Jalan Pukul Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jalan Pukul Empat
Oleh : amaliafin_


Sebelum membaca cerita ini, berdoa dulu ya. Inspirasi cerita ini merupakan salah satu legenda urban sebuah kota di Jawa Barat, karena banyaknya rumor mengenai keangkeran tempat tersebut. Tapi, cerita ini murni fiksi hasil karangan sendiri, soalnya meski Cuma mitos, mereka  memang ada. Selamat membaca!


***


Ada sebuah kisah tersebar luas dikalangan masyarakat. Bukan kisah menyenangkan, melainkan rumor yang mampu membuat bulu kuduk meremang.

Misteri Jalan Palem.

Sebuah jalan beraspal tanpa lalu-lalang kendaraan menjelang pukul empat sore. Jangankan manusia, merpati liar hendak hinggap di pohon dekat persimpangan saja tidak ada. Tempat itu seakan sengaja lengang pada waktu tertentu.

Rafa pernah mendengar desas-desus mengenai anak kecil pembawa boneka. Konon katanya, anak itu selalu berseliweran sepanjang Jalan Palem. Masa yang sial bagi Rafa, dia justru pulang kuliah larut sore. Biasanya pukul dua, kelas sudah kosong melompong. Kali ini, Rafa tidak bisa menyalahkan Dosen karena pergantian jadwal.

"Ngekos dimana, Fa?" Evan, teman satu jurusan menepuk pundak Rafa ringan.

"Jalan Palem," kata Rafa enteng, meski jantungnya sedikit berdebar.

"Aku saranin, kamu pulang nanti aja deh. Nunggu jam lima." Alis Rafa terangkat spontan. Entah sebab apa, detak dalam dadanya kian membara.

"Ini tugas juga harus cepet diselesein, Van. Kamu mau kebut semalam? Lagian, aku mau tidur cepet. Bosen semenjak masuk kuliah begadang mulu." Rafa membereskan buku asal, memasukkan kedalam tas sebelum mencangklongnya.

"Yaudah, banyak doa aja ya." Evan kembali menepuk bahu Rafa, pelan. Lelaki itu melenggang santai keluar kelas.

Kampus Rafa terletak berdampingan dengan jalan raya utama. Sebenarnya, Jalan Palem cukup dekat jika ditempuh dari fakultasnya, sekitar sepuluh menit sampai depan kosan Rafa. Arloji pada pergelangan lelaki itu menunjukkan hampir pukul empat. Dia menelan ludah seteguk, merasakan pengaruh janggal sampai bulu romanya meremang.

Mengenyahkan segala pemikiran negatif, Rafa melangkah keluar fakultas. Tidak seperti teman laki-lakinya yang lain, Rafa lebih suka jalan kaki ketimbang naik motor. Bukannya Rafa ingin mengurangi polusi, pasalnya dia hampir tidak pernah berolahraga sejak masuk kuliah.

Bisa dibilang, Rafa merupakan anggota aliansi kaum rebahan.
Sepanjang perjalan melewati trotoar jalan utama, Rafa berkali-kali membuang pikiran tentang rumor Jalan Palem. Pantas saat dia mencari kos-kosan dekat Jalan Palem dulu, banyak tempat kosong. Apalagi harganya terlampau murah ketimbang diluar komplek jalan tersebut. Rafa sama sekali tidak merasakan keganjilan saat pertama kali kesana. Mungkin belum pukul empat. Dia juga tidak pernah melalui jalan itu, atau pun keluar kosan rentang pukul empat.

Langkahnya terhenti ketika dia berdiri tepat di persimpangan. Tidak tahu kenapa, dalam penglihatan Rafa tempat itu tampak sedikit horor dari biasanya. Sekali lagi, Rafa menengok jam tangan. Jarum jam panjang tepat menunjuk angka duabelas, dan jarum kecil diangka empat. Dengan penuh rasa terpaksa, Rafa melangkah memasuki area Jalan Palem.

Sebenarnya, Jalan Palem tergolong pendek. Panjangnya tidak sampai limapuluh meter. Biasanya juga digunakan sebagai rute alternatif ketika jalan utama macet. Tempat ini cukup dingin dan sejuk, berbanding terbalik dengan jalan utama yang begitu terik.

Rafa terhenti saat menginjak langkah ke-limabelas. Seseorang menarik kemeja bagian pinggang.

"Kak ..." Rafa meneguk ludah. "Apa Kakak lihat boneka saya?"

Tubuh Rafa seperti dialiri listrik jutaan volt. Ingin segera beranjak karena takut semakin menggila, namun detik yang sama, dia juga merasa ada perekat di kakinya. "Enggak! Aku enggak lihat!" Rafa menyentak keras, buru-buru berlalu cepat saat kesadarannya kembali.

Anak itu menelengkan kepala, melihat punggung Rafa menjauh.
Rafa rehat sejenak, dengan tangan memegang lutut dipertengahan jalan. Tinggal beberapa meter lagi sampai di tempat kos. Tapi, kenapa 'beberapa' terasa jauh sekali sekarang ini? Rafa kembali menegakkan punggung, mengatur napas. Tiba saat kakinya terangkat, seseorang menepuk punggung Rafa, membuat laki-laki itu terlonjak.

"Eh, maaf. Kamu enggak apa-apa?" Rafa kontan menoleh mendengar suara perempuan. Kali ini, Rafa benar-benar mengembuskan napas lega. Beban berat meluruh dari benak lelaki itu.

"Aku enggak apa-apa." Rafa menarik napas sejenak. "Kamu siapa? Ngapain disini?" Matanya memicing menatap gadis berambut acak-acakan, mengenakan almamater kampus yang sama berdiri didepannya.

"Oh? Kamu pasti mikir tentang rumor itu ya?" Gadis itu terkekeh. "Kenalin, aku Eli. Aku juga anak kampus sini kok." Eli tidak repot-repot mengosongkan tangan dari tumpukan kertas untuk menjabat Rafa. Dia justru mendekap makin erat lembaran tersebut.

Rafa mengernyitkan dahi. "Kamu enggak takut lewat sini? Ini kan masih rentang waktu pukul empat."
"Takut, kok. Tapi diujung jalan masuk tadi, aku lihat kamu berhenti ditengah jalan. Agak lama?" Dua kata terakhir Eli sedikit mengambang, terkesan seperti pertanyaan.

Rafa melebarkan mata, teringat cengkraman dipinggangnya. "Kamu lihat anak kecil tadi pas aku berhenti?"

Eli tampak heran. Dahinya membentuk beberapa lipatan. "Anak kecil? Enggak."

Gumpalan pahit seakan memasuki kerongkongan Rafa. Perasaan janggal saat memasuki jalan pukul empat kembali melingkupinya. "Oh, iya. Kamu tinggal dimana?"

Sudut bibir Eli terangkat. "Kos Bu Anjani, nomor lima."

Tunggu. Bukankah itu kos-kosan yang sama dengan milik Rafa? Tapi, itu kan kos khusus laki-laki. Mana mungkin pemilik mengizinkan perempuan disana.

"Itu kosan aku juga. Tapi bukannya itu khusus putra?" Rafa kembali menatap curiga pada Eli. Secara misterius, gadis itu tersenyum.
"Aku ‘kan anak pemiliknya." Eli tertawa singkat. "Mau bareng?"

Keganjilan dalam benak Rafa perlahan pudar setelah mendengar pengakuan Eli. Dia mengangguk, menyetujui ajakan perempuan itu. Lagipula, tidak ada ruginya 'kan? Rafa jadi punya teman perjalanan.
"Kalo boleh tahu, itu dokumen apa? Tugas kuliah?" Sesuatu mengganjal dalam benak Rafa akhirnya tersampaikan.

Sembari berjalan lamban, Eli menoleh sekilas. "Skripsi."

"Wah, aku baru semester satu, Kak." Rafa merasa berdosa karena beberapa saat lalu seperti anak tidak beretika.
"Ini juga udah selese kok." Eli tersenyum ramah, kemudian langkahnya terhenti tepat di pintu gerbang rumah ujung jalan. "Eh, udah sampe. Aku duluan ya!"

Rafa melambaikan tangan, menatap punggung Eli memasuki pagar rumah, sementara dia menghuni bangunan sebelah. Meski masih satu atap, tempat kos dan rumah pemilik berbeda bangunan. Lelaki itu bergegas memasuki kosan, berbaring sebentar pada kasur empuk kamar, sebelum disibukkan dengan tugas praktikum yang sempat terkendala.
Esoknya, Rafa mengunjungi perpustakaan pusat bersama Evan, mencari beberapa buku untuk referensi laporan. Perhatian Rafa teralih pada sebuah makalah. Tebalnya kisaran empat ratus halaman. Disana tertulis nama peneliti; Laeli Anjani.

"Udah nemu belum? Siang ini ada matkulnya, loh. Jangan sampe Pak Danang nanyain, terus kita belum ada progres apa-apa." Evan tertarik dengan benda di genggaman Rafa.

"Apaan tuh?"

"Skripsi." Rafa menjawab singkat.
Evan seperti melihat boneka annabelle ketika menatap sampul depan. "Ini, kan..." Rafa menaikkan sebelah alis. "Kenapa?"

"Kak Eli, skripsi penghormatan karena dia meninggal sebelum ikut wisuda."

Tak tahu mengapa, ada sesuatu mencelus di dada Rafa. "Meninggal?" Dia bertanya setengah mengambang, mengingat pertemuan dengan gadis bernama Eli kemarin.

"Iya, kamu enggak tahu? Waktu awal-awal ada senior cerita pas istirahat ospek. Dia alumni jurusan kita," terang Evan tampak menggebu. Sedetik setelahnya, dia bergidik.

"Eh, udah mau kelas. Buruan balik!" Rafa berinisiatif ketika melihat jam di tangan kirinya.

Beban pikiran Rafa bertambah. Puluhan pertanyaan menenuhi benaknya. Setidaknya, Rafa masih bisa berpikir positif seperti; nama Eli tidak hanya satu 'kan? Dan lagi, gadis kemarin belum ke tahap sidang sepertinya.

Usai menjalankan kuliah siang, Rafa merasa dia harus segera pulang sebelum pukul empat. Mungkin Rafa harus mencari tahu tentang anak pemilik kosan tempat dia tinggal. Tapi, niatnya menguap tatkala lelaki itu melihat kerumunan orang diujung bersimpangan.

"Dek, dek. Kamu enggak apa-apa?" Seorang pria paruh baya yang Rafa yakini petugas kebersihan, menarik lengan gadis kecil berbaju putih. Agaknya, hampir terjadi kecelakaan disana.

"Boneka saya, Pak. Boneka saya nyangkut disana." Telunjuk anak perempuan mengarah ke ranting pohon. Terdapat sebuah boneka kelinci bertelinga panjang dengan warna serupa bajunya. Suara gadis itu mirip seperti anak kecil yang mencengkram kemeja Rafa kemarin. Masih membekas jelas ditelinga.
Jadi, dia bukan hantu? Batin Rafa. Dia melihat wanita berumur tigapuluhan, berlari memeluk anak perempuan itu.

"Aduh, maaf Pak. Anak saya memang suka jalan-jalan disini, soalnya biasa sepi. Mungkin dia enggak tahu bakal serame ini." Wanita itu mengeratkan pegangan dibahu anak perempuannya.

"Iya, Bu. Enggak apa-apa, lain kali hati-hati ya Bu. Disini rawan, apalagi kalo macet gini." Seorang pedagang bakso yang sempat meninggalkan gerobak dagangan menengahi.
Kerumunan sedikit demi sedikit terurai, kembali pada kesibukan masing-masing. Boneka di ranting pohon juga sudah diambil seorang petugas keamanan. Rafa mencoba berjalan biasa saja, mengabaikan masalah tanpa konklusi dalam pikiran. Tidak sengaja, Rafa mendengar obrolan antara petugas kebersihan dan pedagang bakso.
"Aduh, untung enggak ada kecelakaan lagi ya, Pak." Pedagang bakso mengusap wajah menggunakan haduk dileher.

"Iya, kaya tahun kemarin. Mahasiswa yang ketabrak mobil. Katanya sehari sebelum ikut wisuda." Kali ini, Petugas kebersihan ikut menyahut. Terlihat mengibaskan topi, menciptakan udara sejuk. “Kasihan banget ya, Pak.”

"Iya, Pak. Anak pemilik rumah diujung situ 'kan, ya?" Petugas kebersihan menganggukkan kepala.
Langkah Rafa sontak terhenti. Dia meneguk ludah susah payah. Lelaki itu seperti menemukan benang merah permasalahan. Selama ini, dia tidak pernah bertemu anak pemilik kosan. Lalu, siapa gadis yang dia temui kemarin?

Pertanyaan Rafa terjawab sesaat setelah pandangannya mengarah pada trotoar depan tempat kosnya. Ada sebuah pohon beringin cukup teduh disana, juga sosok perempuan berambut panjang dengan kertas di dekapan. Perempuan itu tersenyum menatap Rafa. Namun, ada yang aneh sampai-sampai Rafa kehilangan keberanian untuk menatap perempuan itu lebih lama.
Kepalanya dipenuhi aliran darah.
Cukup banyak.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro