Sehun Metwo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sehun Metwo
Oleh  Jumaidapulungan21

Hari ini kelas berakhir lebih lama. Mengenai cuaca ... sejak tadi pagi cahaya matahari bersinar remang-remang. Langit kelabu dengan awan sedikit gelap bergelantungan. Angin pun tidak biasa bertiup seperti ini—pertanda akan turun hujan. Suasana sore seperti saat Hayati menatap foto Zainuddin di teras kapal, berangin sepoi-sepoi. Namun, hingga waktu pulang sekolah pun hujan tidak turun. Anggira dan kedua sahabatnya keluar kelas sambil gelak manis membicarakan guru baru. Pak Sandy, guru kimia baru itu masih sangat muda, wajahnya bersih dan putih. Siswi-siswi centil menyebutnya Sehun Metwo, Sehun keduaku.

Apa yang membuat Anggira dan kedua temannya terkekeh bukan karena kehaluan mereka membayangkan Pak Sandy, tetapi mereka bergosip mengenai kebiasaan Pak Sandy yang tak lepas dari botol minum yang bertuliskan ‘rumus semi-struktural’. Di saat para guru dan siswa beralih ke air botol mineral kemasan, ia justru menggunakan tumble yang berisikan air hangat pula. Anggira, wanita berambut jagung dengan pipi semok, tetapi badan kurus itu adalah ketua OSIS SMA Anugerah. Wanita pintar, tetapi pilih-pilih teman itu sebenarnya bukan sosok yang peduli dengan kasmaran cinta monyet. Ia hidup dengan prinsip cinta nomor dua setelah suskes. Ia tidak ingin membuang waktu dengan pacaran. Baik Anggira dan kedua temannya sajalah yang memandang beda guru kimia baru itu. Mungkin juga karena mereka wanita-wanita anti-bucin.

Anggira, Shopia, dan Hera jalan bersisian menuju halte bus. Keadaan sekolah sudah mulai sepi. Tiba-tiba gemuruh pecah di tengah langit. Kilat menyambit bersamaan dengan turunnya hujan. Air seperti tertuang dari kuali raksasa di atas sana. Anggira dan kedua temannya mangkir dengan cepat ke arah halte. Aksi menyelamatkan diri dari hujan sia-sia. Seragam mereka sudah kemal. Mereka mengibas-ngibas rok, warna abunya menjadi lebih pekat. Mereka masih terkekeh meski tak seserius tadi.

“Gaes, gue masih heran kenapa teman-teman tergila-gila sama kegantengan Pak Sandy. Good looking belum tentu baik, 'kan?” Hera mulai melanjutkan rumpi episode dua. Duduk, lalu diikuti Anggira dan Shopia.

“Yang jelas apa yang mereka lakukan nggak ada manfaatnya samsek,” timbal Anggira.

“Cuma beda pemikiran aja. Mereka 'kan emang penggemarannya k-pop.” Shopia yang paling kalem terus saja menjadi garis tengah antara kebanyakan siswi dan kedua temannya itu.

Anggira menaikkan alisnya. Melihat ke arah Shopia dan Hera bergiliran. Ia duduk di tengah. Bergeming. Hera berdengus tepat setelah Shopia bicara. Ia tampak tak ingin memperpanjang perbincangan. Shopia selalu menggunakan kesamaan hak untuk melerai timbulnya obrolan yang ujung-ujungnya mengunjing teman. Namun, mengenai guru baru ia pun setuju. Sementara Shopia fokus dengan gawainya. Tak lama paman Shopia menjemput dengan mobil. Ia pun langsung pulang. Sedikit lambai-melambai dengan Shopia, Anggira dan Hera kembali terdiam menunggu hujan reda.

“Tumben jemputan lo lama, Nggi.”

“Papa udah bilang akan pulang malam. Pasti mama lupa nyuruh supir jemput gue. Kalau jam segini Kak Gio juga belum pulang ngampus, Her.” Anggira merogoh saku tasnya mengambil handphone. Berselancar di sosial media.

“Sebentar lagi busway jurusan Tapek Gadang lewat nih,” kata Hera setelah melirik jam tangannya.

“Jadi?” tanya Anggira tanpa melihat Hera.

“Jadi lo nggak papa gue tinggal nunggu sendiri di sini? Mending lo telepon supir mama lo, atau siapa kek buat jemput lo. Kalau hujan gini nggak kelihatan malamnya karena emang udah gelap.”

“Nggak usah terlalu mikirin gue. Gue nggak papa kok.” Manik sehitam jelaka Anggira menusuk biji mata Hera. “Itu busway nomor dua udah datang.”

“Lo yakin berani nunggu sendirian? Sekarang lebih ngeri manusia daripada hantu lho, Nggi,” godanya.

“Nggak usah nakut-nakutin, gue nggak takut. Lagian bosan cepat-cepat pulang. Di sini aja dulu sambil nikmati hujan. Udah sana lambaiin tangan, nanti busway-nya jalan terus.”

Hera beranjak dari duduk dan melambaikan tangan kanannya. Bus biru besar itu berhenti. Pintu depan langsung terbuka dan Hera berlari masuk, lalu memekik, “Gue duluan, ya, daaah ....”

Anggira hanya tersenyum tipis, lalu kembali fokus dengan handphone-nya. Membaca status dari akun bernama ‘tidak lucu’.

Gaes, gaes, mimin mau cerita. Masak kemarin mimin ngetes kepintaran adik dong, pertanyaan tentang nama-nama ibu kota. Pertanyaan pertama, nama ibu kota Balikpapan. Terus dia jawabnya ‘Papanbalik’. Malah tuker tempat. Masuk pertanyaan kedua, nama ibu kota Pontianak. Dia jawabnya ‘pontimamak’ dong. Pen nangis ....

Mimin yakin adik gue tujuh tahun sekolah pasti nggak sia-sia, jadi mimin tanyain soal terakhir, nama ibu kotanya Bau-bau. Astaga! Adik mimin jawab ‘wangi-wangi’. Asli mimin nangis gaes. Huwa ....

Anggira tersenyum tipis. Baginya selera humor ‘tidak lucu’ ini lumayan, tidak garing-gariang amat. Tiba-tiba seorang pria berjalan cepat di hadapannya, lalu duduk berjarak darinya. Ia mendelik pria itu. Pria itu tersenyum ramah kepadanya. Anggira gemeluk.

Kenapa guru itu malah ke sini? Apa dia nggak naik motor atau mobil ke sekolah? Malas banget!

“Maaf, apa busway sudah ada lewat?”

“Sudah, Pak.”

“Kapan, ya, busway terakhir lewat?”

“Pukul lima, Pak.”

Mereka saling diam. Pak Sandy sedang menelepon seseorang, tampak serius. Anggira tak ingin peduli, tetapi entah mengapa ia penasaran juga dengan guru baru itu. Anggira sesekali melihat Pak Sandy dengan ekor matanya.

“Maaf, menurut kamu bagaimana saya mengajar?” Ia tertawa halus. “Ini pertama kalinya saya ngajar. Sedikit canggung dan itu manusiawi, 'kan? Oh ya, saya dengar kamu ketua OSIS dan belum ganti sampai kamu sudah kelas 12 begini. Pasti kamu siswi cerdas.”

“Tidak juga, Pak.”

“Saya masih canggung sebenarnya ngajar. Bahkan acara wisuda saya belum kelar, eh udah ditarik aja ke sini.”

Available juga orangnya, batin Anggira.

Akhirnya mobil mama Anggira datang juga. Namun, yang muncul dari balik kaca jendela mobil bukan supir melainkan Kak Gio.

“Akhirnya—”

“Hei, Kak Sandy, ngapain di sini?” tanya Kak Gio tanpa turun dari mobil.

“Gio. Iya nih, ngajar. Gue nggak bawa motor, lagi masuk bengkel. Nunggu busway.”

“Bareng aja, yok, yok Nggi.”

Aku dan Pak Sandy masuk ke dalam mobil. Kakak lebih dulu mengantarkan Pak Sandy ke rumahnya.

“Gimana Kak Sandy ngajar, ramah? Dia kating paling humble di kampus. Malah ganteng lagi. Malah rebutan mahasiswi ganjen, tapi nggak ada yang nyantol di hatinya. Gilak!” Kakak Gio memutar stir, berbelok. “Kenapa diem aja? Oh ya, kalian kok nunggu berdua aja? Jangan-jangan kalian—”

“Nggak usah mikir aneh-aneh, Kak,” potong Anggira.

“Kakak dukung banget-banget-banget kalau lo sama dia, dia baik banget orangnya. By the way kalian sama lho, sama-sama kagak selera pacaran. Jodoh kali.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro