Ketika Si Penakut Menyatakan Cinta - 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Istriku memang lebih tua lima tahun dariku. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, ia mengerikan.

Kata-katanya tajam.

Sorot matanya seperti binatang buas yang siap untuk memangsaku.

Ia jauh lebih menyeramkan dari hantu.

Ia juga mengatakan dirinya pemakan manusia. Aku tak tahu kebenarannya. Tapi kata-katanya sangat meyakinkan.

Shin Allecia Tempera, begitulah nama gadisnya. Karena ia sudah menikah, ia memakai nama keluargaku. Orang-orang lebih mengenalnya sebagai "Nona Ragalli" padahal ia sudah menikah. Apa orang-orang di sekolah lupa atau mereka memang tak tahu?

Dulu ia seorang arkeolog dan sekarang ia diminta ayah menjadi guru Sejarah. Ia terbiasa dengan pekerjaannya sebagai guru bimbingan.

Ia selalu marah saat disebut nama gadisnya. Belakangan ini aku tahu. Ia sangat membenci ayahnya. Kedua orang tuanya sudah lama bercerai dan ia tak suka dengan ayahnya yang gila kerja. Itulah yang kuketahui dari bibi Shireen. Selain itu ia tak pernah cerita sedikitpun tentang ayahnya. Ia selalu bercerita tentang bibi Shireen dan Shiel, adik laki-lakinya yang masih kuliah.

Saat pertama kali bertemu dengannya. Ia sosok dingin. Berkali-kali ia berkelahi dengan Rey. Kata-katanya tajam tak peduli siapapun di hadapannya. Ia lebih barbar dari seorang preman. Bahkan Rey pun pernah mengatainya "barbar" dan ia marah besar.

Tak ada satupun orang yang mau bergaul dengannya kecuali kami yang terpaksa selalu satu tim.

Ia adalah tipe orang yang perhitungan. Ia memiliki kemampuan bertarung yang setara dengan Rey namun lebih cerdas. Rey tak pernah berpikir panjang saat bertarung. Shin selalu mempersiapkan semuanya. Mulai dari jenis-jenis belati dan pisau yang menjadi senjatanya hingga strategi bertarung. Di medan pertarungan ia adalah mesin pembunuh. Berbeda dengan dirinya saat ini yang lebih sensitif dan pengalah.

Apa yang kusukai dari dirinya? Hal itu baru kusadari setelah taruhan.

Pastilah ada alasan ia selalu terlihat seperti itu. Ia tampak seram namun di sisi lain begitu manis saat tersenyum. Ah, kupikir itu hanya formalitas. Perempuan selalu begitu. Seperti halnya Ibuku yang berpura-pura semuanya baik-baik saja setelah bercerai.

Saat itu, misi di gurun. Baru pertama kali aku merasakan sengatan matahari gurun di siang bolong. Rasanya seperti daging steik jika terus berlama-lama di sini. Hebat juga ada orang yang bisa bertahan dalam kondisi ini. Saat siang begitu terik. Malam datang dengan dingin menusuk tulang.

Aku tak bisa bertahan lama dalam misi ini. Kondisi tubuhku memang lebih lemah dari mereka. Aku bahkan tak bisa berkelahi. Meninju orang saja tanganku gemetar. Saat misi berakhir, ia duduk di sampingku sambil menawariku minum.

"Kau haus?" tanpa pikir panjang segera kuhabiskan semua airnya.

"Aku menawarimu minum karena aku tak ingin ada satu rekanku yang menghambat pergerakanku karena pingsan. Tidak lebih," ucap Shin sambil memalingkan muka.

"Terima kasih."

Ia bahkan tak menjawabnya. Kupikir begitu.

"Sama-sama," ucapnya lirih. Baru kali ini ia terlihat lebih ramah.

Misi di tengah hutan. Kami terpaksa berkemah karena sudah malam. Untung saja misi itu muncul saat libur perkuliahan. Aku berbicara dengan Rey sebelum tidur.

"Rey."

"Ha?"

"Apa kau tahu tadi itu ia membabi buta karena ia melihat seekor kelinci terluka?"

"Entahlah. Ia selalu seperti mesin pembunuh. Aku heran. Apa hatinya itu terbuat dari es?

Buat apa dipikirkan? Sebaiknya kita tidur agar lebih segar saat melanjutkan misi."

Aku melihatnya. Sebelum ia menyerang dengan membabi buta, seekor kelinci terluka karena terkena serangan lawan. Ia lalu menghabisi mereka tanpa ampun.

Hari-hari di kampus. Aku terlihat duduk di kelas saat dosen sedang mengajar. Aku tak sengaja melihat ada sosok gadis yang mirip dengannya lewat di lorong. Itu hanya perasaanku saja. Lagipula ia sudah lama lulus. Ia juga bukan berasal dari Universitas Altea.

"Ragalli. Apa yang sedang kau lakukan? Coba jelaskan kembali apa yang bapak terangkan di depan kelas."

Hari ini aku beranjak untuk pulang. Terlalu lama berada di asrama kampus membuatku rindu rumah.

Apa yang dilakukan Ayah dan Raito di rumah?

Apa bibit titan arum yang kurawat sudah disiram? Aku putuskan untuk sehari pulang.

Besok aku kembali ke asrama. Tak kusangka, aku berpapasan dengannya di jalan menuju rumah.

"Um h-h-h-hai," kuberanikan diri untuk menyapanya.

"Jika kau gagap, tak perlu memaksakan diri untuk menyapa," balasnya dengan dingin. Seperti itulah yang kukenal.

"Kau tinggal di sini?" tanyaku dengan wajah tertunduk. Sorot matanya begitu mengerikan.

"Iya. Rumahku berada dua jalan setelah jalan ini. Kau sendiri?"

"A-Aku baru saja pulang. I-I-Ini rumahku."

"Oh. Kau tinggal di rumah besar ini? Setahuku rumah ini milik keluarga Ragalli. Salah satu keluarga kaya yang tinggal di sekitar sini.

Um, aku harus segera pulang. Aku tak bisa membiarkan ibu sendiri di rumah. Dah," ucapnya dengan kaku lalu pergi.

Ia begitu canggung saat bertemu denganku di luar misi. Apa ini pertanda hubunganku mulai akrab? Apa ini pertanda yang baik?

Musim gugur pun tiba. Pohon-pohon yang ada di taman bermain mulai memerah. Pertanda dalam waktu dekat akan berguguran. Sudah lama sekali aku tidak pergi ke taman  bermain di seberang rumah.

Aku hanya bisa menaiki ayunan. Kadang ketakutan itu pun datang. Hal yang membuatku takut di masa kecil. Perempuan. Darah. Perceraian. Gadis yang menatapku tajam dengan lengan dan wajah terciprati darah. Semua itu membuatku takut. Ayah. Ibu. Aku takut.

"Hei!" sentuhan tangan di ayunan membuatku takut. Jangan-jangan. Hantu! Ayah! Ibu! Saat aku berbalik, rupanya itu Shin. Kenapa kau mengagetkanku di saat seperti ini?

"Sendirian ya."

Ia pun duduk di ayunan yang ada di sebelahku sambil mengayunkan sedikit kakinya. Sorot matanya pun berbeda dari biasanya.

"Kau kenapa? Apa kau ada masalah?"

"Tidak. Ini bukan urusanmu."

"Apa kau bertengkar dengan Ibumu?"

"Tidak."

Ia terus menjawab singkat seperti tidak ada kosakata lain.

"Kulihat kau begitu takut. Kenapa?"

"Aku diceritakan oleh Ibu. sejak kecil, aku memang bisa merasakan keberadaan hantu. Kupikir ada hantu di sekitar sini."

"Kau bohong. Aku bisa merasakannya."

"Tak hanya karena itu. Ini semua ada kaitannya dengan kejadian di masa kecil. Aku melihat sosok gadis berlumuran darah tepat di depan mataku. Ingatan itu pun terpancing kembali saat duduk di ayunan. Kudengar dari Ayahku, aku melihatnya saat duduk di ayunan ini."

Shin terdiam. Ia melambatkan ayunannya.

"Maaf jika aku cerita terlalu banyak. Apa itu mengganggumu?"

"Tidak. Tidak apa-apa."

Entah kenapa saat bersama dengannya terasa aneh. Saat taruhan itu dimulai, aku mulai menyadari perasaanku. Aku menyukainya. Aku bahkan bisa merasakan sisi rapuhnya saat itu. Sisi yang selama ini selalu tersembunyi di balik perasaannya yang dingin. Apa aku harus mengatakannya? Tidak. Tidak sekarang. Aku belum siap.

Sejak saat itu, ia mulai berubah. Kami lebih sering bertemu di taman depan rumah saat tidak ada misi.

"Um, Shin. Apa kau suka mendaki gunung?"

"Aku belum pernah mencobanya."

"Akhir bulan ini kau sibuk?"

"Tidak."

"Ayo kita lakukan. Akhir bulan ini kegiatan perkuliahan di kampusku libur. Akan kuajak Rey juga."

"Sebaiknya kau tak usah ajak dia. Hanya bisa menambah masalah."

"Rey orang yang baik. Ia pasti senang jika ikut."

"Terserah. Kau yang mengajaknya."

Akhir bulan September, kuajak mereka mendaki gunung selama seminggu. Saat berada di puncak gunung, rasanya seperti berada di puncak dunia. Aku bisa berteriak sepuasnya. Aku bisa melepaskan beban di sana. Aku juga bisa menemukan tanaman-tanaman langka yang hanya tumbuh di sekitar gunung.

Pegunungan Alpina, tempat pendakian paling populer di Daerah Tengah. Jaraknya tak begitu jauh dari Kota Luar. Bahkan cukup satu minggu untuk pergi dan kembali pulang.

"Kyo, bagaimana bisa kau mengajaknya?" bisik Rey.

"Ia gadis yang baik."

"Apa kini kau sedang jatuh cinta dengannya?

Sepertinya aku akan kalah dalam taruhan ini. Untung saja aku menyimpan uang cadangan."

Shin belum pernah mendaki gunung. Ia tak pernah sebahagia ini.

"Kau yakin ini wanita es itu?" tanya Rey.

"Aku yakin seratus persen," jawabku.

Kami pun berkemah, dengan kemah terpisah. Lagipula kami belum menikah saat itu. Rey mempersiapkan makan malam sementara aku mengajak Shin berjalan-jalan.

"Aku belum pernah melihat padang rumput seindah ini di atas gunung. Andai saja kita bisa sering-sering datang ke sini."

"Ini adalah jalur pendakian yang terkenal karena medannya mudah dilalui dan pemandangannya begitu indah."

"Kau tahu banyak soal mendaki gunung."

"Tidak juga. Ayahku pernah mengajakku ke sini bersama adikku. Kami menghabiskan malam pergantian tahun di puncak gunung."

Ia merunduk pada hamparan bunga putih menggelitik kakinya.

"Apa kau tahu ini?"

"Kau tidak tahu?" Shin menggeleng.

"Itu bunga edelweis. Bunga itu hanya tumbuh liar di pegunungan. Bunga ini terkenal di kalangan para pendaki gunung.

Ayah bilang, bunga ini bisa hidup di tempat dingin."

"Buat apa jauh-jauh mendaki gunung hanya untuk bunga ini?"

"Kau tahu. Bunga ini adalah bunga langka. Tak semua tempat bisa ditumbuhi oleh edelweis. Bunga ini pun bisa melambangkan cinta sejati. Bunga ini bisa bertahan hidup di kondisi yang dingin di pegunungan dan tak mengenal musim."

Kupikir Shin tertarik dengan bunga itu jadi kupetik saja. Hanya sebatang agar lingkungan tetap lestari.

"Bisa kau menyimpan ini?"

"Untukku?" aku mengangguk. Ia membalasnya dengan senyuman.

"Kuharap aku bisa seperti bunga ini. Kuharap cintaku padanya akan tetap tumbuh laksana bunga ini yang bisa tumbuh dalam dinginnya suasana pegunungan."

"Kuharap juga kau bisa secepatnya mengungkapkan perasaanmu itu. Maaf, bukannya aku bermaksud untuk ikut campur. Siapa gadis itu?"

Sontak aku tak bisa menjawabnya. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?

"Se-Sebenarnya bunga itu untukmu."

Suasana berubah hening.

"Lupakan sajalah. Mana mungkin lelaki lemah sepertiku bisa menyukai seorang wanita yang jauh lebih kuat."

"Apa kau serius?"

Kenapa jantungku berdebar tidak karuan? Ia palingkan wajahnya dariku. Wajahnya merah padam.

"Kau demam? Apa perlu kubawa ke pemukiman penduduk terdekat?"

"Kau ini bodoh. Aku tidak sakit."

Sejak saat itulah ia terlihat salah tingkah. Begitu pula setelah pendakian berakhir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro