Lelaki yang Bersembunyi dalam Buku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lelaki yang Bersembunyi dalam Buku
By mustakjiddan


Baru kali ini Wulan merasakan desir-desir aneh. Ia tak tahu apa namanya. Jangankan memikirkan namanya, mengendalikannya saja susah. Ada banyak rasa sedang berkecamuk, ia tak bisa mengidentifikasi satu per satu. Yang pasti perasaan ini beda dengan ketika kali pertama ia jatuh cinta. Beda pula dengan perasaan yang ia alami ketika sidang skripsi. Cemasnya sama, tapi desir-desir dalam darahnya cenderung menggebu, mirip ketika ia terlambat ke kantor pada hari pertamanya kerja dulu.

Selama bertahun-tahun Wulan mengakrabi seluruh sudut perpustakaan kota, namun baru kali ini ia merasa gelisah. Tempat yang sudah ia anggap sebagai rumah kedua ini selalu membuatnya nyaman, tetapi tidak untuk kali ini.
Kipas angin yang tergantung di tengah ruang baca, biasanya cukup mampu membuatnya nyaman. Bahkan sebelum satu buku selesai ia baca, tubuhnya mulai kedinginan, tapi tidak untuk kali ini. Satu novel hampir selesai ia baca, namun keringat masih saja membasahi bajunya.

Fahmi! Mengingat nama itu makin membuat Wulan jauh dari perasaan tenang. Lelaki itu bukan gebetan, apalagi pacar, bukan. Ia bahkan belum pernah bertemu secara langsung. Baru kali ini mereka janji ketemuan. Barangkali itulah yang membuat hati Wulan cemas-cemas sedap.

Faktanya, makin sering mengeja nama itu, makin tak beraturan irama detak jantung Wulan. Dan kini ia sibuk menyumpahi diri sendiri karena sejak tadi gagal menciptakan perasaan nyaman.

Wulan sadar benar, ia tak memiliki perasaan lebih terhadap Fahmi. Ia hanya tak biasa ngobrol dengan lelaki. Sejak remaja, ia selalu menjaga jarak dengan lawan jenis, paling hanya sekadar ngobrol perihal pekerjaan. Biasanya ia pasif dengan menjawab iya-tidak. Kalaupun sedikit panjang paling sebatas, maaf masih banyak yang harus kukerjakan!
Wulan nyaris tak punya kosakata yang lumrah untuk berbasa-basi. Sehingga ia tak tahu bagaimana cara menghidupkan suasana jika nanti bertemu dengan Fahmi. Sebab, dalam komunikasi mereka belakangan, ia yang paling ceriwis, berbanding terbalik dengan kesehariannya, baik di lingkungan rumah ataupun di kantor. Baginya akan tampak kontras jika nanti ia lebih banyak diam.
Awal perkenalan Wulan dengan Fahmi terbilang unik. Semua berawal ketika ia mendapati satu sobekan kertas kecil dalam sebuah buku, berisi pesan tulisan tangan: Hai, Wulan! Maukah ngobrol denganku?
Wulan terkekeh bercampur heran. Ia yakin itu ulah iseng salah satu petugas perpustakaan. Ia curiga kepada Hisyam, yang kerap kali menggoda dirinya. Lelaki itu pula yang merekomendasikan buku setebal enam ratud halaman itu kepadanya.

Hisyam seorang lelaki menarik, suka humor, dan sesekali usil. Pustakawan muda itu selalu mencari cara agar dapat ngobrol dengan Wulan yang nyaris selalu menghabiskan waktu di perpustakaan dengan tenggelam dalam bacaan.

Wulan yang sedang jenuh, iseng-iseng membalasnya dengan menuliskan jawaban di bawah tulisan tersebut: Boleh, asal tidak face to face.
Kunjungan berikutnya, Wulan mendapati pesan lagi: Terima kasih. Sudah lama aku menantikan ini. Namaku Fahmi. Ketika menulis ini usiaku dua puluh enam tahun, sama denganmu bukan?

Sejak itu Wulan sadar, telah salah sangka. Penulis pesan itu bukan Hisyam. Karena dari obrolan selanjutnya ia yakin Fahmi bukanlah tipe lelaki penggoda, seperti pustakawan muda itu.

Meskipun Fahmi mengaku bukan humoris, tetapi kata-katanya mampu membuat Wulan tertawa, sesuatu yang jarang ia lakukan sepanjang hidupnya.

Aku salah seorang aktivis pro demokrasi yang sedang diincar untuk dihilangkan. Banyak temanku yang tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Mereka seperti kelinci dalam topi yang ketika pesulap menjentikkan tongkat sekali, hilang dalam sekejap.

Kalimat itu membuat Wulan antusias untuk tetap memastikan Fahmi menyelipkan pesan dalam buku. Jika biasanya ia datang ke perpustakaan seminggu sekali, sejak itu nyaris setiap pulang kerja ia menyempatkan mampir. Perpustakaan kota tutup jam lima sore. Ia hanya memiliki waktu sekitar setengah jam. Itu cukup baginya untuk membaca pesan dan membalasnya.

Aku selalu merasa ada seseorang yang mengikuti ke mana pun kumelangkah. Di kantor, jalan, perpustakaan, kafe, sering kulihat orang yang sama berada tak jauh dariku. Cara yang kulakukan untuk menenangkan diri adalah dengan menganggap orang tersebut sebagai fans, aku artisnya.

Fahmi selalu menceritakan kegiatan dan kecemasan ada seseorang yang akan melenyapkannya. Wulan menganggap itu sebagai kelakar saja. Zaman sekarang mana ada aktivis pro demokrasi, pikirnya.

Kadang Wulan takut Fahmi adalah seorang penderita skizofrenia paranoid, atau seseorang yang mengalami gangguan sosial. Namun ia berusaha membuang jauh-jauh prasangka itu.

Daripada dihantui cemas berkepanjangan, akhirnya aku memutuskan untuk bersembunyi dalam buku ini.

Jika hanya sepi, aku bisa mengakrabinya, tetapi rindu selalu menjadi musuh dalam selimut.
Pernahkah kau merindukan seseorang?

Ada sesuatu yang berdesir dalam darah Wulan ketika membaca pesan itu. Pertanyaan Fahmi membuat dadanya sesak. Saat itu, reflek ia mematung untuk waktu yang cukup lama.

Ingatan Wulan dengan sendirinya melesat ke masa remaja ketika tanpa sengaja menemukan diary Mama. Dalam buku harian itu ia mendapati banyak kata rindu ditujukan kepada seseorang lelaki yang kemudian ia ketahui sebagai Papa. Ada selembar foto ukuran 4R. Wulan menebak itu adalah lelaki yang dimaksud Mama.
Wulan tak habis pikir, kenapa ada seorang ayah tega meninggalkan anak dan istrinya, tanpa kabar, bertahun-tahun, hingga sekarang. Papa macam apa yang tak sekali pun berkirim kabar, sekadar memastikan apakah anaknya tumbuh sehat? Kepala rumah tangga macam apa yang tak pernah khawatir apakah keluarganya baik-baik saja? Suami macam apa yang kejam, meninggalkan seorang istri dalam rindu berkepanjangan?

Kedewasaan akhirnya membuat Wulan bersikap tak peduli, Papa akan pulang atau tidak. Toh tanpa lelaki itu ia dan ibunya masih bisa makan. Ia juga bisa menjadi sarjana. Apalagi ia masih berusia setahun ketika ayahnya pergi.

Hanya saja, Wulan sangat peduli pada Mama. Meski ia sangat kesal pada perempuan yang kini berusia setengah abad itu. Kesal karena Mama masih saja menyimpan rindu sebaik memelihara anak. Kesal karena demi rindu Mamanya menolak pinangan banyak lelaki mapan dan bertanggung jawab.

Sejak kecil Wulan tak pernah mengerti jalan pikiran orang dewasa, terutama perihal rindu. Itu membuatnya malas mencari tahu artinya. Yang ia tahu hanya kehilangan adalah perihal lumrah, yang penting mensyukuri yang tersisa.

Aku tak kenal  rindu. Hidupku nyaman tanpa rasa itu, jawab Wulan.

Selepasnya, Wulan menceritakan betapa beratnya Mama menghidupi keluarga selepas kepergian Papa. Giliran ia yang mendominasi obrolan. Untuk kali pertama dalam hidup ia bisa terbuka pada orang lain.
Hingga akhirnya, kemarin Fahmi mengajaknya ketemuan: Rindu dan asa adalah alasanku bertahan. Akan kuceritakan kedahsyatannya. Jika kau berkenan, izinkan aku menemuimu, besok jam lima sore.

Wulan mengizinkan. Dan di sinilah gadis berusia dua puluh enam tahun itu sedang sibuk menikmati perasaan cemas-cemas sedap.

Satu menit menuju jam lima sore, Wulan melonggarkan jaketnya sambil berjalan menuju rak di mana buku yang menjadi media obrolan berada. Sampai di depan buku itu ia berhenti. Ditariknya napas dalam-dalam. Secara tidak sadar ia menghitung dalam hati, seolah Fahmi akan datang tepat pada hitungan kesepuluh.
Baru hitungan kelima, rak buku  berguncang sekali. Wulan mundur, menghindari bahaya. Tampak olehnya beberapa buku berjatuhan, berserakan di lantai.

Wulan mematung beberapa saat, memastikan rak buku tidak akan berguncang lagi. Setelah memastikan semuanya aman, ia bermaksud mengembalikan buku-buku itu ke tempatnya.

Yang pertama kali akan Wulan ambil adalah buku yang biasa ia jadikan media obrolan dengan Fahmi. Namun tiba-tiba buku tersebut terbuka.
Seketika Wulan dikejutkan oleh sesosok manusia yang tiba-tiba muncul dari dalam buku tersebut. Sosok itu tinggi kurus, berwajah tampan, sedang memasang senyum.
Wulan tercekat. Keringatnya terasa dingin. Kepalanya mendadak pening. Wajah lelaki itu mengingatkannya pada sebuah foto dalam diary Mama.

Kendal, 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro