. Jodohku justru Nisa, mantan pacar ketua OSIS SMA-ku dulu yang bertemu di saat KKN.

"Nah, dibilang juga apa. Akhirnya laku juga 'kan?" goda Samson selagi aku berdiri bersama Nisa di pelaminan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro