When I Will Die

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

When I Will Die
Written by matapelangi

A/N

Cerpen ini aku buat sebagai tanda bagi para pejuang kanker agar tidak mudah menyerah atas penyakit yang mereka derita serta harus tetap kuat atas keadaan meski terasa menyedihkan.

Ketahuilah, bahwa sekalipun rasa pasrah mulai menyelimuti diri kita, pasti ada satu orang yang akan terus memberi dukungan serta semangat dan doa untuk kamu agar terus berjuang, dan salah satunya adalah aku, 'matapelangi' 😄💕

Semangat buat kalian para orang-orang terbaik pilihan Tuhan.

*****

Perlahan aku membuka mata saat merasakan ada sesuatu tengah menyentuh tanganku. Rasa berat yang mengganjal membuat kelopak mataku  kehilangan fokus untuk dapat melihat sekeliling.

Saat pandanganku perlahan mulai kembali normal, kulihat seorang lelaki tengah tertidur dalam posisi duduk tepat di tepian bangsal milikku. Dan aku terasadar, bahwa sesuatu yang menyentuh tanganku itu adalah tangan miliknya.

Tak kusangka bahwa aku masih bisa membuka mata serta merasakan sebuah sentuhan, kupikir aku sudah mati seperti yang mereka katakan. Mengapa harus ada penundaan jika hari ini seharusnya aku sudah tiada? Apa Tuhan kini sudah berubah pikiran soal pencabutan nyawaku yang tak begitu berarti ini?

Tapi kenapa? Kenapa harus ada penundaan jika semua yang terjadi padaku telah mengubah diriku seutuhnya, baik dari segi fisik hingga penampilanku semuanya berubah, aku sudah bukan Lisa yang dulu lagi, dan aku yakin bahwa Dias masih berada di sini hanya karena terpaksa.

Dengan kasar aku menyingkirkan tangan Dias yang tengah memegangiku, sudah tak ada gunanya lagi bagiku. Kini aku adalah tulang hidup yang berlapis kulit, kanker payudara menghancurkan hidupku hingga yang dapat kulakukan hanyalah menanti ajal secepat mungkin.

Kupandangi sekitar, tampak sepi, tidak satupun ada orang yang peduli baik keluarga atau teman-temanku dulu. Percuma rasanya untuk menangis sebab tak ada yang akan mengasihani walau rasanya aku sangat menginginkan itu. Mereka telah pergi jauh sebelum aku mengharapkan kematian, seolah perginya aku nanti tak akan berarti apa-apa bagi mereka.

Masih teringat dengan jelas saat pertama kali aku datang ke tempat ini, wajah-wajah orang yang peduli senantiasa memberiku semangat juga dukungan untukku agar aku dapat melawan penyakit yang bersarang pada diriku. Mamah dan Papah adalah orang pertama yang mengahrapkan kesembuhanku, Ana dan Dias adalah sahabat yang sabar untuk menemaniku selama masa terapi dan pengobatan.

Tapi entah kenapa kesembuhan tak kunjung berpihak padaku, semua perawatan yang aku lalui bukannya membuatku sehat malah menjadikan tubuhku kian melemah dan sakit. Yang dapat kulakukan hanyalah terbaring lemas di bangsal rumah sakit selama tiga tahun.

Rambut panjangku yang indah sedikit demi sedikit berguguran hingga tak tersisa sehelai pun. Bahkan tubuhku kehilangan banyak berat badan sampai membuatku bagaikan tengkorak.

Aku malu, setiap malam aku tak dapat  tidur dengan nyenyak sebab selalu meratapi diriku sendiri. Penyesalan terbesar dalam diriku adalah karena diberi anugerah berupa kanker payudara ini, penyakit yang menyiksa diriku baik secara fisik dan batin.

Rasa sesak memenuhi rongga dadaku hingga membuat aku kesulitan bernapas, sebisa mungkin air mata kutahan agar tak jatuh mengalir dengan sia-sia. Seiring dengan kepiluan yang menguasai diriku ini entah mengapa tubuhku terasa lemas seketika, bahkan rasa panas yang meradang seolah memenuhi tubuhku hingga membuatku bergetar-getar.

"D-dias tolong!"

"Dias!" panggilku lemas.

Seketika lelaki itu terperanjak dari tidurnya dan menatapku dengan pandangan terkejut.

"Lisa kamu kenapa, Lis?"

"Dokter!"

"Dokter!!!" teriaknya nyaring, memanggil bantuan seolah aku harus ditolong sesegera mungkin.

Seandainya aku bisa berbicara dengan lantang dan jelas dalam keadaanku yang sekarang ini, rasanya aku ingin berkata padanya untuk tidak perlu repot-repot memanggil bala bantuan demi menyelamatkanku. Dan sebenarnya aku juga ingin memintanya untuk pergi sejauh mungkin agar bukan wajah tampannya yang terakhir kali kulihat saat kematianku, sebab aku takut merindukannya di alam baka nanti.

Mau bagaimanapun, perasaan suka yang kupendam padanya hanya bisa ksimpan dalam hati. Tak pernah ada keberanian bagiku untuk dapat mengutarakan padanya, ditambah keadaanku yang sekarang ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dapat menyatakan cinta padanya.

Aku takut, sekaligus malu, karena aku yang dulu maupun yang sekarang ini sama saja. Sama-sama bodoh, hanya saja dalam keadaan yang berbeda.

"Lisa kamu harus kuat Lisa. Kamu gak boleh tinggalin aku, tinggalin kami semua," ucapnya parau, dan di telingaku terdengar seperti racauan orang bodoh.

Aku menggeleng lemah sebagai bantahan dari perkataan konyolnya, maksudku, orang tolol mana yang menaruh harapan pada diriku sementara dokter saja sudah dapat memperkirakan umurku. Bahkan kedua orang tuaku pun sudah tidak memperdulikan keadaanku lagi, seandainya aku mati pun mereka pasti tak akan sudi untuk memakamkan jasadku secara layak selain dikremasi oleh pihak rumah sakit.

Tak lama seorang dokter pria paruh baya datang memasuki ruang rawat inapku ditemani dua orang suster di belakangnya. Mereka mengecek keadaanku baik dari segi suhu badan, detak jantung, sampai kesalahan-kesalahan lainnya yang membuat aku mengalami kesakitan ini.

Susah payah aku meraih lengan dokter yang tengah fokus pada pemeriksaan diriku tersebut. Saat tanganku berhasil meraih pergelangan tangannya, aku mencoba untuk membuka mulut dan mengatakan sesuatu.

"Kenapa saya tidak kunjung mati," ucapku lemah hingga terdengar seperti bisikan.

Dias tampak terkejut saat mendengarku berbicara demikian, dan lagi-lagi tangannya yang hangat menggenggam jari-jariku sambil berkata. "Kamu pasti bisa hadapin ini semua Lisa! Kamu kuat, kamu harus bertahan," ujarnya nyaring, dari raut wajahnya aku tahu kalau ia sebenarnya tengah menahan tangis.

"Kamu harus pergi Dias," usirku, kali ini aku benar-benar ingin ia untuk pergi.

Dan dari apa yang aku katakan ia hanya memberikan respon berupa gelengan kepala, tanda bahwa ia menolak perintahku.

"Kamu nggak boleh di sini! Gak boleh!" ujarku sambil berurai air mata.

"Aku nggak bakal pergi ke mana pun, Lis," sahutnya tegas.

"Harus! Karena aku nggak mau melihat kamu menangisi kematianku dihembusan napas terakhir," kataku lemah.

Dan semakin lama perasaan bergemuruh bercampur sakit malah semakin menjadi-jadi dalam diriku. Lama-kelamaan kelopak mataku semakin berat untuk dapat dibuka, apakah rasanya mati sesimpel ini? Kalau begitu kenapa tidak dari dulu saja? Bertahun-tahun aku menderita, jika tahu mati karena sebuah penyakit sangat sesederhana ini harusnya aku sudah tiada.

"Lo harus kuat setidaknya demi gue!"

"Demi orang yang masih peduli dengan keadaan lo!" Pekiknya lantang, membuatku merasa tak percaya akan apa yang

Entah ini halusinasi atau sungguhan aku tak tahu, tapi yang pasti kalimat itu membuatku merasa kehilangan rasa takut walau sedikit. Dan kupikir, ini adalah saat yang tepat bagiku untuk mengungkapkan rasa sukaku terhadapnya meski tak akan berarti apa-apa.

"Dias"

Lelaki itu kini menatapku dengan sangat dalam meski kelopak matanya berkaca-kaca.

"Sebenarnya aku suka sama kamu lebih dari selayaknya seorang sahabat. Tapi persahabatan yang udah kita jalin dulu buat aku nggak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak pertemanan di antara aku, kamu dan Ana," ucapku ragu.

Respon dari Dias hanya sebuah tatapan yang sama seperti tadi, namun bedanya kali ini ia mencium jari-jari tanganku dengan lembut.

"Kami sudah mencoba untuk melakukan yang terbaik sebisa kami, tapi maaf, ini memang sudah waktunya bagi sodari Lisa," ujar Dokter yang telah merawatku cukup lama itu.

Dan benar saja, semakin lama rasa sakit ini semakin menjadi, dan mataku semakin berat untuk dapat dibuka.

"Lisa kamu nggak boleh pergi, Lis. Masih ada aku yang sayang dan peduli sama kamu!"

Hanya seulas senyum yang dapat aku berikan kepadanya, kepada lelaki yang ternyata juga mencintaiku itu. Meski menyesal karena terlambat dalam mengutarakan perasaan, aku tetap ikhlas, semoga kami dapat dipertemukan di keabadian nanti.

End....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro