~ Deep Talk ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Berusaha sampai akhir.
Untuk keputusannya,
biarkan Tuhan yang menentukan takdir

🍂🍂🍂

Selama pertemuannya dengan Faza, Janu merasa cukup tenang sebab ponselnya berada dalam pengaturan tidak aktif. Rupanya ponsel dual sim itu hanya terisi satu kartu saja, maka ketika perjalanan menuju stasiun, ia menyempatkan mampir di salah satu konter dan membeli satu sim card.

Lelaki dua puluh empat tahun itu tidak berangkat dengan kepala kosong. Ia sudah menyiapkan beberapa perencanaan. Berangkat dengan kepala kosong terlalu berisiko. Dengan kemampuan berpikir cepat, Janu bisa membekali dan memecahkan masalah saat tekanan tengah menggempurnya.

"Mas Faza, mohon maaf sebelumnya. Saya mendengar dari tamu yang datang sewaktu takziah. Apa benar kakaknya Anggi meninggal karena miras?"

Faza menggeleng. Ia mengambil botol air mineral yang baru dipesan dan meminumnya. "Bukan seperti itu ceritanya. Hari itu dia dipaksa ikut ke diskotik, katanya menemui klien. Bukannya membahas pekerjaan, Janu malah dicekoki minuman yang mengandung alkohol. Saya nggak tahu gimana pastinya, tapi begitu sampai, dia sudah sekarat. Beberapa kali muntah darah."

Mata Janu terpejam ketika mendengarkan penjelasan dari Faza. Ia seolah mengingat kembali bagaimana rasanya ketika tenggorokan dan lambungnya terasa sangat panas sampai sesak yang tidak berkesudahan.

"Ada saksinya?"

"Ada. Seorang perempuan yang menemani atasa Janu. Waktu itu dia bilang Janu dipaksa minum, tapi menolak. Atasan Janu malah ngasih minuman lain dan langsung meminumkan secara paksa."

"Hasil tuntutan bagaimana?"

Faza mengggeleng. "Kita kesusahan dapat saksi. Karena Mbak yang kasih kesaksian itu meralat semuanya. Bukannya ini sudah saya katakan waktu Mas ke rumah Anggi, ya?"

"Saya ingin memastikan saja. Boleh saya membantu?"

"Atas dasar apa? Kami bisa menyelesaikannya, Mas. Terima kasih."

"Atas dasar keadilan. Ah, klise banget, ya? Sekadar ingin bantu saja. Lalu, bagaimana dengan kejadian berikutnya? Siapa yang membawa korban ke RS?"

Seperti yang pernah Janu pikirkan jauh sebelum jiwanya berpindah tubuh, ia masih penasaran dengan kejadian ketika ia menjalani proses kematian, sampai siapa saja yang sudah bersedia mengurus jenazahnya.

"Saya bawa ke rumah saki dengan bantuan dari beberapa pengunjung. Bahkan menemani saya sampai keluarga Janu tiba. Semua terjadi begitu cepat. Dia pergi ketika di perjalanan menuju rumah sakit."

"Mas Faza keberatan nggak kalau bercerita lagi seperti ini. Kalau misal terlalu berat, mending nggak usah, Mas."

Lelaki dengan janggut dan kumis tipis itu menggeleng. "Sepertinya saya memang butuh untuk cerita, Mas."

Faza lantas melanjutkan cerita bagaimana suasana panik yang melanda keluarga Janu. Sang ibu tiba-tiba pingsan ketika melihat brankar berisikan tubuh yang sudah ditutup selimut sampai wajah dengan bercak darah di bagian wajahnya.

Cerita berikutnya disampaikan dengan terbata-bata oleh Faza. Lelaki itu lebih banyak mengambil jeda ketika bercerita. Sesekali helaan napas terdengar sangat berat di telinga Janu.

"Diantara kami bertiga, saya, Rico dan Janu, dia yang paling muda. Meski begitu, dia yang paling cerdas. Nggak pernah bilang tidak bisa. Semua permintaan tolong ia laksanakan meski terkesan sulit."

Jeda kembali diambil oleh Faza. Ia mengangkat tangan kanan dan kiri, kemudian membolak-baliknya. Ditatapnya tangan kanan dan kiri itu secara bergantian. Janu mengamati dengan seksama sambil menerka apa yang akan diucapkan Faza berikutnya.

"Mas tahu? Tangan ini yang sudah memandikan, mengafani, dan menguburkannya. Ayahnya tidak kuat untuk melakukan itu semua. Saya yang berharap dia yang melakukan semua itu untuk saya, ternyata kejadiannya justru sebaliknya."

"Nggak ada yang bisa memprediksi perihal kematian, Mas."

"Wajahnya tenang, prosesinya juga cepat, sepertinya Tuhan memang merencanakan yang terbaik untuknya, meski berita di luar sana beredar yang tidak-tidak."

Janu menghela napas sejenak. Ia mengeluarkan laptop kemudian membuka laman pencarian. Beberapa saat kemudian ia membuka berita yang beredar dengan beberapa informasi akhirnya ia dapatkan.

Ia juga mencari kabar tentang atasan yang waktu itu mengajaknya ke diskotik. Tidak sampai di situ, ia juga mencari informasi tentang perempuan yang ada di lokasi ketika kejadian.

Jangan lupakan kemampuan yang Janu miliki. Ia tidak pantang menyerah untuk menyelesaikan tugasnya. Ia juga diam-diam memiliki kenalan yang bisa membantunya dalam mengumpulkan informasi. Semua dilakuan sambil sesekali menatap wajah sahabatnya.

"Izinkan saya untuk membantu. Alasannya karena saya guru Anggi, alasan lain karena saya benar-benar tidak terima orang yang sudah meninggal masih difitnah. Setidaknya sampai nama kakak Anggi bersih."

Faza memiringkan kepalanya seolah bertanya mengenai keseriuasan yang ditawarkan oleh lelaki dengan tubuh milik Tarendra itu.

"Mas mau melakukan apa?"

"Entahlah, setidaknya biarkan atasan kakak Anggi mau bertanggungjawab bahwa itu kelalaiannya sampai menghilangkan nyawa manusia."

"Memang bisa begitu?"

"Logikanya saja, Mas. Kejadian kecelakaan di jalan, bus dan sepeda motor. Meski mau melawan dan bilang ini kesalahan motor yang berada di titik buta sopir bus, tetapi kita punya pasal yang bisa menghukum sopir bus karena menjadi penyebab. Apalagi yang kakak Anggi alami ini murni kelalaian orang lain."

Tangan Faza terangkat kembali untuk mengambil botol air mineral. Ia menatap wajah Tarendra dengan mata yang mirip dengan kepunyaan Janu. Telapak tangan Faza mendadak basah. Ia gugup dan merasa canggung sekaligus.

"Memang bisa?"

"Belum usaha, belum dicoba, kenapa sudah tanya bisa atau tidak? Atasan kakaknya Anggi itu apa bisa tidur nyenyak, ya?"

"Entahlah, sepertinya ia justru ambil cuti untuk liburan setelah kejadian kemarin. Entah untuk menghindar atau memang berniat kabur dari tanggungjawabnya," ujar Faza dengan tangan yang mengepal.

Dua lelaki itu terdiam kembali. Sampai saat Janu mengecek jam tangan, waktu sudah menunjukkan jam makan siang habis.

"Jam makan siangnya sudah berakhir, Mas. Mungkin mau kembali ke kantor?"

Faza melirik ke pergelangan tangannya dan melihat sekitar. Beberapa pengunjung kafe yang berasal dari perkantoran di sana mulai keluar dan meninggalkan kafe. Beberapa orang di luar juga terlihat sedikit berlari karena terburu-buru.

"Saya sangat berterimakasih jika memang bantuan itu ada. Semoga dia bisa tenang setelah semua ini selesai."

"Amin, semoga saja, Mas. Terima kasih sudah memberi izin untuk saya."

Sepeninggal Faza, Janu semakin semangat untuk menyelesaikan kasusnya sendiri tanpa adanya kecurigaan dari yang lainnya. Semua hanya kedok, tetapi itu demi kebaikannya dan kebaikan keluarga Tarendra.

Berikutnya, yang jadi permasalahan bukan lagi keluarganya, melainkan keluarga Tarendra dan kehidupan yang harus Tarendra jalani.

"Di sini butuh aku, di sana butuh Tarendra. Kage bunshin no jutsu sabi, nih! Apa minta tolong cuti ngajar saja ke Arfa? Alasannya apa?"

Janu mendadak buntu ketika memikirkan bagaimana kehidupannya sebagai Tarendra harus dijalani jika kanan-kiri masih butuh dirinya. Satu teratasi, yang lainnya datang menyerbu.

Ia meletakkan kepalanya di meja. Dengan beberapa kali menghela napas, Janu mencoba menjernihkan pikiran dan mencari jalan keluar supaya lebih fokus pada yang ingin diselesaikan.

Setelah beberapa saat, Janu menelusuri beberapa akun kegiatan pembelajaran untuk guru dan tenaga kependidikan. Setelah beberapa saat menjelajah, akhirnya ia menemukan banner berisi informasi untuk pelatihan menghadapi kurikulum terbaru.

Terima kasih, Tuhan. Ini tidak mudah, tetapi engkau selalu memberikan pertolongan di waktu dan saat yang tepa, batin Janu.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 15 Oktober 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro