Pre-Wedding

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pre-Wedding
Story' by spoudyoo


***


"Jadi … seburuk apa kejadian yang menimpamu hingga memaksaku menemuimu malam-malam begini, Lyra?"

Lyra memang selalu sulit dimengerti untuk Jim. Gadis dengan rambut sebahu itu seakan memperbudaknya dengan meminta ini dan itu, dan yang entah mengapa selalu Jim turuti. Kebiasaan … mungkin?

"Sangat buruk."

Itu suara Lyra. Dari sudut pandang Jim, sungguh ia tidak melihat sesuatu yang salah dari penampilan gadis itu. Matanya masih bulat seperti biasa, bibirnya masih tipis berwarna merah ranum yang mungkin nikmat saat dikecup. Dan, Jim tidak menemukan sedikit pun luka di tubuh Lyra sejauh mata memandang.

"Mau menipuku?" balas Jim dengan pandangan tidak senang sembari mengambil tempat di hadapan Lyra. Mereka sedang berada di cafe depan kampus.

"Kau tahu dengan pasti kalau aku tidak bisa berbohong, Sayang."

Mungkin, kalau Lyra bukan gadis yang Jim sayangi, lelaki itu akan segera mengangkat kaki dan segera menjauh dari tempat ini. Meninggalkan gadis menyebalkan dengan senyuman iblis tapi memesona itu sendiri.

"Jangan memaksaku berkata kasar, Lyr. Kau tahu aku susah untuk menahan diri."

Pasalnya, Jim benar-benar sedang menikmati waktu sendiri untuk bermain game di kamarnya. Karena jujur saja, berkuliah di semester tua seperti dirinya sangat menguras waktu juga perhatiannya dari kesukaannya. Terpujilah dosen menyebalkan dengan segala tugas yang diberikan.

"Aku sedang bertengkar dengan Jack, dan aku sedang malas di rumah karena pasti akan bertemu dengannya."

Jim tanpa sadar mendengus, terkadang gadisnya itu memang sangat menyebalkan tanpa tahu sebabnya. Dan selalu dirinya yang menjadi korban.

And for your information, Jack itu nama kucing abu-abu miliknya.


"Aku sungguh-sungguh, Lyra. Kalau tidak ada yang penting, aku pulang. Aku sangat lelah."


Baru menjadi niat bagi Jim untuk beranjak, Lyra sudah berpindah, duduk di sebelah kanannya. Memasang wajah sendu miliknya, kemudian menyenderkan kepalanya di pundak milik Jim.

"Aku sedang ada kendala untuk menulis, Jim. Mood-ku hancur, padahal seperti yang kau tahu, deadlinenya sebentar lagi." Terdengar embusan napas kecil dari bibirnya, lalu kembali berkata, "Aku hanya berusaha membangkitkan semangatku, dengan bertemu denganmu."


***


Bila disuruh menjabarkan bagaimana peringai seorang Lyra, Jim dapat menyimpulkan bagaimana sosok gadis yang sudah menjadi kekasihnya sejak tiga tahun lalu itu dalam satu kata.  Yaitu 'Aneh'. 

Sejak awal perjalanan kasih mereka memang terbilang aneh. Hubungan mereka ada karena kalah dalam permainan 'Truth or Dare' bersama teman-temannya yang menantang Lyra untuk menjadi kekasih Jim selama sebulan. Dan dengan pemikiran aneh yang dimilikinya, Lyra menyanggupi dan mengajak Jim untuk menjadi kekasihnya saat itu juga. Dan menyetujui permintaan Lyra, adalah keputusan tergila yang diambil Jim sepanjang dia hidup.

Akan tetapi tanpa sadar keduanya baik-baik saja hingga berada di tingkat akhir perkuliahan mereka. Tidak ada deklarasi mereka sungguh-sungguh sepasang kekasih atau bagaimana saat ini, hanya saja jauh di dalam lubuk hati Jim, ada kegembiraan saat dirinya menghabiskan waktu berdua dengan Lyra.

Mungkin berteman sejak kecil membuatnya terbiasa dengan keberadaan Lyra. 

"Tugas akhirmu bagaimana? Masih dapat mengatur waktu jika kau masih aktif menulis begini?" tanya Jim sembari merapikan beberapa bungkus snack yang berserakan di atas kasurnya. Beberapa kali lelaki muda itu berdecak kesal karena remahan keripik juga ikut mengotori sprei kasur empuk miliknya.  "Demi apa pun, turunkan kakimu sebentar. Ini kotor sekali!"

Tanpa merasa tersinggung, Lyra beranjak dari posisinya untuk mengambil tempat di bawah dengan laptop yang setia dibelainya sejak tadi.

"Revisi. Mau bagaimana lagi, aku kan bodoh," sahut Lyra tanpa mau menyusahkan diri menatap Jim yang mengerutkan dahi. "Meskipun beberapa kali aku bilang kalau ini tugasku demi uang untuk bertahan hidup, menulis adalah tempat pelarianku. Yah meskipun aku akan menghancurkan kamarmu seperti ini."

Sekali lagi, Jim menghela napasnya lalu mendudukan dirinya di atas kasur, merasa jengah. Bingung bagaimana mengingatkan pada gadis itu,  bahwa bukan hanya dirinya yang menderita dengan tugas akhir yang berulang kali mendapat penolakan dosennya. Lyra … gadis yang selalu berpikir spontan, sering kali mengabaikan apa pun jika sedang memikirkan sesuatu dengan dalamnya. 

"Bagaimana kau tidak revisi, hah? Setiap pertemuan dari induksi riset tidak kau hadiri. Jelas dosen memperumit skripsimu! Aku bantu,sekarang ayo kerjakan!"

Lyra berdecak, tidak setuju dengan saran Jim. "Aku sedang banyak pikiran, Jim. Dan juga ini harus selesai malam ini. Aku tidak boleh telat update supaya bonusku lancar."

"Aku sudah menyuruhmu kembali ke rumah, orang tuamu kehabisan akal untuk membujukmu. Hampir setahun, Lyr, kau bermain petak umpet begini dengan Paman dan Bibi. Hidup sendiri seperti juga menyusahkan mu, kan?"

Jim tidak melihat perubahan khusus dari raut wajah gadis itu. Wajahnya datar saja tanpa ekspresi berarti. Meskipun sudah bersama selama beberapa tahun, Jim tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Hanya di saat-saat tertentu, mimik wajah Lyra akan berubah.

"Ada kau. Kau tidak pernah menolak jika aku datang," jawab Lyra pendek dan menampilkan senyuman yang dipaksa miliknya.

"Kau akan melalukan hal gila jika kularang."

Lyra terkekeh. "Kau kenal aku dengan baik, yah."

"Paling tidak, selesaikan kuliahmu, Lyr. Begitu lulus, kau bisa cari kerja dengan penghasilan sepadan," bujuk Jim dengan nada lembut kali ini. Kembali mencoba peruntungan.

"Dan membuat mereka bahagia? Bunuh aku saja."

Kali ini, Jim dapat melihat perubahan di wajah itu. Rahang Lyra mengetat tanpa sadar dan matanya menatap lurus pada Jim.

"Ada apa sebenarnya, Lyr? Aku tahu, bukan masalah tugas akhir yang menjadi penyebab. Potensimu lebih dari itu." Jim mendudukkan dirinya dk hadapan Lyra dan menarik kedua tangan gadis itu yang mengepal. "Aku tempatmu berlari bukan?"

Lyra tidak langsung menjawab. Matanya memandang lurus dan pikirannya berkeliaran ke sebarang tempat. Jim di hadapannnya menatap ingin tahu, tapi bagaimana cara membagi yang selama ini ditanggung olehnya? Karena semuanya terasa sangat lucu. Kehidupannya jauh dari kata menyenangkan jika orang tuanya berada di sekitarnya.

Lyra mengembuskan napasnya kasar, dan melarikan pandangan dari Jim. Lucu, semuanya terasa sangat lucu jika dipikirkan berulang kali.

Jim kembali mengerutkan dahinya menatap Lyra yang tiba-tiba tertawa dengan kerasnya. Lelaki itu hanya diam, menyaksikan bagaimana gadis yang telah menghancurkan malam santainya tertawa hebat entah karena apa. Tiga puluh detik berlalu,  Lyra bahkan masih tertawa.

Jim hanya menunggu. Menunggu Lyra tenang lalu bercerita padanya. Namun ternyata, Lyra bukannya tenang malah menangis. Tangis yang selama ini tidak dilihatnya sejak hari kematian nenek Lyra. Tanpa berniat menghentikan Jim, lelaki itu menarik tubuh kecil gadis itu dalam pelukannya.

"Mereka serakah, Jim. Mereka gila!" Kalimat pertama yang Lyra ucapkan setelah tangisannya tadi. "Aku harap kau tidak kaget atas info ini."

Sebagai mana Jim biasanya, dia akan menunggu hingga Lyra selesai bercerita. Dan mengangguk.

"Aku punya saudara, Jim."

Dan Jim benar-benar tidak merasa kaget. Ini benar-benar bukan informasi yang mengagetkan, bukan?

"Ada dua. Satu anak perempuan dari seorang wanita berkebangsaan Jepang dan satu anak laki-laki dari seorang pria berkewarganegaraan Amerika."

Untuk kalimat Lyra yang barusan, Jim mulai berpikir. Hah? Dua anak dengam kewarganegaraan berbeda? Orang tua Lyra mengangkat anak?

"Lucu 'kan? Di saat mereka memaksaku untuk menjalani kehidupan sesuai kehendak mereka, justru mereka menghianatiku dengan menjalankan kehidupan mereka masing-masing." Mata Lyra kembali berkaca-kaca. "Mereka sudah tidak hidup bersama, Jim. Mereka hidup dengan pasangan yang mereka sayangi bahkan dikaruniakan anak. Sedangkan aku? Haha! Mereka mempertahankanku untuk tahta yang selama ini mereka miliki! Kau tahu apa yang lebih parah? Mereka ingin aku segera menikah begitu lulus.  Aku tidak tahu jelas apa yang mereka rencanakan, tapi dapat aku pastikan itu jalan kebebasan untuk mereka. Aku cuma beban, bukan begitu?"

Jim tidak tahu bagaimana, tapi dirinya tercekat dengan informasi beruntun yang dibocorkan Lyra saat ini. Bagaimana … bagaimana dia bisa menahannya selama bertahun-tahun? Lyra … kenyataan ini juga menyakitkan bagi Jim. Melihat Lyra yang menangis dengan raungannya membuat sudut hati Jim seperti diremas dengan kasar, sakit. Ini sakit. Jim tidak sanggup membayangkan rasa sakit seperti apa yang dirasakan gadis yang disayanginya itu.

"Aku menyayangimu, Lyr. Selalu." Hanya itu yang sanggup diucapkan Jim saat menenangkan Lyra yang berada dalam pelukannya. Sesak di dalam dadanya saja belum hilang, bagaimana dengan Lyra. Jim hanya mengelus punncak kepala Lyra lembut. Seperti itu sampai Lyra sendiri yang melepaskan pelukannya.

Jim mengerutkan dahi kembali. Lyra yang tiba-tiba terlihat bersemangat dengan bola matanya yang membesar, seolah memperingatkan Jim untuk hati-hati karena Lyra bukanlah gadis yang bisa ditebak.

"Jangan aneh-aneh!" cegah Jim lebih dahulu bicara saat Lyra membuka mulutnya. Dirinya takut Lyra berbuat nekat seperti hmm melalukan hal ekstrim, begitu.

Lyra berdecak. "Aku tidak akan bunuh diri, kalau itu yang kau takutkan!"

"Pikiranmu tidak tertebak, Lyr!"

"Kai terlalu berpikir jauh. Sudah kubilang, aku tidak mau mereka berbahagia dengan kematianku!"

"Lalu apa? Otakku tidak sanggup menyamai pikiranmu!" Jim jadi ikut kesal, dirinya masih diliputi khawatir. Untuk kali ini biarkan Lyra berbicara tentang rencananya, lalu dia memikirkan rencana untuk selanjutnya.

Lyra tersenyum, entah mengapa membuat Jim semakin khawatir. "Nikahi aku."

Kan! Apa yang ada dipikiran Lyra sama sekali tidak beres. "Hah?"

"Sejauh ini, alasan mereka menikahkanku adalah memindahkan hak waliku." Lyra terdiam sebentar sambil menatap dalam lelaki di hadapannya. "Akan tetapi dibalik itu semua, mereka sengaja memilih suami yang tepat bagiku agar mereka juga dapat menyetir kehidupanku. Ahli waris, siapa juga yang mau melepas begitu saja, iyakan? Dan setelah kupikirkan, kau paling cocok. Jadi wali, OK? Menikah denganku, Jim!"

Jim kaget bukan main. Ini rencana bagus Lyra?

"Jangan asal! Kau pikir orang tuamu akan memberi restu setelah semuanya?!"

"Aku juga sudah memikirkannya, jadi rencamaku sebelum menikah kita sudah harus punya anak jika tidak direstui."

"Itu bukan rencan, astaga!"

"Lalu bagimana? Aku ingin keluar dari kukungan mereka, Jim."

Jim memijat dahinya pelan, ini menyesakkan pikirannya. "Kita coba dulu, meminta izin. Sekarang belajarlah bertingkah seolah kau benar-benar sayang padaku!"

Lyra memekik senang lalu menubruk tubuh Jim untuk memeluk lelaki itu. "Kan sudah berapa kali kuucapkan kalau aku benar-benar menyanyangimu, Sayang!"

Dan tanpa Jim sadari, dirinya sama sekali tidak berpikir mengenai rancangan hidup yang sudah disusunnya sejauh ini demi kebahagiaan seorang Lyra.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro