Mahasiswa dan Muridnya - 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penjagaan di batas desa semakin ketat. Bahkan Lita tak bisa pergi ke Hutan Terlarang seperti sebelumnya. Hari-hari berjalan normal dengan seluruh mata anggota kelompok tertuju kepadaku layaknya buronan. Bahkan saat mandi pun, aku terus diikuti.

Hei! Bisakah kalian tidak membuatku risih seperti itu? Cih. Menyebalkan.

"Shireen, kau sudah selesai mandi?" teriak Malika yang bersembunyi dari balik semak-semak. Untung saja Malika itu perempuan. Kalau tidak ya aku habisi saja dia di sungai. Aku memang bergantian mandi dengan Malika. Siapa tahu ada lelaki mata keranjang yang menerobos masuk.

Firasatku benar. Untung saja aku sudah selesai mandi. Ada seorang lelaki datang dengan berlari lalu menceburkan diri ke dalam sungai begitu saja.

"Kau ingin mengintipku mandi?" tanya Lehan.

"Siapa yang ingin mengintipmu mandi? Memangnya aku ini gadis mesum!"

"Air sungai yang jernih memang terbaik. Oh ya, sejak tadi kulihat ada seorang lelaki yang terus membuntutimu dari desa."

Apa? Penguntit? Kurang ajar. Apa dia pikir bisa mengintipku dengan mudah saat sedang mandi? Dia lebih membuatku kesal daripada diikuti anggota kelompok yang lain. Rasakan ini! Jepitan Penakluk Lycan!

"Shireen! Hentikan!" ups, maafkan aku. Akhirnya Malika yang malah babak belur.

Siapa yang mengikutiku? Itu bukanlah anggota kelompokku. Lagipula mereka punya tugas masing-masing.

Lehan membantu warga bercocok tanam. Memang nymph adalah yang terbaik dalam masalah itu.

Iure membantu merancang saluran air bersih yang terhubung langsung dengan sungai. Tidak hanya itu, ia juga merancang sistem irigasi yang lebih baik.

Malika senang dengan kerajinan tangan. Ia membantu para ibu yang membuat kain tenun khas desa Stygwyr di luar jamnya mengajar Bahasa.

Sementara Lita sudah jelas berada di tempat pelatihan. Ia sangat senang melakukan aktivitas fisik dan mengajari anak-anak teknik bela diri yang ia kuasai betul.

Sisanya menyebar di dapur umum, sekolah, dan membantu pembangunan saluran air.

Mulanya kupikir mereka hanya orang-orang yang mementingkan diri mereka pada awal mula kelompok dibentuk. Ternyata mereka bisa bekerja sama dengan baik.

"Anak-anak. Sekarang saatnya kita belajar perkalian. Siapa yang masih ingat pelajaran yang kemarin? Acungkan tangan."

Mereka adalah generasi penerus desa ini. Para anak-anak night elf yang lucu dan manis. Mereka bersemangat sekali datang ke sekolah. Berbekal sebuah batu tulis dan sepotong kapur. Memang mereka kadang tidak serius memperhatikan pelajaran di kelas. Semangat mereka untuk belajar membuatku malu sesaat.

Aku merasa apa yang selama ini kulakukan di bangku universitas terasa sia-sia. Aku merasa terbebani saat belajar. Semua karena tuntutan kedua orang tuaku yang serba ini itu. Membuka buku pun aku malas apalagi mendengarkan kuliah dosen yang menurutku adalah dongeng pengantar tidur. Hal yang kukuasai hanyalah materi dasar seperti Matematika dan berenang. Aku seharusnya bersyukur bisa mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Seharusnya aku lebih bersemangat untuk belajar.

Mereka memang anak-anak. Setidaknya mereka mengajarkanku kebahagiaan kecil dalam proses belajar. Mereka belajar dengan perasaan bahagia meskipun pelajaran tidak semuanya mereka pahami. Mereka kemudian menyihirku dengan semangat dan canda tawa yang melupakanku akan jam sekolah sudah berakhir.

"Yah, waktunya habis. Sampai jumpa di hari Kamis ya teman-teman."

Aku bersihkan papan tulis lalu kunci ruang kelas. Aku melihat seorang anak muda dengan wajah kesal. Bajunya tampak lusuh dengan tudung yang menutupi kepalanya. Ia hanya duduk di luar kelas dengan sebatang kapur dan batu tulis yang masih ia sentuh rapat.

"Yah dihapus. Aku belum selesai mencatatnya."

Suara itu ... jangan-jangan. Jika firasatku benar, sosok di balik tudung kepala ini adalah.

"Kau! Apa kau kemari untuk mengganggu ketentraman penduduk lagi?"

"A-Aku kemari tidak bermaksud untuk ... um."

Aku tidak begitu melihatnya jelas saat di dalam hutan. Ia benar-benar kikuk saat berjalan menyusup ke dalam desa dengan wujud manusianya. Matanya yang keemasan hablur diterpa cahaya. Rambut pirang cerahnya begitu halus dan bersih untuk ukuran orang yang tinggal di dalam gua. Wajahnya tertunduk setelah tertangkap basah olehku. Apa mungkin ia takut akan penduduk desa?

"A-Aku kemari untuk be-belajar."

"Kau ke sini untuk belajar? Kenapa kau tidak masuk saja ke dalam?"

"Aku malu. Aku berbeda dengan para penduduk desa. Lagipula aku bukanlah anak-anak. Aku juga ... um melihatmu sering berada di sekitar sekolah membuatku gugup. Aku ingin meminta bantuanmu tapi terlalu gugup untuk memintanya. Jadi aku sering bersembunyi saat kau merasakan keberadaanku."

"Jadi kau yang selama ini mengikutiku?" ia mengangguk. "Kau tidak berencana membohongiku untuk dijadikan mangsa 'kan? Aku ini sudah cukup cerdas untuk dibodohi orang sepertimu."

"A-Aku hanya ingin belajar. Sungguh. Aku bahkan sudah membeli batu tulis di pasar," ucapnya selagi memamerkan batu tulis di tangannya.

"Mulanya aku kemari memangsa anak-anak lalu membawanya ke hutan. Sayangnya mereka selalu pergi ke sini. Aku penasaran dengan anak-anak yang selalu datang dan pergi dengan senang hati setiap kali pergi ke sini. Mereka sangat senang untuk belajar. Sejak saat itulah aku mulai datang ke desa hanya untuk belajar."

"Kau yakin?"

"A-Aku sudah tidak berniat untuk mengincar anak-anak lagi. Sungguh," ucapnya dengan wajah mengatup.

Ia pergi dengan wajah menunduk dan langkah cepat. Pemuda itu sangat mencurigakan. Apa perlu kulaporkan ini pada kepala desa? Tidak. Aku tak bisa melaporkan hal ini tanpa bukti. Aku harus buktikan perkataannya padaku tadi memang benar.

Aku mulai mengamatinya selama jam sekolah berlangsung. Sekolah di sini tidak seperti sekolah-sekolah di kota yang memiliki jadwal teratur. Jumlah guru di sini yang terbatas membuat jadwal di sekolah ini tidak tetap. Sekolah ini hanya memiliki satu ruang kelas. Kadang murid pulang lebih awal dan kadang pula pulang di saat siang menjelang. Kulihat ia selalu datang di pagi hari.

Ia bahkan datang lebih awal dari anak-anak. Ia selalu bersembunyi saat mereka datang lalu berjalan mendekati kelas setelah mereka sudah masuk. Ia duduk bersandar pada dinding sekolah yang kasar. Sesekali ia mengintip ke dalam lalu kembali mencatat pada batu tulisnya. Ia pulang saat sekolah benar-benar sepi. Semangatnya itulah yang membuatku tertegun.

"Belakangan ini kau sering melamun. Apa ada masalah di sekolah?" tanya Malika.

"Ah itu. Aku sedang memikirkan metode pengajaran baru yang akan kulakukan pada anak-anak. Aku ingin mereka datang ke sekolah dengan riang lalu kembali tetap dengan riang."

"Kenapa kau tidak bicara saja pada Iure? Ia pintar dalam merencanakan hal-hal baru."
Kuputuskan untuk mengunjungi rumah induk semang tempat para mahasiswa berdiam. Letaknya empat rumah dari tempat induk semang mahasiswi. Syukurlah. Iure sedang ada di sana.

"Shireen. Apa kau sudah menyelesaikan jurnal?"

"Aku sudah menyelesaikannya. Jurnal kegiatan hari ini 'kan? Oh ya bisa kau bantu aku sebentar?"

"Membantu soal apa? Asal jangan memintaku melakukan pekerjaan fisik karena aku sudah sangat lelah membangun saluran air seharian."

"Aku sedang memikirkan sebuah metode pengajaran baru untuk anak-anak agar lebih mudah belajar Matematika. Kulihat banyak anak-anak yang kesulitan memahami materi dasar di kelas. Kau lebih pintar dalam masalah perencanaan jadi bisakah kau membantuku?"

"Kalau membuat metode pengajaran baru untuk anak-anak sih sih mudah. Masalahnya adalah menuangkan kreativitas kita dan faktor psikologis anak yang masih dalam fase bermain. Shireen buat saja rancangan pengajaran setiap minggunya di sekolah.

Selain itu kau amati semua masalah yang terjadi di kelas. Hal sepele yang biasa dilakukan murid-murid juga jangan lupa kau catat.

Setelah itu, datanglah kemari pada hari Minggu. Kebetulan hari Minggu aku lowong jadi bisa membantumu."

Sebenarnya bukan hanya anak-anak yang mengganjal pikiranku, melainkan juga pemuda itu. Ia sangat antusias untuk belajar di samping usianya yang lebih tua dari anak-anak di kelas.

Hari Minggu pun tiba. Aku datang ke tempat Iure untuk mendiskusikan soal metode pengajaran. Semakin aku berpikir keras mengenai metode pengajaran, semakin teringat pula akan pemuda itu.

Minggu keempat pun dimulai. Aku berusaha mencoba metode pengajaran baruku pada anak-anak.

"Anak-anak, kita akan bermain 'belanja di pasar'. Kita akan bersenang-senang selama hari ini. Tapi ingat, jangan lupakan materi yang sudah kita pelajari minggu lalu. Kakak sudah bawakan banyak barang. Ada sayuran, buah-buahan, aneka jamur, hingga kapur. Tapi ingat, semuanya tidak boleh digunakan ataupun dimakan sampai waktu pulang sekolah.

Kakak akan membagi kalian menjadi dua kelompok. Siapa yang ingin menjadi pedagang?"

Rasanya belajar dengan cara berbeda membuatku lebih senang. Anak-anak bisa belajar mengenai operasi matematika sederhana dengan berpura-pura berada di pasar. Aku sendiri pun tidak luput dari kegembiraan mereka. Bahkan kami lupa kalau kami sedang belajar di sekolah.

"Sampai jumpa lagi, Kak!" sapa para anak-anak sebelum mereka pergi. Bagaimana dengan pemuda di luar kelas itu ya?

Ia sangat sedih. Ia berpikir akan ada kelas di dalam dengan aku sebagai pengajar yang banyak mencatat di papan tulis.

"Siren jahat. Tidak ada belajar untuk hari ini."

Aku lupa akan keberadaannya di luar kelas. Apa yang harus kulakukan sekarang?

"Bagaimana jika kita belajar saja di luar? Aku akan di sini sampai sore."

"Benarkah? Kita akan belajar?"

"Tentu. Pasang mata dan telingamu baik-baik ya."

Rasa takut masih bersarang dalam diriku. Aku beranikan diri untuk mengajarinya karena ia takkan melukaiku. Sayangnya batu tulis terlalu sempit untuk dipakai mengajarinya. Sampai sekarang ia tahu namaku namun aku tak tahu namanya.

"Aku lupa menanyakan hal itu. Siapa namamu?"

"Aku? Orang-orang biasa memanggilku Vent."

Vent memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Aku sendiri tidak sepandai anak itu. Ia dapat mempelajari hal baru dengan cepat. Aku tidak bisa meminjam ruangan sekolah jadi kubeli sebuah papan tulis di pasar.

Aku minta ia datang ke tempat induk semangku setiap siang. Ia menjadi murid spesial sekaligus kelinci percobaan metode pengajaranku yang baru. Ia tak pernah mengeluh. Ia tetap semangat untuk belajar setiap hari.

"Wah-wah-wah, rupanya kalian sedang berkencan ya?" goda Lita yang baru saja pulang dari tempat pelatihan.

"Aku tidak berkencan. Lagipula aku sedang mengajarinya kok. Ia adalah muridku di sini."

"Murid atau murid?" semakin lama Lita semakin menggangguku.

"Lita!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro