Organ

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Organ
by zzztare

Sebelum berangkat sekolah, kutatap organ di ruang tengah rumah baruku. Alat musik sungguhan pertama yang kupunya setelah sekian lama merengek dan merajuk. Namun, aku merasa agak janggal setelah mencoba memainkannya pertama kali. Saat sedang asyik bermain, tiba-tiba jariku terasa berat. Bukan hanya itu. Tanganku bergerak sendiri. Jari jemariku. Memainkan lagu yang aku tak tahu, tetapi terdengar indah.

Ayah membeli rumah dari majikannya yang kaya raya dengan harga miring. Katanya, sebagai tanda mengabdi. Pajak pun dibayarkan. Plusnya, aku dapat alat musik yang sejak dulu kuidam-idamkan. Katanya, beliau tak peduli dengan syarat berupa tambahan pekerjaan, yang penting adalah keinginanku.

Aku jadi merasa aku ini egois.

Aku baru masuk SMP belum lama ini. Sering pulang terlambat karena meminjam ruang musik sampai batas terakhir. Keinginan sekian tahun untuk bermain musik, khususnya kibor, membuatku betah berlama-lama di sana, sampai temanku merekrutku sebagai kibordis band. Sejak pindah rumah, baru kemarin sebenarnya, aku jadi bisa pulang lebih cepat.

Seperti hari ini.

“Kakak ….”

“Hah!” Aku yang baru sampai di pagar rumah melonjak saat tiba-tiba ada yang menyentuh bahuku. Seorang anak perempuan, kira-kira berumur 8 tahun, menatapku memelas.

“Kakak yang punya rumah sekarang?”

“Eh? Oh ….” Aku kagok sesaat. “Iya. Kamu siapa?”

“Aku Cindy, yang sering ke sini pas rumah ini masih kos-kosan ….”

Aku mematung sejenak, teringat perkataan Ayah sebelum pindah. Katanya, ada anak tetangga yang suka meminjam organ ketika rumah ini masih kos-kosan. Organ itu dulunya barang umum, boleh dipakai siapa saja. Aku harus mengizinkan kalau anak itu mau bermain.

“Wah, kamu tetangga yang sering minjam organ itu, ya?” sapaku begitu sadar dari renungan.

Cindy mengangguk. “Katanya, aku masih boleh main kalau minta izin sama pemilik rumah yang baru. Apa Kakak membolehkanku?”

Hm, aku saja buru-buru pulang karena ingin memainkannya, meski juga didorong penasaran. Eh, apa mungkin Cindy tahu keanehan organ itu? Akhirnya, aku mempersilakan Cindy masuk.

“Wah, udah berubah, ya.” Cindy menatap sekitar dengan takjub. Aku yang heran. Mungkin berubah, tetapi tidak kentara. Perabotan kami sedikit dan kebanyakan berada di kamar. Hanya ada satu lemari, satu meja, dan satu sofa di ruangan ini.

“Cindy, apa kamu merasa organ itu aneh?”

“Aneh? Enggak. Biasa aja.” Cindy menatapku. “Ada apa?”

“Eh, enggak. Soalnya, aku belum terlalu bisa main, tapi kemarin rasanya aku jago banget.”

Cindy tersenyum. “Mungkin, itu karena Kakak memang jago?”

Wajahku memerah. Anak kecil ini sopan dan baik sekali. Aku membolehkannya memainkan organ sementara aku tidur-tiduran di sofa sambil mengipas-ngipas.

“Wah, bagus banget,” pujiku begitu Cindy selesai memainkan satu lagu.

“Cuma di sini aku bisa berlatih. Di rumahku enggak ada organ … atau semacamnya.” Cindy menunduk.

“Kamu berlatih sampai bisa bermain di sini?” tanyaku memastikan.

Cindy mengangguk. Ia tampak murung. “Orang tuaku enggak bolehin aku punya alat musik.”

Entah mengapa, aku seperti melihat diri sendiri. Aku bangkit, mulai tertarik. “Orang tuamu enggak mencarimu?”

Cindy menggeleng. “Mereka enggak peduli aku. Makanya, aku bohong, aku enggak ke sekolah, tapi ke sini. Untung, pemilik rumah baik. Eh, Kakak juga baik.”

“Kasihan,” gumamku. “Kalau begitu, kita atur jadwal, yuk. Aku enggak peduli kamu sekolah atau enggak, kamu ‘kan mau main organ. Kamu boleh ke sini pas aku sekolah. Tapi … bisakah aku percayakan kunci ke kamu?”

Kulihat, mata Cindy berbinar. “Benarkah?”

“Ya … dulu, ruangan ini terbuka, ‘kan? Aku jadi kasihan sama kamu karena mendapati ruangan ini terkunci.”

“Kakak percaya padaku?”

“Hm … kamu enggak akan mencuri, ‘kan?” Kupastikan lagi isi ruangan tengah itu. Tidak ada barang berharga, mestinya. Rumah ini memang cocok menjadi kos-kosan. Satu ruang tengah, dapur, kamar mandi, dan beberapa kamar. Barang berharga kebanyakan di kamar, mungkin bisa diakali dengan menguncinya.

“Kak, aku bisa menyusup lewat jendela.” Cindy tiba-tiba menunjuk satu jendela. “Tidak usah tutup rapat-rapat. Aku enggak akan mencuri. Aku janji. Aku cuma mau main organ.”

“Aku bilang dulu ke orang tuaku--”

“Enggak usah. Aku enggak mau ketahuan siapa pun selain Kakak.” Cindy tiba-tiba memucat. Mungkin, ia trauma mendengar kata ‘orang tua’.

“Kamu janji enggak akan mencuri?”

“Janji!” Cindy menyodorkan kelingkingnya. Kekanakan sekali, tetapi kusambut. Anak kecil ini begitu kasihan hingga ingin kutepuk-tepuk kepalanya.

“Kakak, biasanya aku main sesiangan sampai sore. Kakak beri aku jadwal Kakak, nanti aku ikut. Aku enggak mau mengganggu jadwal latihan Kakak.”

“Oh, enggak papa?” Aku memekik pelan. Kuambil HP dan kudapati sebuah notifikasi. Ada yang mengundangku ke dalam grup band. Aku kesampingkan hal itu, lalu memikirkan jadwal.

“Aku main pas pulang sekolah, berarti sekitar jam tiga sampai jam lima, dan malam jam tujuh sampai delapan. Kalau akhir pekan, aku main pagi sampai sore. Kamu enggak masalah?”

Cindy menggeleng. “Yang penting, Kakak mengizinkanku. Berarti, aku boleh main pas bukan lagi jadwal Kakak, ‘kan?”

Aku mengangguk. “Dan pas ortuku enggak lihat, kalau kamu enggak mau ketahuan.”

“Ah, tentu.” Cindy tampak menerawang. “Makasih, Kak.”

Aku masih mendengarkan Cindy bermain organ sambil sesekali mengobrol. Sudah hampir pukul lima. Aku ingat, Ibu yang ART biasanya pulang pukul lima. Kuberitahu Cindy, ia langsung bersiap pergi.

“Mulai besok, aku akan datang pas bukan jadwal Kakak.” Cindy membungkuk. “Terima kasih, Kak.”

Aku melepas kepergiannya sampai depan gerbang. Sebenarnya, aku penasaran dengan rumahnya, tetapi kemunculan Ibu yang tiba-tiba mengurungkan niatku membuntuti.

“Tumben enggak di sekolah sampai sore. Udah punya teman baru di rumah, ya?” sapa Ibu.

Aku hanya nyengir gugup. Setelah itu, aku mencoba bermain organ. Rasanya normal, aku tidak merasa tiba-tiba menjadi jago seperti kemarin.

Ah, mungkin memang hanya perasaanku.

Malam itu, ganjil, aku memimpikan Cindy sedang bermain organ. Besok paginya, aku mengecek jendela yang ditunjuk Cindy kemarin. Lumayan susah membuka selotnya, tetapi aku berhasil. Kuberikan celah sangat kecil. Semoga Cindy bisa menariknya sendiri. Aku memastikan Ibu mengunci pintu kamar sebelum pergi, toh Ayah sudah berangkat sejak pagi-pagi buta. Lalu, aku berangkat sekolah, lima belas menit jalan kaki.

Saat pulang sekolah, aku sempat tertahan karena obrolan grup band plus guru musik untuk menyepakati penampilan kami. Meski begitu, aku kebanyakan bengong. Aku malah kepikiran Cindy. Ini sudah pukul tiga. Sesuai jadwal yang disepakati, sekarang giliranku bermain organ.

Pukul setengah empat, barulah aku bisa pulang. Rumah kosong, tetapi kudapati jendela tadi terbuka sedikit lebih lebar. Aku menyeringai membayangkan perjuangan Cindy untuk bisa bermain organ. Ia lebih gigih sekaligus kurang ajar daripada aku yang hanya bisa memendam kekesalan, tidak sampai membandel.

Aku mencoba memainkan akor sesuai yang ketua band kirim di grup. Kucoba beberapa nada tambahan. Ah, belum puas. Aku masih berusaha sampai kudengar seseorang masuk. Ibu. Beliau beristirahat sambil menyuruhku memainkan apa saja.

Selama sepekan, rutinitasku itu-itu saja. Tak ada yang berubah, tetapi aku senang.

Pekan berikutnya, kelas 9 ujian, sekolah harus steril alias adik-adik kelas libur. Alan, sang drumer sekaligus ketua, mengompori seisi grup agar terus latihan. Aku mengiakan saja. Saat itu, hari Senin pukul delapan pagi, aku sudah duduk manis di depan organ, siap memainkan nada-nada baru yang terlintas di kepala.

Aku menegak mendengar suara berderit. Begitu saja Cindy muncul di sampingku.

“Katanya, Kakak sekolah?” Nada suaranya tajam.

Entah mengapa, bukannya kesal karena rumah ‘dibobol’, aku malah ketakutan. “Maaf. Aku libur seminggu.”

“Oh.” Cindy tampak kecewa. “Terus, aku bisa main kapan?”

Anak kecil ini aneh. Ia seperti mengintimidasi dan sukses membuatku merasa bersalah. “Sekarang. Maaf. Aku mau ngerjain tugas aja.”

Cindy tampak merenung lama di atas kursi organ setelah aku beranjak. “Kakak … Kak siapa?”

Aku baru sadar kalau aku belum memberi tahu namaku. “Ningtyas … Tyas.”

“Kak Tyas. Kalau libur, jadwalnya kayak akhir pekan aja. Kalau aku ke sini pagi-pagi dan ternyata Kakak lagi libur, aku akan balik lagi.”

Aku mengangguk patah-patah. “Tapi, akhir pekan ‘kan aku main dari pagi sampai sore.”

“Iya, enggak papa. Aku ikut saja.” Cindy masih menunduk. Ia tiba-tiba bangkit dan beranjak. Kulihat ia meloncat keluar lewat ambang jendela yang terbuka lebar, lalu menutupnya sampai tersisa sedikit celah. Aku buru-buru membuka pintu depan, tetapi Cindy berjalan cepat melewatiku sambil menunduk. Ia setengah berlari menuju gerbang. Aku memutuskan untuk mengejarnya, toh masih pagi, Ibu atau Ayah belum akan kembali.

Kulihat Cindy terus berjalan cepat hingga sampai ke persimpangan, lalu berbelok. Aku membuntutinya. Ia masih terlihat meski sudah jauh. Aku bergegas, tak mau kehilangan. Ia tiba-tiba berhenti dan menoleh, membuatku seketika gugup. Namun, ternyata, ia berpaling ke sebuah rumah. Kakinya tampak berat ketika melangkah masuk.

“Kasihan, pasti ia enggak mau pulang,” gumamku. Aku berjalan pelan menuju depan rumah itu dan terkesiap.

Rumah dengan pekarangan luas itu jelas tak terawat. Pagarnya sendiri berderit keras ketika kudorong. Pagar itu tertutup, padahal Cindy memasukinya tanpa ada suara sama sekali.

Aku seketika merinding. Dalam hati membatin, aku hanya salah lihat. Bukan rumah ini yang Cindy masuki. Namun, saat menoleh, aku tidak mendapati pagar lain atau apa pun yang bisa dimasuki dengan melangkah tanpa suara.

Aku buru-buru kembali ke rumah. Sepercaya apa pun aku dengan hal mistis, aku tak pernah mengalaminya langsung. Aku tak mau percaya dengan pikiran burukku.

Begitu memasuki rumah, pandanganku langsung tertumbuk pada organ yang kutinggalkan dalam kondisi masih terbuka. Merinding itu menjalar lagi. Aku menggeleng. Tidak, ini tak ada sangkut-pautnya dengan hal di luar nalar. Cindy hanya anak yang malang. Mungkin, aku ketahuan olehnya dan ia memilih sembunyi.

Notifikasi masuk. Alan menyuruh seisi grup untuk mendokumentasikan kegiatan latihan hari itu.

Buat apa, sih?

Aku memotret organ dan mengirimnya ke grup. Alan hanya mengacungkan jempol. Setelah itu, aku tak mengecek HP lagi dan memilih berlatih.

Aku hanya betah sampai siang. Suasana rumah yang sepi, ditambah kejadian ganjil tadi, membuatku ingin keluar rumah. Berjalan-jalan sedikit bukan hal buruk. Apalagi, tabungan untuk membeli piano bisa kugunakan karena aku sudah punya organ. Aku memutuskan pergi ke perpustakaan daerah, meminjam beberapa novel, lantas ke sebuah kafe dan menikmati waktu sendiri di keramaian. Intinya, aku berusaha melupakan pikiran buruk tadi.

Sore itu, setelah Ibu sampai rumah dan asyik di dapur, aku mendapati pesan di grup band. Kulihat foto Alan bergaya dengan stik drum, Yono dan Andy dengan gitar, plus Brian dengan bas. Gaya mereka membuatku tertawa. Namun, pesan dari Andy membuatku heran.

Andy: Tyas fotoin siapa?

Tyas: Hah? Enggak fotoin siapa-siapa.

Andy: Oalah. Heran aja, kok foto alatnya doang. Orangnya mana?

Tyas: Mau ada orangnya? Oke! Tadi enggak ada yang bisa bantu fotoin.

Alan: Selfie kan bisa, Neng.

Tyas: Malas.

Aku meminta Ibu memfotokanku sedang sok-sok bermain organ. Langsung kukirim, real time. Keempat orang itu percaya.

Yono: jujur, pas scroll foto Tyas tadi kayak ada orangnya, tapi pas dilihat enggak ada.

Andy: sama.

Brian: lol, barusan aku melakukannya dan bener.

Alan: Kalian sengaja nakut-nakutin, ya? Tapi bener.

Tyas: Kalian sengaja nakut-nakutin, ya? Tapi boong.

Dongkol sekali rasanya, tetapi aku tetap ketakutan. Pasalnya, aku memiliki alasan lebih untuk parno. Kejadian tadi pagi yang sudah susah payah kulupakan kembali terngiang. Aku menggeleng dan memilih membantu Ibu.

Lepas makan malam, Ayah dan Ibu masih di ruang tengah, bercakap-cakap. Kudengar rencana mereka untuk membeli TV. Ah, akan ada benda yang cukup berharga di ruang tengah. Sudahlah, itu nanti saja kupikirkan. Aku memainkan HP di kamar sampai mengantuk dan tertidur.

Aku memimpikan Cindy sedang bermain organ. Nadanya terdengar nyata sekali. Mulanya merdu, namun lama kelamaan aku merasakan emosi yang menguat. Amarah. Emosi yang begitu mengganggu hingga aku membuka mata.

Aku masih mendengarnya.

Kamarku terletak paling dekat dengan organ, bisa dikatakan bersebelahan. Kamar orang tuaku dekat dapur. Seandainya itu memang organ yang berbunyi, mungkin mereka tidak mendengarnya.

Namun, siapa pula yang memainkan organ malam-malam begini?

Aku melirik HP dan terdiam. Pukul satu malam.

Gila. Aku pasti mimpi. Sayangnya, saat kucubit, pipiku sakit. Aku tidak mau keluar kamar, tetapi rasanya ingin marah-marah terbawa emosi dari permainan organ itu.

Akhirnya, aku tak peduli. Mungkin, yang memainkan itu Cindy. Dia manusia. Pasti.

Kubuka pintu perlahan. Ruang tengah temaram, hanya ada satu lampu kecil dekat dapur yang menyala. Aku berjalan mendekat dan terperanjat mendengar panggilan.

“Kak Tyas?”

Aku beku seketika.

“Oh, itu Kakak. Untung. Kukira, orang tua Kakak terganggu dan bangun.”

Aku melihat dua lingkaran menyala merah. Aku langsung terjajar mundur, apalagi begitu melihat wajah yang jelas kukenali. Itu Cindy. Menyeringai aneh ke arahku.

“Aku sudah bilang, ‘kan? Aku akan ikut jadwal Kakak. Kak Tyas enggak main tengah malam, orang tua Kakak terlelap, dan aku bisa kemari.”

“Ta-tapi, kamu …?” Aku tergagap.

“Kak Tyas, mau main bareng?”

Aku berusaha mundur ketika Cindy tiba-tiba menarik dan mendudukkanku di kursi organ. Bukan, ini bukan anak kecil. Tenaganya tidak akan sekuat itu.

“Ayo main, Kakak. Bukankah Kakak ingin jago? Aku jago, lho, tapi enggak diakui.” Tangan Cindy menggenggam punggung tanganku, memaksaku menekan tuts. “Orang tuaku mendapat laporan bahwa aku membolos seminggu. Mereka menemukanku di sini. Mereka marah besar dan menjepit jariku dengan tutup organ. Mereka enggak mau melihatku main apa pun lagi. Mereka enggak mau melihatku bisa melakukan apa-apa lagi.”

“Hentikan!” Aku menjerit.

“Jari tanganku putus, mereka enggak peduli. Aku kesakitan, mereka enggak peduli.”

Aku panik mendapati jariku terus memainkan nada-nada aneh yang tidak kuketahui. Penglihatanku akan Cindy memudar, tetapi genggamannya masih terasa berat di tanganku, suaranya masih terdengar di telingaku.

“Sejak itu, aku iri. Iri dengan semua orang yang mendapat dukungan orang tua. Iri dengan mereka yang bisa jadi piawai karena rajin berlatih. Aku kemari diam-diam, berusaha bermain meski dengan jari tak berdaya. Mana tahu, aku kembali ketahuan. Aku dipukul sampai koma. Aku mati, di sini, di ruangan ini, bulan lalu ….”

Dingin menyergap hatiku. Aku ingat, Ayah membeli rumah ini bukan hanya karena harga miring, melainkan juga keberadaan organ di sini, setelah sekian tahun aku merengek. Harusnya, aku sadar bahwa hal itu sangat ganjil. Rumah yang cukup luas ini tidak mungkin jatuh harga begitu saja. Pasti ada alasan lain. Pun, organ yang ditinggal begitu saja tampaknya bukan karena untuk dijual.

“Dengan bersumpah dalam hati, akan membuat siapa pun yang memainkan organ ini menjadi pemain abadi, apalagi orang-orang seperti Kakak.”

Ini bukan mimpi. Aku tidak tidur.

Aku tidak akan bisa tidur.

Alangkah baiknya jika aku tak pernah mengenal musik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro