Penolakan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari itu, dunia serasa terbalik. Aku dipecat dari pekerjaanku ketika berada dalam zona nyamannya. Kehidupanku hancur berkeping-keping. Aku tak pernah berbuat salah apapun selama bekerja. Aku selalu menuruti perintah atasan dan sebisa mungkin jauhi masalah dengan kolegaku di kantor.

Saat itulah titik terdalam dari hidupku. Setelah selama duduk di bangku sekolah menjadi korban perundungan tak berkesudahan selama 10 tahun, masa kecil penuh siksaan, lalu berakhir seperti ini. Rasanya aku tak pernah mendapatkan sedikit keadilan. Salah apa hingga harus mendapat hukuman setega ini? Hidupku bagaikan terasing di pulau terpencil. Sendiri dan menyedihkan.

Aku bahkan tak ingin lakukan apapun. Akhiri semua penderitaan ini? Aku masih percaya tangan-tangan Tuhan yang menunjukkan jalan dan kebajikan-Nya di dunia. Toh doa orang teraniaya saja dikabulkan apalagi hidup teraniaya bisa berubah.

Kutepikan xanax di sudut kamarku. Aku tak ingin sebutir obat sebesar biji pepaya itu kendalikan hidupku. Itu memang dari resep psikiater, tapi tetap saja hidup dalam obat-obatan itu tidak enak.

Apa yang salah dari diriku? Seketika pertanyaan itu berulang kali berdengung di telingaku.

******

"Aargh! Kurang dramatis!"

Ingin rasanya ia pecat semua kata-kata di depan layarnya layaknya Donald Trump dalam The Apprentice! Sudah lebih dari tiga jam, gadis itu berkutat di depan laptop bersinar biru menyala terang. Jarinya berdansa dalam irama samar mengalun di kepalanya di balik alunan Altale dari speaker komputernya.

https://www.youtube.com/watch?v=ikr59Iplnlo

Ketika mendapat all charming lagu itu dirasa mustahil, ia berpindah menuju tuts-tuts keyboard agar mendapat semua all charming dalam tulisannya. Nyatanya, mendapatkan penghargaan berkat tulisannya tidak semudah memainkan Deemo!

Ia tekan tombol unggah pada situs berlatar belakang jingga terang di depan matanya. Dalam perasaan campur aduk, ia berharap tulisannya memancing perhatian sepasang dua pasang mata yang singgah akan karyanya.

Nyatanya ....

20 views 10 votes 0 comments

Mulutnya merengut kecut selagi tangannya memagut dalam kemelut di atas meja belajarnya.

"Meh. Kurang promosi apa coba?" gumamnya.

Itulah dilema seorang, sebut saja, Dita. Seorang gadis di awal 20 tahun, fresh graduate, dan belum mendapatkan satupun panggilan pekerjaan. Ia sering mengisi waktu dengan membuat desain grafis sesuai pesanan lewat situs internet dan jejaring sosialnya. Lambat laun, ia abaikan lamaran pekerjaan demi kegiatan barunya yang lebih mendulang pundi-pundi rupiah berbekal perangkat lunak desain andalannya.

Orang-orang kerap menganggapnya seorang sarjana desain padahal sebenarnya ... programmer yang membenci program sampai ke ubun-ubun! Jangankan harus berurusan dengan program, SDLC, DevOps, dan segala tetek bengeknya. Tatkala mendengar namanya saja pun, ia langsung kehilangan nafsu makan!

Keinginan terbesarnya pun menjadi penulis dongeng anak-anak. Kedua orang tuanya mencemooh mimpinya dan berpikir realistis dengan memasukkannya ke jurusan kuliah bonafide.

Dunia anak-anak selalu menghisapnya hingga terbawa ke dimensi lain. Bermain dengan warna-warna indah, makhluk fantasi di dunia penuh imajinasi, dan jamur-jamur gemuk beratap payung menaungi dirinya dari terik matahari. Itulah alasan di balik nama pena yang melekat di setiap akun miliknya, trufflelocker. Seorang penggemar jamur yang gemar menggambar desa dengan rumah-rumah jamur mengikuti lekuk tanah berceruk halus dengan warna-warna indah.

Sayang, tangan kanannya tak bisa bergerak leluasa menorehkan graphic pen untuk melukiskan imaji kekanakannya setelah kecelakaan motor hebat yang pernah ia alami sewaktu kuliah. Mimpinya rontok sebagai penulis dongeng anak-anak.

Tidak. Mimpinya belum berakhir.

Suatu ketika, ada salah seorang pelanggan tetapnya di akun media sosial memintanya membuat sebuah cover untuk cerita miliknya. Meskipun tangan kirinya tak bisa menggambar semahir dulu, ia masih bisa menggunakan aplikasi grafis seperti dulu.

"Truffle-chan, buatin gini dong," pinta seorang klien lewat pesan akun Facebook-nya. Ia amati setiap permintaan kliennya tanpa kecuali. Baginya, klien adalah raja. Klien juga sumber kebahagiaannya sebagai desainer lepas. Hari itu, sang klien memintanya untuk bertemu di sebuah kedai kopi Kulo, tidak jauh dari rumah Dita.

"Eh, ternyata Truffle itu Dita. Apa kabar?"

Wanita cantik itu Irene, pernah satu kelas dengannya di kelas VII SMP. Ia tidak begitu akrab dengan teman-teman sekelasnya. Itu sebabnya ia bicara seperti seorang desainer bertemu dengan kliennya.

"Desainnya mo kayak gimana? Buat paperback, hard cover, e-book, limited edition, ato kayak gimana?"

"Ih, kok dingin banget sama temen sendiri."

"Aku masih ada tiga job yang kudu beres minggu ini. Jadi waktuku gak banyak. Itu cover-nya buat apa ya?"

Irene sesap kopi dingin di depannya.

"Jadi gini lho. Aku tuh dilamar sama penerbit dari Wattpad. Nah, masa sih buku mau naik cetak jadi e-book sama fisik cover-nya masih gak beres? Aku juga kurang sreg sama cover dari desainer penerbit. Makanya minta sama Truff—eh Dita."

Perkenalannya dengan dunia jingga bermula dari pertemuannya dengan Irene tiga minggu lalu. Kini bibirnya menciut di depan layar. Apa salah dari tulisannya hingga tak satupun membaca?

Dita sudah mempromosikan besar-besaran di semua akun media sosialnya. Beberapa klien pelanggan tetapnya antusias dengan karyanya di dunia jingga itu. Namun, jumlah pembaca dan pengikutnya masih stagnan.

truffle-chan

[at]trufflelocker

1 karya, 1 daftar bacaan, 10 pengikut

Begitupun dengan karyanya yang baru saja diunggah.

Diari Depresiku

21 views 10 votes 0 comments

Jumlah pembacanya baru bertambah satu berkat pembaharuan naskah dari versi web. Bukan dari pembaca yang datang.

Dita bungkukkan tubuhnya di depan komputer. Selama tiga minggu ini, ia belajar intensif soal menulis. Ia ikuti saran dari klub penulis dan para penulis populer. Kadang juga ia jelajahi satu persatu karya di dunia jingga itu—meskipun ia sendiri lebih senang membaca dengan aroma buku daripada menatap monitor berlama-lama.

Apa salah seorang Dita? Ia sudah ikuti saran para penulis populer dengan promosi rutin di akun media sosialnya di sela-sela mendengar permintaan para klien. Ia juga sudah membuat jurnal dan kerangka karangan dari ceritanya. Ia taati setiap pasal dalam PUEBI dan membuka ulang buku catatan MKU Bahasa Indonesianya. Ia juga pelajari cara pembuat skenario menyusun cerita dari koleksi film favoritnya yang menumpuk di dalam hard disk eksternal.

Hasilnya nihil.

Dita mencoba menahan diri agar tidak mengeluh. Toh baru dua minggu dirinya berada di dunia jingga itu. Ketika jumlah pembaca dan followers yang tetap saja stagnan, tak ada artinya popularitasnya di dunia maya sebagai seorang desainer freelance jempolan bila tak bisa mewujudkan mimpinya. Dita ingin menangis. Mimpinya yang semula ia pikir di depan mata berubah menjadi hambatan.

Ia ingin banting monitor LED yang baru dibelinya dari uang hasil jerih payahnya menangani desain para klien.

Hati kecilnya berkata untuk membuat cerita anak-anak impiannya. Realitanya? Ia menulis cerita lain di luar panggilannya demi memanggil seorang dua orang pembaca.

Di tengah perasaan kacaunya, sebuah pesan masuk dalam ponsel di sampingnya.

Michael Taslim

Dit, aku udah baca ceritamu lho.

Ceritanya asik lho cuman plot sama narasinya kurang. Coba deh benerin lagi terus terbitin. Abis itu traktiran ya :v

Anindita Syarifah

Dasar. Thanks ya, Mike.

Dita tersenyum berkat pesan masuk di ponselnya. Pesan dari Mike, sahabat yang ia kenal lewat game daring, membangkitkan semangatnya untuk menulis. Toh ia sudah lebih dulu berprasangka tulisannya takkan ada yang baca.

Hari itu sesimpul senyuman mengembang di wajahnya. Biarlah jemarinya menulis meskipun tak seorangpun membacanya. Ketika kata-kata bernyanyi dan jemarinya menari, itu adalah langkah kecil menuju mimpinya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro