Makhluk Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mahluk Hujan
By: Yuli_F_Riyadi


Paling malas kalau mau berangkat sekolah hujan. Uuh bete. Pagi-pagi hujan paling enak itu tidur lagi, sembunyi di balik selimut tebal dan kasur empuk. Hmm nyaman.... Kecuali, aku bertemu lagi dengan mahluk hujan. Mahluk hujan? Yah, musim hujan tahun lalu aku akan selalu melihatnya di sini. Di tengah rintik hujan di halte tempatku menunggu bus sekolah. Aku selalu berpikir hanya kalau hujan sajalah aku bisa melihatnya, menemukannya di sini. Apa sekarang mahluk hujan itu masih suka dengan hujan? Karena beberapa hari kehujanan, aku belum melihatnya kembali.

Beberapa kali aku menghela napas panjang. Bus yang akan aku tumpangi selalu penuh. Aku terpaksa mengalah daripada berebutan seperti itu. Aku tak berani, jalanan licin. Aku tak mau jatuh hanya karena berebutan menaiki bus. Tapi kan aku bisa telat ke sekolah? Bodo amatlah yang penting aku selamat.

Kutengok kanan kiriku yang mulai sepi. Sepi. Hanya aku dan dua orang lagi yang masih terlihat sedang menunggu bus. Tapi tak berapa lama, satu dari mereka menaiki bus yang baru saja merapat. Sayangnya, itu bukan bus yang ingin aku tumpangi. Tinggal aku dan seorang lagi yang berdiri agak menjauh dariku. Seorang cowok tinggi, rambutnya agak gondrong tangan kirinya masuk kedalam saku celana dan tangan kanannya memegangi payung. Cowok itu bergeming, pandangannya lurus ke depan. Dan ada bayangan indah kulihat di raut mukanya. Tapi tunggu. Aku pandangi lebih seksama sosok itu. Dia itu kan... hah... mahluk hujan itu. Iya. Tak salah lagi. Mahluk manis yang sering aku lihat setahun lalu saat musim hujan tiba. Aku melihatnya lagi.

Tiba-tiba....

“Agh...!” seruku saat angin hujan menerpaku. Payung yang sedari tadi aku pegangi nyaris terbang. Alhasil rok dan bajuku jadi basah semua. Aduh bagaimana ini? Ih... masa iya aku harus ke sekolah dengan seragam basah begini?

Aku tengok ke arah cowok itu berdiri. Apa? Dia tak ada? Ke mana dia pergi? Apa mungkin dia sudah naik bus? Setahu aku, sampai bajuku basah begini belum ada lagi bus yang lewat. Jadi dia ke mana? Aah sudahlah. Aku harus pulang lagi untuk mengganti seragamku.

“Kok bisa telat sih lu?” tanya Anggi teman sebangkuku. Untungnya aku tidak dihukum karena ketelatanku.

“Lah kan gue udah bilang, gue kehujanan.”

“Lain kali kalau mau berangkat sekolah terus hujan, lu telpon gue aja. Biar ntar gue samperin lu dulu.”

“Ah nggak mau.”

“Kok nggak mau? Lu lebih seneng kehujanan terus telat masuk sekolah gitu?”

“Enggak, Gi. Gue mau nunggu bus aja di halte. Biar pun gue kehujanan tapi gue bisa lihat mahluk hujan itu.”

“Mahluk hujan?”

“Iya, cowok ganteng yang muncul di depan mata gue kalo musim hujan tiba.”

“Lu aneh deh, Ra.”

“Emang begitu.”

“Siapa cowok itu? Namanya siapa dan dari mana?”

“Gue nggak tahu.”

“Nggak tahu?”

“Iya, gue belum pernah kenalan sama dia.”

“Yaelah, Ra. Ko lu jadi gaje gini sih?”


===oOo===

Pagi ini tidak turun hujan. Sudah kuduga, aku tidak melihatnya. Dia memang hanya muncul saat hujan. Sudah pukul setengah tujuh. Sampai aku naik bus pun dia tidak muncul. Aku jadi penasaran dan bertekad musim hujan kali ini harus bisa mengenalnya. Setidaknya tahu nama dia.

Sore ini mendung. Aku yakin sebentar lagi hujan. Awan di langit juga sudah terlihat hitam. Seperti tengah mulai berada pada titik jenuh untuk menumpahkan air jernih yang terkandung di dalamnya. Ya, hujan pun turun lagi. Aku tersenyum senang. Aneh, kenapa aku malah senang? Padahal aku mendengar dari belakang ibu mengomel gara-gara cuciannya tak kering.

Mahluk hujan. Kalau memang hanya saat hujan saja dia muncul, itu artinya sekarang dia ada. Tiba-tiba aku punya ide yang menarik.

“Ibu! Tara pergi sebentar yaah!” Aku berlari ke depan dan menyambar payung yang tergantung di samping pintu.

“Tara mau kemana?! Ini hujan!”

Aku tak menghiraukan teriakkan ibu. “Tenang, Bu. Aku Cuma ingin ke halte sebentar.” Memastikan kalau dia ada di sana sekarang. Kurasakan hujan semakin lebat tapi untung saja tidak disertai petir yang menggelegar. Jadi, aku sedikit berani untuk keluar rumah.

Halte tampak sepi. Tak ada orang satu pun. Tapi langkah kakiku tak mau berbalik arah meninggalkan halte yang sepi itu. Malah ingin mendekat. Sedikit berkabut hujan kali ini. Aku terus berjalan hingga mataku menangkap samar-samar sosok seseorang yang tengah berdiri di sana. Itu dia. Benar.

Tidak ada siapa pun selain dia di situ. Mungkin inilah saatnya aku memberanikan diri untuk tahu siapa dia. Toh memang tujuanku itu kan datang kesini? Dia  bergeming dengan keberadaanku. Sepertinya dia lebih asyik menikmati rintik hujan daripada sekadar tahu kedatangannku.

“Hai,” sapaku pelan memberanikan diri.

Dia menoleh. Ya ampun! Tak pernah aku melihat mahluk sempurna seperti dia. Kalau Anggi tahu, pasti dia juga akan terpesona sepertiku sekarang. Kali ini aku bisa jelas melihat wajahnya. Meskipun agak sedikit pucat, tapi dia begitu tampan.

“Apa kamu sedang menunggu bus?” tanyaku bodoh. Ini halte, mau apalagi kalau tidak sedang menunggu bus?

“Iyah,” jawabnya.

“Ooh, mmm... aku sering melihatmu di sini. Tapi aku tidak pernah melihat kamu naik bus. Dan aku hanya melihatmu kalau jika hujan turun.”

Agak ragu, namun tetap aku lontarkan kata-kata itu juga. Dia menoleh lagi. Ada sedikit keterkejutan di raut mukanya. Tapi hanya sebentar, lalu dia kembali ke wajah datarnya. Apa yang ada di pikiran cowok ini yah?

“Aku Tara,” kataku lagi mengulurkan tangan dan dia menyambut saja. Tangannya dingin. Apa dia kedinginan? Yah tentu saja ini sedang hujan.

“Alfin,” sahutnya.
“Boleh aku tahu sedang apa kamu di sini?” tanyaku lagi.

“Aku sedang menunggu seseorang.”
“Oyah? Lalu di mana dia?”

“Dia belum datang.”

“Apa kamu menunggunya setiap hujan saja?”

“Dia berjanji akan menemui aku di sini.”

Kurasakan hujan semakin lebat. Ditambah tiupan angin yang kencang.

“Tapi Alfin, hujan semakin lebat. Apa kamu mau menunggunya terus? Aku rasa lebih baik kamu pulang saja.”

“Aku sudah biasa. Kamu pulang saja. Tak baik kamu lama-lama di sini. Nanti kamu bisa sakit.”

“Tapi kamu juga harus pulang, Alfin. Apa kamu mau pulang ke rumah ku? Rumahku dekat kok dari sini.”

“Aku akan pulang kalau ada yang mau menemaniku selamanya di sini.”

“Maksud kamu?”

“Dia mungkin tak akan datang. Aku akan selalu sendiri menunggunya di sini. Aku butuh seorang teman di sini.”

“Apa kamu mau aku temani?”

“Tidak perlu, Tara. Kamu pulang saja. Hujan akan semakin lebat dan angin akan semakin kencang. Ini bahaya buat kamu. Mending kamu pulang saja.”

“Tapi kamu sendiri di sini, Fin.”

“Tara!” sebuah suara memanggilku. Suara ibu. Sedang apa ibu di sini?

“Tara ayo pulang cepetan. Hujannya gede, Nak.”

“Pulanglah Tara, ibumu memanggil,” kata Alfin pelan.

“Kamu ikut denganku saja, Fin.”

“Aku tak bisa.”

“Tara!” Ibu memanggil lagi.

“Iya, Bu. Sebentar! Aku akan segera ke sana. Alfin aku...”

Alfin? Saat aku hendak berpamitan dan berpaling padanya, dia malah tak ada. Ke mana dia pergi? Cepat sekali.

“Trra!” Ibu mengagetkanku. “Kamu sedang apa di sini sendiri? Ayo pulang, hujan-hujan keluyuran.”

“Sendiri gimana? Dari tadi aku sama temen aku, Bu.”

“Teman siapa? Mana? Dari tadi ibu lihat kamu sendiri, Tara.”

“Iih Ibu, aku tadi di sini sama Alfin. Gara-gara Ibu sih Alfin jadi pergi.”

“Alfin,Alfin, siapa Alfin?! Sudah ayo pulang.”

Terpaksa aku menurut ajakan ibu.

Toh si Alfin juga sudah kabur duluan. Aneh. Perasaan tadi hujan lebat banget, kenapa sekarang malah jadi mereda tiba-tiba gini? Alfin ke mana dia pergi? Tapi aku yakin dia tinggal di daerah dekat sini juga.

===oOo===

“Alfin?”

“Iyah namanya Alfin.” Ceritaku di sekolah pada Anggi.

“Kayak nama sepupu gue.”
“Sepupu lu?”

“Iyah yang tinggal di jalan mawar.”
Jalan mawar dekat dengan jalan melati, jalan melati itu rumah aku. Jadi benar kan dugaanku dia tinggal tak jauh dari situ.

“Masa sih Nggi? Kalo memang Alfin yang gue kenal itu sepupu lu kenalin ke gue dong, Nggi.”

Anggi menyentak tanganku yang bergelanyut ke tangannya. “Lu gila yah mau kenalan sama Alfin.”

“Lah emang kenapa?”

“Dia itu sudah meninggal setahun yang lalu.”

“Apa?!”

“Iya, dia sudah meninggal Tara. Nggak mungkin kan gue kenalin dia ke lu.”
Aku menelan ludah tak percaya.

Mungkin bukan Alfin sepupu Anggi yang aku kenal.

“Alfin sepupu lu udah meninggal?” tanyaku pelan.

“Iya. Kata tante Ira mamanya Alfin dia meninggal saat sedang menunggu pacarnya di halte bus. Saat itu hujan sangat lebat tapi pacarnya itu tak kunjung datang hingga saat pas mau menyebrang jalan dia tertabrak sebuah bus dan dia meninggal.”

Tiba-tiba aku merinding mendengar ceritanya. Meninggal di tengah hujan. Tertabrak bus. Dan sedang menunggu seseorang yaitu pacarnya. Alfin. Kemarin Alfin juga bilang begitu. Apa mungkin? Tidak, itu pasti bukan dia.

“Kenapa lu jadi pucat gitu, Ra?”

“Gue nggak apa-apa. Kemarin gue sempat ngobrol sama Alfin katanya dia juga sedang menunggu seseorang.”

“Ya mungkin aja. Tapi yang jelas kalo Alfin sepupu gue mah udah meninggal. Jadi, nggak mungkin kan yang lu liat itu dia?”

Aku manggut-manggut ragu.


===oOo===


Entah mengapa. Pulang sekolah langkahku berbelok ke jalan mawar, bukan jalan melati. Aku hanya penasaran saja. Ingin memastikan kalo Alfin yang aku kenal bukanlah Alfin sepupu Anggi yang sudah meninggal itu.

Sekarang aku tengah berdiri tepat di sebuah rumah bercat putih. Dari alamat yang Anggi berikan, aku rasa ini benar alamat rumahnya. Aku mengetuk pintu rumah itu. Tak lama kemudian, wanita separuh baya membukakan pintu. Mungkin dia yang bernama Tante Ira.

“Maaf, Nak. Mau nyari siapa yah?” tanyanya ramah.

“Maaf Tante, saya temannya Anggi. Nama saya Tara.”

“Temannya Anggi? Ooh iya ayo masuk, Nak Tara.”

Tante cantik itu membawaku masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya begitu rapi dan bersih. Benar-benar rumah yang sangat terurus. Penghuninya pasti orang yang rajin.Tapi tak lama langkahku tersendat. Sebuah foto keluarga yang terpajang besar di dinding mengagetkanku.

“Tante itu...”

“Kenapa, Nak?”

Aku menunjuk foto itu.

“Itu foto keluarga tante.“ Tante Ira menjawab.

“Dia Alfin, Tante?”

“Iya, kamu mengenal almarhum anak tante juga?”

Ini tidak mungkin. Jadi benar Alfin itu... lalu yang aku temui kemarin sore? Tapi itu benar-benar wajah yang sama dan Alfin beneran sudah meninggal.

“Tante, Aku bertemu Alfin kemarin sore di halte bus,” kataku pelan menunduk.

“A-apa?”

Tante Ira seperti tak percaya aku telah bertemu Alfin kemarin. Tapi itu benar adanya. Aku bertemu dan berkenalan dengannya. Dengan orang yang sudah meninggal. Aku sendiri agak sedikit syok. Aku berharap bisa mengenal lebih jauh tentang sosok yang aku kagumi selama ini. Tapi anehnya, kenapa Alfin menampakkan diri di depan aku saja?

Pulang dari rumah Tante Ira, hujan kembali turun. Aku selalu sedia payung dalam tas sekolah. Tentu saja, karena ini adalah musim hujan, jadi aku selalu sedia membawa barang berharga ini. Kalau aku ke halte sekarang, mungkinkah aku akan menemukan Alfin lagi? Ya, lebih baik aku ke sana.

Kabut hujan agak sedikit menghalangi pandanganku. Kalau dari jalan mawar, aku harus menyeberang jalan besar untuk sampai  ke halte itu. Jalanan tak begitu ramai. Dari arah seberang, aku sepertinya melihat sosok Alfin lagi. Dia  masih berdiri di halte itu. Tapi kali ini dia melambaikan tangan ke arahku. Mustahil sekali. Ini gila. Aku berteman dengan hantu Alfin. Tapi aku beneran ingin melihatnya lagi.
Ugh, kabut hujan benar-benar menghalangi pandanganku. Aku harus berhati-hati menyeberang jalan. Pelan, aku langkahkan kaki. Alfin kulihat masih melambaikan tangannya. Aku hendak membalas lambaian tangannya saat sebuah mobil hampir saja menabrakku. Untung saja, aku segera menghindar. Tapi tak urung juga aku terjatuh ke tengah jalan. Aku mencoba bangkit. Namun, kepalaku terasa berat dan sakit. Aku berusaha bangun lagi meskipun merasakan nyeri di tangan. Ah tanganku luka. Tapi aku bisa bangun dan melanjutkan langkahku. Hanya luka kecil dan sedikit sakit di kepala.

Alfin tersenyum melihatku. Kali ini aku tak melihat wajah pucatnya lagi. Ada keceriaan di raut mukanya dan  itu semakin membuatnya tampan.

“Aku senang kamu mau menemaniku,” katanya begitu aku sampai di hadapannya.

“Alfin aku....”

Tiba-tiba Alfin meraih tanganku dan menggenggamnya. Tak ada rasa dingin lagi. Tangannya begitu hangat. Malah aku yang merasa kedinginan. Iya, aku menggigil kedinginan.

“Alfin. Aku sudah tahu semuanya. Maaf, aku harus pulang.”

“Iya, kamu akan pulang bersamaku, Tara.”

“Tidak, Alfin. Dunia kita berbeda. Aku akan pulang ke rumahku. Ibuku sudah menungguku.”

Alfin tersenyum, sangat manis dan memesona. Tak lama dari itu, aku mendengar keramaian, hiruk pikuk jalanan. Padahal hujan semakin deras. Tapi, kenapa begitu sangat ramai orang?

“Alfin, ada kecelakaan,” kataku kaget. Padahal tadi aku yang hampir saja tertabrak, sekarang malah ada kecelakaan lagi. Syukurlah tadi aku tak apa-apa. Tapi aku penasaran, siapa yang tertabrak? Aku berlari ke tengah jalan yang ramai. Ingin melihat kejadian itu lebih dekat.

“Permisi, permisi, permisi.”

Aku berhasil menyelak kerumunan orang-orang itu. Sesosok gadis berseragam putih abu-abu lemah tak berdaya dengan luka di kepalanya, tergeletak disirami air hujan yang semakin deras. Aku sangat mengenal wajah itu. Ini tidak mungkin. Gadis yang tak berdaya itu ... aku sendiri.


THE END

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro