Hidup dalam Perih yang Menyala

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup dalam Perih yang Menyala
By servita inyong
Servitarachma

“Lepaskan rok yang kamu kenakan itu!” ucap lelaki paruh baya sambil memegang tongkat peotnya.

“Bisakah kamu tidak mencampuri urusanku, bajingan?!” tandasku melemparkan makanan yang akan kuberi padanya.

Ia satu-satunya lelaki yang paling kubenci di dunia ini. Makanya aku begitu bahagia ketika ia terkena stroke. Apalagi sewaktu jalannya compang-camping menuruni tangga, ingin rasanya mendorong dan mendoakan dia mati. Walaupun aku berasal dari air maninya, tetap saja aku menganggapnya seorang bajingan. Bajingan yang menyakiti ibu kesayanganku.

Rindu. Rindu sosok ibu yang delapan tahun ini tidak terdengar kabarnya. Bahkan, ibu dikabarkan pergi dari rumah sakit jiwa tanpa keterangan. Kala ku kecil, Ibu selalu mendukung apa yang aku lakukan. Rindu itu mendekapku setiap malam, sepi. Kali ini, giliran aku yang mengurus lelaki peot tadi setelah ditinggal isteri mudanya. Isteri mudanya tak kalah bajingan seperti lelaki tadi. Isteri mudanya yang merebut segala kebahagiaan ibu, hingga saat ini belum ada ucapan maaf yang terujar.

***

Sebuah kertas berbentuk persegi panjang tergeletak di atas meja. Warnanya merah hati dan diatasnya dibubuhi pita pink. Cantik sekali, kubaca isinya dan ternyata anak perempuan tetangga sebelah sedang mengulang umurnya. Lantas, ibu mengajakku membeli hadiah sebagai perayaan untuknya.

Aku dan Ibu mengitari tempat-tempat belanja nan unik. Kerlap-kerlip lampunya, warnanya terang menyenangkan dan banyak boneka besar yang cantik. Senyum-senyum aku melihat pemandangan ini, seperti di surga. “Boneka barbie yang rok putih itu saja mbak, sekalian dibungkuskan ya,” kata ibu pada penjual di toko boneka. Aku mencoba memperhatikan boneka berbentuk perempuan ini, rambutnya panjang, ada dua gundukan di dadanya, dan memakai rok selutut. Entah bagaimana bisa,  aku merasakan hal yang aneh. Aku menjadi ingin seperti boneka cantik itu. Khayalanku kian bermain, pasti nantinya aku bisa melakukan hal seperti ini.

Aku ingin memanjangkan rambutku, terus aku beri warna cokelat
Aku ingin memakai baju bunga-bunga, dan berlarian di taman

Aku ingin memakai rok selutut, pergi ke mall dan berbelanja celana dalam pink Pulanglah aku ke rumah, aku memasuki kamar yang begitu lapuk. Cat tembok berwarna biru tua tanpa hiasan. Selimut bergambar mobil Toyota, dan baju-baju dilemari dengan motif membosankan. Aku bongkar semua mainan di lemari kecil, aku hanya bernapas panjang. Mobil, bola, mobil, bola, itu itu saja. Hatiku begitu sepi menjadi laki-laki.

Apakah aku harus menjadi perempuan?

“Doni, percepat ya mandinya kita ke ulangtahun Almira,” teriak ibu menunggu aku keluar dari kamar mandi. Rupaya ibu sudah anggun sekali. Memakai dress biru muda, jilbab bunga abu-abu, dan polesan merah di bibirnya. Aku takjub melihat kecantikan ibu, apalagi bibir merah yang mencolok itu. Ingin rasanya mewarnai bibirku sendiri.

Aku tak ingin kalah cantik dari ibu kali ini. Ya, aku mengambil baju biru muda, topi abu-abu dan pewarna bibir. Aku bingung, bagaimana bisa aku mewarnai bibirku? Ah! Aku bongkar lemari mainanku, kudapati krayon berwarna merah.

Aku sudah siap pergi ke pesta. Baju biru muda, topi abu-abu, dan bibir merah bekas krayon. Ibu melihatku tertawa, mengelus rambutku dan mencium keningku, “Doni, itu bibir kamu kenapa? Lucunya anak ibu,” ungkapnya seraya menggandengku menuju mobil. Namun, ayah malah memaki-makiku dan menyeretku paksa. Jelas sekali terasa tanganku ditarik dari genggaman ibu, kemudian aku dilemparkan ke lantai. Keningku terhantam lantai, perih. Kepalaku pusing, air mataku keluar begitu saja.

“Kamu beri apa itu bibirmu? Kamu itu laki-laki,” teriak ayah sambil menunjuk-nunjuk di depan mataku. Matanya melotot, suaranya gema di telingaku. Ingin rasanya kutendang sampai terjatuh. Tapi itu mustahil, terlalu kejam melakukan itu untuk usia 10 tahun sepertiku. Ibu langsung memelukku, mengusap-usap keningku dan mencium pipiku. Tangis ibu tumpah.

“Doni sayang, kenapa kamu mewarnai bibirmu, Nak?” tanya ibu dengan halus. Matanya tampak berkaca-kaca dan menantikan jawabanku. Aku tidak tega melihat air mata ibu tumpah lagi. Aku harus selalu melihat ibu yang cantik dan selalu tersenyum.

“Aku bosan menjadi lelaki, Bu. Aku menemukan kebahagiaan menjadi perempuan. Perempuan selalu memiliki kesenangan di tiap-tiap bendanya. Aku butuh itu,”

“Nak, ibu tidak melarangmu apapun. Jika menjadi perempuan adalah kebahagiaanmu, ibu bisa apa. Kamu sendiri yang bisa membuat dirimu senang, bukan ibu,” isaknya. Tangisnya kembali tumpah sembari memelukku erat sekali. Dekapan itu benar-benar hangat, dan enggan kulepaskan.

Dua bulan berlalu, dan perlahan kucoba ubah diriku menjadi perempuan. Ibu memperbolehkanku memakai baju merah muda, membeli boneka, dan memanjangkan rambut. Ibu selalu bersamaku, menemani sepiku, teman bercerita, dan penyemangatku. Ayah yang menghinaku tiap hari, memperlakukanku kasar, dan terus-terusan menyalahkan ibu. Seringkali aku lihat ibu dipukul dan dibentak karena membelaku. Hingga akhirnya aku mantap mengubah namaku menjadi Dona.

Cibiran tetangga mengusik telingaku setiap hari. Kedua orangtuaku pun dianggap tidak becus mendidik anak. Apalagi ketika ibu menawarkan pengajian pada warga kampung, mereka menolak mentah-mentah. Warga sekitar menilai keluargaku buruk. Ayah yang tidak kuat akan gosip itu, dengan butanya melukai tubuhku. Hal semacam itu aku alami bertahun-tahun, perlawanan tidak bisa aku lakukan. Hanya bertahan dalam diriku saat ini, hidup menjadi manusia, Ibu menjadi lebih diam dan tidak banyak bercerita. Ketika kutanya, tidak ada masalah. Aku pun sudah tidak mau berbicara dengan ayah. Hari itu, tepat pukul 00.00 dini hari, ayah dan ibu bertengkar hebat. Aku sudah sering melihat mereka saling bantah dan  saling hajar. Biasanya pasca pertengkaran, esoknya pasti sudah baikan. Namun, kali ini tidak. Ayah membawa seorang perempuan yang sangat aku kenal, Bik Ningsih, janda anak satu penjual jamu yang tiap pagi ke rumah. Rupanya, ayah dan Bik Ningsih sudah menjalin hubungan gelap selama tiga tahun terakhir. Hal itu aku ketahui dari Dinda, anak tunggal Bik Ningsih. Dinda pun risih dengan kelakuan ibunya, dan memilih meninggalkan rumah untuk merantau di kota sebelah.

Jatuh, bangkit, jatuh, bangkit, dan akhirnya hancur juga. Itulah yang dirasakan ibu. Tekanan dari ayah yang ingin menceraikan ibu. Bik Ningsih, selalu saja mengintervensi ayah untuk meninggalkan ibu. Bik Ningsih memfitnah ibu memiliki prilaku menyimpang hanya karena ibu mengijinkanku menjadi perempuan. Bermodalkan cinta, ayah langsung saja percaya tanpa mendengarkan penjelasan ibu. Ditambah lagi keputusan ayah yang membuat hati ibu hancur sehancur-hancurnya, ayah ingin menjadikan Bik Ningsih sebagai isteri kedua. Aku mengerti apa yang ibu rasakan, ibu yang bertahun-tahun menemani masa susah ayah, membesarkanku sendirian tanpa kasih sayang ayah, diperlakukan seperti itu. Bajingan.

Jelas. Kesedihan ibu yang mendalam sangat dirasakan. Hingga akhirnya kondisi psikis ibu kacau juga. Ayah menitipkan ibu di rumah sakit jiwa. Aku hanya bisa menangis, tamparan ayah bertubi-tubi hinggap di pipiku, membekas. Ketika aku membela ibu, memeluk ibu, ayah menjambak rambutku, berteriak ditelingaku, “Kau mati saja! Saya tidak sudi memiliki anak transgender seperti kamu,”. Kini, tubuh-tubuhku membiru, memar pedih. Pipiku merah tanpa pemerah, cukup cap tangan ayah yang mendarat ketika marah.

***

Aku tetap menjadi Dona. Dona yang suka memakai bando merah muda, dan rok cantik selutut. Sehari-hari aku bekerja menjadi sales bank swasta. Laki-laki memandangku seperti wanita sewajarnya, memanggilku dengan sebutan, “Nona,”. Ya, aku bahagia akan itu. Teman kantorku tidak ada yang mengetahui kalau aku seorang transgender. Selepas kerja, aku menenangkan badanku di rumah. Menyeruput secangkir teh manis, dan menonton televisi. Aku muak melihat wajah ayah dan Bik Ningsih di rumah. Sangking muaknya, aku selalu memberontak ketika Bik Ningsih menyuruhku membantunya melakukan apapun. Tidak mungkin aku menuruti kata Bik Ningsih sedikitpun. Ia selalu menjelekkanku di depan ayah, aku selalu menjadi bagian ternajis di mata ayah.

“Kamu itu iblis! Bagaimana bisa aku menuruti perintahmu?” bantahku pada Bik Ningsih.

Entah, ayah yang cinta mati pada Bik Ningsih lantas memakiku kasar. Tidak hanya dengan kata-kata, bahkan tubuhku kerap diperlakukan layaknya benda mati. Dipukuli, dilukai, dihina, yang membuat hatiku perlahan terbunuh.

Setan!

Anak haram!

Anak yang tidak menerima takdir!
Anak bodoh!

Marahnya aku, Bik Ningsih sama sekali tidak mengasihaniku. Ia terus saja tertawa dan mendukung kekerasan yang ayah lakukan padaku. Begitukah sikap seorang ibu penggantiku? Sedih. Aku selalu mengalami kekerasan fisik oleh ayah. Ayah sangat membenciku, apalagi ketika keputusanku bulat menjadi perempuan. Ayah pun malu pada keluarga besarnya, tidak pernah menganggapku sebagai anak ketika ada acara keluarga. Keluarga besarku pun tidak mau bercengkrama denganku, aku dikucilkan di keluargaku sendiri. Sayangnya, diriku terlanjur bahagia menjadi Dona. Jadi, saya tidak peduli akan diskriminasi yang kuhadapi.

Sekian tahun pernikahan runyam ayah dan Bik Ningsih berjalan. Pertengkaran silih berganti datang memanaskan telingaku.

Lempar-lemparan perabotan rumah menjadi tontonanku. Bahkan, ayah tetap saja ringan tangan, ia tak peduli berapa banyak memar dipipi Bik Ningsih. Aku tak mengerti apa permasalahannya, yang pasti aku membenci mereka berdua. Teruskan saja kalian bertengkar hingga darah penghabisan. Aku sangat berbahagia akan itu. Hobi ayah yang menyakiti fisik dan batinku, ditambah hobi Bik Ningsih yang selalu menjelekkanku di depan ayah. Pantas. Kalian pantas masuk neraka.

Umur ayah menginjak 60 tahun. Ia sudah tidak sekuat dulu ketika menghajarku, namun kata-kata pedasnya masih saja mengalir. Semakin bertambah umur, semakin besar penyakit datang. Benar, ayah terkena stroke diumurnya ke 60 tahun lebih sebulan. Lucunya, Bik Ningsih enggan mengurusi ayah. Enggan melakukan apapun untuk ayah, dan lancar menghabisi uang ayah di tabungan. Suka cita sekali wajah Bik Ningsih saat itu. Namun, tak lama kemudian Bik Ningsih meninggalkan ayah ketika uang ayah tidak tersisa sepeserpun. Mereka sama-sama bajingan, bukan?

Disisa umur ayah ini, hanya aku yang menemaninya. Hingga nanti, sampai ayah mendapatkan hukuman di akhirat abadi. Bersama diriku, hidup dalam tubuh Dona seorang transgender hingga nadiku terhenti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro