Mahasiswa dan Muridnya - 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Bulan kedua sudah berlalu. Tak terasa sudah menginjak bulan ketiga kami berada di sini. Sayang sekali bulan depan kami harus meninggalkan desa ini. Saluran air bersih dari sungai sudah selesai. Sekarang tinggal penyelesaian pembangunan sarana mandi cuci kakus untuk penduduk desa.

Aku melihat ada perkembangan dari murid-muridku di sekolah. Mereka bahkan melampaui pencapaian murid-murid lain yang sebaya di kota. Keturunan elf memang dianugerahi otak yang cerdas. Tidak terkecuali para night elf saudara dekat mereka. Tidak sia-sia aku meminta bantuan Iure selama ini.

Bagaimana dengan Vent si murid spesial? Ia berkembang sangat pesat. Ia sudah menguasai materi setingkat kelas 6 Sekolah Dasar dalam waktu satu bulan. Pada dasarnya ia adalah orang yang rajin dan pekerja keras. Ya begitulah dia. Ia takkan berhenti melakukan sesuatu hingga benar-benar tuntas. Bahkan ia selalu mencegatku di jalan dan bertanya.

"Siren, sekarang kita belajar apa?"

"Sudah kukatakan. Aku ini bukan siren. Aku ini Shireen. Shi-reen."

Satu hal yang tidak berubah darinya adalah ia selalu salah memanggil namaku. Ia masih berbahaya dan agresif. Ia masih berburu namun jangkauannya berada pada bagian terdalam Hutan Terlarang. Kadang ia muncul di hadapanku dengan wujud setengah manusianya.

Mulanya aku masih takut dengan kejadian di hari pertamaku itu. Lama kelamaan aku sudah biasa mengelus kupingnya yang bisa bergoyang sendiri saat sedang gembira. Jika ada orang yang lewat, ia selalu mengenakan tudung kepalanya. Ia sangat nyaman menjadi dirinya saat berada di dekatku. Tak jarang ia sering memberiku hadiah yang ia bawa dari hutan sebagai rasa terima kasih.

"Apa? Ganoderma? Bukankah ini adalah jamur obat yang sangat mahal? Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Malika.

"Salah seorang muridku yang memberinya."

"Enak sekali ya menjadi seorang guru di sekolah. Aku bisa mendapat banyak hadiah dari murid-murid. Berbeda sekali dengan orang-orang di tempat pelatihan yang pelit," keluh Lita.

Di antara semua murid yang kuajari, Vent terlihat sangat menonjol. Aku putuskan tidak mengistimewakan anak itu. Ia kuperlakukan sama saja seperti muridku yang lain. Aku berikan penghargaan pada semua yang berprestasi. Aku tetap memberinya tugas tambahan. Aku juga menghukumnya jika salah. Tidak ada yang spesial.

Hari demi hari kulalui di desa. Banyak pelajaran berharga yang bisa kuambil dari kehidupan mereka. Aku tak pernah melihat kecemasan dari diri mereka. Sekalipun terjadi bencana yang datang tiba-tiba. Mereka sudah terbiasa dengan hal terburuk. Mereka sudah terlatih menghadapi masa sulit. Anak-anak masih bisa bermain dan pergi sekolah dengan riang. Para ibu masih bisa memasak dan berkumpul bersama. Begitupun para pria yang masih bisa tersenyum lebar di tengah masalah.
Genap tiga bulan sudah aku berada di sini. Berat rasanya untuk berpisah dengan anak-anak. Mereka kini bisa belajar mandiri tanpa diriku. Sayangnya kenyataan tak berjalan sesuai keinginanku. Mereka memelukku, menahan kedua kakiku yang akan pergi meninggalkan mereka.

"Kakak. Jangan pergi."

Aku tak bisa melupakan wajah mereka yang menggemaskan. Para bocah night elf yang kelak akan menjadi orang-orang hebat dan membangun desa. Aku sengaja tidak mengatakan kepergianku pada Vent. Karena aku tahu, ia lebih polos dari anak-anak ini. Aku merasakan ia ingin menahanku agar tetap di sini. Aku tak tahu alasannya. Apa mungkin karena ia kesepian? Apa mungkin tak ada satupun guru yang bisa ia ajak bercanda sepertiku? Perasaan itulah yang membuatku mulai menjaga jarak sebelum aku pergi.
******
Buku harian ini memang sudah tua. Aku tak sengaja menemukan buku ini saat merapikan rumah. Aku hanya bisa tersenyum membaca buku harian ini. Aku melihat diriku di masa muda yang berapi-api. Kini aku menua dan sendiri. Anak-anakku sudah memiliki kehidupan mereka. Satu orang berumah tangga dan seorang lagi pun sedang berjuang di asrama universitas. Aku bahkan kehilangan jejak dari teman-teman seperjuanganku dulu.

Rumah ini penuh dengan kenangan. Ini adalah rumah yang kubeli dengan hasil jerih payahku. Aku terbilang sangat beruntung bisa memiliki rumah ini. Dulu tanah di sini sangat murah. Bahkan dengan gajiku saat itu pun aku bisa mencicilnya. Rumah ini menjadi saksi bisu kejadian itu.
******
Aku baru saja pulang dari kantor untuk ke rumah. Memang kantorku berada di dekat rumah. Saat itu aku memang bekerja di kantor Kejaksaan. Aku bukan seorang jaksa. Aku hanya staf biasa yang bekerja di bidang tata usaha. Semua surat-surat penting yang berkaitan dengan Kejaksaan menjadi tanggung jawabku.

Lagi-lagi aku ceroboh. Hujan turun teramat deras di musim semi. Aku lupa jika ramalan cuaca di surat kabar hari ini akan turun hujan. Aku tanggalkan payung di dekat jendela. Aku tak bisa berlari menembus hujan. Setiap kali aku berlari menembus hujan, besoknya terserang flu. Ya sudah. Aku berdiam di bawah naungan kanopi toko. Kapan hujan akan segera reda? Padahal rumahku sudah dekat. Kulihat seseorang dengan setelan jas rapi berlari tergesa-gesa dengan tas menutupi kepalanya. Ia kemudian bersanding denganku di bawah kanopi lalu mengelap tasnya yang terkena hujan.

"Ah hujan lagi. Bagaimana bisa aku mengikuti wawancara dengan baju basah seperti ini?"

Aku merasa pernah mendengar suara itu sebelumnya. Aku ragu apakah ia orang yang kukenal atau hanya firasatku semata.

"Nona, apa kau sedang menunggu hujan reda juga?"

"Sudah jelas aku menunggu hujan di bawah sini. Kenapa kau tanya lagi?"

Sialnya saat itu ada kendaraan yang melewati genangan air di dekat toko dan membasahi bajuku.
Haatchi! Awas saja kau pengemudi sialan!
"Nona tidak apa-apa?" aku melihat sebuah jas menutupi bajuku yang basah.

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih ba—"

"Siren?"

"Jepitan Penakluk Lycan!"

"Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Hentikan!"

Tak kusangka aku bertemu dengan anak itu kembali di kota. Aku kini tidak melihatnya sebagai orang gua yang lugu dengan semangat belajarnya yang menggebu-gebu. Sudah delapan tahun aku tidak pernah melihatnya lalu kini bertemu lagi di kota. Vent yang dulu kukenal lusuh kini tampak sangat rapi. Ia mengenakan sepatu kulit yang mengkilap. Setelan jas terbaik yang ia miliki. Tidak lupa sebuah tas kulit tahan air layaknya seorang pebisnis.

"Kenapa kau membuntutiku hingga sejauh ini?"

"A-A-Aku. Aku kesal karena Siren pergi tanpa bilang-bilang. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih. Jadi aku belajar dengan giat. Aku berharap suatu saat nanti aku akan bertemu Siren di kota dengan belajar."

"Aku ini Shireen. Bukan siren! Lihat saja kakiku yang tidak berubah oleh hujan deras!
Jadi, apa yang akan kau lakukan setelah sampai di kota dan menemuiku?"

"Aku akan mengikuti wawancara kerja. Sayang sekali hari ini hujan turun begitu deras hingga membasahi pakaianku. Lagipula Siren juga tidak memakai jaket. Aku bisa bertahan di bawah hujan deras dengan pakaian tipis tapi Siren tidak."

"Kau? Kau akan mengikuti wawancara kerja?" Vent mengangguk dengan senyuman lebar. "Aku sekarang sudah jadi sarjana. Kupikir ini saat yang tepat untuk memberitahu Siren soal itu."

Apa? Dia sudah jadi sarjana? Aku tahu ia memang cerdas tapi mengejar ketertinggalan akademik dalam waktu delapan tahun pun hal yang nyaris mustahil. Hanya orang-orang jenius yang bisa seperti itu.

Banyak orang jenius yang lahir dari orang tua telaten dan guru yang hebat. Tapi kenyataannya di desa Stygwyr pun pengajarnya sangat terbatas. Tidak banyak buku yang bisa dibaca di sana karena itu bukan desa elf ataupun desa yang sudah maju. Sebenarnya, apa yang ia lakukan hingga bisa menjadi sarjana dalam waktu delapan tahun?

"Omong-omong, terima kasih banyak. Berkat Siren aku bisa bersekolah. Aku juga bisa mengenal semua hal yang berada di luar jangkauan hutan. Aku masih terus belajar dengan semua cara yang Siren ajarkan. Terima kasih."

Orang bijak pernah berkata. Kebahagiaan terbesar seorang guru adalah di saat seorang murid menjadi orang sukses tanpa melupakan gurunya. Saat itu aku tak bisa berkata apapun. Di satu sisi aku merasa sangat senang melihat kerja kerasku di desa ada gunanya. Di sisi lain aku sedih karena aku sendiri tidak bisa sebaik muridku.

Nyatanya, ia tidak kembali ke hutan setelah ia mengucapkan terima kasih padaku. Ia terus membuntutiku seperti halnya sewaktu di desa dulu. Dulu memang aku kesal. Ia seperti halnya seorang pemburu mengintai mangsa. Sekarang perasaan ini terasa aneh. Ia membuntutiku hingga gerbang rumahku. Ia bercerita soal ia sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan besar. Setelah itu.

"Maaf, Shi-reen," ia berusaha memanggil namaku dengan benar. "A-Aku tidak i-ingin berpisah denganmu lagi seperti dulu. Kau pergi tanpa pamit begitu saja. Apa kau tahu hal itu sangat membuatku sedih?

Aku sadar setelah kau pergi ke kota. Aku tak bisa hidup seperti ini tanpa bantuanmu. A-Aku ingin," kulihat Vent mengumpulkan segenap tenaga untuk menyelesaikan kalimat terakhirnya. Ia lakukan itu dengan wajah tertunduk dan suara lantang, "Aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu. Bukan sebagai seorang guru dan murid seperti yang selama ini kujalani."

Mendengar hal itu jantungku rasanya mau copot.

******

Sudah 28 tahun berlalu sejak kejadian itu tepat di sini. Sayang hubungan kami tidak seperti Hilda dan Abhi, mendiang suaminya.
Kehidupan awal kami memang berjalan mulus. Semua berubah sejak kami mulai tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Aku yang selalu sibuk di kantor sementara Vent yang tak bisa meninggalkan sedikitpun pekerjaan di rumah. Kehidupan di kota bisa mengubah semuanya termasuk muridku sendiri. Kami sepakat mengakhiri semua ini setelah melalui banyak percekcokan setiap hari.

Kadang aku merindukan sosoknya yang lugu seperti saat aku mengajarinya dulu. Aku merasa bersalah telah membuatnya seperti ini. Andai saja aku tidak bertemu dengannya di luar kelas lalu mengajarinya. Andai saja dulu aku mengucapkan "selamat tinggal" padanya. Aku mungkin takkan pernah melihat ia mengejarku ke kota hingga berakhir seperti ini.

Aku ingin marah. Rasanya benar-benar sakit. Aku tak bisa marah pada murid kesayanganku. Tapi aku bersalah telah menghancurkan masa depan anak-anakku dengan kesalahanku dulu.

Genap sudah 18 tahun aku berpisah dengannya. Kami benar-benar hilang kontak. Vent yang kesal selalu menenggelamkan diri dalam karirnya sementara aku lebih memilih untuk membesarkan anak-anak. Rasanya aku ingin menangis saat membaca buku harian ini.

Pertemuan tiga bulan di desa memang takkan bisa terhapus dari ingatanku. Luka yang membekas di dada sangatlah dalam. Sulit terhapus oleh waktu seberapa kuat aku berusaha menyembuhkannya. Ini semua akibat ego kami yang membuat kami hidup terpisah selama ini.

"Shireen. Aku pulang."

Suara itu. Rasanya itu hanya halusinasiku semata. Kuangkat wajahku yang tertunduk pada buku harian tua di pangkuanku. Aku benar-benar melihatnya. Saat itu ia datang dengan wajah yang gugup dan ceria, kini ia datang dengan wajah bersedih. Aku semakin menua sementara ia hanya terlihat bertambah tua setahun. Aku ingin marah. Marah sepuas-puasnya sambil menjepit tubuhnya. Kudekati Vent yang bodoh dengan satu rangkulan.

"Jepitan Penakluk Lycan!"

Aku memang tak sekuat dulu yang bisa menjatuhkan lycan dalam satu serangan. Aneh memang tubuhku yang tua renta bisa menaklukkan makhluk mistis ratusan tahun di hadapanku. Tas yang ia bawa jatuh, tubuhnya terduduk tak kuasa menahan tangis di hadapanku.

"Maafkan aku, Siren. Maafkan aku."

"Aku tak bisa marah karena kau ini murid kesayanganku. Tapi aku sangat marah sebagai mantan istrimu. Kenapa aku sangat bodoh? Aku bodoh telah membuat murid kesayanganku tega melakukan hal seperti ini. Aku ini guru yang payah."

"Aku minta maaf."

Kulihat air mata ketulusan membasahi celana hitam mengkilapnya.

Luka lama akibat perceraian sudah menghilang sejak lama. Aku sudah bisa melupakan hal itu dan berusaha memperbaiki hubunganku dengan Vent yang sempat terputus. Aku masih belum bisa membuka hatiku untuk seorang pria karena aku sudah tua. Aku hanya menunggu waktu sebelum malaikat maut datang menjemputku.

Satu-satunya hal yang kuinginkan adalah melihat cucu-cucuku. Aku bahagia dengan melihat anak-anak seperti halnya saat aku masih menjadi seorang mahasiswa dulu. Aku sekarang tak tahu harus berbuat apa ketika Vent kembali datang dengan pertanyaan yang membuat lidahku kelu.

"Shireen. Bisakah kita perbaiki semuanya dari awal lagi?"

Kutarik nafasku amat dalam lalu menjawab, "Aku butuh waktu untuk sendiri. Aku tak bisa seperti dulu yang langsung menjawab 'ya'. Aku sudah tua dan sudah melihat banyak sisi kehidupan yang membuatku tersadar. Jadi biarkan aku jernihkan pikiranku agar tidak ada lagi penyesalan seperti dulu."

"Baiklah. Aku akan kembali jika kau sudah benar-benar siap. Apapun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan kepala dingin dan lapang dada.

Satu hal lagi. Aku tinggal di apartemen di dekat sini. Kebetulan aku memang dipindahtugaskan ke kota ini. Kau tahu apartemen yang berada di samping pasar swalayan baru 'kan? Mampirlah ke sana bila sempat."

Mulanya kupikir Vent benar-benar melupakanku lalu menghilang setelah bercerai. Ternyata ia masih tetap menghargaiku sebagai gurunya walau saat itu kami sudah tidak berhubungan lagi. Ia mengatakan ia dipindahtugaskan ke daerah lain sebulan setelah bercerai. Karirnya menanjak begitu pesat hingga menduduki posisi kepala manajer di perusahaan tempat ia bekerja.

Sayangnya di balik kecemerlangan karirnya tersisa perasaan hampa. Ia menyesal telah meninggalkan keluarga demi mengejar karir. Ia senang melihat rekan-rekan kantornya bercerita tentang keluarga mereka tapi sebenarnya ia sangat sedih. Ia merasa semua hal yang ia miliki saat ini tidak sebanding dengan nilai sebuah keluarga.

Saat aku bercerita pada anak-anakku, reaksinya berbeda. Anak lelakiku memiliki pemikiran yang lebih tenang dan bijak. Ia hanya mengatakan selama aku bahagia itu tak jadi masalah. Berbeda dengan anak perempuanku.

"Mau apa ia kemari? Apa ia kembali untuk melukai Ibu lagi? Masa bodoh ia akan kembali tapi jangan harap ia bisa menyentuh ibuku lagi."

Ini semua salahku. Selama ini ia menjadi korban dari perceraian kami. Ia selalu memperhatikan pertengkaran kami. Aku tidak pernah berpikir panjang akan hal itu. Setidaknya aku sadar perkataannya itu adalah ungkapan isi hati yang selama ini dipendam.

"Sudahlah, Kak. Buat apa Kakak masalahkan hal itu? Lagipula Ayah sudah minta maaf pada Ibu. Ayah juga sudah menyesali perbuatannya. Bukankah lebih baik apabila kita hidup sebagai keluarga yang utuh lagi? Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa Kakak tidak bisa memaafkannya?"

Itu adalah masalah di antara mereka. Jadi biarkan saja mereka selesaikan masalah dengan caranya sendiri.

Aku tidak menyesali pilihanku sekarang. Kini aku merasa diriku sekarang jauh lebih lega.

"Shireen. Bisa kau bantu aku selesaikan masalah ini?"

"Vent. Sudah kubilang berkali-kali. Selesaikan pekerjaanmu selagi di kantor. Jangan bawa pekerjaan ke rumah!"

"Ini masalahku juga. Apa kau lihat berapa semua tagihan ini? Astaga. Bagaimana bisa kau membayar semua ini dengan uang pensiunmu? Apa kau tidak pernah berpikir soal tabungan atau investasi? Pengeluaranmu ini terlalu besar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro