Kelas Origami

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kelas Origami
Karya Aresreva


"Bukan begitu caranya," Dia lekas menarik tangan yang tak terampil itu di atas kertas origami berwarna merah muda. "segampang ini kok. Tapi kamu nggak bisa." Dia menggerutu dengan menggantikan kedua tangan itu melipat bagian kanan dan kiri ke tengah.

Di sampingnya, dia memilih diam, mengembuskan napas, dan berakhir mencebik. "Udah tahu ini bukan aku banget, tapi kamu maksa." Kali ini kedua tangan itu terlipat di dadanya.

Dia menghentikkan kedua tangannya dari lipat-melipat, segera menelengkan kepalanya ke dia, perempuan yang sejak lahir mengikutinya. Yang sejak 18 tahun mengekornya sampai ke mari, ke Surabaya. "Aku nggak pernah nyuruh kamu ke sini, apalagi pake paksaan."
Dia menatap ke depan, memilih menatap teman-teman tak dikenalnya, tetapi dikenal oleh pria ini. Sedangkan, dia memilih termangu diam, menyaksikan teman-teman pria ini melipat bermacam-macam origami cantik. Dia cantik tetapi tidak dengan keterampilan melipat kertas lipatnya.

Dan sampai saat ini pun, kedua mata mereka tidak bersitatap, seakan-akan mereka berdua tidak ingin kedua mata itu bertemu, untuk menimbulkan rasa. Dia memutar kedua bola matanya, jengah. "Kalau aku nggak ikut, kamu pulangnya nanti sendiri."

Dia masih menatap, "Namanya juga dewasa. Nggak masalah sendiri."

"Tapi, orang dewasa kadang bersikap kanak-kanak."

"Iya, emang. Kayak kamu." Dia segera membalas kalimatnya. Langsung tanpa jeda dengan nada datar.

"Enak saja!" Dia mulai ingin mendendam. Kepalanya sejenak ingin berpaling untuk menatapnya, agar kemarahannya tampak di mata pria di depannya. Namun, tidak. Dia tidak melakukannya. Kedua matanya masih menatap lurus. Kedua tangannya menggantung di atas kedua siku yang terlipat duduk.

Berapa lama tanpa ada singgungan kata lagi, pria itu kembali melipat. Hampir selesai, tetapi tangannya kembali terhenti ketika mendengar dia mulai melantur lagi, "Dewasa itu aneh ya? Bahkan ada hierarki dalam kata Dewasa."

"Hmmm."

"Karena hierarki itu, kadang-kadang manusia memiliki krisis yang itu." Dia akhirnya menelengkan kepalanya ke pria itu, tetapi pria itu tidak menanggapinya. Walaupun tangan itu diam, walaupun telinga itu mendengarkannya, dia tahu pria di sampingnya telah menolak. Menolak semuanya. Menolak apa pun yang akan dia katakan. "Kenapa sih kita harus bersikap dewasa di saat menjadi apa adanya itu lebih menggairahkan."

"Karena gairah itu sifatnya sementara, Jani."

"Jangan panggil aku Jani. Kalanjani, bukan Jani." Kali ini, mereka berdua bersitatap. Perempuam itu berhasil menapakkan kebencian itu. Dan berkali-kali lipat.

"Kamu kembali nggak bersikap dewasa." Dia mencoba meredam kebencian di kedua matanya.
Dia menyungging senyum remeh,

"Oh ya? Hierarki kedewasaanmu aneh, ya, Al?" Dia menelengkan kepalanya bukan untuk menghindar dari kedua matanya yang selalu dia buru, tetapi karena dia tidak ingin. Dia benci. Kata dewasa itulah yang menjadi batasan mereka. Kata dewasa itulah yang menolak Kalanjani sebagai teman hidup Alan. Dewasa yang membuat Kalanjani memiliki krisis identitasnya sendiri terhadap makna dewasa.

Sial. Dia benci. Di tengah-tengah suata kertas, dia benci dengan kebencian yang selalu ingin membawa air mata itu untuk diperlihatkan ke Alan bahwa dia cengeng, dia nggak dewasa, dan dia masih kanak-kanak.

"Jangan nangis di sini." Perintahnya pelan. Bahkan suaranya dikalahkan oleh suara tangan yang beradu dengan kertas.

"Kamu tahu nggak, Al?" Dia menolehkan kepalanya, menatap mata Alan.

Tentu dia terhenyak saat ditatap Kalanjani. Dua mata itu berair dan karena dirinya.

"Kalau hierarki kedewasaanmu itu mampu melipat origami, nggak menangis, nggak ngambek, dan nggak--" dia menaham sesenggukan yang hampir membuat teman teman Alan menoleh ke arahnya."aku nggak bisa. aku nggak bisa terus jadi ekormu. Aku maunya di samping kamu."

Alan terdiam. Menyesal kedua mata mereka bersitatap saat kalimat Kalanjani seperti itu. Dia memilih diam. Alan diam bersamaan dengan Kalanjani berdiri di depannya. Alan tak mendongak, dia hanya menatap lurus, ke tempat mata Kalanjani bertemu dengan kedua matanya tadi. Kedua tangannya pun diam. Ruangan terdengar suara bergemerisik kertas di tengah-tengah derap langkah Kalanjani mulai mendekati pintu  Suara berdecit itu terdengar, menarik perhatian para pengracik kertas untuk menoleh ke belakang. Melihat apa yang terjadi ternyata tidak penting, mereka kembali melipat, tidak memedulikan salah satu temannya tengah terdiam penuh banyak tanya.

S

ampai seseorang menyikutnya, dia tergerak mendongak ke samping kiri. Seorang perempuan paruh baya. Dia mengambil alih kertas lipat Alan, membantu melanjutkannya.

"Segampang ini loh Lan bikin burung bangau. Kok sampai bengong." Perempuan baya itu tertawa ringan, tawa yang tak terlalu keras sampai menganggu kosentrasi muridnya dari melipat kertas.

"Ini bukan punyaku. Ini punya dia." Alan mencoba menjelaskan.

"Perempuan cantik tadi itu nggak bisa bikin origami? Padahal cantik. Memang nggak semua hal cantik itu cantik." Perempuan paruh baya itu tersenyum sembari meletakkan origami burung bangau itu di pangkuan Alan.

Saat origami itu di pangkuannya, Alan terhenyak. "Dia punya kelebihan sendiri."

"Semua orang punya kelebihan sendiri, Lan."

"Tapi dia nggak dewasa. Tadi aja sempet nangis. Hanya karena aku panggil dia Jani. Jani itu artinya orang yang melakukan kesalahan. Dia selalu nggak suka dipanggil itu. Kanak-kanak banget, kan, Bu Sri?"

Anehnya perempuan paruh baya itu menggeleng, "Selalu berarti dia sudah meminta kamu nggak untuk memanggilnya dia dengan kata itu. Ada janji yang kamu ingkari di pertemanan kamu." Dia menatap origami burung bangau. "Origami ini cantik tapi sebenarnya dia kalau terlepas menimbulkan bekas jelek.
Namun, kita berjanji untuk memperbaruinya, melipatnya dengan benar, tanpa harus merusak sisa yang lain."

"Maksudnya?"

"Kalau soal dewasa atau nggak, kamu tahu semua orang punya kelebihan masing-masing. Dan semua orang juga punya kedewasaan masing-masing. Semua punya tempat masing-masingnya, Lan. Nggak harus semua itu diukur berdasarkan tingkatan. Memang semua punya tingkatan masing-masing. Tapi lihat kelas origamiku ini, Lan, bagaimana tingkatan pemula sampai mahir saling mengajari bukan hanya belajar. Semuanya berdampingan, Lan. Tidak ada yang merasa dia di bawah. Nggak ada."

Lantas, kalimat panjang dari pemilik kelas origami ini mengalun di kepalanya, saat itu pula ingatan kalimat Kalanjani terdengar keras. "aku nggak bisa. aku nggak bisa terus jadi ekormu. Aku maunya di samping kamu."

"Bu, maaf, saya ijin." Belum sempat ada jawaban dari si punya kelas, Alan beranjak. Derap langkahnya tegas sehingga suara langkahnya menarik perhatian. Namun tidak seperti perempuan cantik tadi. Perhatian mereka tertuju hanya ke Alan yang mulai melenggang untuk menjauhi kelas origami. Ini adalah hal pertama yang dilakukan Alan untuk memilih pergi dari gemerisik suara kertas yang terlipat. Pertama kali itu dia hanya lakukan untuk dia, perempuan yang mengekorinya selama bertahun-tahun. Namun, mereka di dalam kelas ini tidak tahu. Kecuali sang pemilik.

###

"Lan, udah ketemu sama perempuan cantik itu?"

"Dia pergi sama temannya, Bu." Alan menjawab seadanya.

Bu Sri mengangguk pelan, tetapi dia tahu raut wajah Alan menampakkan kesedihan.

"Kenapa Bu Sri selalu bilang dia cantik? She has a name. Her name is--"

"Kalanjani. Saya tahu. Siapa yang nggak tahu dia sih. Saya seneng waktu kamu ngajak dia ke sini, tapi sedih saat lihat kamu seperti ini. Dan dia memang cantik. Saya sebagai perempuan saja terpesona."

Alan tergelak tetapi gelak tawanya lemah. Selemah dua bahunya yang merosot tanpa daya. "Saya telat untuk bilang, dia nggak perlu mengekor saya terus, Bu. Saya pengen dia di samping saya. Tapi saya telat."

Bu Sri menghela napas. "Saya lupa kasih tahu bahwa seni lipat kadang perlu batas untuk mendapatkan bentuk yang kita inginkan. Sama dengan cinta. Cinta itu ada batasnya, Lan. Saya nggak tahu. Kamu melampaui batas atau nggak demgan dia. Namun, ya, meskipun lipatanmu melampaui batas kadang bentuknya indah kalau kamu dengan kertas itu saling mengerti."

Alan terpukau. "Dia mengerti saya. Tapi--"

"Origami nggak perlu banyak kata, Lan. Tindakan yang diperlukan untuk menjadi cantik."

Alan tersenyum. Kedua bahu itu tidak lagi merosot tanpa daya. Setelah mengucapkan terima kasih, dia segera melenggangkan kedua kakinya melangkah.

Kali ini, dengan sigap dan tegas, dia melaju ke depan, memantap perasaannya bahwa dia menginginkan perempuan itu di sampingnya, bukan hanya mengikutinya di belakang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro